Parpolma Tempat “Gembel-Gembel” Lembaga Kemahasiswaan Dikader

Objektif.id – Pengurus lembaga kemahasiswaan dewasa ini bukan menjadi role model kepemimpinan yang ideal. Banyaknya teman-teman mahasiswa yang bergabung kedalam lembaga kemahasiswaan hanya menumpang tenar dan menjadi aib buruk dari delegasi partai politik mahasiswa.

Minimnya wawasan berlembaga dan bobroknya dalam mengelola organisasi membuat lembaga kemahasiswaan hari ini menjadi prematur dan tidak terukur untuk mencapai kerja-kerja kelembagaan.

Banyak kasus yang secara fakta terjadi dalam kepengurusan bahwa nama-nama pengurus yang masuk dalam tingkat legislatif ataupun eksekutif hanya masuk menjadi anggota yang tidak tahu apa yang akan mereka perbuat dan mereka itu kita terminologikan sebagai “gembel-gembel lembaga kemahasiswaan,” orang-orang miskin. Ya, miskin ide.

Kasus-kasus semacam itu mestinya menjadi perhatian secara kolektif oleh semua pihak, terutama oleh para partai politik mahasiswa yang menjadi kendaraan dalam kontestasi pemilihan mahasiswa yang sekaligus juga sebagai organisasi perkaderan calon-calon pemimpin lembaga kemahasiswaan.

Mengapa ini menjadi penting, sebab dari tahun ke tahun anggota partai yang diusung masuk kedalam struktural kepengurusan hanya mengincar posisi ketua saja, bukan betul-betul untuk mewakafkan dirinya atas nama mahasiswa yang telah memberikan mereka mandat melaksanakan segala tugas dan tanggungjawabnya sebagai representasi mahasiswa yang terpilih melalui mekanisme pemilihan mahasiswa.

Parpolma tidak pernah melakukan pendidikan politik

Partai politik mahasiswa seharusnya lebih peka terhadap keadaan buruk yang terjadi dalam lembaga kemahasiswaan karena melalui partai nama yang menjadi pengurus masuk dalam lembaga kemahasiswaan baik dilegislatif maupun eksekutif. Banyak nama yang disorong partai dan secara fakta itu hanya memperlihatkan bagaimana lembaga kemahasiswaan meningkat secara kuantitatif padahal mereka dimaksudkan untuk menjadi pengurus yakni meningkatkan taraf kualitas lembaga dengan membawa masing-masing ideologi partainya. Namun, yang terjadi sangat berbanding terbalik dengan apa yang menjadi jualan narasi yang dibuat oleh partai.

Partai politik mahasiswa tidak pernah mengajarkan sejak dini kepada para kadernya bagaimana menjadi anggota lembaga kemahasiswaan yang secara moral tahu dia dikirim dalam kepengurusan lembaga ingin menjadi apa. Selain dari pada itu, partai lalai melakukan kaderisasi kepemimpinan yang baik dan benar, seharusnya partai memberikan edukasi politik bahwa seorang pemimpin tidak mesti harus menjadi pimpinan.

Legitimasi kepemimpinan kader partai seyogianya bukan diukur dalam perspektif ia menjadi ketua melainkan bagaimana semangat pembaharuan itu berlaku secara kontinyu saat pertama kali bergabung dalam lembaga sampai masa baktinya diberhentikan oleh aturan. Artinya meninggalkan _policy_ yang baik, ada gagasan yang relevan mengimbangi laju perkembangan zaman.

Masalah akut yang sering kita jumpai yaitu banyaknya kader partai masuk dalam kepengurusan hanya untuk ajang lomba memamerkan dirinya bahwa ia adalah pengurus lembaga kemahasiswaan dengan harapan mendapat baju pengurus, tindakan seperti inilah kemudian mempertegas adagium yang sedang populer yakni “biar bodoh yang penting bergaya.”

Parpolma tempat kebohongan diproduksi

Sikap kader partai dalam kepengurusan lembaga kemahasiswaan memberikan kita gambaran bagaimana mereka dikader melalui partainya. Karakter yang malas dan kebodohan yang diperlihatkan adalah bentuk nyata bagaimana partai melakukan kaderisasi politik. Partai sudah tidak punya rasa malu lagi terhadap ribuan mahasiswa yang mereka wakili, apa yang partai lakukan dari setiap masa menjelang pemilihan mahasiswa hanya berupaya melakukan pembohongan publik dan itu adalah bagian penghianatan moral sekaligus menghina nalar seluruh mahasiswa.

kita ketahui bersama tentang apa yang dijanjikan melalui narasi-narasi pencitraan saat menjelang hari-hari kampanye, semua partai berlomba memenangkan kebohongannya dengan cara memanipulasi seakan-akan mereka paling peduli terhadap lembaga kemahasiswaan tetapi ketika terpilih justru organisasi dibuat rusak.

