Perempuan dan Keresahan Sosial

Oleh: Novia Arnila Damayanti

Ini hanya sebuah tulisan yang muncul dari keresahan pikiran dan berkecamuk di ruang rasa yang saya sebut perasaan.  Tulisan ini saya harap dapat merekontruksi kembali pemikiran pembaca, terutama yang bergerak dalam ranah perjuangan, aksi demontrasi maupun hal lainnya. Tetapi ini hanya menyangkut sebuah “ketulusan”.  

Saya hanya menyampaikan sebuah ketidak sukaan terhadap manusia yang bersifat hewani tak terkendalikan, dengan sebuah dalih perjuangan tetapi dengan tega memanfaatkan  orang lain demi kepentingan dirinya sendiri. Sebenarnya itu masalah dia,  tetapi ini akan berhimbas kepada generasi selanjutnya atau kaderisasi selanjutnya. Yang dengan dalih berjuang bersama melakukan konsolidasi massa dan memanfaatkan mereka, demi kepentingan individual atau kelompoknya sendiri.

Persoalan aksi massa atau massa aksi itu sendiri yang berjuang turun dijalanan dengan panas-panasan disertai kelaparan dengan dalih memperjuangkan, baik itu aspirasi rakyat maupun lainnya. ketika diperhadapkan dengan manusia yang bersifat hewani tak terkendalikan akan dengan mudah mengambil kesempatan dalam aksi itu.  Ketika seperti ini terus-menerus aksi yang dibangun hari ini, akan menimbulkan persepsi orang, bahwa  aksi atau perjuangan tersebut  dapat  dengan mudah untuk  dibeli dan orang tersebut dapat dengan mudah dikendalikan.

Mahasiswa  atau pemuda yang dengan perannya sebagai  agent of change, social control,  dan iron stock yang pada subtansinya adalah menjadi manusia yang bermanfaat.

Rosulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”

(HR. Ahmad, ath- Thabrani, ad- Dauqutni. Hadist yang dihasankan oleh al- Albani di dalam shahihul jami’ no:3289).

Pemuda, sadarilah bahwa di pundakmu masa depan bangsa dipertaruhkan. Karena, pemuda memiliki keistimewaan sendiri. Baik dari segi keberanian, semangat, kecerdasan, maupun dari kekuatan jasmaninya.

Pepatah arab  mengatakan: “syubhanul yaom, rijalul ghod” artinya bahwa pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.

Sekarang permasalahannya adalah bagaimana mau mendapatkan seorang pemimpin yang baik dan mempunyai kapabilitas serta akhlak yang mulia, jikalau setiap tindak tanduknya adalah kepentingan pribadi atau kelompoknya saja, yang expertisenya atau keahliannya yaitu cari uang.

Kembali ke pokok pembahasan, sebenarnya ini hanya sebuah keresahan yang timbul dari gerakan mahasiswa atau  pemuda hari ini yang dengan tega menjual sebuah gerakan masa aksi dengan berdalih gerakan yang di bangun atas dasar  ketulusan  dalam berjuang.

“Tiadakah mereka mengembara di muka bumi sehingga mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka mengerti, dan mempunyai telinga yang dengan itu  mereka mendengar? Sungguh bukanlah matanya yang buta, tetapi yang buta ialah hatinya, yang ada dalam rongga dadanya. Qs Al-Hajj ( 22:46).

Ini adalah pukulan sebuah surah ke 22: 46 yang pada umumnya, hati mereka telah buta. Dengan pandainya mereka mengolah kata, dengan lantangnya mereka teriakkan keadilan, Padahal  diri mereka tidak lain  adalah   sebagai penjilat yang pada hari ini, sedang mengusai megaphone.

Apakah sudah tidak ada lagi sosok seperti  Mahatma Gandhi,  Nelson Mandela atau kita tengok ke Indonesia ada sosok Munir Said Thalib yang sampai akhir hayatnya betul-betul tulus dalam memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pejuang-pejuang tulus lainnya yang dengan ketulusan dalam berjuang?

Saya yakin masih “ADA”. tetapi sayangnya mereka hanya minoritas yang termarginalkan. saya berharap akan lahir sosok-sosok pejuang lainnya yang benar-benar tulus dalam berjuang. Baik itu menyampaikan aspirasi rakyat,  berjuang untuk kepentingan rakyat atapun mengawal pemerintahan.

Note:

Novia Arnila Damayanti adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah.       

Anotasi Kecil Sang Demonstran

(Merdeka. Foto: Istimewah)

Penulis : PH

Dengan hati yang masih rusuh dan luka yang masih mengaga, akankah mahasiswa mematung oleh hegemoni kekuasaan yang mencoba memotong lidah penyambung rakyat? Kemana slogan perjuanganmu? Kemana gerakan kemanusiaan yang kau tanam di sudut-sudut jalanan? Apakah kau lupa bahwa gerakan yang kau tanam harus tumbuh subur dengan gagasan yang dikemas melalui simbol-simbol perlawanan dalam menggulung tirani-tirani kekuasaan! Jangan engkau lalai akan sumpah mahasiswamu kawan.

Baca Juga: Akhirnya Kuliah Offline
Baca Juga: Dicari!!! Hilangnya Presma IAIN Kendari

Mahasiswa mesti berdiri di garda terdepan, dengan anotasi bukan sebagai kaum komprador tetapi sebagai pejuang ploletar. Sudilah kiranya agar mahasiswa tak mengagungkan kekuasaan. Dimanapun ada mulia dan jahat, ada malaikat dan iblis, ada malaikat bermuka iblis, ada iblis bermuka malaikat. Seperti itulah wajah kekuasaan. Satu yang penting, bahwa kekuasaan memiliki segala instrumen negara yang sewaktu-waktu siap untuk melakukan tindakan kriminalitas yang lebih ekstrem. Kalau mahasiswa mengetahui sudah akan keiblisan kekuasaan, ia dibenarkan berbuat apa saja terhadapnya, kecuali bersekutu.

Apakah kau takut kawan? Tentu tidak, sebab ijtihad tertinggi dalam memperjuangkan suatu kebenaran adalah kematian! Bahwa apa yang kemudian dikatakan Soe Hoek Gie dalam buku catatan seorang demonstran “kebenaran cuman ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu”. Olehnya itu, jangan pernah ada ketakutan atas kematian karena keabadian kebenaran yang sesungguhnya sedang diperjuangkan tak lama lagi akan kita gapai.

Dalam negara demokrasi setiap individu dijamin kebebasannya untuk berkumpul, berserikat, menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, tentunya tidak ada ketakutan terhadap diri kita. Apa yang mesti di takutkankan sih? Bahwa sangat jelas tidak hanya dalam konstitusi kita dilegitimasi memberikan interupsi kelaliman, bahkan alampun merestui perlawanan kita terhadap tirani kekuasaan.

Mahasiswa harus pandai membaca bahasa tubuh kekuasaan. Kekuasaan merayakan hak-hak kebebasan tetapi kekuasaan sendiri yang merobek-robek, mencabut akar hak kebebasan itu. Kekuasaan memuji demokrasi tapi kekuasaan juga yang memotong lidah seseorang yang berani menyatakan pendapat. Itulah kekuasaan, penakut dan arogansi.

Reinkarnasi para penghianat negeri yang gugur kini telah mekar dan masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Hanya pada kebenaranlah masih kita harapkan. Mahasiswa jangan tergiur dengan rayuan-rayuan, senyum kemunafikan kekuasaan sebab potensi sederhana lahirnya suatu pembungkaman terletak di balik sebuah senyuman.

Mahasiswa harus mampu menghidupkan kembali gerakan ekstra parlementernya yang keras dan bebal terhadap kekuasaan otoritarian sebab rakyat hari ini sedang dirundung krisis multidimensional. Idealis gerakan mahasiswa yang mesti dibangun bukan gerakan politik yang berorientasi terhadap kekuasaan. Namun, orientasi sejati ialah terciptanya nilai-nilai ideal kebenaran, keadilan, humanisme, profesionalitas, dan intelektualitas dalam seluruh aspek pengelolaan negara.

Sebuah istilah mempesona yang selama ini disematkan kepada gerakan mahasiswa. Mempesona karena berbicara tentang moral, berbicara tentang suara hati yang senantiasa merefleksikan kebenaran universal, menolak segala bentuk pelanggaran HAM, penindasan, kesewenang-wenangan, kedzaliman, dan otoritarianisme kekuasaan. Suara hati inilah yang memberi energi konstan dan kontinyu bagi pergerakan mahasiswa. Ya, kekuatan moral adalah kekuatan abadi yang takkan pernah mati selama masih ada manusia yang jujur dengan nuraninya.

Dulu di dalam mitologi Yunani ada seorang dewa yang paling filantropis, pelayan umat manusia sekaligus figur bagi mereka yang sakit akibat penderitaan. Berangkat dari peristiwa tersebut hari ini banyak yang memegang kekuasaan dan seolah-olah ingin mendeskripsikan diri mereka seperti dewa padahal sejatinya mereka adalah hama.

Kau, mahasiswa paling banyak harus selalu berteriak. Tahu kau mengapa di juluki sebagai penyambung lidah rakyat? Karena kau selalu tahu apa yang dibutuhkan, dirasakan, diderita, oleh rakyat. Suara perlawananmu atas tirani kekuasaan takkan pernah padam ditelan zaman, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.

Kekuasaan tidak pernah serius mengatasi konflik, baik konflik horizontal ataupun konflik vertikal yang melebar luas dengan berbagai problematika setiap harinya. Sehingga itulah, yang menafasi gerak perjuangan mahasiswa dalam membongkar kebusukan kekuasaan yang bersembunyi di balik kebhinekaan.

Mahasiswa harus mampu berfikir kritis dan bergerak secara holistic. Jangan sampai gerakan mahasiswa disusupi oleh kepentingan elit politik. Jika hal tersebut, terjadi maka nawa cita dan citra mahasiswa akan rusak dihadapan publik. Tidak sedikit mahasiswa yang gopoh gapah meminta bahkan cenderung mengemis terhadap birokrasi supaya akomodasi isi dapurnya selalu tersedia. Sebagai upaya prefentif, Mahasiswa harus menahan diri agar tidak tersugesti dengan giuran-giuran para elit kekuasaan yang mencoba menggiring mahasiswa masuk kedalam pusaran perbudakan penguasa yang mengakibatkan terbelenggunya analisis berfikir mahasiswa.

Mahasiswa harus tetap pada porosnya untuk menjadi lokomotif perjalanan kaum ploletar menuju kesejahteraan. Secara eksplisit, masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT tidak akan pernah terwujud ketika pelaku intelektualnya mengalami disintegrasi gagasan dalam memetakan berbagai ketimpangan sosial yang terjadi. Tak berhenti sampai di situ, mahasiswa tak patut jika mengganggap diri hanya sebagai fasilitator dalam  mendistribusikan gagasan. Lebih dari pada itu mahasiswa harus bisa menjadi pabrik kaderisasi yang bermutu agar tidak putusnya regenerasi pejuang kaum ploletar yang idealis.

Jalan sunyi perjuangan mahasiswa kelak mesti menjadi momentum azamat untuk memberi sinyal perlawanan terhadap angkara murka sang penguasa. Dalam pergerakannya mahasiswa harus lebih progresif lagi dari pergerakan yang sudah-sudah.

Mahasiswa akan terklaim sebagai penghianat rakyat apabila orientasi gerakannya ke arah yang pragmatis dan materialistis. Zaman sekarang kan, banyak mahasiswa selangkangan yang berteriak-teriak atas nama rakyat, tetapi secara paralel juga menghilangkan esensi perjuangan semboyan itu untuk mencari makan terhadap kekuasaan.

Mahasiswa bukan anak muda yang segar tubuhnya tapi mati pikirannya. Mahasiswa harus mampu mengambil resiko, melakukan gebrakan baru dengan penuh keberanian. Melawan segala aktivitas kekuasaan yang selalu mencoba menjerumuskan rakyat ke dalam jurang penderitaan. Terlalu sempit kalau mahasiswa hanya dikonotasikan dalam ruang – ruang perkuliahan saja yang tahunya hanya kuliah, tugas, kos, kampus, tempat foto copy, menghapal nama – nama dosen. Mahasiswa tidak boleh semu dan lupa akan jati dirinya.

Jika aktivitas mahasiswa seperti itu, mau jadi apa kamu sebagai mahasiswa? Agen of change atau agen of kacung? Pengacara, untuk mempertahankan hukum kaum kaya yang secara inheren tidak adil? Guru, untuk mengajar anak-anak kaum kaya, dan melupakan mereka yang tidak bisa bersekolah? Dokter, memberikan resep pola makan teratur dan bergizi terhadap kaum kaya sampai melupakan anak negeri yang terlunta-lunta mengemis di jalanan demi sesuap nasi? Arsitek, untuk membuat rumah nyaman bagi kaum kaya yang memangsa dan merampas tanah para petani sehingga mereka tinggal dan hidup di jalanan? Sekali lagi, sebagai mahasiswa kamu mau jadi apa kalau kerja mu hanya kuliah, tugas, kos, kampus? Perhatikan sekelilingmu dan periksa nuranimu!

Bersekutu dan bekerja sama dengan kaum tertindas untuk menghancurkan sistem yang kejam ini adalah tugas prioritas seorang mahasiswa.

Note : Penulis adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari dan Salah satu kader HMI komisariat Al – Ghazali

Sultra Darurat HAM! Mahasiswa IAIN Kendari Inginkan 26 September Jadi Hari Nasional

(Suasana demonstrasi di pelataran Kampus IAIN )

Reporter : Renaldi
Editor : Rizal Saputra

Kendari, PerskampusBiru.com – Peringati tewasnya Yusuf dan Randi 26 September 2019 silam, Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari yang tergabung dalam Koalisi Mahasiwa Melawan (Kawan)  gelar aksi damai dengan berbagai tuntutan, Senin (27/9/2021).

Demonstrasi yang digelar Koalisi Mahasiswa Melawan (Kawan) tersebut, dilakukan di pelantaran Gedung Terpadu IAIN Kendari hingga menuju ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra).

Koordinator Lapangan (Korlap) Abdan dalam orasinya menyampaikan beberapa tuntutan yaitu: Pertama, Mendesak polda untuk segera menguak  siapa dalang dari pembunuhan tersebut. Kedua, kami menuntut kepada bapak DPR bahwa tanggal 26 September ini harus menjadi peringatan nasional yang setara dengan matinya munir. Ketiga, Polda dan Polri harus menjaga kaptimnas dalam mengawal demokrasi.

Di tempat yang sama Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Al-Gazali, Iwan Husain mengatakan, tujuan dari gerakan yang kami bagun hari ini menuntut keadilan atas wafatnya saudara kami Yusuf dan Randi, yang sampai hari ini belun ada kejelasan.

“hari ini, kita memperingati hari tertembaknya Yusuf dan Randy itu adalah matinya keadilan di negeri ini.  Maka yg kami lakukan gerakan ini bukan hanya untuk sekedar berteriak tapi untuk menuntut keadilan sampai hari ini siapakah dalang pembunuhan 26 september,” kata Iwan, senin (27/9/2021).

Menurutnya, Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tenggara hari ini darurat akan Hak Asasi Manusia sebap kebebasan berpendapat  didalam Republik Indonesia itu tidak di jamin lagi dalam UUD.

“Penegak hukum sejatinya polisi itu adalah mereka  yang harus menegakkan UU yang senantiasa mengawal kebebasan berpendapat. Tapi realitas hari ini, mereka selalu membubarkan masa aksi bahkan pada 26 september hari ini, kita memperingati hari tertembaknya Yusuf dan Randy itu adalah matinya keadilan di negeri ini,” ungkapnya.

Senada dengan hal itu, Wakil Presma IAIN Kendari Hendra Setiawan menilai Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) sebagai penegak hukum sudah lalai dalam menjalankan tugasnya.

“Aksi ini, Sebagaimana mestinya kita menginginkan hak dan keadilan yaitu  untuk teman-teman, Kapolda Sultra karena seperti kita lihat tidak melakukan sebagaimana tugasnya,” ujarnya.

Diakhir Korlap berharap, mahasiswa jangan bersikap masa bodoh terhadap persoalan gerakan yang kami bagun hari ini.

“Harapan saya kepada mahasiswa hari ini, jangan terlalu bersifat apatis ketika ada pergerakan-pergerakan, apa lagi pergerakan yang kami bangun adalah aksi moral aksi kemanusiaan karena pada dasarnya IAIN selalu berada dibagian depan ketika ada masalah-masalah diluar kampus.” Tutupnya.

UKM Seni IAIN Kendari Gelar Malam Sejuta Seni

Reporter : Andika

Editor : Elfirawati 

Kendari, PersKampusBiru.com – Upaya meningkatkan kreativitas anggota, Unit Kegiatan Mahasiswa Seni (UKM-Seni) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari menggelar Malam Sejuta Seni di Gedung PKM lantai II  IAIN Kendari. Sabtu, (25/9/2021).

Baca Juga: Berkarya Dengan Bahagia Ala Seniman Kampus

Kegiatan yang berlangsung pada pukul 20.00 WITA tersebut dengan bangga menampilkan sebanyak empat jenis pentasan di antaranya; teater, musik,  tari dan religi.

Ketua Umum UKM-Seni IAIN Kendari,  Masalin mengatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan agenda rutinitas yang dilaksanakan selama dua minggu satu kali.

“Kegiatan ini merupakan program kerja UKM seni,” ucap Misalin.

Baca Juga: UKM-Pers Gelar Diskusi Film Dokumenter

Lanjut Misalin, malam sejuta seni ini iyalah implementasi dari latihan-latihan dari anggota UKM-Seni itu sendiri.

“Sebagai bentuk implementasi hasil karya dari teman semua. Jadi, apa- apa yang dipelajari, dilatihankan dan malam ini dipentaskan, ” lanjutnya.

Diakhir mahasiswa semester akhir ini, memyampaikan kegiatan Malam Sejuta Seni ini akan kami laksanakan dua minggu sekali.

“Selama untuk kedepannya tidak ada kegiatan besar di UKM-Seni ini, maka Malam Sejuta Seni ini akan kami lakukan dua minggu satu kali” tutupnya

Perlu diketahui bahwa penonton kegiatan tersebut tidak dibatasi akan tetapi, tetap menerapkan protokol kesehatan.

 

Stop!!! Fobia Gondrong

(Istimewa)

Penulis : PH

Hari ini, kita bebas menyampaikan pendapat dan menentukan pilihan sendiri serta tidak boleh diintervensi sekenanya saja oleh orang lain. Selama itu kita tidak merugikan orang lain maka mereka tidak mempunyai hak untuk memaksa kita dalam merubah penampilan sesuai dengan keinginan mereka.

Menjadi mahasiswa merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi siapapun yang beruntung melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dan memiliki spesialisasi di bidang ilmu tertentu. Menjadi mahasiswa merupakan salah satu fase terpenting dalam hidup seseorang. Sebab, dunia kampus melatih mahasiswa bagaimana bertanggung jawab atas dirinya sendiri, dalam berproses, bagaimana orientasi belajarnya dan lain sebagainya. Tanpa harus didikte dengan gundukan tata tertib artifisial yang memaksa hidup mahasiswa layaknya kawanan ternak yang harus selalu digiring oleh gembala yang dinamai sebagai dosen.

Mahasiswa sudah patut bebas mengatur dirinya sendiri, mahasiswa harus otonom sebagai individu. Otonomi ini kemudian diartikan dalam banyak hal salah satunya dengan gaya rambut, sesuai dengan bagaimana mahasiswa itu ingin dilihat atau bagaimana eksistensi yang ingin ia citrakan terhadap khalayak ramai.

Kampus tidak mesti alergi kepada mahasiswa yang berambut gondrong dengan menggeneralisasi  segudang interpretasi historis yang buruk. Mahasiswa terkadang merasa lucu dan mengganggap kolot pikiran oknum dosen yang selalu membangun stigma negatif terhadap mahasiswa yang berambut gondrong dalam proses belajar – mengajar di ruang perkuliahan.

Jika dalam kasus seperti itu maka urgensitas pertanyaannya apakah rambut gondrong mengganggu proses perkuliahan? Apakah mahasiswa yang berambut gondrong tidak beretika? Sampaikan kepada dosenmu cika, bahwa persoalan etika itu persoalan sikap, perilaku, tindakan, bukan persoalan penampilan. Banyak kok, oknum yang berambut rapi tetapi perilakunya seperti binatang. coba tengok para pejabat korup, rapih – rapihkan rambut dan penampilannya, bahkan ada juga oknum dosen yang melegalkan perilaku biadabnya dengan menjadikan penampilan sebagai senjata untuk melancarkan aksi pikiran cabul seksualitas hinanya terhadap mahasiswi. Itukan kurangajar, bangsat, goblok, kotor, rusak!

Stop stereotip bahwa gondrong itu jahat! Mestinya orang – orang yang hidup di zaman generasi milenial hari ini tidak lagi berkutat dan pakem bersama pikiran Tempo Doeloe. Tetapi kita harus lebih terbuka serta selalu mau mencoba menerima perbedaan. Dalam buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer ia mengatakan bahwa “seorang pelajar harus juga berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Olehnya itu, hargai saja apa yang kemudian tidak menjadi integral pemikiran kita sendiri.

Rambut gondrong sendiri memiliki dinamika yang cukup panjang di Indonesia dalam kaitannya dengan aspek sosio – kultural dari masa pra kolonial, masa kolonial, orde lama, dan orde baru.

Pra Kolonial dan Masa Kolonial

Dimasa pra kolonial rambut gondrong dimaknai sebagai simbol kekuatan dan kewibawaan dalam banyak kerajaan Nusantara, sebelum akhirnya pengaruh Islam dan kebudayaan barat masuk di Indonesia membawa trend kultural baru yang berangkat dari konstruksi gender dengan memposisikan rambut sebagai penanda seksualitas seseorang. Bahwa laki – laki harus diasosiasikan dengan rambut pendek dan rapih sementara perempuan dengan rambut panjang, meskipun kenyataannya pada saat itu belum ditaati banyak orang. Selain peci dan penampilan rapih rambut gondrong pernah menjadi identitas pemuda dalam perjuangan revolusi Indonesia mulai dari zaman Jepang hinggga masa – masa revolusi fisik, para pejuang identik dengan rambut gondrong dan seragam militer. Orang – orang Belanda yang sudah terbiasa dengan rambut rapih dan dandanan parlente seperti kebanyakan orang Eropa saat itu, merasa gerah akan determinasi pejuang dengan kode fisik rambut gondrong, seragam militer dan pistol di pinggang. Kemudian melabeli pejuang berambut gondrong ini dengan label “ekstremis”.

Salah satu saksi hidup, Francisca C. Fanggidaej mempunyai deskripsi yang menarik akan hal itu. “Kota Yogya mendidih dari semangat dan tekad pemuda. Lantangan suara merdeka menggelegar di ruang udara kota. Sudut – sudut jalanan dikuasai pemuda, kebanyakan berambut gondrong. Mereka bersenjatakan pistol, senapan, brengun sampai Kelewang panjang Jepang dan sudah tentu bambu runcing. Kepala mereka diikat dengan kain merah. Yah, semangat juang, simbol perjuangan, perlawanan, rasa romantisme dan kecenderungan kaum pemuda untuk berlagak dengan tekad pantang mundur, merdeka atau mati yang terpancar melalui mata merah dan wajah yang memanas”. Demikian tulis Francisca C. Fanggidaej.

Walaupun rambut gondrong pernah menjadi simbol militansi pemuda revolusioner tapi pada akhirnya mereka di cap “kontra revolusioner” oleh Soekarno di masa orde lama.

Orde Lama dan Orde Baru

Saat romantisme zaman sedang berjuang melawan imperialisme barat. Gondrong menjadi mainstream gaya rambut yang di bawa oleh the Beatles dan budaya hippies. Budaya hippies pertama kali muncul di Amerika Serikat pertengahan 1960-an. Budaya hippies adalah gerakan counter – culture yang sebenarnya gerakan ini lahir sebagai antitesis dari manuver politik Amerika Serikat saat itu. Kaum hippies menilai bahwa generasi sebelumnya telah terlalu jauh dari alam mereka berasal. Menurut mereka (kaum hippies) manusia modern telah dibutakan dengan obsesi penaklukkan dan peperangan. Kemudian kaum hippies dianggap sebagai gerakan “kiri baru”. Olehnya itu, di zaman orde lama kaum hippies di cap kontra revolusioner oleh Soekarno karena dianggap sebagai gerakan kiri baru.

Ketika Orde Lama tumbang dan digantikan oleh kepemimpinan Soeharto, pro – kontra rambut gondrong masih terus berlanjut perdebatannya. Pada masa tahun 1960 – 1970 an muncul sebuah stigma yang mengatakan bahwa rambut gondrong merupakan cerminan para pelaku kriminalitas. Hal ini Bukan lagi persoalan remeh temeh bahkan, isu ini telah menjadi isu nasional. Lalu apa sebenarnya trigger dari ketakutan masa pemerintahan orde baru terhadap mereka yang berambut gondrong?

Dalam buku “Dilarang Gondrong” Karya Aria Wiratma Yudhistira. Praktik kekuasaan orde baru terhadap anak muda di awal 1970-an mengungkapkan, bahwa pemicu ketakutan orde baru berawal dari budaya hippies di Amerika Serikat. Di masa orde baru gondrong kemudian diasosiasikan sebagai aktivis bebal yang tidak bisa diatur. Pemerintahan orde baru memiliki kekhawatiran bahwa demam hippies mulai melanda Indonesia, kemudian berdalih bahwa rambut gondrong tidak sesuai dengan semangat pembangunan. Fobia terhadap gondrong kemudian terlihat sangat jelas ketika pemerintah membentuk Bakoperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong).

Membaca historis panjang terkait rambut gondrong, seharusnya menjadi bahan diskursus kita dalam menilai orang-orang ataupun mahasiswa yang berambut gondrong. Karena kultur gondrong sudah mengalami peralihan, yang awalnya adalah bentuk perlawanan terhadap budaya obsesi penaklukkan dan peperangan di Amerika Serikat. Kini, gondrong hanya dijadikan mode berpenampilan saja, tidak ada yang perlu di khawatirkan. Karena, ketika kita masih bercokol dengan doktrin negatif  di masa lalu terkait dengan rambut gondrong, artinya kita adalah orang – orang yang belum bisa menerima kreativitas pembaharuan kaum muda, menutup diri untuk menerima perbedaan penampilan orang lain.

Biarkan saja mahasiswa berekspresi sesuai dengan kemauan dalam menampilkan penampilannya Yang mereka anggap estetik. Dengan catatan tidak melakukan gerakan anarkisme dan kriminalitas. Dosen jangan terlalu kaku melihat penampilan mahasiswa yang gondrong, apalagi sampai memarjinalkan mahasiswa gondrong sebagai pelaku kriminal. Stop tipu-tipu! Stop diskriminasi mahasiswa gondrong!

Tidak peduli seberapa dekat kesewenangan-wenangan dosen dan kampus dalam membangun asumsi negatif terhadap mahasiswa gondrong. Itu tidak penting! Sebab mahasiswa tidak akan pernah selaluh patuh dan tunduk seperti budak. Walaupun yang kuat dengan kesewenang-wenangannya akan menelan yang lemah. Tapi sekali lagi itu tidak penting! Selama pikiran kritis dan daya analisa mahasiswa masih kuat tidak ada yang perlu di risauhkan. Perlawanan mahasiswa itu besar, bagaimana kalau sekaligus kuat? Bahaya kalian tuan-tuan dosen! Hati-hati! Perlakuan serta persepsi sesuka hati dosen sudah jadi kenyataan. Namun, pembantaian mahasiswa dalam menggulung tikar-tikar kelaliman dosen juga busa jadi kenyataan. Waspadalah tuan!

Note :
Penulis adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari dan salah satu kader HMI komisariat Al-Ghazali. 

Marak Parkir Liar di luar kampus, SPI IAIN Kendari Himbau Mahasiswa Tertib

 

(Puluhan kendaraan roda dua parkir liar area luar kampus, Foto : Slamet Fadillah)

Reporter : Slamet Fadillah

Editor : Elfira Wati

Kendari, perskampusbiru.com – Dampak ditutupnya gerbang di samping masjid Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari mengakibatkan banyak mahasiswa memarkirkan kendaraan di area luar kampus atau terjadi parkir liar pada rabu, (22/9/2021).

Menanggapi hal tersebut Kepala Satuan Pengawas Internal (SPI) IAIN Kendari, Aliwar S.Ag, M.Pd. mengatakan bahwa hal tersebut bisa mengganggu lalu lintas.

“Saya kira parkir di luar pagar IAIN itu pastinya bisa mengganggu tertibnya lalu lintas, dan itu perlu penataan,” kata Aliwar Saat dihubungi via telepon.

Dia juga mengatakan, bahwa jika mahasiswa yang memarkirkan kendaraannya di luar area IAIN Kendari tidak mendapatkan jaminan keamanan dari kampus.

“Apabila parkir itu terjadi di dalam wilayah kampus tentunya sudah menjadi tanggung jawab pihak keamanan untuk menertibkan, tapi kalo itu terjadi di luar wilayah kampus, tentunya bukan tanggung jawab kami,” sambungnya.

Terakhir Aliwar menghimbau, untuk para mahasiswa agar tidak memarkirkan kendaraannya di luar kampus.

“Dihimbau kepada para mahasiswa untuk tidak memarkirkan kendaraannya di luar kampus karena kami tidak bisa menjamin keamanan kendaraan mereka.” Tutupnya.

AKHIRNYA KULIAH OFFLINE

Penulis : Tumming

  Cerita ini terjadi pada pertengahan tahun 2021. Saat perkuliahan semester genap telah usai. Masa yang dinantikan oleh hampir semua mahasiswa, dimana mereka bisa bersantai sejenak refreshing atau bahkan sekedar meluangkan lebih banyak waktu untuk bersenda gurau dengan keluarga tanpa terganggu oleh notifikasi kuliah online yang memenuhi notifbar smathphone mereka setiap harinya.

 Perkuliahan online telah berlangsung selama tiga semester, diberlakukan sejak masuknya COVID-19 ke Indonesia pada awal maret 2020 sampai dengan  juni 2021, hingga pada pertengahan 2020, lahirlah sebuah generasi baru yang sering kita sebut dengan generasi online. Dan ya… aku salah satu di antara ribuan mahasiswa generasi online itu.

Sebelum aku bercerita lebih jauh, alangkah lebih baiknya jika terlebih dalulu aku menceritakan sedikit tentang diriku.

1.  aku

Namaku Sharon kerap disapa Al. Teman sebayaku di kampung memanggilku Tullu. Aku tak tau artinya apa, tapi kata mereka, rasanya lebih akrab jika memanggilku dengan nama itu. Saat ini aku sedang melanjutkan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari. mengambil program studi Hukum Perdata Islam (HPI) Fakultas Syariah. Aku sering dicap berandalan oleh masyarakat sekitar karena rambut gondrongku. Tapi terlepas dari itu, setidaknya aku terbebas dari tagihan tukang parkir pasar karena melihatku berambut gondrong dan itu merupakan satu kebanggaan tersendiri bagiku.

 Aku berasal dari salah satu kota yang jaraknya cukup jauh dari kota Kendari, tempatku kuliah saat ini. kira kira sekitar 18 jam jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor. cukup melelahkan dan menjadi alasan jika ditanya mengapa aku tak pulang kampung. Aku anak pertama dari tiga bersaudara dan yang paling cantik dirumahku adalah ibuku. 

Ya… aku tak memiliki adik perempuan. Karena itu, aku sangat penasaran bagaimana rasanya memiliki adik perempuan.  kerap kali, hal itu aku jadikan sebagai bahan candaan untuk sekedar mencairkan suasana saat berkumpul dengan keluarga. suatu hari, saat sedang menyaksikan acara Talk Shaw di salah satu stasiun televisi, aku berkata kepada ibuku bahwa aku ingin mepunyai adik perempuan.

“bu’ kita bikin mi lagi adik perempuan supaya ada yang saingi kecantikanta di rumah.”
“ha ha ha,”  ibuku tertawa mendengar apa yang baru saja aku ucapkan.
“itu adami dita.” Lanjut ibuku.

Dita adalah anak perempun dari sahabat ibuku, yang memang sejak kecil sering tinggal bersama keluargaku. Karena itu Dita sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh ibuku.

“beda toh, maksudku saya adik kandungku begitu ee.”
“ko menikah mi pale supaya ada yang saingi kecantikanku, ha ha ha.”
“kalau sudah yang begini, kadang saja sa suka diam.” kataku.

Ayahku seorang manager di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang persediaan bahan makanan pokok,  yaitu beras. Jadi, bisa dibilang ayahku adalah seorang petani dan ibuku seorang koki di rumahku he he he.

Mungkin lebih lengkapnya akan saya ceritakan pada kesempatan yang lain.

2. Generasi online

Aku memilih untuk tidak mudik pada libur kali ini, karena beberapa pertimbangan. Aku menghabiskan masa liburku dengan bekerja di salah satu bengkel motor yang berada di sekitar kampus untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. jika ada uang lebih, akan aku tabung untuk persiapan membeli kuota dan membayar UKT semester depan, yang harus dibayar full meskipun tak pernah menikmati fasilitas kampus sama sekali.

Malam itu, ditemani segelas kopi dan sebatang rokok surya, aku sedang berdiskusi  dengan diriku sendiri. banyak pertanyaan yang terlintas di benakku. Tentang apakah aku adalah mahasiswa yang lahir secara online dan selesai secara online pula? Apakah pemberian nilai masih bergantung pada siapa yang mampu membeli paket data setiap bulannya? Apakah aku tidak  bisa merasakan bagaimana menjadi mahasiswa yang mahasiswa? Tentang bagaimana kemudian aku bisa fight dimasa aku sebagai mahasiswa dan banyak pertanyaan yang bahkan tak bisa terjawab oleh diriku sendiri. Kuputuskan untuk memendam semua pertanyaan yang sempat terlintas dalam fikiranku dan beranjak untuk tidur.

3. Akhirnya kuliah offline

Hari ini adalah hari spesial untukku. Karena, untuk pertama kalinya sebagai mahasiswa generasi online, akhirnya dapat merasakan perkuliahan offline atau tatap muka, dan mungkin hal yang sama juga dirasakan oleh puluhan, ratusan, bahkan ribuan mahasiswa yang menyandang gelar “Mahasiswa Generasi Online” dari sabang Sabang sampai Merauke. Kabar kuliah offline diumumkan saat setelah pembayaran uang semester, yaitu sekitar bulan agustus 2021. Susana sekitar kampus pun mulai ramai dan disambut bahagia oleh mereka yang memiliki usaha rumah kost dan kontrakan.

Bilik Kamar Flamboyan, 07.00 wita.

“Tok….tok…tok…” Seperti biasa aku dibangunkan oleh merdunya nada dering alarm juga suara ketukan dan sedikit teriakan dari balik dinding pemisah kamar kost yang terbuat dari papan triplek.

“sharon…sharooon…,”
“ko bangun mi, sudah capek mi kasihan itu alarmmu da kasih bangun kau,” teriak Rahmi.

Rahmi adalah tetangga kost sekaligus ketua tingkatku di kelas. Si cewek berparas cantik peranakan Turki yang setiap awal bulan berubah menjadi nenek lampir untuk menagih uang listrik bulanan kepada setiap penghuni kost. aku sering memanggilnya ibu ami. karena,  Bisa dibilang dia adalah tangan kanan dari ibu pemilik kosan. Meskipun begitu, dia masih tetap menjadi nenek lampir tercantik dengan kedua lesung pipinya yang tak begitu sering ia tunjukkan.

“astaga sa terlambat mi,” kataku panik.
“dari tadi pi itu alarmmu da bunyi hanya ko tidak dengar.”
“sa dengar ji, hanya barupi jam 04.30 tadi, jadi sa tidur kembali.”
“pembenaran lagi”. kata rahmi kemudian

 Aku langsung beranjak dari tempat tidur dengan perasaan panik dan langsung menuju ke kamar mandi untuk melakukan ritual MACET (Mandi Cepat). Disamping karena aku harus berada di kelas pada pukul 07.30 pada mata kuliah Fiqh Mawaris, juga karena aku tidak ingin membuat kesan buruk pada awal kuliah offline ini. Setelah mandi  dan berpakaian, tak lupa aku menyeduh segelas kopi hitam khas toraja dan menghisap sebatang rokok. kemudian aku langsung bergegas ke kampus setelahnya.

Saat aku keluar kamar, aku berpapasan dengan rahmi yang juga akan menuju ke kampus.  

“pagi ibu ami,”
“sa kira ko sudah di kampus mi dari tadi”. sapaku
“hmmmm,”
“sudah lihat mi disini, berarti belum dikampus.” tegasnya.

 Seperti biasa rahmi masih saja menyembunyikan senyumannya yang manis dibalik sikap judesnya itu. sebenarnya, rahmi itu orangnya care. Hanya saja, sikapnya yang judes itu terkadang membuat orang yang baru mengenalnya mempunyai penafsiran yang lain tentang dirinya.

“mau sa antar ke kampus kah.” Aku memberi tawaran dan terlihat rahmi sedikit menaikkan alisnya. pertanda bahwa dia mengiyakan ajakanku.
“eh tunggu dulu,” cegahnya yang terlihat kebingungan
“kita mo naik apa mi katanya ini,” lanjut rahmi sambil melihat sekeliling, mencari kendaraan yang akan aku gunakan untuk mengantarnya ke kampus. sebenarnya ajakanku untuk mengantar rahmi ke kampus hanya sekedar basa basi saja.
“naik sepatu mi sja dulu ibu, sa punya mobil pi baru kita naik mobil,” gurauku kepada rahmi yang membuat moodya sedikit berkurang pagi ini.
“sinimi pale!.. sudah mau terlambat mi juga”.

Kami berdua pun menuju ke kampus dengan berjalan kaki karena jarak kosan kami tidak jauh dari kampus, kurang lebih memakan waktu 10 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. sepanjang perjalanan rahmi hanya terfokus ke handphonnya dan terlihat sedang asik membalas chat dari seseorang sambil sedikit tersenyum.

“Ami, ko masih pacaran kah sama pacarmu yang itu hari.” tanyaku pada rahmi untuk mengalihkan perhatian.

pertanyaan ini sudah sering kali aku tanyakan kepadanya untuk sekedar menjadi bahan gurauan. Rahmi terlihat sedikit risih dengan pertanyaan yang sudah sering kali aku tanyakan kepadanya.

“iya,”
“kenapa ko tanyakan itu terus kah, sa tidak akan putus ji sama dia.”  Jawab Rahmi
“sudah beberapa kali sa bertanya, barupi kali ini ko mau jawab. Berarti nda lama mi korang putus itu, hehehe.”

Rahmi hanya terdiam mendengar perkataanku dan melanjutkan perjalanan. Keadaan menjadi canggung, aku enggan mengeluarkan kata kata setelah pertanyaanku itu dan Rahmi kembali fokus ke handphone yang ia pegang. Mungkin ia ingin memberi tahu kepada pacarnya bahwa ada orang bodoh yang mengatakan bahwa mereka akan segera putus.

Tak terasa kami telah sampai di gerbang kampus. Rahmi langsung menuju ruangan perkuliahan tanpa menyadari bahwa aku tak mengikutinya dari belakang. Aku berjalan perlahan sambil memperhatikan pemandangan yang aku saksikan saat ini. suatu hal baru, yang mungkin akan menjadi jawaban dari semua pertanyaan pertanyaan yang sejak lama terlintas dalam fikiranku. Dimana, yang dipisahkan oleh kuliah online bisa kembali bertemu dan saling mengadu ibu jari dalam sebuah sentuhan kedua telapak tangan mereka seiring terucapnya kata “bagaimana kabar saudara.” kemudian seorang teman yang lain berkata “bagaimana mi tanganmu pas habis jatuh dari pohon mangga di belakang Syariah itu hari.” kemudian mereka pun tertawa lepas bak seorang yang tak memiliki beban dalam hidupnya, saat mereka menceritakan kejadian dimasa sebelum adanya kuliah online. Perhatianku pun tertuju kepada  mereka yang terlahir secara online bisa saling bertemu dan saling mengenal satu sama lain. Namun, perhatianku teralihkan saat seorang perempuan menepuk pundakku dari belakang.

“kak,”
“Fakultas Syariah dimana.” Tanya wanita itu kepadaku.
“disana.” Kataku sambil menunjuk ke arah sudut kanan bagian timur gedung terpadu yang diatasnya terdapat tulisan Fakultas Syariah.
“kalau mau beli almamater dimana.” Lanjutnya.
“kita masuk di Rektorat kemudian belok kanan,”
“kamu semester berapa.” tanyaku.
“semester Tiga kak”. jawab wanita itu.

Singkatnya, ia adalah Sindi teman kelasku yang bahkan tak mengenaliku sama sekali setelah dia melewati dua semester kuliah online dengannku. yang mengagetkannya lagi bahwa, hari ini adalah kali pertama ia menginjakkan kakinya di kampus ini. hal itu membuatku terdiam dan berfikir “berarti sampai saat ini, mungkin masih ada mahasiswa yang belum pernah melihat kampusnya sama sekali”.

“Sharoon…” teriakan kecil dari seseorang yang memanggilku. ternyata itu Rahmi yang sedang berjalan kearahku. mungkin karena ia telah menyadari bahwa aku tak mengikutinya dari belakang.
“sa bicara sama kau dari tadi, ternyata ko tidak ada di belakangku,”
“sudah mulai mi kuliahnya.” Lanjut rahmi.
“begitu kah, masih diizinkan ji kah masuk ini.”
“kita tes mi saja dulu.”
“sinimi sindi,” kataku sambil melihat ke arah sindi.
“nanti selesai mata kuliah baru ko beli almamater, kita ke fakultas mi dulu.”
“ko temani pale saya sebentar nah.”
“oke mi.”

Kami bertiga pun berjalan menuju ruangan perkuliahan GT SYAR 303 yang berada di lantai tiga Fakultas Syariah. Ternyata betul kata Rahmi, bahwa seorang dosen telah berada di ruangan terlebih dahulu.

“tok tok tok”. Rahmi mengetuk pintu ruangan.
“assalamu’alaikum.” kata Rahmi mengucap salam dan berharap masih diizinkan untuk mengikuti perkuliahan.
“wa’alaikumsalam,”
“masuk.”  jawab dosen yang membawakan mata kuliah pada saat itu.

Rahmi membuka pintu dan terlihat seorang dosen yang sedang berdiri memaparkan kontrak perkuliahannya. kami disambut oleh senyuman hangat dosen itu, senyum yang menyimpan banyak kerinduan untuk bisa mengajar secara offline dan berinteraksi secara langsung dengan para mahasiswa. Kami pun membalasnya dengan senyuman hangat pula.

“silahkan cari tempat duduk yang masih kosong nak”.
“terima kasih pak.” Kataku dengan desikit membungkukkan badan.

Rahmi dan semua mahasiswi yang berada di ruangan itu duduk di sisi kiri ruangan dan semua mahasiswa duduk di sisi kanan ruangan. Terlihat beberapa wajah baru yang belum pernah aku lihat sebelumnya, mungkin mereka itu yang selalu mematikan kamera pada saat perkuliahan via zoom dan ditinggal tidur. Mungkin, itu masih prediksi liar yang terlintas dalam fikiranku.

Aku berjalan menuju kursi yang berada di sudut kanan belakang. Itu adalah kebiasaanku dulu, pada saat aku masih duduk di bangku sekolah. Aku rasa itu adalah tempat duduk terbaik untuk bisa melihat semua apa yang sedang terjadi di dalam ruangan tersebut.

“baiklah untuk yang baru datang,”
“lihat baik baik kontrak perkuliahan yang telah saya tuliskan.” Kata bapak dosen sambil menunjuk ke papan tulis, kemudian ia menjelaskan poin  poin yang dimaksud. mulai dari batasan waktu terlambat hingga ke masalah berpakaian.

Batas waktu terlambat bagi semua mahasiswa selama 15 menit. Bagi mahasiswa, dilarang menggunakan kaos oblong, celana sobek dilutut, memakai sendal jepit dan berambut gondrong. Untuk mahasiswi, dilarang menggunakan pakaian yang ketat, mengenakan perhiasan dan memakai make up berlebihan pada saat mengikuti perkuliahan sesuai dengan kode etik kampus. hal itu sangat berbanding terbalik dengan metode perkuliahan online, dimana yang rapih hanya bagian yang terlihat kamera saja. bahkan terkadang beberapa mahasiswa mematikan kameranya karena sedang mengerjakan pekerjaan yang lain, begitupun dengan mahasiswi yang seolah olah sedang berlomba untuk tampil cantik di depan kamera dengan berbagai macam make up yang mereka gunakan.

“paham semuanya”. Lanjut dosen itu.
“paham pak”. Jawab serentak semua mahasiswa.

Setelah memaparkan kontrak kuliah, dosen kemudian melanjutkan pembicaraannya dengan menjelaskan sub materi yang akan kami bahas pada semester ini. Aku mendengarkan dengan seksama apa yang dijelaskan oleh dosen itu. Tetapi, itu tak berlangsung lama. Saat air hujan mulai menetes di atap gedung, perkataan dosen terdengar seperti dongeng pengantar tidur yang membuatku tak tahan lagi menahan kantuk karena tak cukup tidur semalam dan aku pun tertidur didalam kelas.

4.  kenyataan

Tiba tiba terdengar suara ketukan keras yang terdengar sangat jelas oleh telingaku.

“tok tok tok,”
“sharon bangun mi.”

Teriakan itu terulang beberapa kali dan terasa sangat mengganggu, spontan aku menjawab dengan suara yang agak keras.

“ huh…ributnya pa,” kataku
“sa lagi enak enaknya mimpi kuliah offline, ko kasih bangun.”
“jangan mi kebanyakan bermimpi, masih tetap ji kuliah online,”
“ko mengabsen mi cepat itu di WA sebelum da habis waktunya.”
“absenkan pi dulu,”
“sa belum beli paket data.”

Pagi ini, aku terbangun dengan rasa kecewa dan harus menerima kenyataan bahwa semester ini aku masih tetap melaksanakan perkuliah secara online.

“online lagi…online lagi” 

Bersambung…

Note : Tumming adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari, kader HMI Komisariat Ibnu Rusyd Fakultas Syariah dan Kader UKM-Pers IAIN Kendari

Mahasiswa Sebagai Agen Hedonisme dan Matrealisme

Oleh: S.A.A

Mahasiswa merupakan salah satu elemen penting dalam setiap episode panjang perjalanan bangsa. Hal ini tentu saja sangat beralasan mengingat bagaimana pentingnya peran mahasiswa yang selalu menjadi aktor perubahan sebagaimana fungsi dan tugas Mahasiswa itu sendiri katanya Agrn Of Change, dan Agen Perubahan dalam setiap momen – momen bersejarah di Indonesia. Sejarah telah banyak mencatat, dari mulai munculnya Kebangkitan Nasional hingga Tragedi 1998, mahasiswa selalu menjadi garda terdepan.

Beberapa tahun belakangan ini telah banyak tercatat bahwa sudah beberapa kali mahasiswa menancapkan taji intelektualitasnya secara aplikatif dalam memajukan peradaban bangsa ini dari Masa penjajahan Belanda, Masa Penjajahan Jepang, Masa Pemberontakan PKI, Masa Orde Lama Hingga Masa Orde Baru, peran mahasiswa tidak pernah absen dalam catatan peristiwa penting tersebut.

