Jejak Perjuangan Pekerja Batu Bata: Mengukir Keberanian dan Kebangkitan

Kendari, Objektif.id – Sebuah kisah inspiratif datang dari dunia pembakaran batu bata merah, seorang pekerja bernama Iman telah menjelma menjadi sosok pekerja yang berdedikasi meski usianya telah mencapai 40 tahun.

Dalam tiga tahun terakhir, Iman telah menjalani pekerjaan sebagai pembuat batu bata dengan penuh semangat. Setiap hari, dia memulai hari dengan bangun pagi dan baru pulang saat senja menjelang. Pekerjaannya tidak hanya mencakup proses mencetak batu bata, melainkan juga melibatkan tahapan kritis seperti pengumpulan dan persiapan batu bata sebelum proses pembakaran.

Proses mencetak batu bata dimulai setiap pagi, kadang-kadang dihentikan untuk istirahat makan siang di rumah, dan dilanjutkan jika masih ada lumpur yang perlu diolah.

“Kalau mencetak itu dari pagi terus istirahat, makan siang pulang di rumah dulu, habis itu kembali lagi kalau masih ada sisa lumpur,” ungkap Iman.

Namun, jadwal Iman tidak pernah pasti dan selalu tergantung pada jumlah batu bata yang harus dicetak. Sebagai contoh, mencetak seribu biji batu bata ukuran satu kubik bisa memakan waktu dari pagi hingga sore. Pendapatan yang dia dapatkan sebesar Rp140.000 per kubik batu bata, dengan mempertimbangkan biaya ongkos bakar.

Ketgam: Tampak depan gubuk dimana Iman membuat batu bata merah. Foto: Kusmawati/Objektif.id

Biaya ongkos bakar dihitung berdasarkan jumlah mulut api yang digunakan. Jika menggunakan satu mulut api, biayanya Rp250.000, dan jika menggunakan dua mulut api, biayanya Rp500.000 hingga batu bata matang. Proses pembakaran sendiri memakan waktu yang cukup lama.

“Saya mulai dari jam 05.00 subuh bisa sampai hari Selasa baru selesai,” kata Iman pada Minggu, (26/11/2023).

Iman bukan hanya seorang pekerja, tetapi juga seorang ayah dari tiga anak, dengan yang termuda berusia 4 tahun. Meskipun awalnya mengeluh karena lelah, Iman terus memotivasi dirinya untuk mencari nafkah demi keluarganya. Peran istri Iman juga penting, yang biasanya turut membantu dalam proses pencetakan batu bata, meskipun tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan kerja.

Tidak setiap hari satu kubik batu bata bisa dicetak, terkadang hanya 700 biji batu bata. Ada juga momen ketika bangsal harus terisi penuh, memaksa pembuatan batu bata berhenti untuk beberapa hari guna menunggu permukaan tanah kering, karena batu bata dalam keadaan basah akan menyerap air dan harus melakukan pengawasan saat proses pembakaran.

Iman, dengan segala upaya keras dan dedikasinya, tetap bersemangat untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Pekerjaan membuat batu bata mungkin tidak mudah, tetapi Iman tetap bertahan dan menjalaninya dengan tekun. Semoga perjuangan Pak Iman mendapatkan hasil yang baik bagi keluarganya dan dirinya, menjadi inspirasi banyak orang yang menghadapi tantangan serupa.

Penulis: Kusmawati

Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Kesepian Ditinggal Anak Berkeluarga, Pria Asal Konsel Ini Rela Mengais Sampah Demi Bertahan Hidup

Kendari, Objektif.id – Sandri (52) berawal dari kesepian karena tujuh anak kandungnya sudah berkeluarga. Memilih meninggalkan kampung halaman demi mengais rezeki di Ibu Kota Provinsi.

Awalnya pria asal Konawe Selatan ini mencari rupiah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Kecamatan Puuwatu, Kota Kendari, karena ajakan sanak saudara yang juga mengadu nasib di kawasan tersebut.

Dirinya mengaku, awal tinggal di kawasan itu, sempat merasa tidak nyaman, sebab kondisi lingkungan di kampung jauh berbeda dengan kondisi tempat tinggalnya saat ini.

“Hampir satu minggu saya muntah terus gara-gara saya injak muntahnya sapi,” ujarnya saat ditemui awak media objektif.id, Jumat (21/10/2023).

Di sebuah gubuk berdinding papan yang berdampingan dengan tumpukan sampah, Sandri mencoba bertahan hidup dengan segala keterbatasannya. Mengelola dan mengumpulkan ulang sampah bekas sudah menjadi aktivitas sehari-hari dan ini telah ia lakoni selama tujuh tahun lamanya.

Meski pekerjaan yang ditekuninya ini hanya mengolah dan mengumpulkan sampah bekas, penghasilan yang Sandri dapatkan pun tidak main-main.

“Saya berangkat pergi mencari sampah itu biasa mulai dari jam 6 pagi sampai malam, habis itu kita jual di pemasok sesuai dengan ukuran sampah dan Alhamdulillah penghasilan dalam seminggu bisa mencapai 2 juta rupiah,” pungkasnya.

Penulis: Kusmawati 

Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Desa Aunupe di Pedalaman Kecamatan Wolasi Jauh dari Hiruk Pikuk Keramaian Kota

Objektif.id – Suasana yang sejuk dan pemandangan yang indah, merupakan salah satu daya tarik desa ini. Terutama hamparan gunung dan perkebunan sayur, serta buah-buahannya. Salah satu yang terbilang cukup menarik adalah gunung dengan nama yang unik yaitu gunung mayat.

Sedikit seram dengan namanya, namun tak hanya sekedar nama bentuknya pun demikian menyerupai sosok manusia yang terbaring meninggal dunia, pemandangan ini akan terlihat jelas ketika berada di jalan Dusun I dan Dusun III Desa Aunupe.

Gunung ini memiliki goa yang di percayai oleh masyarakat Desa Aunupe. Dari cerita -cerita orang tua dahulu, bahwa dalam goa tersebut terdapat batu menyerupai kursi yang menjadi tempat peristirahatan dan tempat persembunyian Jendral Soeharto pada zaman dahulu.

Selain dari gunung yang begitu misterius di Desa Aunupe juga berisi hamparan kebun-kebun sayur yang menghijaukan Desa Aunupe. Terutama sayur sawi yang sangat melimpah menjadikan desa ini sebagai penyuplai sawi untuk Pasar Baruga Kota Kendari dan Pasar Ranomeeto Konsel hingga di jajakan ke Sulawesi Tengah (Morowali).

Bagaimana tidak, mayoritas penduduk Aunupe bekerja sebagai petani sayur dan buah-buahan. Bahkan dalam satu keluarga itu memiliki lokasi perkebunan sendiri yang terletak di sekitaran rumah maupun lokasi yang berbeda di dalam desa Aunupe.

Aunupe juga menjadi salah satu penghasil buah jeruk terbesar di Sulawesi Tenggara khususnya di Konawe Selatan dengan luas lokasi perkebunannya hingga 5 hektar. Dan masih banyak kebun jeruk lainnya yang tersebar di penjuru Desa Aunupe.

Selain alamnya yang kaya dan indah juga terdapat masyarakat yang luar biasa ramah yang di antaranya bersuku Jawa sebagai mayoritas serta Tolaki, Bugis dan Sunda yang hidup rukun saling berdampingan.

Tidak hanya itu, minat belajar generasi mudah pun sangat tinggi. Hal tersebut dilihat saat mahasiswa dari Kampus Institut Agama Islam Negeri Kendari yang sedang menjalankan program Kuliah Kerja Nyata di Desa Aunupe.

Anak-anak yang sangat antusias untuk belajar dan ingin mengetahui banyak hal, termasuk angka-angka dalam bahasa Arab, bahasa Inggris dan olahraga serta pengetahuan-pengetahuan baru yang diajarkan oleh mahasiswa asal Kampus Biru tersebut.

Penulis adalah mahasiswa aktif Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari.

Penulis: Alfi
Editor: Rizal Saputra

Kebijakan Marketplace Guru, Bagaimana Nasib Mahasiswa?

Objektif.id – Marketplace guru adalah sebuah konsep yang ditawarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk memenuhi kebutuhan guru di Indonesia.

Konsep ini bertujuan untuk membuat sebuah database atau pangkalan data yang berisi semua guru yang boleh mengajar dan bisa diakses oleh semua sekolah di Indonesia.

Dengan demikian, sekolah-sekolah dapat merekrut guru kapan saja sesuai dengan formasi yang ditentukan oleh pemerintah pusat, konsep ini diharapkan menjadi solusi permanen yang akan diimplementasikan pada tahun 2024.

Namun, konsep marketplace guru ini tidak lepas dari pro dan kontra, terutama bagi mahasiswa yang menempuh kuliah di jurusan pendidikan, yang memang akan disiapkan untuk menjadi seorang guru.

Hal tersebut juga ditanggapi oleh salah satu alumni Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) IAIN Kendari, Iwan Husein yang mengatakan bahwa sebelum pemerintah akan benar-benar menjalankan program ini, mereka juga harus memikirkan nasib mahasiswa jurusan pendidikan dan para guru yang berada di daerah tertinggal yang akan terdampak dengan adanya kebijakan ini.

“Saya pikir ketika program ini kemudian dijalankan pemerintah pusat harus memikirkan nasib mahasiswa yang baru lulus dijurusan pendidikan, dan guru guru yang dipelosok daerah 3T jaringan sangat sulit mereka dapatkan, otomatis mereka tidak akan terdata di sistem aplikasi tersebut,” katanya saat ditemui objektif.id.

Selain itu, dia juga mengatakan bahwa program ini bisa saja menurunkan wibawa dan marwah dari seorang guru yang seharusnya menjadi profesi yang mulia.

“Disisi lain wibawa guru dan kehormatan akan hilang, sebab guru akan berusaha mencari langganan sekolah mana yang akan kerjasama dengan guru, mestinya berharap guru ini dijaga kewibawaannya dan kehormatannya yang selama ini guru masih dipandang kelas terendah dalam staritifikasi sosial masyarakat Indonesia,” sambungnya.

Iwan Husein juga mengatakan bahwa program ini mendapat respon yang kurang baik dari masyarakat dikarenakan mereka menganggap bahwa dalam kebijakan ini, para guru diperlakukan seperti barang jual beli.

“Sebagian masyarakat menanggapi secara negatif dimana mereka menganggap dengan hadirnya kebijakan ini guru dianggap hampir sama dengan barang aplikasi atau bahan perjual belian,” tambahnya.

Di samping itu, salah satu alumni PGMI IAIN Kendari lainnya, Muhammad Fajar yang juga mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG) berpendapat bahwa kebijakan ini akan berdampak positif terhadap pihak sekolah, namun akan cukup menyulitkan untuk para guru honorer dan mahasiswa jurusan pendidikan yang baru lulus.

“Untuk pro akan lebih memudahkan para pemangku kepentingan sekolah untuk mencari SDM guru untuk mengisi formasi yang dibutuhkan. Untuk kontranya kemungkinan saja banyak guru honorer dan mahasiswa lulusan S1 yang belum bisa tercover untuk masuk dalam disistem marketplace karena di prioritaskan ialah PPPK dan mahasiswa PPG,” pungkasnya.

Reporter : Muh Iqbal Ramadhan
Editor: Redaksi

Kurangnya Kesadaran Masyarakat Terhadap Sampah

Objektif.id – Sampah merupakan masalah lingkungan yang cukup sulit ditangani, karena banyaknya masyarakat yang kurang sadar terhadap kebersihan. Banyaknya masyarakat kurang sadar membuang sampah sembarangan dapat mengakibatkan penumpukan di tempat pembuangan akhir (TPA) semakin hari semakin bertambah.

Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) melaporkan sampah yang masuk ke TPA rata-rata mencapai 700 ton perhari yang berada dari berbagai daerah, terkhusus kota Kendari mencapai 260 ton sampah perharinya.

Plastik sekali pakai, seperti kantong plastik untuk belanjaan, gelas, sedotan dan botol menjadi penyumbang terbesar kedua untuk sampah plastik. Hal ini merupakan bukti bahwa tingkat kesadaran masyarakat Indonesia tentang daur ulang dan dampak lingkungan dari plastik masih sangat rendah.

Pemerintah melakukan alternatif pengurangan sampah dengan menerapkan 4R, yaitu:

– Reduce atau mengurangi sampah
– Reuse atau memakai kembali barang yang tidak sekali pakai.
– Recycle yaitu mendaur ulang barang yang sudah tidak berguna
– Replace yaitu mengganti barang sekali pakai dengan barang tahan lama dan ramah lingkungan.

Sampah yang menumpuk akibat tidak diperhatikan dapat mengganggu keindahan alam. Selain itu, tumpukan sampah ini juga dapat memunculkan bau tak sedap hingga mengganggu kesehatan setiap masyarakat yang bermukim disekitar kawasan tumpukan sampah.

Sampah inipun akan banyak menimbulkan penyakit, untuk sampah yang banyak mengandung makanan busuk, sudah pasti merupakan sarang hidupnya bakteri, Sehingga sampah yang menumpuk di saat musim hujan akan menimbulkan wabah penyakit seperti muntaber atau diare, demam berdarah dan lain sebagainya.

Penulis: Nurwahyudillah
Editor: Redaksi

Tiga Bulan Menderita Luka Bakar, Bocah di Konsel Butuh Dana Pengobatan

Kendari, Objketif.id – Verol bocah berusia 8 tahun asal Desa Pudahoa, Kecamatan Mowila, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra) sudah tiga bulan menderita luka bakar di dekujur tubuhnya.

Verol yang menjalani perawatan selama tiga bulan namun belum sembuhan. Saat ini ia hanya bisa terbaring lemas di tempat tidurnya dengan kondisi badan dibaluti perban.

Verol kini tinggal bersama pengasuhnya, karena penghasilan orang tua tidak mampu membiayai pengobatan anaknya. Perlu diketahui orang tua Verol bernama Kasrudin dan ibunya bernama Weni yang kesehariannya sebagai petani.

I Putu Suardana yang merawat anak itu menjelaskan, kondisi anak tersebut sangat menghawatirkan. Sebab, setelah tiga bulan lamanya menderita luka bakar, hingga kini belum juga ada tanda-tanda kesembuhan.

Untuk itu, ia berharap kepada masyarakat dan pemerintah sekiranya bisa mendonasikan sebagian rezekinya untuk korban.

Dia juga mengaku, harus mengambil alih dalam perawatan anak itu. Sebab, kedua orang tua korban tidak mempunyai dana dalam  pengobatannya.

“Karena anak ini tidak di urus, terpaksa saya ambil alih karena dana mereka yang kurang mampu,” ujar anggota Polsek Mowila itu beberapa hari yang lalu.

Selain itu, kata dia, membantu anak tersebut atas inisiatif sendiri atas panggilan hati untuk merawat anak 8 tahun itu hingga penyembuhan. Tetapi karena dana yang tidak cukup untuk di bawa ke Rumah Sakit, terpaksa harus merawat korban di rumahnya saja.

“Saya hanya bisa bantu dengan semampu saya saja. Hanya bisa membelikan obat dan merawatnya di rumah saja,” imbuhnya.

Adapun kronologis hingga korban Verol mengalami luka bakar. Saat itu, Verol sedang bermain api bersama teman sebayanya menggunakan bensin yang berada di dalam botol. Saat api membesar kemudian botol yang dipengang oleh temannya ikut terbakar.

“Saat itu korban dan temannya berjumlah dua orang sedang bermain api. Kemudian api membesar, di saat itu teman Verol pegang bensin dan ikut sambaran api,” bebernya.

Dilanjutkannya, karena panik dan merasa kepanasan teman korban yang memegang botol itu langsung membuangnya ke pasir yang kebetulan ada VE (8) hingga mengenainya. Akibatnya anak tersebut mengalami luka bakar disekujur tubuhnya.

Laporan : Redaksi