Penyelenggara Pemilu Tak Paham Aturan, Lalu Kemana Masyarakat Harus Mencari Tahu Terkait Regulasi?

Objektif.id – Pemilihan umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali mulai dari pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Kab/Kota di seluruh wilayah Indonesia. Yang mana, rakyat diberi hak memilih siapa yang lebih layak untuk menahkodai negara ini, dan pada hari ini rakyat pun telah menyelesaikan pesta demokrasi tersebut dengan berbagai dinamika yang telah terjadi di dalamnya.

Penyelenggara pemilu merupakan lembaga yang di beri kewenangan untuk mengatur jalannya pemilu. Jika merujuk pada UU No.7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum (Pemilu) menjelaskan bahwa Penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu terbagi atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Pada narasi singkat ini, penulis hanya akan menitik beratkan sedikit pandangan terkait pemilihan yang diadakan di Desa Laea, Kecamatan Poleang Selatan, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara terkhusus di TPS 001. Terdapat informasi dari salah satu masyarakat Desa Laea tentang adanya masyarakat berdomisili dari Kabupaten Kolaka telah melakukan pencoblosan 5 kertas suara di Desa Laea. Akibat kelalaian dari KPPS dan kurangnya pengetahuan terkait regulasi yang ada tentunya akan melahirkan asumsi publik bahwa di TPS 001 Desa Laea ada indikasi kecurangan. Di tambah lagi telah masuknya laporan dari salah satu masyarakat Desa Laea ke Panwascam pada tanggal 19 Februari 2024 akan tetapi ditolak karena bukti yang diberikan masih berupa file sementara, sementara Panwascam sendiri ingin bukti yang telah di print-out. 

Dari kasus seperti di atas, penulis memandang bahwa Panwascam pun tak paham tentang aturan yang bahkan telah dijelaskan UU ITE pada pasal 5 ayat 1 yang mengatur bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Dari kasus ini pun kita dapat bebas berasumsi bahwa panwascam seolah-olah menunda-nunda laporan hingga akhir batas PSU yaitu 10 hari setelah pemilihan.

Pada hari Selasa tanggal 20 Februari 2024, Pelapor kembali ke sekretariat untuk melanjutkan laporan yang sempat tertunda dan laporan pun diterima dan pelapor menunggu hasil kajian dari Panwascam. Namun, sampai pada tanggal 23 Februari 2024 belum ada kejelasan dari Panwascam, sehingga pelapor berinisiatif ke sekretariat Panwascam untuk meminta kejelasan terkait laporan tersebut.

Akan tetapi, tanggapan dari Panwascam bahwa kasus yang terjadi saat ini merupakan kasus baru, membuat mereka kesulitan mencari pasal yang mengatur terkait laporan tersebut dan akhirnya laporannya dibawa ke Bawaslu Kabupaten tak lupa pula pelapor membawa bukti pendukung dengan harapan laporan itu di proses secepatnya. Akan tetapi, hingga tanggal 24 Februari 2024 pihak Bawaslu tak memberikan kejelasan terkait laporan tersebut.

Dari kasus di atas, lagi dan lagi kita dapat berasumsi bebas bahwa dari pihak Panwascam dan juga Bawaslu seakan-akan menunda laporan dari pelapor hingga akhir batas waktu PSU dengan alasan kesulitan mencari pasal terkait kasus tersebut.

Penulis juga berasumsi bahwa dari pihak penyelenggara tidak ada yang paham akan aturan karena sudah jelas telah diatur dalam UU No.7 Tahun 2017 pada Pasal 372 poin 2 yang berbunyi “Pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pengawasan terbukti terdapat pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan.”

Sedangkan, bukti yang telah dilampirkan oleh pelapor bahwa terlapor terdaftar sebagai pemilih tetap di Kecamatan Tahoa, Kabupaten Kolaka dan tidak terdaftar sebagai pemilih tetap Kecamatan Poleang Selatan, Desa Laea.

Berangkat dari adagium hukum “Ignorantia excusator non juris sed facti” (ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat di maafkan tetapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum). Jika dari pihak penyelenggara saja tak paham akan hukum lantas apakah masyarakat yang tak tahu hukum dapat dipermasalahkan seperti bunyi adagium hukum di atas?

Seharusnya pihak penyelenggara lah yang memberikan edukasi kepada masyarakat terkait aturan. Namun, fenomena hari ini justru pihak penyelenggara pun seakan tak paham, lalu kemana masyarakat harus mencari tahu?

COGITATIONIS POENAM NEMO PATITUR
(Seseorang tidak dapat di hukum karena apa yang dipikirkannya).

 

Penulis: Ni
Editor: Melvi Widya