Ikhlas

Objektif.id –

Bagaimana kau bisa ku raih
Sedang hatimu digenggam erat olehnya.

Bagaimana kau bisa memandangku
Sedang pandanganmu dituju padanya.

Bagaimana ku mau mendoakanmu
Sedang Tuhanku dan tuhanmu berbeda.

Lima tahun bukan waktu yang mudah.
Untuk Tumbuh bersama dalam satu lingkungan
melewati suka duka bersama,
Merajut cinta menepis kesedihan.

Tetapi aku tersadar…
Benteng kita teramat besar
Jarak kita terlalu jauh berbeda,
Aku sudah tak mampu menggapaimu.

Apalagi Mengangan-angankanmu,
Aku sudah tak sanggup.
Aku malu pada tuhanku dan tuhanmu.
Jika hanya karena cinta ini,
Aku harus merebutmu.

“You my first love”
Hingga kata-kata itu menjadi penutup pertemuanku denganmu,
Walau jejak yang terpisah masih menempel dibenakku.

Aku ikhlas,,,
Dan selalu mencintaimu..

Buton Utara, 11 April 2023

 

Penulis: Rani
Editor: Melvi Widya

Pergi Atau Menetap?

Objektif.id

Pergi, bukanlah jalan satu-satunya.
Tetapi, menetap hanyalah luka.
Bukankah itu percuma?

Kau dan senja begitu identik,
Kemunculan Mu sangat indah mempesona.
Membuatku terlena, terhipnotis…
Bahkan, nyaris mati atas debar yang kau cipta.

Kini kau telah bersemayam didasar lembah yang kosong.
Menjadi lukisan, mutiara, emas…
Bahkan, kau telah ku nobatkan menjadi tropi.
Lantaran aku semakin jauh kedalam engkau…

Tetapi, kini senja seakan benci dirinya,
Ia terburu-buru meninggalkan Jingga.
Menuju bintang yang hanya sebuah fatamorgana.

Katanya,,,
Ia ingin mencari bulan.
Lewat keheningan jumantara.
Katanya,,
Ia lebih senang menjadi malam.
Dari pada senja yang hanya sementara.

Aku tahu!
Walau namamu selalu tersemat dalam doa,
Ragamu yang selalu ku sanjung.
Bahkan, semua perjuanganku
Bagimu, mungkin itu tak ada gunanya

Aku tahu!
Aku terlalu biasa di matamu,
Aku bagaikan benalu.

Dan aku tahu!
Aku tak pantas bersanding denganmu,
Yang selalu dipuja dan dikagumi.

Buton Utara, 4 February 2024

 

Penulis: Ran
Editor: Melvi Widya

Hujan

Objektif.id

Jikalau hanya soal basah,
mengapa harus ada kenangan?

Lima puluh lima hari setelah pertemuan itu
Dan kau, masih tergambar jelas.

Dibawah hujan lebat itu, kau dan aku menciptakan sebuah istana.
Sambil meramu kata dengan begitu indah,
Meletakan hati disebuah angan.

hingga,,,
tercipta sebuah gambaran nan indah.
Menjelma menjadi harap.

Sekali lagi, telah ku sematkan rasa ini.
Dengan sebuah janji yang telah ku ikrarkan.
Mungkin ini terlihat ambigu?

Aku tahu!
Kau datang padaku lewat rintik. sore yang tiba-tiba memberontak,
Rintik yang tiada lain, hanya mengantar senja dan malam dalam waktu bersamaan.

Aku tak pernah menyalahkan siapapun!
Juga menyesalinya…
Aku hanya menyayangkannya,
Saat tiba-tiba angin meliuk tajam ke rongga pori-pori
Memutus urat tangan, kaki dan bahkan nyaris hatiku.

Hah…
Baru juga rintik,
Tetapi guntur juga petir sudah datang saja.
Menyayat perih menegur jiwaku, untuk segera melangkah dan pergi.

Bau-bau, 3 February 2024

 

Penulis: Ran
Editor: Melvi Widya

Pendapat Rasa 

Objektif.id

Siapa yang lebih angkuh dari pujangga yang menolak tunduk terhadap cinta?

Dirimu, yang belum sadar bahwa kesendirian adalah kesombongan yang nyata, karena beranggapan semua bisa diselesaikan tanpa melibatkan elemen lain.

Apakah benar semua asmara berawal dari hubungan yang tidak mesra?

Mengapa kita tidak berhenti dari huru-hara perasaan, kemudian menyusun batu bata rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah.

Ibarat lukisan, dirimu indah dipandang dari sudut manapun.

Aku selalu ingin memandang mu berulang kali.

Tapi sayang, aku berhenti sebab ada satu sudut dimana aku tak ada dalam pandanganmu.

Kita adalah dua orang yang baik, yang mungkin belum cocok.

Namun yang pasti, tujuan cinta harus bahagia bagaimanapun jalannya, termasuk menikah ataupun berpisah.

Rumit tapi aku mencintaimu.

Kisah kita itu seperti mawar, memiliki keindahan sekaligus bisa menimbulkan luka.

Diantara banyak hari untuk menjelajah, Kemana rindumu hari ini mengarah?

Bahkan jika rindumu tak menemukan arah pada diriku, maka izinkan hamba yang penuh dosa ini abadi menjelajah dalam kenanganmu.

Panjang umur ketulusan.

 

Penulis: Hajar

Editor: Melvi Widya

Katamu, Kita Abadi

Ingin kudedah aksara dalam puisimu itu, agar aku tahu adakah diksi nirmala yang lainnya.

“Katamu, Kita Abadi”

Ingin kusudahi puisi cinta darimu, ingin sekali rasanya…

Ingin kuhentikan pikiranku tentang dirimu, tentang isi di kepalaku yang terus-menerus menghantuiku

Ingin kumelupa, sampai aku tak tahu apa arti puisi cinta darimu itu

Lalu aku pun lupa bahwa ada diksi nirmala itu untukku

Katamu, kita abadi, tak lekang oleh waktu seperti penyair-penyair puisi lainnya juga seperti puisi Eyang Sapardi yang katanya, kita abadi

Namun, kenyataannya kita hanyalah temu yang bersemu dalam peluh

Yang kenyataannya, kita hanyalah sepasang jiwa yang rengkuh dalam dekap yang memburu namun, saling acuh

Kenyataan ini begitu angkara

Tapi, bukankah itu lebih baik?

Ingin kudedah aksara dalam puisimu itu, agar aku tahu adakah diksi nirmala yang lainnya

Atau adakah yang lebih dari puisi eyang Sapardi yang katanya kita abadi?

Adakah yang lebih dari itu?

Agar aku menitik di tiap bait puisi cinta darimu

Agar kuhentikan duka nestapa ini di destinasi adiwarna berbau angkara

Lalu menepi, menghilang tanpa jejak dan kebebasanku atas bayang-bayang dirimu tak sekadar sebuah diksi.

Penulis: Elf
Editor: Redaksi