Bila membahas mahasiswa, berarti kita sedang menjelaskan sekelompok kaum elit yang miskin namun berintelektual mengapa demikian dikatakan miskin..? Karena 99% masih bergantung pada orang tua, namun mahasiswa juga mempunyai  daya saing, bermutu tinggi, pemberani, dan perantau.

Meyakini bahwa sebagian besar pembaca tidak setuju dengan pendapat penulis di atas, bahkan mungkin pembaca memiliki ragam ekspresi, ada yang terheran-heran, ada yang terkejut, ada yang sepakat atau tidak sepakat bahkan sampai ada yang tertawa-tawa terbahak-bahak atau bisa jadi ada yang bersedih.

Sedikit menelisik lebih dalam tentang mahasiswa, mengapa demikian apa yang menjadi persoalan mahasiswa mengapa tulisan ini seakan menerka-nerka, jawabnya adalah mahasiswa saat ini hampir-hampir tidak layak lagi disebut sebagai mahasiswa. Benarkah? Ada apa? Apa kata dunia bila mahasiswa tak layak dipanggil, disebut, dan disanjung sebagai mahasiswa?

Jika kita melihat situasi dan kondisi terkini kemahasiswaan, berteriak kencang meneriakan bahwasanya dialah mahasiswa yang paling hebat, dialah mahasiswa yang telah banyak menamatkan bacaan buku, berbagai macam judul buku, bahkan dialah mahasiwa yang selalu demo membela kebohongan yang diselimuti kebenaran.

Saat ini, mahasiswa yang dipahami ketika sudah mampu mengangkat megafon, membaca satu lembar buku bahkan mampu berbicara didepan banyak orang mereka sudah mengkalim diri merekalah mahasiwa yang sebenarnya merekalah aktivis yang sesuangguhnya. Sungguh ironis doktrin yang diterapkan kepada calon penerus bangsa.

Bisa kita simpulkan bahwa kemunduran tengah terjadi di tubuh mahasiswa saat ini.  Kurang tajamnya aktivitas sosial mahasiswa yang dapat menyentuh problematika sosio-kultural rakyat serta kurang produktifnya mahasiswa dalam menyalurkan karya-karya yang menginspirasi dan mengharumkan nama institusi menjadikan mahasiswa kurang diperhitungkan ditengah-tengah masyarakat.

Mahasiswa yang seharusnya menjadi pembeda atau agent pelurus dan perubahan di tengah masyarakat, kini mahasiswa tengah menjadi pemecah belah atau agent penerus “tikus-tikus berdasi dan perubahan pola pikir dan pola gerakan ke arah pragmatis yang saat ini menjadi tontonan oleh rakyat-rakyat yang sedang tertindas, yang tengah berharap belas kasih serta perjuangan dari mahasiswa saat ini.

Jika berbicara tentang mahasiswa sudah tak manis lagi untuk disanjung, ketika penerus lahir semuanya sesuai apa yang menjadi kegarusan sebagai seorang mahasiswa, setiap orasi setiap seminar tentang kemahasiswaan setiap pengkaderan di organisaai selalu menriakan sumpah mahasiswa dan rata rata mahasiswa sekarang adalah pendusta bahkan sumpah mahasiswa itu sendiri dilanggar dan dijadikan bahan lelucon. Sungguh miris.

Di zaman Melenial ini kids zaman now katanya dalam bahasa asing yang saat ini meracuni fikiran manusia sering sekali kita mendengar istilah-istilah baru dan perilaku-perilaku baru yang sifatnya aneh tapi sangat digemari sampai-sampai menyita perhatian berbagai lapisan masyarakat tak terkecuali mahasiswa. Mahasiswa yang diharapkan mampu menetralisir keadaan atau bahkan membungkam segala hal yang diistilahkan dengan kekinian atau kids jaman now dan lain sebagainya, tapi malah tidak justru mahasiswa terjebak, bahkan mahasiswa menjadi pemeran dari kerusakan moral zaman ini.

Seharusnya mahasiswa sadar akan ini. Di tangan mahasiswalah estafet perjuangan bangsa ini diteruskan serta di tangan mahasiswa lah roda kepemimpinan bangsa kedepannya. Bila mahasiswa hari ini maju dan berdikari, maka maju dan berdikarilah bangsa dan negaranya. Namun sebaliknya, jika mahasiswa hari ini lemah dan mundur, maka bersiaplah bangsa dan negaranya dijajah kembali oleh orang-orang asing”.

Mahasiswa, Bagaimana Kabarmu?

Hai mahasiswa, bagaimana kabarmu? Apa yang sudah kau dapatkan diperaduan mengutip butir butir ilmu? Apa kado terindah untuk orangtuamu nanti ketika kembali dikampung halaman.? Berapa IPK mu? Sudah berapa banyak karya yang kau ditorehkan? Sudah berapa buku yang dibaca?

Jawabannya renungkanlah dan tepuk dada tanya selera.

Mahasiswa coba lakukan ini, tanamlah gagasan, petiklah tindakan. Tanamlah tindakan, petiklah kebiasaan. Tanamlah kebiasaan, petiklah watak. Tanamlah watak, petiklah nasib. Dimulai dari gagasan yang diwujudkan dalam tindakan, kemudian tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi suatu kebiasaan, Kebiasaan yang dilakukan berkali-kali akan menjelma menjadi watak, dan watak inilah yang akhirnya mengantarkan kita kepada nasib. Jadi nasib kita, kita sendirilah yang menentukan. Nasib kita ada di tangan kita, tentunya tidak lepas juga dari Sang Penentu.

Memang tak ada yang pasti dalam hidup, sebagai abdi dalam setiap pertempuran hidupnya, mahasiswa hanya bisa berupaya dan berusaha keras untuk mewujudkan segala cita dan asa. Tepat apa yang dikatakan Tan Malaka “Terbentur, Terbrntur, Terbrntuk” dan sebab semua keputusan ada ditangan Tuhan.

Sebagai abdi Tuhan, mahasiswa haruslah taat dan ingat mahasiswa sedang menyandang gelar ke maha-an, sudah jelas bahwa mahasiswa sangat diperhatikan oleh Tuhan sebab menyandang gelar kemaha-an adalah kemuliaan dan keagungan yang diamanahkan dan di alamatkan Tuhan untuk sekelompok kaum elit dan intelektual yakni mahasiswa.

Seharusnya, bagi mahasiswa yang sadar tentu ia akan amanah dan benar benar menjunjung  tinggi sifat dan fungsi mahasiswa yang sebenarnya dan melakukan hal-hal pengembangan diri dengan rasa penuh tanggung jawab serta mampu mungkin menjalankan fungsi kekhalifahannya. Namun, bagi mahasiswa yang belum sadar yang masih tertidur pulas, perilaku seperti inilah yang akan mengundang kemurkaan Tuhan.

Menilai dari apa yang telah dilakukan mahasiswa sekarang, tentunya kita tahu, demonstrasi seperti yang dilakukan mahasiswa sekarang tidak menghasilkan apa-apa, gerakan yang dibangun rata-rata adalah gerakan yang didasari kepentingan kelompok bahkan individu, gerakan yang selalu dibangun adalah gerakan pembodohan.

Sekarang bukan lagi masyarakat biasa yang diadikan korban dalam permainan para elit politik maupun para pimpinan-pimpinan kampus namun mahasiswa yang seharusnya menjadi pembeda dari masyarakat justru telah dijadikan kelinci percobaan para penguasa, mahasiswa selalu melakukan aksi demonstrasi namun itu bukan hadir dari diri sendiri gagasan itu dipola oleh penguasa dan mahasiswa dijadikan kambing hitam.

Perdebatan-perdebatan maupun diskusi terbuka yang sering dilakukan oleh kaum intelektual bangsa ini juga hanya membawa dampak yang sangat kecil pada kemajuan bangsa dan negara kita. Yang menjadi pertanyaan, kalau apa yang telah dilakukan sekarang tidak dapat menyelesaikan permasalahan bangsa ini, apa yang dapat mahasiswa lakukan agar bangsa ini dapat terus berkembang?

Kenyataannya, disaat masyarakat mengalami penderitaan karena berbagai marginalisasi yang dilakukan penguasa. Kita justru melihat mahasiswa sibuk mengurusi proyek proyek mencari gerakan yang bisa di 86. Mengurusi hal hal yang seharusnya tidak diurus, seharusnya mahasiswa lebih berperan dalam memikirkan kemajuan bangsa mulai dari bagaimana mengembangkan setiap kampus masing masing, bahkan banyak pula korban media sosial yang sudah termakan oleh hasutan setan dan iblis, sekarang mahasiswa sudah menjadi agen hedonisme dan materialisme bahkan menjadi makelar politik penguasa yang korup. Jika demikian pantaskah gelar “maha” itu diletakkan dalam pundak mahasiswa?

Mahasiswa seharusnya mengerti akan tanggung jawab yang dipikulnya sangat berat, seperti kata pepatah asing mengatakan: “with great power comes great responsibilities”, mengemban nama “maha” tentunya membuat kita memiliki tanggung jawab yang “maha” juga. Tanggung jawab sebesar apa yang dipikul mahasiswa? Yaitu tanggung jawab untuk menentukan masa depan bangsa ini, tanggung jawab untuk menentukan nasib ratusan juta orang rakyat Indonesia.

Setidaknya ada tiga jenis mahasiswa yang ada di Indonesia sekarang, yaitu:

Pertama, mahasiswa yang menjadikan demonstrasi hanya sebagai ajang untuk unjuk gigi, agar dirinya dapat dikenal sebagai mahasiswa yang hebat mahasiswa yang berani, mahasiswa yang ikut-ikutan demonstrasi untuk bolos masuk kuliah. Mahasiswa seperti ini tidak benar-benar memperdulikan rakyat maupun negaranya. Mahasiswa seperti inilah yang biasanya melakukan aksi-aksi anarkis maupun terlibat dalam bentrok dengan aparat keamanan pada saat demonstrasi.

Kedua, mahasiswa yang tidak mempedulikan keadaan politik sekitarnya. Mereka hanya berusaha untuk belajar dengan baik, yang penting datang ke kampus, kuliah, mengikuti ujian, dan lulus dengan Indeks Prestasi (IP) yang bagus. Mereka tidak memperdulikan apakah Bahan Bakar Minyak (BBM) akan dinaikkan harganya, maupun siapa-siapa saja yang akan berpartisipasi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2023 mendatang.

Ketiga, mahasiswa yang benar-benar memperhatikan dan memperdulikan nasib bangsanya. Mahasiswa seperti ini adalah mahasiswa yang memikirkan apa yang dapat dilakukan olehnya untuk bangsa ini. Mereka biasanya menyuarakan keadilan, berdemonstrasi dengan tenang dan mengikuti aturan, mengikuti perdebatan-perdebatan maupun diskusi untuk memajukan bangsa. Ini yang menjadi masalah besar adalah sangat sedikit bahkan minoritas adalah mahasiswa golongan ketiga ini.

Melihat mahasiswa saat ini, mahasiswa sudah terdegradasi kemahaannya. Kampus sudah menjadi ajang fashion show dan perkumpulan keboh, apakah mahasiswa yang seperti ini layak untuk menjadi penerus bangsa kita? Apakah mereka layak menjadi penentu nasib ratusan juta jiwa rakyat Indonesia?

Mahasiswa yang benar-benar memikirkan nasib bangsanya tahu, jawaban dari inflasi dan segala kesulitan ekonomi bukanlah merengek-rengek dan berteriak minta tolong. Jawaban dari tekanan ekonomi ialah peningkatan produktivitas. Produktivitas di mana-mana, baik di kelas, di tempat kerja, maupun di masyarakat. Jadi, jawaban dari segala kesulitan rakyat yang ada bukan dengan hanya sibuk berdemonstrasi namun bagaimana kita bisa memberikan solusi melahirkan solusi, membantu dari setiap kesulitan maupun keterpurukan setiap lapisan masyarakat.

Note:
S.A.A adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari

 

 

Tangan Kiri Kampus

 

(Kiri simbol perlawanan. Foto: facebook.com)

Penulis : P H

Sering kita melihat bahasa tubuh dosen yang terlalu kaku sebab tidak cukup siap dan kuat menghadapi tulisan ataupun ucapan bernada kritik pedas dari mahasiswa. Beberapa memang sudah sanggup mengatasi dan beradaptasi dengan baik, walaupun jumlahnya masih sedikit.

Baca juga: Sarkastis! Dari Mahasiswa untuk Mahasiswa

Masa! Pihak kampus tidak pernah salah? Apakah karena menganggap mereka sebagai dosen sehingga mahasiswa tidak boleh memberi kritikan? Tentu tidak kawan! Secara tandas dalam buku catatan seorang demonstran, Soe Hoek Gie telah mengatakan bahwa “guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan murid bukan kerbau”.

Baca juga: Dicari! Hilangnya Presma IAIN Kendari

Ingat mereka juga adalah manusia biasa, yang pada dasarnya memiliki kekurangan dan tidak menuntut kemungkinan akan berbuat salah. Olehnya itu, representasi mahasiswa sebagai tangan kiri kampus jangan takut untuk berdinamika dengan dosen ataupun pihak birokrasi kampus. Rasa penghormatan itu memang perlu, tetapi bukan keharusan yang mutlak. Artinya apa, bahwa prinsip harus tetap ada! Jika salah dan keluar dari jalur komitmen dan tidak konstitusional, maka bentuk perlawanan harus kita gaungkan, entah itu melalui kritikan gerakan demonstrasi ataupun dengan cara-cara konstruktif lainnya.

Sehingga akan sangat mudarat bagi mahasiswa untuk tidak melahap apa yang kemudian menjadi buah pemikiran Muhammad Sulhijah dalam tulisannya yang berjudul Surat Cinta Untuk Maba yakni “sebagai mahasiswa kita harus pandai-pandai memfilter setiap perkataan dosen kalau dia salah maka sampaikan bahwa itu salah, begitupun sebaliknya karena ruang akademik adalah arena pertarungan intelektual baik itu antara dosen dan mahasiswa maupun antara mahasiswa dan sesama mahasiswa”.

Baca juga: Surat Cinta Untuk MaBa

Tentu akan begitu kontras pemandangannya jika kita melihat suatu fenomena seorang mahasiswa yang mengklaim diri sebagai aktivis kritis atas kesewenangan-wenangan dosen tetapi dalam praktiknya ia takut ketika berhadapan dengan dosen-dosen yang bengis.

Mengapa harus takut kawan? Justru sebagai tangan kiri kampus maka konfrontatif yang kita lakukan sebagai mahasiswa harus lebih frontal lagi untuk membungkam kesewenang-wenangan dosen yang tidak normatif. Seharusnya kita sadar, jika mahasiswa menyuarakan kebenaran lalu ia diperangi maka kampus sedang dipimpin oleh penjahat yang ingin mengiring kita ke jalan yang sesat.

“Dalam hidup kita, cuman satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini”? Coba renungkan perkataan Pramoedya Ananta Toer tersebut. Bagaimana mungkin menolong yang tertindas jika dirimu sendiri tidak memiliki keberanian. Apakah kamu bangga tidak memiliki keberanian? Apakah tidak malu dengan hidupmu yang tak mempunyai harga sedikitpun? 

Jangan jadi pengecut kawan! 

Ijtihad perjuangan perlawanan mahasiswa akan terus digelorakan, kita tidak layak untuk takut saat hendak menyuarakan suatu kebenaran. Kalau kita dan Soek Hoek Gie sama-sama mahasiswa, lalu apa yang membatasi kita untuk menjadi teladan sepertinya?

Ingat kawan kita memiliki keberanian itu. Minimal, suara kebenaran yang kita serukan tidak mengingkari eksistensi kita sebagai mahasiswa, sebagai seorang pemuda, dan sebagai seorang manusia. Kita bukanlah mahasiswa yang hanya lulus  membawa gelar dan ijazah tanpa esensi.

Kawan-kawan sekalian pasti bertanya-tanya mengapa saya memberikan label “Tangan Kiri Kampus” terhadap mahasiswa. Secara historis istilah kiri awalnya muncul dari kebiasaan anggota parlemen Prancis pasca revolusi saat bersidang. Mereka yang pro pemerintah duduk di sebelah kanan dan yang kontra duduk di sebelah kiri. Kebiasaan ini berlangsung sejak mereka bersumpah di lapangan tenis tanggal 20 Juni 1789, mereka sepakat untuk tidak terpisah sampai Prancis diberikan sebuah konstitusi. Kejadian tersebut yang kemudia dikenal dengan nama Tennis Court Oath.

Hingga sekarang, “kiri” identik dengan perlawanan (oposisi). Iya, mahasiswa adalah oposisi kampus sehingga kita tidak asing lagi dalam mengartikan celoteh “kiri” sebagai simbol perlawanan atas kebijakan kampus yang tidak berpihak pada mahasiswa.

Lantas bagaimana dengan tangan kanan ? Jika “kiri” cenderung progresif dan menghendaki perubahan untuk menjadi lebih baik, maka “kanan” cenderung konservatif yang menolak perubahan itu dan menghendaki berlangsung, atau Pro Status Quo. Kanan cenderung pragmatis, meskipun tidak seratus persen.

Dalam dunia pergerakan, mahasiswa harus mengerti makna filosofis tangan kanan dan kiri. Jadi, ketika kawan-kawan ditanya alasan mengangkat tangan kanan dan kiri. Jangan menjawab seperti “tangan kanan adalah tangan yang sopan, dan kiri adalah tangan yang kurangajar”. Ditertawaiko itu nanti.

Mahasiswa adalah kaum intelektual kawan, paham sebab-akibat bukan anak kecil yang hanya diajarkan tata krama.

Mestinya mahasiswa memberikan pemahaman kepada para dosen bahwa kritik harus dimaknai sebagai kepedulian dan dosen harus biasa-biasa saja ketika ia dikritik oleh mahasiswanya. Seorang dosen kalau dia bermutu tanpa meminta penghormatan mahasiswa pasti akan menghormatinya. Mengkritik dosen itu adalah kewajiban mahasiswa. Kalau sih dosen bertanya mengapa mahasiswa tidak memberi apresiasi terhadap dosen, ya tinggal kita jawab karena tidak ada yang mau diapresiasi. Seperti begitu. Penghormatan itu berasal dari hati nurani bukan karena paksaan. wajar saja kalau dosen banyak mendapat kritikan mahasiswa, karena sudah itu konsekuensi logis seorang dosen yang tidak mampu dan malas membaca pikiran mahasiswa.

Apakah seorang dosen harus diberi pujian oleh mahasiswa ketika ia telah melakukan tugas dan kewajibannya? Jawabannya tidak kawan! Karena itu memang kewajiban dia sebagai seorang tenaga pengajar untuk  memberikan pengetahuan tanpa membatasi kebebasan berpendapat mahasiswa. Terkecuali ada progres kinerja di luar dari kewajiban dosen, itu baru kita kasih jempol. Dengan kata lain ia melakukan sesuatu yang melampaui tugas dia. Kalau bahasa Inggrisnya beyond the off duty.

Kan sama misalnya ketika mahasiswa mendapat Indeks Prestasi “A” kemudian kita bertemu dosen yang memberikan nilai tersebut, lalu kita meminta pujian apakah sih dosen akan memberikan pujian? Tentu tidak! Sih dosen pasti menjawab “pala lu goblok” kamu memang harus dapat nilai A karena itu adalah kewajiban kamu. Kalau kamu dapat IP A+  nah itu baru bapak atau ibu kasih pujian. Analogi sederhananya seperti itu kawan.

Perlu disadari, dewasa ini kita berada di dalam lingkungan orang-orang yang kosong ide minim prestasi. Jika mahasiswa masih memberikan pujian terhadap dosen yang tidak patut untuk mendapatkan keistimewaan itu, maka mahasiswa hanya sekedar konsumen, bukan sebagai agen of change. Jadi, sudahi pujian tololmu kawan. Sekali lagi kita harus ingat bahwa setiap kejadian yang terjadi orang akan memelihara harapan sekaligus kecemasan dan hari ini kecemasan lebih tinggi dari harapan. Olehnya itu, tidak ada keculasan untuk tidak melakukan perlawanan. 

Berusahalah untuk selalu melakukan perlawanan sebab ada harapan yang harus mahasiswa perjuangkan !

Hidup mahasiswa!!!

Note :
P H adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari Progran Studi Tadris IPA

Sarkastis! Dari Mahasiswa untuk Mahasiswa

 

(Mahasiswa Sebagai Agent of Change dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Foto: Repro. google.com) 

Penulis : P H

Dengan berbagai ragam suara, dalam keadaan yang berbeda-beda, dan oleh berbagai golongan, tujuan perjuangan kita sudah dinyatakan yaitu tercapainya cita-cita luhur meratanya keadilan sosial. Sangat mengagumkan apa yang ditulis Tan Malaka ini dalam bukunya yang berjudul aksi massa. Sekali lagi, rasa kebanggaan dengan pikiran futuris para pendahulu bangsa ini selalu membuat kita tergegau, betapa dahsyatnya bertapak di jalan pikiran yang mereka buat. Namun kebanggaan itu menjadi kegalauan dengan keadaan mahasiswa sebagai generasi muda penerus bangsa yang mengalami degradasi moral dan intelektual saat ini.

Tak serau mahasiswa kita secara lahiriah tampak modern sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi cara berpikirnya masih baheula. Iya, seperti masih bercokol di zaman primitif yang belum mengenal baca tulis (buta huruf). Kekalahan dalam persaingan intelektual menyebabkan menyingsingnya pikiran tidak piawai dan anarkistis, tidak melihat sesuatu dalam sifat yang sebenarnya. Ini berlaku terutama dikalangan segelintir orang yang kekosongan kepalanya baru saja diisi dengan pengetahuan-pengetahuan dasar. Sehingga berlagak keren menganggap diri bagaikan sangat pandai dari orang lain. Seperti makna lirik lagu enau “banyak gaya kosong isinya”. Kasihan ya ! Mereka hanya tidak sadar saja bahwa mereka hanya pandai di dalam pikiran mereka sendiri. 

Maksud penulis adalah berusahalah keluar dari zona nyaman dan sering-seringlah introspeksi diri. Agar arogansi, kesombongan, dan kebodohan, yang mereka anggap pandai dapat terurai melalui interaksi dari berbagai kalangan latar belakang yang berbeda-beda. Jalan seperti itulah untuk mengetahui kedangkalan Petahuan (kak petahuan atau pengetahuan?) aku, kamu, dan kita semua !

Jelas kita bisa komparasikan perbedaan kemajuan pikiran antara mahasiswa yang rutinitas waktunya hanya untuk santai, rebahan, main game, keluyuran tidak jelas dengan mahasiswa yang berkeras hati mencari ruang-ruang literasi sebagai upaya untuk mengembangkan potensi diri. Di zaman modern ini kita sedih dan heran melihat mahasiswa yang hanya sekedar kumpul omong kosong tanpa terjadi pertengkaran intelektual. Selayaknya perkembangan zaman saat ini itu paralel dengan perkembangan pengetahuan mahasiswa.

Kemajuan era digitalisasi hari ini tentu membuat segala sesuatu hal terasa mudah dilakukan. Namun ketergantungan berlebihan membuat mahasiswa selalu menganggap mudah segala sesuatu hal tanpa mau lagi berusaha dan bekerja keras untuk mendapatkannya. Sehingga, wajar saja kalau mahasiswa semakin culas, lemah, cengeng, dan banyak mengeluhnya. Tahunya bicara bodoh terus !

Tentu ketika kita bertanya, apa yang mereka ketahui tentang pemenuhan hak-hak rakyat ? Pasti secara spontan mereka bisa menjawab. Tetapi yang perlu kita cek adalah referensinya dari mana ? Apakah dari bung Karno melalui buku di bawah bendera revolusi jilid satu dan duanya? dari Tan Malaka melalui buku aksi masanya ? Sutan Syahrir dengan buku yang berjudul perjuangan kita ? Mungkin melalui puisi perlawanan Wiji Thukul ? Gerakan Munir dalam memperjuangkan Hak Asasi Manusia ? ataukah dari Marsinah dengan perjuangannya menuntut pemenuhan hak-hak buruh ? Pasti jawaban yang diberikan hanya nonsens dan apologi. 

Dalam banyak kasus kelompok elit marjinal ini  cuma  sibuk bertengkar di lorong-lorong asrama putri sampai lupa bahwa ruang-ruang diskusi memerlukan pertarungan gagasan melalui adu argumentasi. 

Disinilah kritisme mahasiswa mulai redup, apalagi kalau sudah hedon dan apatis. kata teman-teman Jakarta taik loh guys !

Bagaimana mungkin bicara tentang perjuangan keadilan sosial secara merata jika seorang terpelajar (katanya) masih terlalu goblok meramu setiap masalah dalam proses penyelesaiannya. Padahal sudah banyak infrastruktur ruang-ruang literasi yang difasilitasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman.

Apa sih urgensi kumpul-kumpul tanpa ada dialektika literasi yang terjadi ? Ada yang memberikan jawaban “kami lebih senang dengan hal-hal instan seperti ini, omong kosong, tertawa bahagia, karena tidak ada pembahasan serius untuk diperbincangkan. Dan itu kami anggap sebagai kreativitas”. Sangat bangga mengatakan bahwa itu adalah kreativitas, sungguh kolot pikiranmu kawan ! Mmmmm… beli rokok sama kopi saja masih minta-minta sama juniornya di kampus. Itu sih, namanya bukan kreativitas tapi KEREAKTIV.

Mahasiswa merupakan bagian integral dari perguruan tinggi yang dikenal sebagai simbol intelektualitas, Maka pengabdian kepada masyarakat sesuai kompetensi intelektualnya merupakan tanggung jawabnya secara moral dan secara intelektual. Mahasiswa juga pada hakikatnya adalah seorang intelek sebab intelektualitas merupakan ciri khas yang inheren dalam diri mahasiswa sebagai kelas menengah terdidik.

Tetapi ada realitas lain yang cukup menyedihkan, bahwa tradisi ilmiah dan literatur dikalangan mahasiswa belum begitu kuat. Interaksi gagasan secara kontinyu dan intensif belum menjadi menu utama dalam aktivitas keseharian sebagian besar mahasiswa juga belum terbiasa untuk melakukan pertarungan gagasan dan perkelahian wacana. Wajar kalau kemudian, pisau analisis yang mereka miliki untuk membedah berbagai permasalahan sosial masih tumpul karena jarang diasah. Justru tak sedikit mahasiswa yang terjebak berpikir pragmatis, oportunis, hedonis, apatis, subyektif, parsial, dan tampak hanya menjadi problem speaker an sich.

Sesungguhnya kamu mampu dengan pertengkaran intelektual kawan namun kemalasanlah dalam menempa diri yang menyebabkan pikiran kolot dan kebodohan tumbuh semakin mengakar. Kan percuma tiap ada agenda bersama adik-adik di kampus sering menyuarakan studi dengan baik untuk memperoleh kecerdasan, ilmu, kepandaian yang diperlukan, sambil membina dan mengembangkan diri mental dan fisik, demi kemampuan sebesar-besarnya untuk hari esok. Sedangkan diri sendiri saja tidak mampu untuk berpikir cerdas dan produktif. Sebenarnya kamu tidak tumpul kawan, tajam tapi berkarat !

Sesama mahasiswa saya ingin mengajak kawan-kawan sekalian untuk membangun kembali budaya-budaya literasi karena melihat dunia kampus yang semakin hari terasa kian pragmatis, materialistis, bahkan hedonis. Sebelum semua akar-akar jiwa intelektual akhirnya meranggas dan tercerabut dari jati diri kita sebagai mahasiswa.

Bukankah imam Syafi’i telah mengatakan “jika kamu tak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus menahan perihnya kebodohan”. Jadi Ingat kawan bahwa kemarau panjang perjuangan mahasiswa baru saja dimulai. Olehnya itu, tidak ada waktu untuk berleha-leha, bersantai, apalagi bermalas-malasan. Hargai dan manfaatkan waktumu!

Sejatinya mahasiswa tidak hanya menunggu datangnya sebuah momentum, justru mahasiswa harus menciptakan momentum itu sendiri. Semoga apa yang kita upayakan menjadi momentum kebangkitan dan kesadaran.

Mungkin jalan kita boleh sama, tapi nasib belum ada yang tahu. Belajarlah sampai kamu tak bisa berpikir lagi. Dan usahakanlah bahwa kamu akan terus berpikir untuk tidak akan pernah berhenti belajar.

Terus berjuang !

Note :

P H adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari Progran Studi Tadris IPA

Dicari! Hilangnya Presma IAIN Kendari

Objektif.id – Sejatinya dunia kemahasiswaan itu ibaratnya miniatur Negara di mana dalam proses pembentukan karakter terdapat Lembaga kemahasiswaan baik itu dalam orientasi Legislatif (SEMA) dan orientasi Eksekutif (DEMA), yang memiliki peran penting dalam proses pembentukan karakter tersebut. Dalam konteks organisasi eksekutif memiliki peran penting sebagai implementator terkhusus dalam mengawal aspirasi mahasiswa. Presiden mahasiswa sejatinya icon ideal sebagai representasi kampus bukan hanya dalam ruang lingkup internal kampus tetapi juga dalam lingkup eksternal kampus. Sehingga berwibawah atau tidaknya suatu kampus itu tergantung dari pembawaan presiden mahasiswanya. Maka penting bagi seorang presiden mahasiwa memang benar benar harus aktif dan progresif dalam melaksanakan tanggung jawabnya bukan malah sebaliknya. 

Ada istilah yang mengatakan bahwa pemuda adalah ujung tombak suatu zaman maksudnya di sini baik dan buruknya suatu zaman tergantung dari sikap pemuda itu sendiri maka tentunya berkenaan dengan ini sikap pemuda sangat menentukan masa depan suatu bangsa. Begitupun halnya dengan dunia lembaga kemahasiswaan yang merupakan regenerasi pemimpin bangsa yang tentunya di masa depan merekalah yang diharapakan akan melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini. Sehingga tolak ukur regenerasi kepemimpinan di masa depan salah satunya adalah bagaimana melihat kinerja para pemimpin lembaga kemahasiswaan hari ini.

Jika berbicara persoalan lembaga kemahasiswaan saya cenderung merujuk pada kinerja ketua DEMA IAIN Kendari. Soalnya sudah terlalu lama bersikap hening dan tenang. 

Apa kabar Pak Presma? sudah terlalu lama saya tidak mendengar kabar tentang anda. Apakah anda baik-baik saja?  Kantormu kini sudah dipenuhi oleh ribuan butiran debu dan berbagai macam spesies sampah hingga telah terbangunnya dinasti laba laba. Bukankah itu secara tersirat sebagai bentuk pengkudetaan? Alangkah kurang ajarnya laba-laba itu ya!. Ataukah mungkin laba laba itu lebih mengerti peran dari seorang Persiden Mahasiswa atau Presiden Mahasiswa yang tidak mengerti akan perannya? Jujur kawan fenomena ini mengisyaratkan suatu bentuk ketidak becusan seorang presiden mahasiswa sebagai tambuk pimpinan tertinggi lembaga kemahasiswaan. Inikan lucu dan konyol bagaimana mau hadir dalam mengawal aspirasi mahasiswa mengelolah internalnya sendiri saja tidak becus. Apakah sesulit itu menjadi presiden mahasiswa? kalau memang seperti itu alangkah bijaksananya kalau anda mengundurkan diri saja!

Bukankah saat terpilihnya anda sebagai presiden mahasiswa itu menggabarkan bahwa anda adalah representasi keterwakilan ribuan mahasiswa IAIN Kendari. Pertanyaannya apa yang anda wakilkan selama ini? Jujur saja kami sudah muak dengan sikap anda dan saya percaya salah satu musibah di masa pandemi adalah terpilihnya anda sebagai presiden mahasiswa.  Ingat pak presma setiap amanah yang di berikan itu akan di mintai pertanggung jawaban di hadapan Tuhan saya kira anda paham persoalan itu. memangnya anda tidak takut kelak nanti akan di siksa oleh Tuhan karena menjadi presiden mahasiswa yang tidak bertanggung jawab?

Oh ya! bagaimana kabar tentang alokasi kuota internet bagi mahasiswa yang sedang kuliah online? Saya yakin pasti anda tidak tau. Bagaimana sikap anda juga terkait kewajiban vaksin untuk mahasiswa yang akan kuliah offline? Saya yakin anda binggung mau bersikap seperti apa. Oh ya hampir lupa bagaimana anggaran DIPA yang jumlahnya sebanyak 60 juta yang katanya LPJ (laporan pertanggung jawaban )nya yang sudah di terima di birokrasi kok saya nggak dapat maanfaatnya sama sekali, itu di apakan saja? Kalau alasannya buat seminar di dalam hotel dengan menghadirkan Warek 3 dan anda sendiri yang menjadi narasumber saya rasa tidak akan sebanyak itu anggarannya bahkan anak kecilpun tau kalau penggunaan anggarannya tidak realistis ataukan jangan jangan sekalian anda tanam saham di hotel itu?. 

Bagaimana bisnis lancar? Oh iya, dengar-dengar  mau ada pencairan anggaran lagi. Rencana mau bisnis apa lagi yang mau di buat? Ya kalau bisa sekali kali bisnis kucing juga minimal tidak kalau tidak untung pahalanya dapat kan lumayan untuk investasi akhirat.

Tidak usahlah anda berbicara persoalan negara yang lebih luas seperti Jokowi The King Off Liff Service yang di cetuskan oleh BEM UI karena saya tau anda pasti takut atau gerakan vaksinasi yang di lakukan oleh BEM UHO karena saya tau juga anda pasti gugup. Tidak usah itu, terlalu berat buat anda cukup eksistensi dan kontribusi anda yang kami butuhkan yang berdampak bagi kami mahasiswa itu saja sudah cukup. Jangan karena alasan pandemi anda menjadikan jabatan presiden mahasiswa sebagai ajang arogansi dan mengisi kurikulum vitai saja, jujur kawan itu menjijikan. 

Melalui tulisan ini saya sebagai mahasiswa IAIN Kendari yang aktif berkecimpung dalam dunia organisasi menyampaikan Mosi tidak percaya lagi dengan Presiden Mahasiswa IAIN Kendari sejak detik ini. Sebagai mahasiswa yang waras dengan pertimbangan secara realistis saya menyampaikan bahwa Presiden Mahasiswa IAIN Kendari sudah tidak layak lagi memimpin lembaga kemahasiswaan di lingkup IAIN Kendari. Penegasannya sederhana apa karya anda? Prestasi anda? Apa kontribusi anda? Yang tentunya bagian dari pada mengawal hak hak dan aspirasi mahasiswa sehingga dasar kami untuk melegitimasi anda itu jelas.

Berhenti berpura pura amnesia karena itu akan semakin memperburuk citra anda jika anda masih merasa memiliki tanggung jawab besar persoalan kemahasiswaan saatnya mulai berbenah tetapi jika itu sudah di luar dari kemampuan anda maka mengundurkan diri itu adalah pilihan yang tepat.

Semestinya anda harus merasa malu sebab eksistensi anda saat ini memberikan contoh yang buruk untuk generasi selanjutnya. Distorsi dan kemandulan kreatifitas yang saat ini menggrogoti anda adalah penyakit akut yang harus segera anda sadari karena itu hanya akan berdampak pada pandangan public dalam menilai kualitas anda.

Note:

Al-Izar adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari angkatan 2019 aktif sebagai pegiat literasi dan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Ibnu Rusyd Fakultas Syariah IAIN Kendari.

