Untukmu yang Abadi

“Jika kamu membuat seorang seniman jatuh hati, maka saat itu juga kamu dinyatakan abadi dalam karyanya”…

Objektif.id – “Krieeettt”, Suara pintu terbuka.

Aroma lilin terapi dipadu dengan semerbak bau cat dan kanvas di sebuah ruangan yang dibuka oleh seorang wanita. ia pun mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan yang dipenuhi lukisan wajah seorang wanita dengan berbagai macam ekspresi. Satu yang menarik perhatian wanita itu adalah dimana di tengah ruangan bertengger kursi dan kanvas di depannya yang tertutup oleh kain merah.

Si wanita pun berjalan menuju ke arah kursi itu berada. Setelahnya, ia melihat sebuah buku tergeletak begitu saja di kursi itu yang dililit dengan benang merah. Ia pun kemudian duduk sambil membuka lilitan di buku itu dan mulai membuka lembaran pertama…

3 Januari 1998
Seperti biasa aku menjajakan lukisanku kepada orang-orang di pinggir kota. Saat itu juga aku melihatmu. Senyuman yang selalu kamu berikan kepada para pelanggan tak henti-hentinya selalu membuatku tersihir. Hingga saat aku sedang melukis, tanpa kusadari aku malah melukis wajahmu. Rasanya sangat malu sekaligus lucu. Mungkin ini yang dinamakan orang-orang cinta. Aku harus akui itu bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu.

3 Februari 1998
Setiap kali aku melihatmu bahagia jantung ini selalu berdebar tak karuan. Suatu hari aku mendapatkanmu tiba-tiba menangis dan murung hatiku ikut sakit melihatnya. Aku sangat ingin menghampiri dan bertanya apa yang telah membuatmu bersedih sedemikian rupa, sekaligus menghapus butiran air mata yang mengalir di pipimu. Namun, aku terlalu takut dan pengecut yang dapat kulakukan hanyalah memandangmu dari kejauhan.

5 Februari 1998
Hari ini aku terbangun dengan badan yang lemas dan kepala yang pusing. Aku pun memeriksakan diri ke dokter. Namun, bukannya mendapatkan solusi atas sakit yang kuderita yang ada malah hanyalah sebuah kabar buruk yang membuat kepalaku bertambah sakit saat mendengarnya. Dimana, ternyata aku mengidap kanker darah stadium akhir. Ya sebuah penyakit yang bisa kapan saja merenggut nyawaku. Tuhan apakah harus secepat ini? Apakah aku tidak akan diberi kesempatan lagi untuk merasakan setitik kebahagian?.

6 Februari 1998
Kejadian kemarin bagaikan mimpi buruk bagiku. Setiap kali mengingat dirimu, bayang-bayang akan penyakit itu juga ikut melintas dalam pikiranku. Tuhan, ku mohon cukup sebentar saja biarkan aku setidaknya dapat bersamanya. Setelah itu terserah padamu Tuhan aku pasrahkan diri ini.

8 Februari 1998
Hari ini, tidak ada angin atau hujan kamu tiba-tiba saja datang menghampiriku dan mengajakku berbincang sambil memakan roti di trotoar tempat biasa aku menjajakan lukisanku. Tentunya aku senang sekali, karena semalam doaku seakan di ijabah oleh Tuhan. Terima kasih Tuhan, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kudapat ini.

3 Oktober 1998
Semenjak peristiwa makan roti bersama hari itu, kami jadi lebih sering berbincang tentang kehidupan kita masing-masing. dan pada malam ini kami akan pergi dinner serta aku akan mengutarakan isi hatiku untuk melamarnya. Aku tak henti-hentinya berdoa semoga Tuhan memperlancarkan niatku ini.

10 Oktober 1998
Hari ini adalah hari pernikahanku. Semuanya bagaikan mimpi bagiku yang dimana semula aku hanya dapat memandangmu dari jauh, sekarang aku dapat melihatmu sedekat ini berdiri tepat di sampingku. Di tengah menyalami para tamu undangan kepalaku tiba-tiba terasa sangat sakit dan semuanya gelap. Saat aku terbangun, aku sudah berada di rumah sakit kemudian aku melihatmu dengan masih balutan gaun pengantin tertidur di kursi samping brankar rumah sakit. Hatiku serasa teriris belati yang tajam saat melihat bagaimana aku melihatmu dengan keadaan seperti ini. Maafkan diriku yang tidak berdaya ini. Karena, keinginanku untuk merasakan kebahagiaan sebelum malaikat menjemputku aku harus bersikap egois dan pengecut hanya untuk bersamamu.

30 Desember 1998
Sudah seminggu, sejak kita bertengkar. Dikarenakan aku tidak ikut pergi menghabiskan malam tahun baru bersama, dan berakhir kamu pergi meninggalkanku sendiri di rumah ini. Kurasa sudah seharusnya seperti itu. Karena, jika kamu tetap di rumah ini hingga pergantian tahun nanti maka itu artinya kamu harus melihatku untuk pergi selama-lamanya. Sungguh aku tidak sanggup jika harus melihatmu bersedih…
Untukmu, saat kamu menemukan buku ini mungkin aku sudah tiada. Sebagai permintaan maafku karena telah menutupi penyakit yang kuderita darimu, aku hanya dapat memberikan sebuah lukisan ini kepadamu Semoga kamu suka ya. Satu lagi entahlah ini sekedar firasat atau bukan tapi aku yakin bahwa anak kita nantinya akan terlahir kembar, berikanlah mereka nama Amaranggana yang artinya bidadari dan Narendra yang berarti raja. Maaf ya, aku tidak bisa menemanimu melewati masa-masa kehamilan hingga melahirkan. Namun, percayalah bahwa aku akan tetap mengawasimu dari atas nanti. Berbahagialah, selamat tinggal, Ti Amo.

Kembali ke masa sekarang…

Setelah menutup lembaran terakhir, sambil menangis tersedu-sedu Si wanita bangkit dari kursi yang didudukinya dan mulai melangkah secara perlahan-lahan ke depan mendekati sebuah kanvas yang tertutupi kain merah. Ia pun membuka kain itu, dan alangkah terkejutnya dia melihat sebuah lukisan yang menggambarkan seorang wanita diapit oleh dua orang anak kecil. ia semakin menangis lirih. Dadanya kian sesak disertakan berbagai kalimat penyesalan yang tak luput terucap dari mulutnya karena ketidakpekaan-nyalah suaminya harus menanggung semuanya sendirian.

TAMAT

Penulis: Tesa ASN
Reporter: Melvi Widya

Tesa Ayu Sri Natari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *