Anak Durhaka 

Objektif.id – Aku adalah anak kandung dari bapak dan ibu yang bernama Feodalisme dan Patriarki, bahagia telah dilahirkan sekaligus bangga karena terlahir sehat dengan akal yang tidak cacat, walaupun keluar dari hasil silahturahim kelamin yang busuk penuh pengekangan. Halo anak-anak durhaka lainnya, saatnya merayakan kebebasan.

Terdidik dalam keluarga yang pongah, membiasakan kita tumbuh dibesarkan oleh tekanan. Akan tetapi, hal itu menjadi anugerah dari Tuhan yang memberkati agar supaya tangguh menjadi anak durhaka yang terlatih membangkang pada kebengisan. Saatnya membiarkan yang sehat akal bertumbuh untuk sebarkan sabda-sabda perubahan.

Tidak seperti yang lain, yang rupanya penuh dengan pura-pura. Menjadi anak durhaka adalah kejujuran serta pilihan yang tepat untuk membongkar bias-bias kesucian, yang manipulatif diperankan juga dipertontonkan melalui kultur keluarga feodalisme dan patriarki kepada anak-anak yang tolol. Bayangkan saja, jika agama dan cinta dijadikan sebagai alat penjinak yang mencengkram pikiran-pikiran abstraksi dan imajinasi radikal manusia untuk berkembang. Kita bukan hewan ternak.

Berbeda dari anak durhaka, anak-anak yang tolol tanpa melakukan perlawanan mereka dibesarkan penuh tekanan serta pengekangan jiwa dan pikiran yang pilihan-pilihan kemerdekaannya dibunuh atas nama kebahagiaan, yang dimakamkan dalam kubur kematian akal dengan bernisan hina bertulis “anak pembebek”. Suka duka cita-cita anak tolol, yang terluka mati dibunuh oleh keluarga yang feodal dan patriarki. Jahat paling serius, meniadakan eksistensi manusia atas dasar cinta yang ramai dosa-dosa sepi doa-doa. Rasakan, Siapa suruh menjadi tolol.

Memilih durhaka di zaman yang angkuh dan dirawat oleh keluarga tak beradab, tentu itu adalah spirit untuk melakukan jihad menolak pembungkaman terhadap keadaan sekitar yang sesak dipenuhi dengan moral Hazard. Lebih mulia menjadi durhaka daripada merelakan diri kita terjajah oleh tradisi feodalisme dan patriarki masyarakat yang buruk. Watak-watak anak durhaka beda dengan anak tolol. Perlawanan terang-terangan anak durhaka itu tidak mungkin diasuransikan dengan sopan santun palsu pada mereka yang tolol.

Bahkan sebagai anak durhaka kita harus merayakan kematian orang tua itu dengan penuh kegembiraan, bahwa itu menandakan api perjuangan tidak boleh padam untuk membakar warisan-warisan amoral yang menjajah anak-anak tolol. Saksikanlah, anak durhaka tidak akan pernah berhenti untuk terus bergerak melakukan perlawanan terhadap kultur yang bukan memanusiakan manusia. Mundur sejengkal pun adalah bentuk penghianatan.

Problem terbesar pada banyak anak adalah ketidakmampuan berbicara terhadap suatu hal untuk melakukan penolakan, anak-anak tolol sendiri yang sejatinya memproduksi secara terus-menerus kebiasaan yang merugikan diri mereka. Lupa Kah kita, bahwa diberbagai tempat bagaimana feodalisme dan patriarki membodohi, memperbudak, serta membunuh generasi yang sedang bertumbuh. Sehingga buta hati dan pecundang kita jika tidak berani durhaka, melawan kokohnya kezaliman yang berseliweran dimana-mana.

Anak durhaka menjerumuskan diri dalam pergolakan perlawan adalah demi kepentingan peradabannya, bahwa ada keharusan melakukan upaya konstruktif menentang kesewenang-wenangan sebuah sistem sosial yang terkontruksi secara rapi sedang menghina akal sehat banyak manusia. Menderita dan terpuruk kata Fahrudin Fais, adalah sikap melecehkan tuhan sebab manusia diciptakan untuk bahagia. Stop menjadi tolol.

Jika mayoritas dari kita mengungkapkan bahwa tidak masalah menjadi tolol yang terpenting masih bisa hidup. kalau seperti demikian, apa bedanya kita dengan binatang? Tidak ingatkah kalian bahwa revolusi bangsa kita di perjuangkan diatas dasar prinsip-prinsip yang amat diwarnai patriotisme. Haruskah harga yang di bayar oleh banyak orang atas ketidakpedulian anak tolol pada urusan publik, adalah dipimpin oleh orang jahat? Prinsip harus tetap ada. Jika salah dan keluar dari jalur kemanusiaan, maka bentuk perlawanan mesti kita gaungkan.

