Judul : Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia
Penulis. : MOH. FATHONI, DKK
Penerbit : Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia
Tahun : 2012
Tebal : 221 Halaman
Dengan segala kerendahan hati, harus diakui bahwa buku ini belum mencapai kesempurnaan, sebagaimana sejarah yang selalu bergerak dan tak pernah tuntas ditulis. Namun, di tengah segala keterbatasan yang ada, buku ini hadir sebagai bentuk kontribusi dan ikhtiar bagi para pembaca. Ia muncul dari rahim tradisi gerakan pers mahasiswa, terutama dalam konteks Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang memiliki tiga pilar utama dalam membangun identitas gerakannya.
Pertama adalah kesadaran historis. Sebuah pemahaman bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan sumber refleksi yang penting dalam menyusun langkah ke depan. Kedua, kesadaran akan konteks: bahwa pola dan bentuk gerakan pers mahasiswa harus senantiasa relevan dengan ruang dan waktu di mana mereka berada. Dan yang ketiga, kesadaran praktis—yakni semangat untuk terus membesarkan PPMI sebagai bagian dari gerakan mahasiswa Indonesia yang hidup, progresif, dan bermakna.
Buku ini sendiri lahir dari upaya untuk menangkap berbagai perspektif yang berkembang di kalangan pers mahasiswa. Salah satu yang disorot adalah pergeseran ideologi dan orientasi yang terjadi saat ini. Sebagai entitas yang mengusung nama “pers mahasiswa”, sudah seharusnya ia memikul tanggung jawab besar dalam membela nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan menyuarakan mereka yang terpinggirkan. Dalam nama itu terkandung semangat intelektualitas yang kritis, keberpihakan pada moral dan etika, solidaritas terhadap rakyat kecil, semangat kebangsaan, serta independensi sebagai insan pers yang merdeka.
Namun demikian, terdapat juga kekhawatiran yang tak kalah penting: gejala pragmatisme dan elitisme di tubuh pers mahasiswa. Hal ini telah lama menjadi bahan refleksi internal para pegiatnya. Banyak yang kemudian terjebak dalam rutinitas dan formalitas yang menggerus daya kritis. Pers mahasiswa tak lagi menjadi milik pembacanya, melainkan menjelma menara gading yang jauh dari denyut kehidupan kampus dan masyarakat. Maka dari itu, semangat untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual yang militan menjadi kebutuhan yang mendesak.
Selain itu, tantangan besar lainnya datang dari munculnya generasi yang semakin jauh dari akar sejarahnya. Dalam tubuh PPMI sendiri, tak jarang aktivisnya merasa asing terhadap dirinya. Ketidaktahuan atas jati diri ini melahirkan kebingungan kolektif: keinginan melakukan gerakan massa terasa berat, dan sikap politik pun diambil dengan penuh keraguan. Padahal, dalam sejarah gerakan ini, terdapat nilai-nilai yang sudah menjadi ciri khas yang melekat. Bahkan, bila perlu, generasi hari ini bisa menciptakan antitesis dari tradisi lama agar sesuai dengan konteks zaman sekarang. Namun, semua itu mustahil tercapai jika para pelakunya masih asing dengan pertanyaan paling dasar: siapa pers mahasiswa?
Bayangkan sejenak sebuah panggung sejarah yang luas—di sana, sorot lampu lebih sering tertuju pada orasi massa, aksi jalanan, dan para pemimpin organisasi besar mahasiswa yang gagah berani. Tapi ada satu sudut yang remang-remang, nyaris tak tersorot: tempat di mana para penulis muda duduk membungkuk, mencoret-coret kata di lembar-lembar naskah, merangkai kalimat dengan harapan dan kemarahan. Di situlah kisah ini bermula—kisah tentang pers mahasiswa Indonesia, yang lama terpinggirkan dari catatan utama gerakan mahasiswa nasional.
Awal Perjalanan
Hadir layaknya secuil cahaya di sudut remang itu. Ia mengisahkan jalan sunyi namun kokoh dari para pegiat pers mahasiswa yang tak mencari gemuruh tepuk tangan, melainkan mengandalkan ketajaman pena. Sebuah kisah yang jarang diceritakan, tetapi tak kalah penting dibanding aksi-aksi massa yang menggetarkan.
Kita diajak kembali ke masa-masa penuh ketegangan: tahun 1958, saat Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) berdiri sebagai cermin semangat zaman. Di tengah derasnya arus politik Demokrasi Terpimpin, IPMI memilih berdiri di jalan independen. Namun idealisme itu diuji berkali-kali—terutama ketika IPMI mulai dilebur ke dalam struktur birokrasi dan politik Orde Baru, hingga akhirnya layu dan kehilangan bentuknya sebagai organisasi.
Namun, seperti bara dalam abu, semangat itu belum padam. Tahun-tahun penuh ketakpastian di era 1980-an menjadi ladang subur lahirnya keresahan baru. Para aktivis muda mulai merapatkan barisan, saling menyapa dari kampus ke kampus, menyelenggarakan pelatihan, pendidikan, dan diskusi yang diam-diam menyulut api. Hingga akhirnya, pada 1985 di Cibubur, keresahan itu membuncah. Pendidikan Pers Mahasiswa Tingkat Nasional menjadi titik balik lahirnya kesadaran kolektif. Gerakan baru sedang dijahit, perlahan tapi pasti.
Kisah ini tak sekadar mencatat kelahiran organisasi baru, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang mulai dirintis di akhir dekade 80-an sebagai antitesis dari kemunduran IPMI. Buku ini menyoroti bagaimana PPMI lahir bukan sebagai kelanjutan, melainkan sebagai perlawanan atas represi, sebagai suara lain dari sejarah. Ia bukan hasil keputusan formal, melainkan hasil gelisah yang menggumpal dan berubah menjadi tindakan.
Melalui narasi yang kaya akan data sejarah, catatan pertemuan, dan kisah-kisah personal para pelaku, buku ini memberikan sesuatu yang jarang ditemukan dalam buku sejarah formal. Kita tidak hanya disuguhi tanggal dan nama, tapi juga perasaan cemas, marah, harap, bahkan kelelahan yang tak jarang menyelimuti para pejuang sunyi itu. Mereka yang tak turun ke jalan dengan bendera, tetapi hadir lewat artikel tajam dan laporan mendalam, menjadi penjaga akal sehat gerakan mahasiswa.
Namun, buku ini pun tidak bebas cela. Ada titik-titik di mana alur terasa padat dengan rentetan fakta sehingga nyaris seperti laporan kronologis. Tapi itulah konsekuensi dari upaya menggali sejarah yang selama ini nyaris tak tersentuh. Justru di situlah letak pentingnya, mengingatkan kita bahwa sejarah tidak hanya milik mereka yang terdengar lantang, tapi juga mereka yang menulis dalam diam.
Episode Akhir IPMI dan Bara Perjuangan yang Tak Padam
Kala itu, di tengah suasana represif Orde Baru yang membungkam segala kritik, suara pers mahasiswa nyaris tak terdengar. Kongres VI IPMI yang seharusnya menjadi momentum kebangkitan justru membeku, tak pernah terjadi. Organisasi yang dulu dibangun dengan idealisme tinggi itu tersandung oleh ketidakpastian, tekanan penguasa, dan kebuntuan arah.
Namun di balik kebekuan itu, ada kegelisahan yang tumbuh pelan-pelan—di ruang-ruang diskusi, di balik lembar naskah yang terus diketik, dan di hati para mahasiswa yang menolak tunduk. Mereka tahu jika suara tak bisa lantang, maka tulisan harus tajam. Maka mereka memilih jalan baru—jalan yang sunyi, namun teguh jurnalisme kritis, sebagai bentuk perjuangan.
Gugusan keresahan itu akhirnya menemukan bentuk. Di sebuah kawasan pelatihan di Cibubur, pada 21–28 Oktober 1985, 125 mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul dalam Pendidikan Pers Mahasiswa Tingkat Nasional. Dari Sumatra hingga Sulawesi, mereka datang membawa semangat yang sama, menyelamatkan marwah pers mahasiswa. Cibubur menjadi titik awal kebangkitan.
Tahun 1986 menjadi panggung kecil tempat bara itu dijaga. Dimulai dari Pekan Orientasi Jurnalistik Mahasiswa se-Jakarta, lahirlah kelompok studi jurnalistik bernama RELATA. Kemudian, ketika pelatihan diadakan oleh Ditjen Dikti dan FISIP UI pada Oktober, para peserta justru menjadikan forum itu sebagai ruang konsolidasi, menyusun gagasan tentang lahirnya wadah nasional pers mahasiswa. Tak berhenti di sana, mereka menyelenggarakan studi banding ke kampus-kampus di Yogyakarta dan Surakarta. Dalam perjalanan itu, benih kolaborasi terus tumbuh.
Lalu pada Maret 1987, Universitas Lampung jadi tuan rumah Sarasehan Pers Mahasiswa Nasional. Dari situ, UGM menggelar Pendidikan Pers Mahasiswa se-Indonesia, dan lahirlah panitia ad hoc—sebuah langkah konkret menuju organisasi baru. Aktivis dari Yogyakarta dan Jakarta mulai menyatukan kekuatan, namun tantangan tak mudah, dana terbatas, izin sulit, dan delegasi dari luar Jawa belum siap.
Meski begitu, semangat tak padam. Waktu terus bergulir, dan IPMI yang secara formal masih ada mulai kehilangan nyawanya. Maka pada 6–7 Agustus 1988, para pegiat pers mahasiswa berkumpul di Purwokerto, dalam sebuah pertemuan informal yang kelak dikenang sebagai Purwokerto Informal Meeting. Dari sana dibentuk Tim Sepuluh—gabungan tokoh muda yang menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan gerakan pers mahasiswa.
Mereka bergerak cepat. Pada 19–22 September 1988, digelarlah Diskusi Panel dan Sarasehan Pers Mahasiswa Indonesia (Pra-Kongres IPMI VI) di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Di sinilah sejarah diputar ulang. Deklarasi Batu Raden lahir, menjadi pernyataan sikap kolektif para aktivis dari 18 kota. AD/ART disusun, konsep organisasi dibentuk. Yang hadir mungkin tak ramai, tapi semangat mereka bergema jauh ke depan.
Inilah cerita tentang bagaimana suara yang nyaris padam justru membakar semangat baru. Cerita tentang kegagalan yang melahirkan harapan. Dan cerita tentang pers mahasiswa yang tak pernah benar-benar mati—karena selama masih ada ketidakadilan, akan selalu ada yang menuliskannya.
Deklarasi Batu Raden
Deklarasi Batu Raden, Purwokerto, membawa satu suara bulat yang mengendap di benak puluhan aktivis muda. Pada 21 September 1988, dalam suasana sederhana namun sarat makna, mereka mendeklarasikan, “Perlu dihidupkan kembali wadah yang bernama Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).”
Bukan sekadar organisasi, IPMI adalah simbol perjuangan. Sebuah mimpi bersama akan demokrasi, keadilan, dan kebenaran hakiki yang tak boleh mati, meski waktu dan rezim terus berganti. Deklarasi Batu Raden bukan hanya catatan sejarah—ia adalah nyala kecil dari idealisme yang menolak padam.
Namun, seperti api kecil yang mudah ditiup angin, Kongres VI IPMI yang direncanakan di Lampung pada Februari 1989 tak berjalan mulus. Gagal, lagi. Kekecewaan menjalar di kalangan aktivis, tapi mereka tidak menyerah. Justru dari kegagalan itu, lahir ruang baru bagi konsolidasi dan perlawanan.
Dua pertemuan penting kemudian digelar. Di Semarang, LPM Hayam Wuruk Undip menginisiasi pertemuan pers mahasiswa se-Jawa dan Bali. Lima puluh aktivis hadir. Tak lama berselang, LPM Himmah UII Yogyakarta mengundang aktivis dari berbagai penjuru Indonesia. Pertemuan kedua ini melahirkan Forum Komunikasi Pers Mahasiswa (FKPM)—bukan hanya forum diskusi, tapi sebuah mekanisme kontrol untuk memastikan akuntabilitas panitia kongres.
Dari Purwokerto, Resyarto Efiawan berkata lantang: “IPMI sudah tidak jelas lagi.” Bayangkan saja, sejak Kongres V tahun 1980, kepemimpinan masih dipegang oleh tokoh lama, Wikrama I Abidin. Sebuah organisasi yang seharusnya dinamis malah membeku dalam formalitas yang tak menyentuh realitas.
Sementara itu, pemerintah tak tinggal diam. Undang-undang dan surat keputusan diterbitkan, seperti UU No. 2/1989 dan SK Dirjen Dikti No. 849/D/T/1989, yang secara halus tapi efektif membatasi ruang gerak pers mahasiswa. Namun kekangan itu justru memantik keberanian. Kasus demi kasus rakyat mulai mencuat ke permukaan, Waduk Kedungombo, KSOB/TSSB, hingga peristiwa Brest. Media arus utama bungkam, tapi pers mahasiswa menolak diam.
Dengan kreativitas dan keberanian, mereka menghidupkan mimbar bebas, memperingati Hari HAM dengan aksi simbolik, menulis laporan investigasi secara diam-diam. Seperti kata Tri Suparyanto, mantan Koordinator Steering Committee IPMI: “UU NKK/BKK memang mematikan IPMI, dan pemerintah memang tidak ingin kongres itu benar-benar hidup.”
Tapi mereka lupa satu hal, ide tidak bisa dibunuh. Sekali suara itu terbit dari mesin ketik mahasiswa, ia akan menjelma menjadi opini, kritik, dan gerakan. IPMI boleh gagal di kongres, tapi tidak pernah benar-benar mati. Karena selama masih ada mahasiswa yang menulis untuk kebenaran, semangat itu akan terus hidup—di balik buletin, di tengah kampus, dan di hati mereka yang percaya bahwa suara sekecil apapun tetap bisa mengguncang dunia.
Menuju PPMI
Pada tahun 1992, halaman kampus IKIP PGRI Semarang terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada tumpukan majalah, tidak ada gelak tawa di ruang redaksi. Vokal, majalah pers mahasiswa mereka, baru saja dibredel. Kesalahan utamanya karena menjadikan isu Golput sebagai berita utama. Dalam logika rezim Orde Baru, itu bukan sekadar tulisan melainkan ancaman.
Tapi tekanan tak membuat suara mahasiswa menghilang. Justru di bawah tekanan, mereka menemukan bentuk baru perjuangan. Di Yogyakarta, para aktivis membangun konsolidasi. Pada Februari 1991, Perhimpunan Pers Mahasiswa Yogyakarta (PPMY) lahir sebagai pelampiasan dari ruang-ruang diskusi yang terlalu sempit. Mereka mengkristalkan keresahan menjadi gerakan kolektif, yang kemudian diresmikan pada 28 Juni tahun yang sama.
Tak lama, getar ini menyebar ke tingkat nasional. Pada 6–9 Februari 1991, sebuah temu akbar digelar di tengah hutan Wanagama, Wonosari. Di sanalah para aktivis dari berbagai penjuru Indonesia menyatukan suara dalam Temu Aktivis Pers Mahasiswa. Mereka menyadari satu hal bahwa suara mahasiswa tidak bisa dibiarkan tercerai-berai.
Hingga akhirnya, sejarah mencatat tanggal 15 Oktober 1992 pukul 16:29 WIB di Universitas Brawijaya, Malang, sebagai momentum lahirnya Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Bukan sekadar nama, tapi sebuah ikrar kolektif bahwa pers mahasiswa harus tetap hidup, meski terus ditekan dan dibungkam.
Namun, penindasan terhadap mahasiswa bukanlah babak baru. Jauh sebelum itu, pemerintah Orde Baru sudah merancang skenario pelunakan. Sejak KNPI dibentuk tahun 1973, ruang-ruang independen anak muda mulai dikebiri. Aktivis-aktivis yang dulu menentang Orde Lama, kini justru menjadi bagian dari sistem yang mereka lawan.
Tiga strategi pembungkaman dijelaskan oleh pengamat politik Arbi Sanit:
-
KNPI sebagai wadah tunggal pemuda.
-
Pembekuan Dewan Mahasiswa oleh Kopkamtib pada 1978.
-
Penerapan NKK/BKK, menjadikan organisasi mahasiswa tunduk pada birokrasi kampus.
Abdulhamid Dipopramono pernah berkata, “Pemerintah melihat pers mahasiswa sebagai pemantik protes mahasiswa sejak 1987.” Bahkan Menteri Pendidikan saat itu, Fuad Hasan, memperingatkan: “Jangan sampai pers mahasiswa menjadi sumber keresahan.” Majalah Himmah UII Yogyakarta menggambarkan kondisi kala itu dengan pahit,“Kaum muda mulai mendapat tekanan. Saluran-saluran yang bisa menggugah kesadaran dibungkam. Debat soal negara dan alat kekuasaannya hanya bisa dibisikkan di bilik rumah.”
Semua upaya legal—dan seringkali represif—dilakukan untuk membungkam mereka:
-
SK, PP, UU, dan Instruksi diterbitkan satu demi satu, dari SK NKK/BKK 1978, SK Dirjen Dikti 1989, hingga UU No. 2/1989 tentang Pendidikan Nasional.
-
Bahkan kurikulum dirancang agar padat, sehingga mahasiswa terlalu sibuk mengejar SKS, dan tak sempat berpikir kritis.
Namun pemerintah lupa, bahwa mahasiswa bukan sekadar murid. Mereka adalah agen perubahan. Dan selama ada mesin ketik yang berbunyi, selama ada pena yang menulis, dan selama kampus masih memiliki dinding yang bisa dipasangi buletin, suara itu tidak akan mati.
PPMI lahir dari luka, namun justru karena itu ia kuat. Ia adalah wajah dari perlawanan yang terus belajar, bergerak, dan menyala meski dengan nyala kecil yang tak pernah padam.
Menuju Wadah Baru yang Terjal
Ada masa ketika pers mahasiswa seolah kehilangan napas. Setelah sempat menggeliat di era 1970-an, ia terjerembab dalam kevakuman yang panjang. Orde Baru berhasil membungkamnya melalui kebijakan demi kebijakan yang membatasi ruang gerak mahasiswa—mulai dari pembekuan Dewan Mahasiswa, pemberlakuan NKK/BKK, hingga SK-SK represif yang menjadikan organisasi mahasiswa seperti layang-layang tanpa angin.
Namun, menjelang akhir 1980-an, bara yang tertimbun mulai berpendar kembali. Gerakan kecil mulai tumbuh dari kampus ke kampus, menyusun konsolidasi demi konsolidasi. Titik baliknya adalah hutan Wanagama, Yogyakarta, tempat berkumpulnya para aktivis pers mahasiswa se-Indonesia dalam Temu Aktivis Pers Mahasiswa pada 6–9 Februari 1991. Suara-suara yang selama ini tersebar, untuk pertama kalinya kembali bertemu, saling menyapa, dan merumuskan satu gagasan besar, Pers mahasiswa butuh wadah.
Dari pertemuan itu, dibentuklah Badan Pekerja (BP). Tugasnya sederhana namun berat, menyelenggarakan forum nasional untuk mewujudkan wadah tunggal. Tiga keputusan penting ditetapkan: arah pers mahasiswa ke jalur profesionalisme dan fungsionalisme; perlunya wadah kolektif nasional; dan penunjukan 11 orang dalam panitia ad hoc (SC) dari berbagai wilayah Indonesia—dari Aceh hingga Papua. Tapi jalan menuju rumah baru itu penuh liku. IKIP Bandung disepakati sebagai tempat penyelenggaraan Pra-Kongres pada 8–10 Juli 1991. Harapan tinggi dibawa dari kampus masing-masing. Namun ketika idealisme hendak disusun menjadi struktur, kekuasaan kembali mengangkat palu.
Surat Edaran Dirjen Penerangan dan SK Direktur Kemahasiswaan turun bagaikan petir. Mereka tak mengizinkan sarasehan diselenggarakan, bahkan memaksa penggantian istilah seperti “Pemimpin Redaksi” menjadi “Ketua Penyunting”—sebuah upaya melucuti makna peran jurnalistik mahasiswa. Alasannya klise: kegiatan dianggap tak akademik, tak jelas arah, dan tak sesuai dengan semangat pembinaan.
Namun mereka lupa, mahasiswa tak terbiasa menyerah. Di tengah tekanan itu, sidang tetap digelar di Gedung Garnadi IKIP Bandung. Ketika jam menunjukkan pukul 13.00 WIB dan kampus meminta forum segera ditutup, suasana memanas. Hingga salah satu peserta berdiri, naik ke mimbar, dan menyanyikan Indonesia Raya. Lagu kebangsaan itu bergema, menggugah rasa satu nasib. Tak sedikit yang menangis—bukan karena kalah, tapi karena masih berani berharap.
Forum pun dipindahkan ke tempat yang tak lazim—Kebun Binatang Bandung. Di tengah kicau burung dan tatapan satwa, mereka tetap bersidang. Namun aparat mengepung, forum dibubarkan, dan banyak peserta tercerai-berai, sebagian takut, sebagian tak sempat kembali. Tak kuorum. Di Jakarta, mereka mencoba menyuarakan penolakan terhadap SK represif itu. Tapi jawaban yang datang hanya penolakan dingin: “Saya tidak punya jadwal bertemu kalian,” ujar pejabat yang mereka temui. Aspirasi ditampung, lalu dibuang ke dalam laci sunyi.
Namun bara tak padam. Pada 19–23 November 1991, di Universitas Lampung, digelar pelatihan penerbitan kampus tingkat pembina. Ini dimanfaatkan SC untuk konsolidasi, meski yang hadir adalah utusan muda dari kampus—yang tua-tua enggan datang karena dianggap urusan struktural belaka. Maka pertemuan itu lebih mirip diklat daripada kongres perjuangan.
Barulah di Universitas Gajayana Malang, 20 Desember 1991, angin mulai berembus lagi. Meski hanya dihadiri delegasi se-Jawa, mereka menyusun langkah menuju Lokakarya Nasional. Negosiasi, surat-menyurat, komunikasi personal, hingga akhirnya semua jalan menuju satu tempat, Universitas Brawijaya Malang, 14–18 Oktober 1992.
Di sinilah sejarah baru ditulis. Meski sempat digerogoti ketakutan dan pembubaran, mahasiswa tetap mencari jalannya sendiri. Dan di titik inilah, semua jalan panjang, surat edaran, tekanan, dan air mata akhirnya melahirkan wadah itu, Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Indonesia (PPMI).
Bukan sekadar organisasi. PPMI adalah rumah dari suara-suara yang bertahan. Ia lahir bukan di atas meja kekuasaan, tapi dari tekad di bawah pohon kebun binatang, dari sidang yang nyaris dibubarkan, dari nyanyian Indonesia Raya yang lebih jujur dari retorika penguasa. Ia adalah bukti, mahasiswa bisa dibungkam untuk sementara, tapi tak bisa dipadamkan untuk selamanya.
Mentalitas Perdebatan Nama
Kadang, satu kata bisa menyalakan api. Di tubuh pers mahasiswa, kata itu adalah “pers”. Tapi di hadapan kekuasaan, kata ini berubah jadi ancaman. Maka muncullah kompromi, diganti menjadi “penerbitan”. Kata yang lebih jinak, lebih bisa diterima di meja birokrasi. Namun kompromi tak datang tanpa luka. Debat panjang itu dimulai dalam senyap, di ruang-ruang diskusi dan sidang-sidang informal. Bagi sebagian aktivis, memilih istilah “penerbitan” adalah strategi bertahan di tengah represi negara. Mereka sadar, Surat Edaran Dikti No. 849/D/T/1989 dan Peraturan Menpen No. 01/1975 tak membuka ruang untuk menyebut diri “pers mahasiswa”. Hanya ada satu pers, pers nasional yang diatur dengan SIUPP. Selebihnya hanyalah “penerbitan khusus”, yang mesti tunduk pada STT.
Bagi negara, penerbitan kampus tidak boleh memuat ide-ide politik, apalagi kritik terhadap kekuasaan. Harus teknis, ilmiah, kejuruan. Maka dari itu, istilah-istilah seperti “Pemimpin Redaksi” diganti menjadi “Ketua Penyunting”, dan “Pemimpin Umum” jadi “Ketua Pengarah”. Ini bukan sekadar permainan kata, tapi pembungkaman fungsi. Tapi sebagian aktivis tidak mau tunduk begitu saja. Mereka bersikeras memakai kata pers, karena bagi mereka, tugas jurnalistik mahasiswa bukan sekadar menulis, tapi mengawasi. Fungsi kontrol sosial tak boleh dihapuskan hanya karena ketakutan terhadap surat edaran.
T. Jacob, mantan Ketua IWMI, menyindir perdebatan itu dengan sinis, “Biar pakai nama setan tidak jadi soal, asal dia jalan!” Bagi Jacob, nama bukan substansi. Yang penting, berjalan, hidup, dan bermanfaat. Namun realitas tak seideal itu. Gara-gara memakai istilah “pers” dalam surat undangan, kunjungan aktivis dari Yogyakarta ke Universitas Brawijaya ditolak. Sebuah pelarangan yang ironis di institusi akademik. Ketika mahasiswa mencoba berdiri sebagai jurnalis kampus, kampus sendiri menutup pintunya.
Dikti pun ambigu. Ketika diajak berdiskusi, mereka tidak menyoal penggunaan istilah “pers” atau “penerbitan”. Tapi mereka juga tak mau mengakui PPMI. Sementara, jika PPMI masuk ke dalam KNPI, akan menimbulkan dua masalah, pertama, orientasi berbeda dan kedua, KNPI kala itu dianggap kepanjangan tangan kekuasaan.
Maka, jalan tengah harus diambil. Rommy Fibri, salah satu tokoh PPMI periode 1993–1995, menjelaskan, “kita tak ingin perpecahan hanya karena penggunaan nama. Kompromi itu bukan karena tekanan luar, tapi untuk menjaga keutuhan dalam.” Ia sadar, dalam tubuh PPMI sendiri terdapat dua kutub, yang lembut dan akrab dengan birokrasi kampus, dan yang radikal serta ingin menabrak batas formalitas. Penggunaan istilah “penerbitan” menjadi jembatan agar kapal tak karam di tengah jalan.
Namun kata memang punya daya. Nama “penerbitan” perlahan memengaruhi orientasi isi. Berita menjadi lebih lunak, lebih teknis, lebih takut. Nyali untuk bersuara semakin menyusut. Fungsi pers sebagai kontrol sosial tergantikan oleh kegiatan jurnalistik yang “aman”.
Tapi dari rahim kompromi ini, tetap lahir sesuatu yang besar, PPMI, sebuah wadah yang menjadi tumpuan dan napas kolektif. Ia mungkin tak diakui oleh negara. Tak dibingkai dalam legalitas formal. Tapi ia hidup dari semangat bersama, dari kesadaran akan pentingnya keberpihakan dan penyadaran. Tri Suparyanto, tokoh penting dalam pembentukan PPMI, memaparkan, “secara internal, lembaga ini berfungsi meningkatkan mutu penerbitan dan sosialisasi nilai. Secara eksternal, memperkuat posisi tawar pers mahasiswa dengan kampus maupun pemerintah.” Sekitar 200 penerbitan mahasiswa tersebar di seluruh Indonesia. Di atas kertas, mungkin mereka hanya “penerbitan khusus”. Tapi secara praksis, mereka adalah pers alternatif. Mereka bukan sekadar mencetak kata, tapi mencetak kesadaran dan di situlah kekuatannya.
Lahir Dari Tekanan yang Menolak Tunduk
Di atas meja redaksi SKM Sketsa, tertulis tebal dan yakin, “PPMI Lahir di Malang.” Bukan sekadar berita, itu adalah pernyataan sejarah. Pada pukul 16.29 WIB, tanggal 15 Oktober 1992, suara ketok palu dari sidang Lokakarya Penerbitan Mahasiswa Indonesia di Malang menandai kelahiran Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia—PPMI.
Tak ada sorotan kamera, tak ada siaran langsung. Tapi di ruang itu, sejarah sedang ditulis oleh tangan-tangan mahasiswa dari 37 perguruan tinggi negeri dan swasta se-Indonesia. Sebanyak 72 peserta hadir bukan sekadar untuk diskusi, melainkan membentuk satu tubuh bersama. Tubuh yang kelak akan menjadi nafas kolektif perjuangan pers mahasiswa, organisasi nasional yang menyatukan Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) dari seluruh penjuru tanah air.
Mereka tak hanya membentuk nama dan struktur. Di sana, lahir AD/ART, program kerja, dan bahkan kurikulum pelatihan jurnalistik mahasiswa, sebuah langkah yang jauh lebih matang dari sekadar seremoni. Namun, hari itu bukan akhir. Itu justru permulaan dari medan panjang yang menanti.
Dalam lokakarya itu, banyak suara mendesak. Suara-suara ini bukan nyaring karena emosi, melainkan karena pengalaman. Pertama, struktur organisasi. Mereka mendiskusikan bagaimana penerbitan kampus di tingkat fakultas yang selama ini diletakkan di bawah Senat Mahasiswa Fakultas (SMF), sesuai SK Mendikbud 0457/U/1990. Masalahnya, jika pers mahasiswa berada di bawah SMF, bagaimana mungkin ia bisa independen?
Kedua, soal pembredelan. Mahasiswa meminta PPMI menjadi garda depan yang bisa memprotes, bahkan melawan ketika ada pembekuan sepihak terhadap penerbitan mahasiswa. Sebab waktu itu, pembredelan bukan cerita fiksi, melainkan fakta bulanan. Ketiga, mereka menggugat pelarangan majalah Vokal dari IKIP PGRI Semarang. Majalah itu dicekal. Mahasiswa menuntut sikap. Bukan diam. Sebab diam saat satu dibungkam, artinya bersiap untuk dibungkam bersama-sama. Dan terakhir, mereka memohon satu hal sederhana yang sebenarnya menyedihkan untuk diminta yakni bantuan agar penerbitan mahasiswa bisa mendapat Surat Izin Terbit (SIT).
Pertemuan lanjutan direncanakan di Bali, antara April–Juni 1993. Maka dibentuklah Panitia Ad Hoc jilid II, dengan Tri Suparyanto sebagai koordinator. Ia bukan nama asing—dialah yang memimpin sidang pendirian PPMI. Bersama delapan delegasi dari berbagai wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Irian Jaya, mereka menyusun batu bata awal untuk Kongres I PPMI.
PPMI lahir dalam semangat keterdesakan. Tapi justru karena itu ia berani. Tahun 1993, tekanan demi tekanan datang silih berganti. Di awal tahun, majalah Dialoque dibredel. Bulan Mei, giliran Arena dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta diberangus. Pemerintah menilai pers mahasiswa mulai keluar batas, terlalu banyak bertanya, terlalu berani menyuarakan. Namun bukan berarti mereka berhenti. Di tengah tekanan, lahirlah semangat baru.
Hasan Aoni Aziz, Presidium PPMI Jawa Tengah kala itu, menyampaikan dengan gamblang, “sambil menggayung sambut kelahiran PPMI, kita mencoba membuat langkah inisiasi sejauh yang kita mungkinkan, sambil melirik konteks dan situasi.” Mereka tahu, langkah mereka belum kokoh. Tapi mereka juga sadar, diam adalah pilihan yang lebih buruk.
Mengambil Sikap Propaganda Isu
Tahun 1990-an. Di bawah bayang-bayang kebijakan NKK/BKK, pemerintah—melalui Depdikbud—membatasi ruang gerak mahasiswa. Mereka boleh berorganisasi, tapi hanya di tingkat fakultas, bukan universitas. Tujuannya jelas, mencegah konsolidasi. Sebab bila mahasiswa bersatu lintas fakultas, yang terancam bukan hanya kampus, tapi stabilitas kekuasaan.
Namun sejarah mencatat: pembatasan justru melahirkan siasat. Di balik meja redaksi, di ruang-ruang diskusi yang tak terdaftar secara resmi, pers mahasiswa lahir sebagai ruang alternatif. Tak hanya menulis, mereka menyusun strategi. Dana kampus dimanfaatkan, pelatihan jurnalistik dijalankan, dan perlahan, tanpa gembar-gembor, pers mahasiswa menjadi simpul pergerakan.
Mula-mula ada dua arus, gerakan pers dan kelompok studi. Tapi tembok pemisah itu tak bertahan lama. Aktivis pers pun turun ke jalan. Membawa pena di tangan kanan, dan spanduk di tangan kiri. Dari kata-kata mereka lahir demonstrasi. Dari laporan mereka tumbuh kesadaran. Dari isu yang mereka angkat, muncul gerakan. “Tidak ada yang paling berperan besar, dan tidak ada yang boleh mengklaim paling berperan,” tulis seorang aktivis saat itu. Semua adalah bagian dari satu denyut gerakan mahasiswa.
Mereka tahu mereka diawasi. Maka jalan yang mereka tempuh bukan frontal, tapi cerdas. Pelatihan jurnalistik—itulah pintu masuknya. Diselenggarakan atas nama keilmuan. Diikuti secara terbuka. Bahkan Ditjen Dikti pun turut mengadakan. “Kita bisa bergerak seperti itu karena alasan pelatihan pers mahasiswa. Kalau tidak, kita bisa habis,” kenang Rahman Ma’mun. “Selain bergerak ke luar, kita juga masuk ke sistem. Supaya terlindungi.”
Mereka menari di antara celah. Dan setiap tekanan justru mempertegas posisi, semakin ditekan, semakin membara. Pers mahasiswa menyadari, medan tempur mereka bukan hanya di halaman kampus. Birokrasi kampus dan kekuasaan negara adalah dua kutub yang mereka kritisi. Tapi mereka juga tak segan menyentuh realitas masyarakat. Dari wacana di buletin kampus ke aksi nyata di jalanan—pers mahasiswa merangkul semua poros gerakan.
Dan mereka tidak sendirian. Di seluruh Indonesia, aktivis-aktivis pers mahasiswa saling mengenal lewat kata-kata, tulisan, dan semangat yang sama. Merekalah pemasok utama gerakan mahasiswa, meskipun tak semua mengakuinya secara formal. “Pers mahasiswa itu jadi tempat alternatif bagi para aktivis,” ujar Aman, mengenang bagaimana ruang redaksi juga menjadi ruang konsolidasi.
Setelah jalan panjang dan ruang gelap yang penuh tekanan, PPMI lahir di Malang tahun 1992. Bukan sekadar organisasi, PPMI adalah rumah. Sebuah lembaga yang menaungi lembaga-lembaga: LPM-LPM dari seluruh kampus berkumpul, bukan karena kesamaan identitas, tapi kesamaan rahim perjuangan.
Di saat IPMI telah lenyap, PPMI hadir sebagai jawaban rindu. Forum ini bukan hanya soal manajemen dan struktur, tapi tempat di mana idealisme disatukan, dan strategi disusun bersama. Mereka tak sekadar menulis berita, tapi melatih nalar, menyusun analisa, dan memperkuat daya kritis. Namun perjuangan bukan tanpa harga. “Harus berdasarkan fakta yang sesuai dengan kaidah pers. Investigasi dan reportase menjadi tantangan tersendiri,” jelas Dwidjo. “Pilihan berani dan penuh risiko adalah konsekuensi.” Dalam sunyi, mereka menulis. Dalam tekanan, mereka tetap bersuara. Dalam ketakutan, mereka menciptakan keberanian. Dan dari reruntuhan NKK/BKK, pers mahasiswa menyalakan api yang tak pernah padam.
Konsolidasi Perlawanan dan Mengakhiri Kompromi
Di Kota Malang pada Oktober 1992, sekelompok mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia duduk melingkar. Mereka bukan sekadar mahasiswa bias. Mereka adalah para jurnalis muda yang gelisah, muak oleh pembungkaman, dan haus akan kebebasan. Di tengah keterbatasan ruang demokrasi, mereka mendeklarasikan sebuah cita-cita besar, membentuk wadah bersama bernama Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia—PPMI.
Namun, deklarasi hanyalah awalan. Di balik semangat itu, terbentang jalan terjal: bagaimana menyatukan suara-suara dari berbagai daerah yang selama ini terpisah, tersekat jarak, sensor, dan intimidasi. Seiring berjalannya waktu, rencana menggelar Kongres I pun digagas. Semula, niat itu ingin langsung direalisasikan saat Lokakarya di Malang. Tapi, kenyataan berbicara lain: banyak daerah belum hadir, Sumatera Utara dan Selatan absen, dan persiapan teknis belum matang. Maka disepakatilah, Kongres I akan digelar kemudian, dengan lebih matang, lebih inklusif.
Setahun setelah deklarasi, 1–3 September 1993, para pejuang pena itu akhirnya berkumpul di Kaliurang, di sebuah tempat bernama Wisma Puas. Menariknya, Kongres ini “menumpang” pada kegiatan Diklat Jurnalistik Mahasiswa se-Indonesia yang digelar LPM Himmah UII. Ini cara cerdik: berkamuflase agar tetap bisa bergerak di bawah bayang-bayang rezim represif. Sebanyak 56 lembaga pers mahasiswa dari 33 perguruan tinggi hadir. Rapat-rapat berjalan lancar, karena sebelumnya sebagian besar perangkat lunak organisasi telah disiapkan. Forum tinggal mengesahkan—dan bergerak.
Namun, Kongres ini bukan hanya tentang struktur. Ia juga bicara tentang perlawanan. Dibahaslah pembredelan terhadap Focus Equilibrium, media mahasiswa Universitas Udayana, Bali. Dari sinilah keluar SK Kongres yang memberi mandat kepada Presidium untuk mengadvokasi kasus tersebut. Di tengah euforia organisasi baru, muncul satu masalah pelik: legalitas. Pemerintah Orde Baru menuntut semua organisasi mahasiswa harus berada di bawah naungan lembaga resmi. Jika tidak, maka keberadaannya tidak akan diakui. Bahkan ketika Dirjen PPG bersedia menaungi PPMI, Dirjen Dikti justru menghalang-halangi.
Sikap pemerintah yang berbelit-belit membuat banyak pihak kecewa. Namun ada yang lebih lantang: Mochtar Lubis, jurnalis senior itu berujar tegas, “Tidak usah legal-legalan, tidak perlu pengakuan, jalan terus, kalau berani!” Kalimat itu menjadi bahan bakar baru bagi PPMI. Mereka mulai menyadari: legalitas bukan satu-satunya jalan. Bahkan bisa jadi jerat. Setelah Kongres, kerja berat baru dimulai. PPMI sadar, kekuatan mereka ada di daerah. Maka para Presidium pun bergerak. Ketika surat undangan ke Ujung Pandang tak sampai karena disensor, dua kader—Rommy Fibri dan Asep Wahyu—naik kapal, menembus jarak dan curiga, untuk menyelesaikan salah paham dan mengokohkan solidaritas. Di sana, dalam forum kecil namun penuh semangat, para jurnalis muda Ujung Pandang menyatakan diri bergabung dengan PPMI.
Meski dua tahun berjalan, PPMI tak kunjung mendapatkan pengakuan negara. Maka pada Kongres II yang digelar di Desember 1995, sebanyak 77 LPM dari 47 kampus hadir dengan satu semangat: menolak kompromi. Mereka memutuskan bahwa PPMI berdiri tanpa legalitas, dan tak akan pernah tunduk pada syarat izin negara. Kongres itu juga menetapkan istilah “pers” sebagai identitas, menggugurkan kompromi lama dengan kata “penerbitan”. Dari sinilah, PPMI menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia—secara resmi dan penuh kesadaran.
“Berani berkata tidak!”—itulah semangat periode kedua. Mereka menolak SIUPP dan STT, menolak segala bentuk pembatasan atas kebebasan pers. Presidium Pusat pun terbentuk, dengan Dwidjo Utomo Maksum sebagai Sekjen. PPMI kini lebih dari sekadar organisasi—ia menjadi simbol perlawanan, tempat bersandar para jurnalis muda dalam gelapnya malam Orde Baru. Selain itu, Kongres merekomendasikan untuk membuat Kode Etik Pers Mahasiswa sebagai acuan etika pers mahasiswa dan seruan yang tertuang dalam sebuah Deklarasi. Deklarasi itu kemudian disebut Deklarasi Tegalboto. Berikut kutipan isinya:
“Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia [PPMI] merupakan elemen kekuatan alternatif yang lahir dari pers mahasiswa dan atau lembaga pers mahasiswa di Indonesia untuk menghimpun potensi yang dimiliki dengan didasari komitmen moral, kerakyatan dan intelektualitas. PPMI adalah wadah yang berbasis pada pers mahasiswa dan atau lembaga pers mahasiswa di Indonesia menegaskan kembali bahwa PPMI tidak berorientasi kerja elitis dan bersifat mandiri sebagai basis tumbuhnya sikap idealisme dan kepedulian sosial. Dengan keprihatinan bahwa kondisi sosial masyarakat saat ini mengalami degradasi struktural maupun moral maka PPMI meyakini bahwa fenomena sosial yang ada merupakan agenda permasalahan yang integral dalam pers mahasiswa sebagai manifestasi fungsi pers mahasiswa. Untuk itu diperlukan pers mahasiswa yang sanggup mengkonsolidasi kekuatan internal organisasinya, serta mempertegas sikap terhadap kondisi sosial masyarakat yang berkembang. Berkaitan dengan ini maka PPMI menyerukan kepada pers mahasiswa dan lembaga pers mahasiswa untuk berani dan terus menerus menginformasikan persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat secara nyata dan utuh sebagai keberpihakan yang riil terhadap komitmen moral dan kerakyatan. Berkaitan dengan alat kemandiriannya, PPMI bertekad untuk terus memperjuangkan demokrasi, independensi dan kebebasan pers mahasiswa Indonesia dengan tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT. Langkah selanjutnya, PPMI sebagai salah satu bentuk lembaga mahasiswa yang berakar dari kekuatan mahasiswa akan terus memperjuangkan kebebasan akademis dengan tidak mengingkari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam kerangka kemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Tegalboto Jember, 17 Desember 1995, Kongres II Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.
Lebih luas lagi PPMI memberi perhatian serius pada isu-isu kekerasan. Seperti pada kasus insiden aksi mahasiswa 24 April 1996 di Ujung Pandang (Makasar), tragedi 27 Juli 1996 (pengambilalihan kantor PDI), dan kasus pembunuhan terhadap Fuad Mohammad Syafruddin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta. Dalam pernyataan sikapnya, PPMI tegas menolak segala bentuk pendekatan keamanan (security approach) yang dilakukan aparat untuk meredam sikap kritis masyarakat. Pun ketika terjadi kasus penghilangan nyawa wartawan Bernas. Kasus ini jelas sebagai bentuk intimidasi penguasa terhadap keberanian pers Indonesia dalam melakukan pemberitaan yang objektif.
Keputusan Kongres II PPMI ini segera direspon oleh pers mahasiswa dalam Sarasehan Pekan Nasional Penerbitan Mahasiswa (Pena Emas) pada 19-20 September 1996 di Makassar. Tiga dari isi Surat Pernyataan Terbuka Pena Emas 1996 menuntut untuk:
1. Menyerukan kepada segenap pers mahasiswa untuk menggunakan istilah pers mahasiswa, bukan penerbitan mahasiswa
2. Turut memperjuangkan hasil Kongres II PPMI, tentang pengembalian nama Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.
3. Tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT
Untuk melanjutkan langkah PPMI, maka pada 10 Mei 1996 digelar Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPMI di Teknokra, pers mahasiswa Unila Lampung. Salah satu hasil keputusannya adalah membicarakan prospek wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai Mediator PPMI yang akan ditindaklanjuti lewat sosialisasi dan musyawarah oleh wilayah-wilayah yang bersangkutan sesuai dengan kondisi dan potensi pasca Mukernas. Hasil Mukernas juga memutuskan untuk menerbitkan Tabloid Merah Putih sebagai media komunikasi antar pers mahasiswa yang terhimpun di dalam PPMI berskala nasional. Setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh PPMI hampir tidak pernah mengatasnamakan PPMI secara langsung, melainkan nebeng nama pada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) anggotanya. Selain juga sebagai cara untuk berlindung dari pantauan pemerintah, karena sebagai organisasi yang “ilegal”.
Menjaga Independensi dan Kritisisme
Kala kampus masih dibayangi sisa-sisa Orde Baru, pemerintah perlahan mulai menaruh curiga pada geliat kecil yang lahir dari ruang redaksi pers mahasiswa. Kegiatan jurnalistik yang tadinya lugu dan idealis tiba-tiba menjadi terlalu nyaring, terlalu tajam, terlalu mengganggu. Maka lahirlah strategi halus, mendekati, membentuk ulang, lalu mengekang. Lahir kegiatan-kegiatan pelatihan jurnalistik yang mengilap dengan pemateri populer, fasilitas lengkap, dan uang saku menggiurkan. Semua diarahkan untuk mengubah pers mahasiswa menjadi “pers kampus”, yang hanya sekadar fokus pada teknik menulis, tanpa menyentuh substansi.
Namun, sebagian anak muda tidak mudah dininabobokan. Mereka sadar, pemberitaan bukan soal keterampilan semata, tapi keberanian. Dwidjo, Sekjen II PPMI 1995-1997, menyuarakan semangat itu, “Kita tidak boleh menanyakan target. Sebab begitu ada target, akan muncul pragmatisme. Ini bukan tentang hasil, tapi tentang amanat.”
Amanat yang dimaksud Dwidjo adalah menjaga idealisme. Para penggerak PPMI menolak untuk jadi perpanjangan tangan kampus, meski itu berarti mengorbankan waktu, nilai akademik, dan masa depan. Saat ditawari fasilitas—internet, sekretariat, dana—mereka mengembalikannya ke forum, menanyakan dengan serius, “Maukah kita dikompromikan?”
Di lapangan, idealisme ini sering dibayar mahal. Di Semarang tahun 1992, majalah Vokal dibredel hanya karena membahas isu Golput menjelang Pemilu. Ketua yayasan, seorang caleg, merasa terancam. Di Surabaya, Dialoque dari FISIP Unair dicabut hak terbitnya, penanggung jawabnya bahkan nyaris ditahan. Di Yogyakarta, Arena mengalami hal serupa. Di Jember, wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer membuat SAS dibekukan.
Nama-nama terus bertambah, Kanaka, Focus Equilibrium, Aspirasi, Indikator, Invest. Beberapa mahasiswa diskors, beberapa dicoret dari daftar kuliah. Tahun 1993, situasi memuncak. Aksi solidaritas meletus dari berbagai Kota—Yogyakarta, Bandung, Malang, hingga Jember. Mereka tak tinggal diam. Rapat akbar digelar. Kongres Mahasiswa Indonesia, menyuarakan bahwa pers mahasiswa bukan boneka birokrat.
Namun, perjuangan bukan tanpa luka. Setelah 1998, euforia reformasi memecah barisan. Sebagian merasa menang, sebagian masih curiga. PPMI memilih tetap menjadi pengawas yang kritis, bukan penikmat kemenangan. “Apakah masyarakat siap dengan perubahan?” tanya Imun, seorang aktivis PPMI, dengan nada getir. Dalam Kongres PPMI 1997, mereka menolak untuk menyerukan penggulingan Orde Baru secara eksplisit. Tapi semua tahu, sikap mereka sudah cukup subversif. Bagi PPMI, melawan penguasa yang dzalim adalah soal prinsip, bukan kampanye politik.
Idealisme pun diuji waktu. Sekjen terpilih saat itu, Eka, dianggap kurang matang. Ia akhirnya mengundurkan diri, tak kuat menahan beban harapan yang begitu besar. Tapi bukankah memang begitu jalan mereka yang memilih suara sebagai senjata? Tidak mudah, tidak selalu menang, namun selalu bermakna.
Masa Transisi dan Gejolak Orientasi
Pada suatu titik di akhir dekade 90-an, ketika Indonesia mendidih oleh amarah rakyat dan mahasiswa turun ke jalan membawa bara perubahan, ada sekelompok orang yang suaranya tak terdengar, tapi tetap menulis. Mereka adalah para aktivis pers mahasiswa, yang bergerak dalam senyap—di bawah tanah, tanpa bendera, tanpa panggung, namun menyala.
PPMI berdiri sebagai rumah besar bagi mereka, sejak 1992. Namun rumah ini bukan tanpa retak. Di tengah euforia reformasi 1998, ketika seluruh negeri sedang bergolak, PPMI justru diguncang dari dalam. Eka Satialaksmana, Sekretaris Jenderal saat itu, memilih mundur. Ia mengaku tidak sanggup menjalankan amanat organisasi—Rakerwil tak berjalan, Rakernas pun tak sempat disusun. Ia sibuk di jalanan, ikut demonstrasi. Tapi di dalam, perhimpunan lumpuh. Sunyi.
Surat pengunduran diri Eka dikirim lewat pos. Dan lewat pos pula, semangat yang belum mati itu menyulut Kongres Luar Biasa di Jombang. Kongres IV menjadi titik tolak. Di sinilah PPMI menyuarakan satu sikap, “Ingin tetap berada di bawah tanah.” Mereka sadar, organisasi ini bukan milik birokrasi; ia milik hati dan perlawanan. Komisi A pun bersidang, memperdebatkan struktur, menyoal hierarki, dan akhirnya melahirkan Jaringan Kerja Organisasi (JKO) menggantikan Badan Pekerja Harian (BPH). Ini bukan sekadar perubahan teknis, ini soal eksistensi.
Tapi waktu tak selalu bersahabat. Tahun-tahun setelah reformasi justru menjadi masa gelisah. Ketika musuh besar bernama Orde Baru runtuh, mahasiswa kehilangan arah. PPMI pun goyah. Mukernas di Bandung digelar dengan satu misi: bangkit dari mati suri. Namun segala beban masih ditumpu sendiri oleh Sekjen—tanpa dana, tanpa dukungan. Kata Edi Sutopo, Sekjen saat itu, “Daripada menyiksa Sekjen, lebih baik tidak usah terlalu berharap.”
Kritik datang bertubi-tubi. Kongres V di Mataram menjadi panggung gugatan. Format organisasi dianggap mandul. LPJ Sekjen dicerca, PPMI dianggap gagal. Bahkan dicap sebagai “Program Pemiskinan Mahasiswa Indonesia.” Tapi benarkah semua kesalahan hanya ada di pundak satu orang? Lukman Hakim dari Balairung menulis, PPMI adalah kita semua. Maka menggugat PPMI berarti menggugat diri sendiri. Ia tak menolak kritik, tapi mengajak realistis, mari fokus pada hal kecil yang berdampak, bukan terus berandai dalam mimpi besar. Ia menyoroti tiga kelemahan, struktur, dana, dan SDM. Lalu datang Forkom Persma, organisasi baru lahir dari rahim kekecewaan. PPMI tak lagi tunggal. Tapi gerakan tetap mencari arah.
Di tahun-tahun awal 2000-an, pers mahasiswa kehilangan aura heroiknya. Euforia kebebasan pers melahirkan media-media umum yang lebih berani, lebih cepat, lebih besar. Pers mahasiswa pun terpinggirkan. Tak lagi menulis untuk rakyat, mereka sibuk di kampus, mengkritik BEM, rebutan kekuasaan di senat, dan lupa siapa yang harus dibela. Pers mahasiswa menjadi profesi, bukan lagi perjuangan.
Ironis, ketika dulu Soeharto takut pada pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa yang bersatu, kini mereka saling mencurigai. Rebutan kader, rebutan ruang, bahkan menjadikan LPM sebagai alat kekuasaan. Maka tak heran jika banyak pers mahasiswa yang mati bukan karena dibungkam negara, tapi karena diabaikan oleh sesama mahasiswa. Kongres V PPMI mencoba menyatukan kembali identitas: “Pers mahasiswa sebagai kontrol sosial dan agen perubahan.” Tapi bagaimana bisa mengontrol kalau tak berdaya? Bagaimana bisa mengubah, jika lupa tujuan? PPMI adalah cermin kita semua. Seperti retak, tapi belum pecah. Ia bukan sekadar organisasi, tapi ruang kesadaran bersama. Bahwa menulis adalah melawan. Dan melawan, tak harus dengan teriak. Kadang cukup dengan kata yang menyala-nyala.
Upaya Menemukan Solusi Kemunduran Orientasi
Di tengah euforia reformasi dan tumbangnya rezim Orde Baru, ada sebuah organisasi mahasiswa pers yang berdiri sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan represif: PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Namun, ironi sejarah membawa PPMI ke dalam kisah pelik yang justru lahir dari dalam rumahnya sendiri. Setelah dua periode awal yang penuh semangat konsolidasi dan perlawanan terhadap regulasi pers yang mengekang, PPMI mulai goyah. Bukannya menatap ke luar menghadapi lawan bersama, organisasi ini justru lebih sibuk dengan persoalan internal: tarik-menarik kekuasaan, krisis komunikasi, hingga keretakan antar anggota.
Lengsernya Soeharto bukanlah jawaban bagi PPMI. Justru, kebebasan yang diperoleh tak lantas membebaskannya dari kebingungan arah. Seperti kapal besar tanpa kompas, PPMI mulai kehilangan tujuan. Kongres V di Mataram menjadi puncak dari badai itu. Beberapa anggotanya memutuskan untuk keluar, membentuk organisasi baru karena kecewa. Rumah PPMI nyaris runtuh. Namun dari puing-puing kehancuran itu, beberapa orang bertahan. Mereka mulai menambal atap yang bocor, merapikan dinding yang miring, dan membenahi tiang penyangga organisasi yang nyaris rubuh.
Dari reruntuhan itu, muncul kebutuhan untuk mempertegas identitas: sebuah kode etik. Sesungguhnya, wacana kode etik sudah lahir sejak Kongres II tahun 1995, namun nyaris selalu gagal rampung akibat prioritas organisasi yang lebih fokus pada konsolidasi dan advokasi insidental. Pasca Kongres III, PPMI terjebak dalam stagnasi. Hingga akhirnya, pada 1999, Lokakarya Kode Etik digelar di Palembang. Dari sana, lahir sebuah rancangan matang. Namun, sekali lagi, rumah besar PPMI punya prosedur, hanya Kongres yang bisa mengesahkan. Butuh tiga tahun sampai Kongres VI di Malang tahun 2002 akhirnya menyematkan palu pengesahan pada Kode Etik PPMI. Di sanalah pula lahir Dewan Etik Nasional (DEN), sang penjaga etika dan penyeimbang kekuasaan Sekjen.
Meski secara struktural organisasi membaik, konflik internal tak juga reda. Dari persoalan surat undangan yang disensor hingga konflik besar di Yogyakarta yang berujung keluarnya Arena dari keanggotaan, luka-luka lama terus membekas. Satu demi satu pengurus PPMI dari tingkat nasional hingga kota mundur atau ditarik dari jabatan. Kode etik yang telah disahkan, ironisnya, tak bisa langsung menyembuhkan konflik yang terjadi—karena DEN belum diberi mandat menyelesaikan persoalan organisasi saat itu.
Konflik Yogyakarta menjadi titik balik. Ketika Sekjen PPMI saat itu, Agung Sedayu, gagal mendamaikan, organisasi pun mulai sadar: dibutuhkan pihak ketiga yang benar-benar netral. Maka pada Kongres VIII di Makassar tahun 2006, DEN diberi mandat baru: tak hanya sebagai pengawas etika jurnalistik, tetapi juga sebagai mediator dan pengawas kerja organisasi. Perjalanan panjang PPMI memperlihatkan bahwa kebebasan bukan hanya soal bisa bicara, tapi juga tentang kemampuan mendengarkan dan menyelesaikan konflik. Bahwa rumah yang kuat bukanlah rumah yang tak pernah retak, tapi rumah yang selalu bisa diperbaiki bersama.
Kini, DEN telah memiliki tiga peran utama: mengawasi etika jurnalistik, mengawasi jalannya organisasi, dan menjadi penengah konflik internal. Struktur PPMI juga berubah-ubah—dari sistem presidium kolektif ke Badan Pekerja Nasional, dari penghapusan Koordinator Wilayah hingga pengembaliannya. Semua itu adalah bagian dari upaya panjang mencari bentuk yang pas bagi rumah bernama PPMI. PPMI bukanlah organisasi yang sempurna. Tapi justru dari ketidaksempurnaan itulah, ia bertahan. Ia hidup dari konflik, dibentuk oleh kegagalan, dan tumbuh lewat proses pembelajaran yang panjang. Karena PPMI adalah cerita tentang harapan yang tak mati, meski berkali-kali dihantam badai dari luar—dan terlebih, dari dalam.
Pers Mahasiswa Kembali Pada Fitrahnya—Melawan
Penegasan orientasi persma pada isu-isu kerakyatan, periode 2002 – 2006 (periode VI – VII) merupakan bentuk konsistensi mengawal perubahan yang tetap berada di dekat garis massa. PPMI tetap memilih jalan sunyi sebagai bagian gerakan mahasiswa, yang berarti tetap hidup di bawah tanah. Tanpa perangkat organisasi yang lengkap dan mapan, sebagaimana lembaga gerakan mahasiswa yang disebut layak. Tanpa sekretariat yang tetap, tanpa legalisasi formal, dan dana yang berlimpah.
Hal ini berdampak pada dua konsekuensi logis. Pertama, karena dilakukan untuk menjaga independensi dan semangat idealisme pers mahasiswa, serta keberpihakan kepada rakyat, maka akan lebih terjaga. Kedua, dengan segala konsekuensinya PPMI tetap seperti ini; minim fasilitas dan belum berkembangnya program-program nyata dalam ukuran praktis. Sehingga banyak yang menganggap PPMI tidak berhasil dalam melaksanakan program kerjanya, bahkan dipandang tidak jelas dan tidak menyentuh persma anggotanya. Pun sebaliknya, jika tawaran-tawaran yang berorientasi praktis pencapaian target program kerja material tanpa tujuan substansial maka nilai independensi dan idealisme pers mahasiswa akan sulit diterapkan. Dilema pandangan yang sama-sama memiliki titik lemah dan keunggulan.
Namun PPMI akhirnya mengambil sikap tegas dan menawarkan jurnalisme kerakyatan dengan analisis kritis tanpa orientasi karir yang praktis. Perdebatan tentang orientasi gerak dan isu yang diusung pasca euforia 1998 menjadi perhatian khusus.
Orientasi PPMI mulai mengarah pada sinergitas gerakan massa rakyat. Karena sebagai sebuah wadah alternatif pemupuk orientasi gerakan pers mahasiswa Indonesia sudah seharusnya PPMI mengarahkan untuk lebih dekat dengan garis massa rakyat. Pemberitaan dan isu yang diusung media persma harus mampu menyentuh persoalan-persoalan kerakyatan, bahkan lebih jauh harus mampu melakukan pembelaan.
Ada pemahaman orientasi dalam pers mahasiswa setelah kran kebebasan dibuka, khususnya pasca 1999.
Dengan ditetapkannya UU Pers No. 40 Tahun 1999 secara de jure memulai masa libertarian. Pers umum menggejala dan mewabah. Pemberitaan yang sebelumnya ‘tabu’ diangkat pers umum karena terbentur oleh pemerintah kini bebas diangkat. Banyak media bermunculan sehingga media yang bermodal besar dan punya relasi kuat akan menggilas media-media kecil. Persaingan semakin ketat seiring dengan industrialisasi media. Terlepas dari itu semua, kemajuan teknologi membantu akses informasi dengan cepat. Sehingga media harus dituntut aktualitasnya. Berbagai media elektronik, termasuk online, merebak dan pers mahasiswa dianggap sudah ditinggalkan publik.
Kala itu, di dekade 1980-an, kampus-kampus menjadi ruang sunyi. Suara mahasiswa yang biasanya lantang menyuarakan keadilan tiba-tiba lenyap ditelan kebijakan NKK/BKK. Pers mahasiswa, yang dulunya garang, terpaksa menyuarakan isi pikirannya dalam senyap, hanya menggema di balik dinding-dinding institusi. Maka lahirlah gagasan back to campus, sebuah strategi bertahan yang menjadikan kampus sebagai satu-satunya panggung berekspresi. Gagasan ini bukan sekadar pilihan, tapi bentuk perlawanan sunyi dalam keterbatasan.
Lompatan waktu membawa kita ke masa pasca-reformasi. Tahun-tahun setelah 1998 adalah masa transisi yang penuh harap sekaligus pertanyaan. Ketika euforia reformasi menguar, PPMI kembali menghidupkan semangat lama, menyapa mahasiswa, berbicara dari dan untuk kampus. Namun, sebagaimana dekade sebelumnya, pilihan kembali ke kampus kembali menuai kritik. Pers mahasiswa dituduh menjauh dari rakyat, bersembunyi di balik menara gading akademik.
Franditya Utomo dan tim Litbang PPMI (2002–2004) sempat membaca kecenderungan ini. Meski riset mereka tak sempat rampung, arah orientasi media pers mahasiswa 1999–2003 terlihat jelas: kembali ke kampus. Format jurnal, buletin, bahkan media daring dipilih untuk menyuarakan kegelisahan, walau suara itu masih terperangkap dalam bingkai akademis. Namun, semangat tak pernah benar-benar padam. Ketika masa rekonsiliasi internal PPMI dimulai antara 2000–2002, semangat untuk kembali mengawal isu-isu rakyat kembali menyala. Konsistensi menjadi alternatif, menjadi suara bagi yang tak bersuara, menjadi misi yang tak bisa ditawar. PPMI memilih jalannya sendiri: menjadi oposisi atas kekuasaan yang abai.
Reformasi yang diimpikan tak banyak membawa perubahan bagi rakyat kecil. Angka kemiskinan tetap tinggi, pengangguran merebak, dan korupsi seperti tak tersentuh. PPMI membaca ini sebagai kegagalan. Maka, suara mahasiswa harus kembali lantang. Bukan untuk kepentingan karier, tapi untuk menyuarakan yang terpinggirkan. Jurnalisme investigasi dan advokasi dipilih menjadi senjata. Bukan hanya menulis, tetapi turun ke lapangan, menggali, mendengar, dan berpihak. Kebangkitan itu mulai terasa di tahun 2003, ketika Dies Natalis ke-10 di Makassar menjadi titik balik. Dari pertemuan itu, isu-isu lokal dari berbagai daerah mulai diangkat. Pelatihan Jurnalisme Investigasi di Surabaya menjadi langkah konkret untuk memperkuat kerja praksis. Dari Aceh hingga Ambon, dari Jakarta hingga Makassar, isu-isu kerakyatan mulai dirajut jadi kesadaran kolektif.
Buletin Merah Putih pun dihidupkan kembali. Namun kali ini tampil beda. Tak hanya pengurus nasional yang bertanggung jawab, tapi juga kota-kota anggota. Dua kanal disepakati, 8 halaman isu nasional, 4 halaman isu lokal. Setiap daerah punya ruang menyuarakan persoalannya sendiri. Sebuah langkah kecil yang bermakna besar dalam membangun jurnalisme yang kontekstual dan membumi. Ketua PPMI Surabaya saat itu, menyebut pertemuan Makassar sebagai tonggak sejarah baru. PPMI akhirnya bergerak keluar dari pusaran konflik internal yang menguras energi, menuju orientasi yang lebih jelas yaitu isu rakyat.
Namun, jalan tak selalu lurus. Ketika Kongres VIII di Makassar 2006 menelurkan struktur baru, Korwil atau Koordinator Wilayah harapannya adalah memperkuat konektivitas. Tapi realitas berkata lain. Rakornas di Madura terseok. Banyak Korwil belum terbentuk. Hubungan antara pengurus nasional dan kota mulai renggang. Di Semarang, April 2007, PPMI mencoba kembali menyatukan arah. Isu ekonomi kerakyatan diangkat sebagai fokus, dengan catatan, setiap kota menyesuaikan dengan kondisi lokalnya. Namun, tantangan internal terus menghantui. Pergantian pengurus yang cepat, minimnya proses regenerasi, hingga komunikasi yang terputus membuat beberapa kota “hilang kontak”.
semua gejolak peristiwa ini bukan tentang kegagalan, melainkan tentang perjalanan panjang. Tentang bagaimana pers mahasiswa terus mencari bentuk terbaiknya, jatuh dan bangkit, mencoba tetap relevan dalam pusaran perubahan zaman. Back to campus bukan sekadar kembali ke ruang akademik, tapi kembali pada akar bahwa mahasiswa sebagai bagian dari rakyat.
Catatan Penting Refleksi
Semangat yang tak pernah padam, ruh yang tak akan menyerah, meski redup oleh waktu yang berubah. Persma tenggelam dalam perubahan, karena hanya sibuk bergelut melawan kediriannya. Memang, perjuangan melawan diri sendiri lebih sulit. Ingat, persma tidak sekedar bertaruh dengan kemungkinan apalagi hanyut dalam abu-abu realitas. Sekali lagi, persma mesti beranjak. Perhimpunan perlu bukti positioning yang nyata dan menawarkan sisi strategis dirinya.
Menghimpun diri dan kesadaran atas potensi posisi strategis persma, itu yang masih. Spirit menjaga agar bara itu tidak padam. Perlawanan, perubahan, dan tawaran persma bukanlah angan-angan. Perlu sedikit sentuhan yang berkelanjutan dan pemantik agar bara itu terbakar. Membakar dan memihak. Sedangkan bagi persma, media adalah ujung tombaknya. Bukti independensi pemilihan berita. Pada dekade 1980, persma bergelut dengan birokratisasi atau ideologi terstruktur, maupun hegemoni wacana pembangunan. Awal dekade 1990, persma melawan diskursus ‘pers’ dan ‘penerbitan’. Setelah runtuhnya era otoritarian (1998) persma berseteru dengan hal-hal amatir dan sporadis gerakan. Berdebat soal pergeseran nilai gerakan dan perlawanan. Redup, tak jauh berbeda dengan awal dekade 1980.
Tapi yakin spirit kritisisme terus bergejolak meski masa telah berganti. Hanya keteguhan dan keaslian gerakan dalam entitas yang majemuk mampu meneruskan yang belum usai, orisinalitas keberpihakan persma. Tanpa intervensi apa dan siapapun. Tapi ingat dengan tubuh (wadah) persma yang punya sifat diri dan keberpihakan yang jelas, terang dari pengkhianatan moral, intelektual, kemanusiaan, rakyat, dan nurani.