Seharusnya partai yang berani mencelupkan dirinya dalam giat-giat politik maka dengan penuh kesadaran mesti mempertanggungjawabkan semua apa yang telah digagas, penyakit semua partai hanya siap menang namun tak siap kalah. Kalau semua kader yang didelegasikan kelembaga hanya mengejar posisi ketua terus kapan visi misi partainya dieksekusi? Karena kadernya hanya sibuk mengejar politik kuasa yang tidak mementingkan lagi kepentingan khalayak.

Padahal menurut Antonio Gramsci “politik tidak terbatas pada perjuangan mendapat kekuasaan, politik mencakup kehidupan manusia yang lebih luas. Ikut serta dalam politik berarti mengembangkan kemampuan berpikir dan bertindak yang berguna bagi diri sendiri, mengembangkan otonomi yang tidak didikte oleh kekuasaan semata.” Artinya bahwa apa yang kita yakini berguna bagi diri sendiri tentu itu harus menjadi kemaslahatan banyak orang, jangan nanti momen pemilihan baru semua partai muncul dengan gagah melakukan banyak kebohongan yang hanya menginginkan posisi ketua saja.

Mahasiswa rindu dengan lembaga kemahasiswaan yang didalamnya semua pengurus dari masing-masing delegasi partai itu saling bertengkar tentang banyak hal untuk kemajuan organisasi yang pastinya berorientasi menjaga amanah dan memperjuangkan seluruh aspirasi mahasiswa. Berhentilah partai mengirim delegasi yang bodoh, yang hanya mengandalkan kebesaran nama partainya saja.

Jangan hanya jago jualan jargon

Kini partai harus melakukan upaya transformasi pola perekrutan sampai pendistribusian kader yang betul-betul mengedepankan kepentingan dalam memperjuangkan visi misinya secara konkret. Partai jangan hanya hebat dalam melakukan promosi yang sifatnya klise, sangat miris keadaan partai-partai hari ini yang semuanya masih mengandalkan tipuan-tipuan melalui jargon dan tidak memperhatikan anggota partainya yang banyak melakukan kebobrokan saat menjadi pengurus lembaga kemahasiswaan.

Ada hal yang sangat menarik pernah dikatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa “manusia pada dasarnya bodoh, dan menjadi terpelajar melalui perolehan pengetahuan.” Dengan demikian, jika partai memang tempat untuk melakukan proses kaderisasi kepemimpinan maka didalam pasti terjadi transaksi ide. Tapi kalau yang dikirim partai adalah orang-orang yang tidak berkualitas artinya partai gagal menjadi organisasi pengorbit calon-calon pemimpin, yang ada partai menternak para gembel yang miskin akan gagasan.

Berapa banyak lagi jargon yang harus menjadi penunjang partai untuk membesarkan namanya? Sedang implementasi dari visi misi partai nonsens yang sekedar menjadi tumpukan kata-kata tidak bermakna. Semangat yang digaungkan juga tidak menunjukkan spirit pembaharuan dalam lembaga kemahasiswaan. Setiap tahunnya partai hanya menciptakan polarisasi dikalangan mahasiswa, pertarungan antar partai bukan pertarungan gagasan melainkan ide-ide manipulatif yang dijual gratis.

Slogan-slogan yang melekat pada semua partai hanya untuk membodohi mahasiswa, semakin kuat dipromosikan dan dibangga-banggakan maka semakin kuat partai mengingkari visi-misinya sendiri.

Semoga para parpolma lebih banyak lagi introspeksi agar mereka tahu kalau pendidikan terbaik adalah tindakan bukan kata-kata, kata Charlie Chaplin.

Selain dari pada itu, partai sepertinya tidak pernah membaca banyak literatur dan realitas yang terjadi dilingkup kampus sehingga mereka merasa sistem yang terbangun dalam partainya sudah sangat baik, padahal karena banyak mahasiswa yang mereka bisa tipu. Partai sudah saatnya berhenti membanggakan slogan ataupun jargon kedewaan yang busuk dan tolol itu. Mereka mesti melakukan kesiapan diri untuk melakukan keutamaan yang terbaik dalam segala hal, termasuk dalam hal politik, apapun konsekuensinya. Itulah arete, suatu hal yang diistilahkan oleh Plato.

Penulis: Harpan Pajar

Editor: Melvi Widya

Bawa Nama Kampus ke Tingkat Nasional, Mahiscita IAIN Kendari Tak Diberikan Suport

Diduga tidak mendapatkan sokongan dana dari kampus, empat anggota Unit Kegiatan Khusus (UKK) Mahasiswa Islam Pecinta Alam (Mahiscita) IAIN Kendari disinyalir nekat pinjam dana dari teman.

Kendari, Objektif.id – Mahasiswa Islam Pecinta Alam (Mahiscita) IAIN Kendari membawa nama kampus dalam mengikuti kegiatan nasional di Kota Surabaya sejak 24 September sampai 02 Oktober 2023. Ironinya, keberangkatan tersebut tidak disokong dana dari pihak birokrasi sehingga harus meminjam dana dari pihak luar kampus.

Badan Pendidikan dan Latihan (Badik) Mahiscita IAIN Kendari, Mr Syarif Hidayatullah menyebutkan nama-nama empat orang anggota Mahiscita yang mengikuti kegiatan Muktamar dan Kenal Medan (MKM) ke XI PTKIN se Indonesia, yakni Muh. Syahputra Hadrat, Abdul Rahman, Aldiansyah dan Irfan Kurniawan.

Syarif mengaku, empat anggota Mahiscita yang mengikuti kegiatan Muktamar Kenal Medan (MKM) ke XI PTKIN se Indonesia tersebut, berangkat menggunakan dana yang diperoleh dari rekan-rekan serta beberapa senior mereka. Hal itu dilakukan karna pihak birokrasi IAIN Kendari disinyalir tidak memberikan dana sepeserpun untuk keberangkatan mereka.

“Yang berangkat ini menggunakan dana pribadi, dan kreatifitasnya dari anggota,” kata Syarif kepada Objektif.id, Senin (25/9/23).

Lanjut Syarif, dirinya kecewa dengan sikap birokrasi kampus yang dinilai tidak mendukung keberangkatan empat anggota Mahiscita untuk mengikuti kegiatan nasional tersebut, padahal menurutnya mahasiswa yang dikirim itu hadir untuk mewakili nama IAIN Kendari dengan tujuan mengharumkan nama kampus.

Dia menambahkan, idealnya kampus semestinya mendukung setiap lembaga kemahasiswaan, baik itu UKM maupun UKK yang membawa nama kampus dalam setiap kegiatan-kegiatan regional maupun nasional.

“Kami dari pihak Mahiscita IAIN Kendari sangat merasa kurang terhadap anggaran yang telah di sediakan di kampus yakni dana dipa,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Rektor III IAIN Kendari, Fauziah membantah jika dana Dipa yang diberikan dari kampus tidak cukup. Sebab, Menurutnya dana yang diberikan kepada setiap lembaga kemahasiswaan internal kampus sudah maksimal.

“Informasinya tidak seperti itu, dana Dipa yang diberikan itu sudah maksimal,” bantah Fauziah.

 

Repoter : Siti Maharani
Editor: Wahyudin Wahid

Upaya Menciptakan Kepengurusan Kampus Yang Lebih Baik, SEMA dan DEMA IAIN Kendari Menggelar Dialog Publik

Kendari, Objektif.id – Senat Mahasiswa (SEMA) dan Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari menyelenggarakan kegiatan Dialog Publik yang digelar di depan gedung rektorat IAIN Kendari. Jum’at (21/7/2023).

Kegiatan tersebut diikuti oleh para mahasiswa dan pengurus lembaga di IAIN Kendari serta menghadirkan dua narasumber yakni Asman Budiman dan Ahmad Nur Cholis, dengan mengangkat tema “Clean and Good University Governance”.

Ketua DEMA IAIN Kendari, Ashabul Arkam mengatakan tujuan diangkatnya tema tersebut pada kegiatan ini adalah sebagai upaya untuk membantu Rektor dalam menentukan struktur akademik di IAIN Kendari agar bisa diisi oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya.

“Maksud kami untuk mengangkat tema ini adalah lembaga mahasiswa ingin berupaya membantu pimpinan tertinggi dalam hal ini Rektor baru IAIN Kendari dalam memilih dan mengisi struktur akademik IAIN kendari secara efektif. Artinya orang-orang yang diamanahkan sebagai sivitas akademik kampus adalah orang yang mempuyai rekam jejak yang beringritas dan memiliki etos kerja yang baik serta mampu berintegrasi dan beradaptasi kepada masyarakat mahasiswa,” Katanya.

Dia juga mengatakan tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk mempengaruhi serta menghadirkan pikiran kritis dari para mahasiswa IAIN Kendari.

“Adapun tujuan dari kegiatan dialog tersebut adalah merangsang dan menghadirkan kembali pikiran-pikiran mahasiswa yang sekian lama semakin memudar terutama dalam segi intelektual begitupun akademis,” sambungnya.

Ashabul Arkam berharap, dengan adanya kegiatan ini dapat menguatkan silaturahmi antara mahasiswa dan sivitas akademika IAIN Kendari serta dapat menjadi ruang yang baik untuk menyalurkan aspirasi para mahasiswa.

“Harapan saya selaku ketua DEMA dengan membuat kegiatan dialog publik ini agar kemudian silaturahim sesama mahasiswa dan sivitas akademik kampus terjalin dengan baik serta aspirasi mahasiswa yang selama ini tidak dapat di sampaikan secara langsung dapat terakomodir dan terselesaikan,” pungkasnya.

Reporter : Fitri
Editor: Melvi Widya

Ketua Di Atas Ketua?

Objektif.id – “Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati”. Ya, itulah kata seorang sastrawan terkemuka yang pernah dimiliki Indonesia bahkan dunia sekalipun. Sengaja aku dahului tulisan ini dengan kutipan kalimat eyang Pramoedya Ananta Toer, sebab secara sadar diharapkan agar supaya arah tanggung jawab mereka yang memiliki otoritas pada sebuah institusi tertentu memang harus penuh dengan penghayatan utuh atas ketulusan melaksanakan amanah, bukan kemudian penuh tipu daya disertai pencitraan yang dengan bangga masih berkoar-koar perihal semua kalangan mempunyai kesempatan yang sama dalam sistem demokrasi. Dasar omong kosong, apakah tuan-tuan ketua ini tidak malu? _Nda munafik ka begitu kanda?_ bicara di atas kaki sendiri tapi dalam pelukan orang lain.

Ironis jika pikiran itu terkungkung oleh pihak eksternal dengan kepicikan yang dijadikannya senjata utama, serta kedermawanan palsu yang menjadi tamengnya. Musti kita akui kepemimpinan hari ini sedari kampus telah begitu jauh – amat mundur dari segala tugas tanggung jawabnya sebagai manusia dan peran fungsinya mahasiswa. Dalam hal mengingatkan, kita akan menyeret para ketua lembaga kemahasiswaan disalah satu kampus dengan banyaknya anomali yang sengaja dibiarkan mengakar dan tumbuh berkembang secara terus-menerus. Ternyata isu perpanjangan jabatan serta penundaan pemilu bukan hanya terjadi di tingkat para elit negeri ini, yang implikasinya sampai merembet ke dalam kampus. Bahkan bukan hanya sekedar isu melainkan benar-benar terjadi.

Pengkajian melalui regulasi lembaga kemahasiswaan seyogyanya ada beberapa ketua lembaga yang dicopot dari jabatannya. Semisal salah satu contoh kasus ketika dari ketua-ketua yang menjabat telah hilang status kemahasiswaannya maka ia sudah harus diganti. Masih teramat banyak lagi masalah yang terjadi dalam kampus itu terkhusus ditataran lembaga kemahasiswaan politiknya.

Sejatinya para ketua lembaga kemahasiswaan di kampus tersebut baik yang berkasus maupun tidak sudah harus tergantikan lewat proses penyelenggaraan pemilihan umum mahasiswa. Disinilah letak kekeliruannya, sebab ketua lembaga tertinggi mahasiswa (katanya) belum melakukan pembentukan Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM). Jangankan proses pembentukannya, dibicarakan bersama teman-teman mahasiswa saja tidak. Dengan peristiwa semacam ini timbul pertanyaan apakah ada “ketua di atas ketua”? Pertanyaan itu muncul indikatornya sederhana, kalau memang ketua tertinggi lembaga kemahasiswaan mengapa tidak berani mengambil sikap. Wajar kalau didemo karena diragukan independensinya.

Jangan takut untuk melawan pada mereka yang mencoba mengintervensi kemerdekaan berpikir serta kesadaran nurani anda. Aku yakin, organisasi ataupun yang mendidik itu baik belum tentu yang didik akan menjadi baik apa lagi yang didikannya tidak baik.

Mengkhawatirkan apa bila pola kaderisasi masih terjebak pada dogmatisme senioritas dengan basis kebenaran mutlak, itu artinya bukan mengkader tapi menternak. _”Kita nda mau ka kanda tes rasa yang ada mango-mangonya? Masa mau rasa vanilla terus”._ Saat ini perlu upaya rekonstruksi metode selain dari yang sudah ada itu. Kaku, konservatif, cenderung mengkerdilkan. Ingat ucap Sutan Syahrir Tum ” Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis. Temporer dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa hanya akan terasa sakit, tersesat dan merusak pergerakan”.

Sampailah ke penghujung tulisan ini, saatnya mengistirahatkan tubuh dan semua yang sedang berkecamuk dalam kepala. Sebab perjuangan membutuhkan tenaga dan pikiran bukan wakanda dengan segala arahan-arahan kolonialismenya. Hati-hati semua bisa kena.

Penulis : Hajar
Editor: Redaksi