Penulis: Hajar
Semarak momentum penyambutan Mahasiswa baru (Maba) diseantero kampus idealnya harus dilandasi dengan semangat pemberontakan terhadap pembebasan kebathilan melalui kesadaran nalar kritis. Oleh karena kampus adalah tempat bercokolnya pikiran ilmiah maka nafas perjuangan panjang ribuan pikiran yang berkembang di dalamnya tidak boleh disesaki pada apa yang lazim kita terminologikan “Larut kepada polarisasi konflik pragmatis serta tenggelam atas kejayaan masa lampau para pendahulu” yang acap kali dibangga-banggakan dalam ekspresi euforia semata, sementara itu ada teks sosial yang menuntut mahasiswa untuk sesegera mungkin Secara optimal menggagas ide besar yang futuristis dengan menanggalkan pelbagai hal yang cenderung bersifat epigon.
Mari sejenak Kembali kita review doktrin kaum materialis, bahwa manusia adalah hasil dari lingkungannya dan pendidikannya, dan karena itu manusia yang berubah adalah hasil dari lingkungan yang berbeda juga pola pendidikan yang di ubah, bahkan pendidiknya sendiri membutuhkan pendidikan (Karl Marx & Friedrich Engels). Artinya, mahasiswa dengan banyak metode memperoleh ilmu pengetahuan jangan hanya membebek saja oleh pola pendidikan para pendidik yang memang itu membuat kemunduran berfikir dalam mengembangkan potensi masing-masing individu. Hal demikian juga sangat gamblang ditegaskan oleh Soe Hoek Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau”.
Namun sangat mengesalkan apabila penjelasan yang begitu komprehensif yang mengantarkan kita pada peningkatan pikiran kritis dari beraneka literatur termasuk dua paragraf pengantar di atas gagal dipahami sebagian banyak mahasiswa terkhusus tokoh-tokoh kemahasiswaan itu sendiri. Kalau aku (penulis) tidak keliru Saban waktu ada semacam aliansi visioner (katanya) dalam momentum konstalasi politik kampus yang berorientasi terhadap kemajuan peradaban intelektual yang bermutu. Namun ditengah perjalanan, timbul kekacauan yang menyebabkan mereka-mereka yang terafiliasi dalam aliansi tersebut mulai kehilangan arah, sesat, bahkan semakin mundur bukan semakin maju untuk mencapai titik kulminasi yang telah disepakati dan yang ingin dicapai bersama.
Semestinya di situ (Aliansi) tumbuh spirit kuriositas yang progres bahwa hal-hal yang dilakukan itu harus betul-betul berdampak pada peningkatan taraf intelektual yang lebih maju. Tidak lagi kita bicara perihal yang itu-itu saja. Bagaimana mungkin kita ingin maju satu langkah dari yang lain? Sedangkan nalar kritis kita semakin kesini semakin tumpul. Mengapa semakin tumpul, tidak berkembang, pakem disitu-disitu terus? sebab kian hari yang dikritisi oleh mereka yang menjadi elit-elit lembaga politik kemahasiswaan kampus semakin tidak berkualitas Padahal sangat banyak hari ini isu-isu yang sejatinya lebih urgen untuk dinarasikan, dikritisi, dan diberikan solusi, ketimbang urusan receh full pencitraan yang sedang mereka kerjakan sekarang ini. Salah banyak anomali yang terjadi di kampus baru-baru ini Misalnya kasus perubahan nilai dari oknum mahasiswa tanpa persetujuan dosen pengampu mata kuliah, kemudian ada salah satu dekan fakultas yang menolak mahasiswa integ (pindah) ke fakultasnya yang dimana penolakan dekan tersebut bertentangan dengan regulasi yang diatur dalam pedoman akademik kampus, Inikan konyol sangat tidak profesional. Dasar orang-orang tolol yang mati nalar sehatnya.
Katanya cerdas, pemikir, bahkan sedikit lagi mungkin ingin menjadi tuhan yang ketetapannya adalah mutlak. Okelah, kalau indikator itu ingin diklaim tapi sadar diri sedikitlah, Jangan ngotot pujian terhadap sesuatu yang resultannya nol. sehingga yang merasa ditelanjangi melalui tulisan ini, sesekali tolong sampoi juga itu mulut dan sabuni gerak kepongahan diri supaya bersih dari bakteri yang menyebabkan kalian hoby omong kosong dan gerak bodoh. Minimal kalau berucap serta bertindak itu terukur dan tidak ditertawakan.
Pendalaman kebobrokan dari birokrasi kampus hingga ke lembaga politik kemahasiswaan bukan ihwal yang tabu lagi buat kita. karena ada kebanggaan yang tenang diantara bau keringat yang merebak kuat, seperti kesaksian tak sadar tentang banting tulang mereka untuk menyambung hidup dengan melakukan perbuatan menghilangkan harga dirinya sebagai manusia.
Jika di telisik lebih dalam ternyata birokrasi kampus juga kemungkinan hampir sama rusaknya dengan lembaga politik kemahasiswaan. Sekali lagi jika aku (penulis) keliru tolong diingatkan, Kalau tidak salah kemarin tersebar kabar tentang keadaan ingin berpindah dari institut menuju universitas dan hal itu bagaikan sangat di banggakan tapi rasa-rasanya kebanggaan tersebut didahului duluan dengan iklan pencitraan kampusnya yang sudah jalan namun keadaan yang diinginkan belum ada (terwujud).
Sedikit saran dari penulis untuk satu periode rektor, benahi dulu orang-orang yang menjadi anasir mulai dari rektorat hingga turun ke prodi tentang perbaikan karakter setiap pejabat struktural maupun dosen itu sendiri sebagai tenaga pendidik agar supaya tidak tercipta watak-watak penjilat terhadap pimpinan (bukan pemimpin) institusi birokrat kampus itu sendiri sehingga tercipta suasana saling menghargai antar sesama civitas akademika dalam menjalankan masing-masing peran secara profesional.
Kemudian saran juga terhadap kalian para pejabat lembaga kemahasiswaan (sema-dema) dengan segala rasa perlawanan tidak terhormat tolong mundur saja dari jabatanmu bila tidak mampu menjalankan amanah, apalagi telah melakukan perbuatan yang tidak mencerminkan diri sebagai seorang tokoh mahasiswa.
Mesti di garis bawahi bahwa Perlahan polemik di kampus akan mahasiswa dongkrak ke publik, apa yang dijelaskan ini hanya sebagian kecil saja dari banyak kasus yang terjadi. Tulisan ini hanya berfokus pada rusaknya pelayanan, profesionalitas birokrat kampus, dan oknum tokoh lembaga kemahasiswaan yang berbuat tindakan amoral. Masih banyak ruang-ruang pengikisan etis yang belum penulis sentuh. Nantikan ekspresi mahasiswa mulai dari gerakan melalui media hingga terjun langsung ke lapangan demonstrasi.
Note: kemunduran gerakan intelektual kampus kita beserta oknum mahasiswanya bukan lagi hanya sekedar asumsi melainkan telah menjadi fakta realitas.