Kita tidak ingin seperti masyarakat yang dimaksud Goerge Orwell melalui karya termasyhurnya 1984, yang merupakan satire tajam tentang luluhnya kehidupan, yang didalamnya setiap gerak warga dipelajari, setiap kata yang terucap disadap, dan setiap pemikiran dikendalikan. Dengan demikian, jika tidak ada yang menjadi anak durhaka untuk melawan maka kita hanya akan memperpanjang barisan kebodohan.

Bahwa dalam dunia yang penuh dusta, berbicara jujur dan bersikap menentang adalah langkah patriotik anak durhaka agar tidak menjadi tolol seperti anak-anak yang lain. Anak durhaka ikhlas dibenci tetapi menolak kebodohan memperbudak kehidupan. Apa jeleknya jadi durhaka? Daripada jadi anak tolol? Kalau kata Soe Hoek Gie, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Nilaimu tak lantas buruk, saat hidup orang tolol lebih baik. Feodalisme dan patriarki selalu nya berjanji membangun kebahagiaan, meski tidak ada cinta di sana.

Saatnya bekerja sama, yang tolol hanya perlu menggenggam tangan, memejamkan mata, dan percaya kalau anak durhaka bisa menyelamatkan dia dari peliknya dunia. Tanpa malu-malu, kita harus berani mengatakan bahwa mungkin feodalisme dan patriarki lolos dari siksaan sejarah. Akan tetapi yakinlah, dosa-dosa itu tidak lepas dari murka Tuhan. Seperti yang diungkapkan Muhammad Iqbal, Jika dunia tak selaras denganmu, bangkit dan tantang dia. Jangan canggung dihadapan dunia. Meskipun di dunia hari ini yang tua tak bisa menjadi bijak dan teladan, melainkan bersifat kekanak-kanakan, kalaupun tidak kekanak-kanakan pasti ingin di Tuhan Kan. Seperti itulah feodalisme dan patriarki bekerja. Bajingan.

Penulis: Hajar

Editor: Melvi Widya

Buku “Membunuh Hantu-Hantu Patriarki” Pandangan Feminisme Yang Independen

Objektif.id – “Membunuh Hantu-Hantu Patriarki” karya Dea Safira adalah sebuah publikasi yang menghadirkan pandangan unik dan menggambarkan sebuah perjalanan pribadi Dea Safira dalam menghadapi dan menghancurkan hantu-hantu patriarki. Sebagai seorang pemuda feminis dan aktivis sosial yang mengalami berbagai kesulitan dan ketakutan akibat norma patriarki yang dominan di masyarakat.

Dalam bukunya, Dea Safira memperlihatkan bagaimana hantu-hantu patriarki mempengaruhi dan menggantungkan wanita dalam masyarakat, seperti norma kecantikan, perkara seksual, dan peran sebagai ibu dan suami. Melalui aktivisme, pendidikan dan pengembangan diri, Dea Safira memaparkan perjuangannya melawan hantu-hantu patriarki tersebut.

Buku ini adalah sebuah karya yang menghadirkan pandangan feminis dan mencerminkan pemikiran Dea Safira tentang perempuan, politik, dan keluarga. Dea Safira menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya wajib menerima norma patriarki, tetapi juga memiliki kuasa untuk menghancurkannya dan membentuk identitas yang lebih independen.

Pandangan Dea Safira tentang hantu-hantu patriarki membuka ruang pertanyaan mengenai sistem politik dan keluarga yang dominan di Indonesia. Buku ini menggambarkan bagaimana norma kecantikan dan masalah seksual, yang seringkali dikendalikan oleh politisi dan pemimpin religius dapat mempengaruhi dan menggantungkan perempuan dalam masyarakat.

Dea Safira juga menunjukkan bagaimana aktivisme feminis dapat menjadi solusi untuk melawan hantu-hantu patriarki di Indonesia. “Membunuh Hantu-Hantu Patriarki” bukan hanya sekedar penyampaian cerita, tetapi juga menjadi pemicu untuk pembaca agar lebih memahami dan melawan hantu-hantu patriarki di Indonesia, serta menghadirkan pandangan feminis yang lebih independen dan berani.

Penulis: Melvi Widya

Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan