Kelas Sosial Dunia Kampus, Adu  Prestasi atau Alis?

Oleh: IH

Belakangan ini kita digegerkan di jagad media sosial dengan fenomena dunia peralisan, video viral yang diunggah salah satu akun instagram, menjadi buah bibir sehingga menjadi konsumsi publik kita dan perbicangan hangat baik di dunia nyata dan dunia maya.

Ternyata ketidakadilan terhadap perempuan itu tetap berlanjut, salah satunya di lembaga pendidikan tinggi negeri, namun kali ini antar sesama perempuan yang tidak mengiginkan kesetaraan dan kesamaan dengan adanya Legitimasi junior  tak boleh melebihi dari senior perkara ketebalan alis.

Sebagai tradisi kampus dalam proses penerimaan mahasiswa baru akan dijemput langsung oleh senior mereka dalam meperkenalkan lingkungan budaya akademik mereka yang baru, baik penyampaian aturan yang tidak tertulis dan tertulis.

Doktrin dan mantra akan di berikan oleh senior maupun neneor. Kadangkala senior menunjukan sikap yang angkuh di hadapan maba dengan harapan agar mereka di kultuskan, di hormati dan pada akhirnya senior punya pengikut baru.

Hadirnya maba dalam kampus adalah munculnya kelas sosial akademik baru, dan tidak hadir untuk mengancam eksistensi senior, jika kamu maba di larang bertingkah laku sok belagu. Utamakan adab, wajib di bina jika tidak dibinasakan.

Bagi senior perempuan melihat mahasiswi baru yang berlebihan dandan dan make up adalah ancaman potensial bagi keeksistensinya. Dan psikologi perempuan sebenarnya tujuan dari mereka berdandan itu bukan semata mata 100 persen untuk lawan jenisnya, melainkan untuk mengesankan perempuan lainya.

Olehnya itu fenomena video dialogika junior vs senior dengan tema “Dilarang Alis Tebal” Substansinya bukan persoalan alisnya tebal, namun junior perempuan akan mendominasi lingkungan lambetura, geng dan menjadi isu perbincangan hangat bagi buaya-buaya kampus dan potensi menjadi ancaman bagi senior perempuan lainya.

Lumayan ruwet perempuan memang dan harus diakui, perempuan sulit diaturnya mereka pun diberikan alis oleh tuhan namun mereka mengubahnya bahkan menghapusnya. Dalam Islam melarang merubah ciptaan Tuhan apa yang telah di berikan-Nya tanpa membawa suatau kemanfaatan dan kebaikan itu adalah dosa.

Dunia kampus, ketika proses penerimaan mahasiswa baru, kampus tak mampu memberikan identitasnya sebagai laboratorium pemikiran, industry literasi. Sebagai contoh  pertama kita disuguhkan dengan viralnya salah satu kampus kesehatan ternama di kota Kendari, kedua kampus negeri di kendari dengan viralnya aksi goyang tik tok dan diundang salah satu stasiuan tv lokal.

Hal ini merepresentasikan bahwa kualitas pendidikan kita ikut terdegradasi di zaman dunia instrumental dan viralisme. Fenomena video viral itu  membuat ruang tontononan kita sesama perempuan saling berkelahi hanya persoalan sepele dan tidak urgen yang pada akhirnya berujung perundungan di lembaga pendidikan Indonesia.

Mestinya kampus harus menghasilkan sebuah narasi apakah itu, viralnya  aksi maba dalam orasi ilmiah, pembacaan puisi, ataupun kegiatan lainya yang positif yang berkaitan dengan literasi. Namun berbanding terbalik.

Peran Kampus dalam Membumikan Feminisme

Kita harapkan kampus dapat menjadi lokomotif dalam upaya membebaskan  perempuan dari cengkraman pasar kapitalisme, dimana perempuan dari ujung kuku sampai ujung rambut terdapat konsumsi bahan kosmetik. Dieksploitasi oleh kapitalis.Tubuh perempuan di pandang sebagai barang dagangan, sehingga definisi cantik yang di pakai oleh perempuan hari ini adalah definisi menurut pasar, glowing, mulus, rambut lurus, dan seksi. Dalam buku Dr. Irwan Abdullah yang berjudul Seks, Gender dan reproduksi Kekuasaan, “Perempuan sesungguhnya bukan hanya menghadapi musuh lama laki laki, tetapi musuh baru yang lebih perkasa, yakni kapitalisme.

Video viral tentang alis menunjukan adalah langkah awal dalam retaknya solidaritas sesama perempuan atas definisi kecantikan yang di salah artikan. Bagaimana mungkin kesetaraan sesama laki-laki dan perempuan dapat terwujud jika hanya goresan ALIS di wajah di permasalahkan.

Miskonsepsi Kecantikan

Dewasa ini pemahaman cantik (bellus:yunani) sangat dipengaruhi oleh media sosial, artis, model yang di buat oleh standard mereka seperti cantik itu kulit putih, alis yang tidak alami, glowing, bertubuh langsing, berambut lurus. Tafsiran cantik semacam ini dapat menjadi masaalah bagi perempuan di beberapa wilayah, misalnya faktor kondisi alam dan budaya dan keturunan sehingga mereka tak berkulit putih, hal ini menjadi dilema bagi kaum perempuan, memaksa mereka untuk cantik yang di pasarkan oleh industry kecantikan dan kosmetik lewat media sosial.

Persepsi kecantikan yang tidak dilihat dari aspek lahiriah saja harus segera di dekonsturksin, jika tidak dampaknya akan menimbulkan diskriminasi yang tajam dan dapat menimbulkan kebencian. Sebagai contoh perkelahian antara senior dan junior hanya persoalan alis. Sehingga definisi cantik harus mengarah pada kualitas perempuan dilihat dari pendidikanya, cerdas, dapat memberikan semangat bagi perempuan lainya, berprestasi dan anggun dalam moral. Jika definisi cantik ini menjadi kesepakatan masyarakat maka bagi kalangan masyarakat kalangan bawah akan mempercantik dirinya, yang selama ini cantik di identikan mahal butuh materi.

Perempuan Inspirasi  bagi  Sesama  Perempuan

Banyak tokoh dunia perempuan  yang menjadi panutan seperti Margaret Teacher di Inggris, Indhi Gandhi di India, yang mampu memposisikan dirinya sebagai wanita cerdas, menggali potensi dirinya ada kekuatandan kecerdasan yang menjadi sentral dalam kehidupan manusia, di rumah tangga, industry, agama dan politik, perempuan dapat berperan baik di organisasi, pemerintah dan memimpin.
Di abad sekarang ini hampir sulit  menemukan sosok perempuan inspirasi yang dapat mengangkat derajat perempuan.

Lihatlah Raden Ajeng Kartini Pensilnya ia gunakan untuk menulis surat perlawanan, terbitlah buku dengan judul habis gelap terbitlah terang, beda halnya Si pirang beralis tebal. Mengangkat pensilnya ke muka buka di kertas hasilnya adalah bukan surat perlawanan namun video viral tak berkualits. Bahkan ironisnya sesama perempuan tidak saling menguatkan dan mensupport  khusunya di bidang pendidikan. Mempermalukan institusi pendidikan dengan persoalan make up yang bukan tradisi dari mahasiswa yaitu, buku diskusi dan aksi.

Penulis sangat menyangkan sebagian mahasiswa baru mengganggap kampus adalah ajang adu fashion dan model dan gaya-gayaan, bukan malah sebaliknya kampus dijadikan arena pertarungan ide dan gagasan yang membawa kebermanfaatn umat.

Apakah akan terjadi emansipasi wanita jika make up 5 kali sehari dan mengupload 5 kali sehari sebagai instant story? Saya pikir tidak. Kurangi mendempul wajah, isi otakmu dengan referensi literasi. Akhir kata penulis ingin mengutik dari kalimat bijak “jika ingin melihat kualitas peradaban pada suatau wilayah maka lihatlah bagaimana kesehjateraan dan kualits perempuanya”.

Solusi dari penulis kampus memang tidak etis apabila membuat sebuah aturan berapa meter dapat mencoret alis, namun perlu di bangun kesadaran dari paham alisnisasi agar tidak ekstra-tebal. Dan perlunya dari pihak senior apabila menegur adik juniornya tidak di khalayak umum lebih cenderung mempermalukan dari pada menasehati kesalahanya agar tidak mengullangi nya lagi. Tegurlah mereka di tempat sepi ajak mereka biacara 4 mata, atau sms tegur secara halus berikan pendekatan humanis, namanya juga mahasiswa tebal alis (Maba) Panjang umur dunia peralisan.

Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FATIK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari.

admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *