Objektif.Id-Indonesia merupakan negara hukum yang menganut sistem demokrasi dengan prinsip trias politica. Sebagai bentuknya, membagi lembaga atau memisahkan kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk memastikan adanya sistem pengawasan dan keseimbangan (chack and belens). Ketiga pilar ini harus saling mengawasi dan menyeimbangkan demi terwujudnya pemerintahan yang baik dan akuntabel.
Namun disisi lain, dalil demokrasi yang ideal itu bisa di robohkan dengan penyelenggaraan praktik-praktik politik dinasti. Hal ini, bukannya saling menyeimbangkan tapi melainkan adanya potensi saling mendukung dan bahkan memperkuat cengraman kekuasaan dalam satu keluarga atau kelompok.
Dalam fenomena politik dinasti, menjadikan jabatan publik sebagai instrumen strategis yang di dominasi oleh anggota-angota keluarga dengan tujuan untuk memperkokoh wilayah kekuasaan. Akar kekuasaan ini, biasanya bersumber dari kekuasaan finansial dan relasi yang kuat. Ketika pengaruh dinasti ini berkembang dan masuk di organ kekuasaan, maka akan menimbulkan problematika.
Misalnya dalam ranah eksekutif, anggota dinasti dapat menduduki kursi kepala daerah, Mentri, atau bahkan presiden. Sehingga dengan kekuatan ini, mereka memiliki kendali langsung atas kebijakan, anggaran, dan birokrasi. Kebijakan yang dibuat bukan semata-mata untuk kemaslahatan publik, akan tetapi bisa jadi diarahkan untuk kepentingan memperkuat
Posisi dinasti.
Kemudian cengraman ini bisa masuk dan meluas ke legislatif. Anggota kerabat dan keluarga dekat berhasil menduduki kursi di parlemen, baik itu di tingkat pusat maupun di daerah. Dengan skema ini mereka dapat memengaruhi proses legislasi, pengawasan, dan pengesahan anggaran. Coba di bayangkan, bagaimana pengawasan terhadap eksekutif akan efektif jikalau legislatifnya di isi oleh kerabat atau keluarga yang memiliki kepentingan yang sama?
Tak berhenti di situ, tantangan terbesar muncul ketika pengaruh dinasti mencoba menyentuh ranah yudikatif. Lembaga peradilan adalah benteng terakhir keadilan dan penegakan hukum. Intervensi atau tekanan politik dari kekuatan dinasti, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mengancam independensi hakim dan jaksa.
Keputusan hukum yang seharusnya didasarkan pada kebenaran dan keadilan bisa terdistorsi demi melindungi kepentingan dinasti, atau sebaliknya, menjatuhkan lawan politik dinasti tersebut. Jika peradilan tidak lagi independen, maka mekanisme checks and balances akan lumpuh, dan keadilan menjadi barang mahal bagi rakyat biasa.
Ketika ketiga pilar ini (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) saling terkoneksi dalam jejaring dinasti, yang terjadi adalah konsolidasi kekuasaan yang berlebihan. Batas-batas antara kekuasaan menjadi kabur, dan potensi penyalahgunaan wewenang meningkat drastis. Akibatnya, ruang bagi oposisi mengecil, partisipasi publik terbatas, dan praktik korupsi bisa tumbuh subur karena minimnya pengawasan eksternal dan internal yang efektif.
Maka dari itu, untuk menjaga demokrasi tetap sehat, kita perlu terus memperkuat independensi masing-masing pilar. Peran masyarakat sipil, media yang kritis, dan sistem hukum yang kuat menjadi krusial. Memastikan bahwa setiap pengisian jabatan didasarkan pada kompetensi dan integritas, bukan karena ikatan darah atau kedekatan, adalah prasyusrat mutlak. Sebab, checks and bales hanya akan berfungsi jika setiap pilar benar-benar independen dan berani menjalankan fungsinya, tanpa terjerat dalam lilitan kepentingan dinasti.
Penulis : Mr. Yonex
Editor: Redaksi