Penulis: Al-Izar
Editor: Rizal

 

Sepucuk Surat Untuk Sahabatku “Malam”

Malam….
Izinkan aku untuk merangkai
Kata didalam kesunyian karna ku tau
Engkau secerah cahaya dalam kegelapan

Malam….
Berilah aku kesempatan
Untuk melontarkan perkataan
Karna ada keresahan
Yang tidak bisa ditampung dalam fikiran
Meski engkau tak memberi jawaban
Setidaknya engkau sudah untuk mendengarkan

Karna aku tau pantang bagimu untuk
Memberi balasan kepada mahluk rendahan

“Hadirkan aku sebuah harapan agar aku tak merasa kehilangan jalan”
“Hadirkan aku sebuah candu agar diriku tak merasa bosan”
“Hadirkan aku sebuah sebuah kawan agar diriku tak merasa kesepian”
“Hadirkan aku sebuah keadaan tanpa keresahan agar diriku tak merasa sunyi dalam keramaian”

Salam dari mahluk yang merasa kesepian

Oleh : F.A

Lembaga Pemerhati Kebijakan Kampus Menggelar Aksi Ceremonial Untuk Maba

Kendari, PersKampusbiru.com – Lembaga Pemerhati Kebijakan Kampus menggelar aksi demonstrasi bertajuk Ceremonial untuk menyambut Mahasiswa baru angkatan 2021 di pelataran gedung terpadu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, Senin (13/09/2021).

Selain sebagai Ceremonial, aksi ini juga digelar untuk menuntut para pimpinan kampus untuk mengontrol dengan baik kinerja yang dilakukan oleh Organisasi Kemahasiswaan yang ada didalam kampus.

Jendral Lapangan. Taichi mengatakan bahwa, aksi ini adalah awal untuk mewujudkan tuntutan mereka terkait bagaimana kinerja para pucuk pimpinan kampus.

“Aksi ini akan ada aksi lanjutan untuk mewujudkan tuntutan kami, karena banyak informasi yang kami dapatkan terkait kinerja-kinerja yang dilakukan oleh para pucuk pimpinan kemahasiswaan dalam hal ini yaitu Warek 3 dan Pimpinan Organisasi yang ada didalam kampus ini” kata Taichi saat ditemui Wartawan perskampusbiru.com.

Taichi meminta agar Warek 3 selaku bidang Kemahasiswaan, mengawasi dengan sungguh-sungguh kinerja dari Organisasi kampus.

“Saya meminta kepada Warek 3 untuk mengawal baik-baik terkait kinerja daripada Sema dan Dema, sehingga Organisasi-Organisasi tersebut kinerjanya bisa berjalan sesuai regulasi yang ada” harapnya.

Salah satu massa aksi, Masyur juga berharap kepada pucuk pimpinan kampus untuk lebih serius dalam mengemban tugas dan melakukan pengawasan terhadap Lembaga-Lembaga Kemahasiswaan jika mereka memang bertekad untuk bertansformasi menjadi UIN.

“Saya berharap kepada pucuk pimpinan kampus jangan hanya menggaungkan cita-cita untuk menjadi UIN atau juga hanya berharap dipuji tapi kurang persoalan untuk bisa di puji, tetapi saya meminta mereka untuk lebih serius dalam mengemban tugas dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap Lembaga-Lembaga Kemahasiswaan, sehingga cita-cita untuk menjadi UIN ini bukan hanya sebatas angan-angan saja.” Tukasnya.

Reporter: Renaldi Rausan
Editor 
: Ai

UKK Mahiscita Gelar Upacara Pelepasan Peserta Dikdas Angkatan ke-XXVI

Reporter : Rizal Saputra
Editor : Elfirawati 

Kendari, PersKampusbiru.com – Unit Kegiatan Khusus Mahasiswa Islam Pencita Alam (UKK Mahiscita) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, gelar upacara seremonial sekaligus pelepasan peserta Pendidikan Dasar (Dikdas) angkatan XXVI di Pelataran Gedung Rektorat IANI Kendari, senin (13/9/2021).

Ketua Panitia Dikdas angkatan XXVI Mahiscita IAIN Kendari, Muh. Syah Futra H. mengatakan tema yang diangkat pada Dikdas ini “Membentuk kader pencinta alam melalui petualangan yang tangguh berani disiplin dan beriman”.

“Tema yang diangkat pada pendidikan dasar angkatan XXVI kali ini yaitu, membentuk kader pencinta alam melalui petualangan yang tangguh berani disiplin dan beriman,” ucap Muh. Syah Futra saat menyampaikan laporan dalam upacara.

Menurut Muh. Syah Futra H bahwa, untuk membentuk kader mahasiswa islam pecinta alam yang tangguh perlu adanya petualang.

“Dalam membentuk suatu kader pencinta alam itu kita memerlukan suatu petualangan. Kepetualangan itu kita perlu tangguh, tangguh kepada semuah aspek yang ada di alam. Kita juga harus berani mengambil suatu keputusan ketika kita telah dihadapkan dengan alam liar,” tuturnya. 

Sementara itu, Pembina UKK Mahiscita IAIN Kendari, Dr. Muh. Iksan Ma.g mengatakan, kita sebagai manusia harus menjaga dan memelihara alam itu sama halnya dengan kita menjaga saudara kita sendiri.

“Dalam islam itu ada dua ayat, ada yang disebut ayat Qauliyah dan ayat kauniyah. Yang difirmankan kepada tuhan itulah yang sementara ini kita pake,” tuturnya.

Menurut dia, ayat Qauliayah itu yang diciptakan, manusia alam itu ayat Qauliyah. Jadi kita ini ayat tuhan, alam pun ayat tuhan. Kenapa anda kemudian berjibaku untuk memelihara alam itu karna kita secara positif bersaudara dengan alam.

“kalau tidak percaya buka surat attin, kenapa ketika tuhan sudah bersumpah demi alam lalu kemudian ayat ke empat berbicara persolana penciptaan manusia yang sempurnah, itu artinya secara hakiki kita punya hubungan atau persaaudaran denga alam,” paparnya.

Di akhir Ketua Panitia Dikdas angkatan XXVI Mahiscita IAIN Kendari, Muh. Syah Futra H, berharap UKK Mahiscita lebih baik lagi.

“Kedepannya semoga kelembagaan ini selalu sukses jaya selalu,” harapnya.

Untuk diketahui, kegiatan Dikdas angkatan ke-XXVI dilaksanakan di Desa Wolasi Kecamatan Wolasi Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) pada 13-19 September 2021.

 

Berkarya dengan Bahagia Ala Seniman Kampus

Kemerdekaan adalah hak semua bangsa ungkapan ini merupakan salahsatu redaksi yang terdapat dalam UUD Negara RI 1945. Saya kira itu cukup keren dalam membakar semangat perjuangan pada waktu itu. Tetapi tidak sekeren para penikmat malam yang menghabiskan waktunya hanya bercermin dengan layar kaca handponenya, benar mereka adalah mahasiswa kebanggaan Negara yang rutinitasnya hanya menghabiskan waktunya bermain game online menghabiskan uang orang tuanya untuk membeli paket internet. Hobynya tidur subuh bangun sore sungguh sosok teladan yang membanggakan.

Tapi terserahlah asal kau bahagia seperti judul lagu band armada. Ia bahagia, saya kira bahagia juga itu kemerdekaan seperti halnya yang saya tulis ini sebagai wujud ekspresi kebahagian saya. Bahagia itu penting bahkan Buya Hamka pun dalam bukunya Tasawuf Modern itu membahas tentang kebahagiaan. Sederhananya bahagia itu bersyukur dan ikhlas dengan eksistensi diri tanpa harus terbebani oleh entitas lain.

Bagaimana malam minggu kalian? Semoga bahagia dan baik baik saja, tak semendung langit di sore hari. Seolah olah semesta sedang bersekongkol dengan para jomblo di seantero negeri.

Tapi ada yang menarik di malam minggu kali ini sebab ada beberapa mahasiswa kampus yang menggelegar pentas seni mereka menamakannya malam sejuta seni semoga saja mereka ini bukan para jomblo yang sedang bersekongkol dengan semesta yang sekedar untuk mengisi malam mingguanya agar terkesan produktif.

Mereka mengangkat tema berkarya dengan bahagia menarik sih ya. Walaupun kesan penampilannya seolah olah ada unsur gerakan pertobatan secara berjamaah. Sebagai mahasiwa yang cukup sesepuh di kampus yang juga tergabung dalam organisasi Seni tersebut cukup kagumlah dengan kreatifitas mahasiswa generasi sekarang trobosannya tidak bisa ditebak tetapi memang pada prinsipnya doktrin untuk berkarya itu penting sebab itu membentuk kemandirian dalam mengekspresikan diri,

Saya pernah membaca salah satu buku yang membahas tentang seniman tapi lupa sih judul bukunya apa yang jelasnya di dalam buku tersebut ia membahas bahwa seniman itu sama dengan tuhan memang terkesan lumayan ekstrim sih ia menjelaskan bahwa seniman dan tuhan itu kesamaanya sama sama mampu melahirkan ralitasnya sendiri. Ya dalam hal ini saya sepakat tetapi pada kadar yang berbeda, saya tidak mau membahas terkait kesamaan antara seniman dan tuhan teralu jauh karena kajiannya berat coy, serius!! bahkan beratnya melebihi menyelesaikan skripsi.

Salahsatu senior pernah mengatakan bahwa seni adalah sebagai media perlawanan terhadap realitas sosial ia menceritakan pada pertengahan abad ke 19 masehi ada seseorang yang berkebangsaan belanda namanya Eduar Dawes Deker menulis sebuah buku novel yang berjudul Max Havelaar buku tersebut berisi tentang penyelewengan bupati dan kepala residen pada system taman paksa yang berlaku di Hindia Belanda dan kritik tersebut mengunggah hati para kaum humanis di Belanda untuk melakukan protes terhadap kerajaan belanda dan 10 tahun setelah novel itu terbit Belanda menghapuskan system kerja paksa di Indonesia.

Kemudian kita kenal juga R.A Kartini dengan bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang yang berisi tentang kumpulan surat Kartini dengan sahabat penanya yang belakangan diketahui adalah seseorang yang berkebangsaan Belanda. Di dalam surat tersebut berisi terkait gagasannya tentang kekangan system feodalisme dan kolonialisme yang tentunya menghabat kemajuan bangsa pribumi. Ia juga mencantumkan gagasannya bagaimana seharusnya peran perempuan dalam kehidupan tatanan sosial yang kita kenal sampai hari ini dengan istilah emansipasi wanita.

Ada juga Ismail Marzuki yang mewujudkan integrasi melalui seni dan sastra di usianya yang baru beranjak 17 tahun ia telah berhasil menciptakan lagu pertamanya yang berjudul “O Sarinah” pada tahun 1936″. Ia adalah sosok yang menjauhkan diri dari lagu lagu barat dan kemudian fokus menciptakan lagu lagunya sendiri dan lagu – lagu yang ia ciptakan sangat di warnai oleh semangat kecintaanya terhadap tanah air.

Dan yang terakhir senior itu juga menceritakan kisah perjuangan Wiji Thukul, ia menceritakan bahwa Wiji Thukul bukan hanya seorang aktivis tetapi juga sebagai penulis puisi perjuangan. Yang khas dari sosok Wiji Thukul bahwa ia bukannya menulis puisi tentang protes, melainkan sosoknya menjadi represntasi akan protes itu sendiri. Karena itu jangan heran kalau puisinya gampang melebur dalam setiap aksi momen pergolakan dan berbagai aksi protes.

Nahasnya pada tahun 1998 Wiji Thukul menghilang dan hilangnya secara resmi di umumkan secara resmi oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada tahun 2000.

Kontras mengatakan bahwa hilangnya Wiji Thukul sekitan tahun 1998 karena di duga oleh aktivitas politik yang di lakukukan Wiji Thukul sendiri dan saat itu bertepatan dengan operasi represif Rezim Orde Baru dalam rangka upaya pembersihan aktifitas politik yang bertentangan dengan Rezim Orde Baru. Dan sejak saat di nyatakan hilang saat ini keberadaan Wiji Thukul masih misteri apakah ia masih hidup atau sudah tiada.

Sebagai mahasiswa yang mengangumi coretan tanganya saya sangat terkesimah ketika pertama kali membaca tulisannya di dalam buku Bangkitlah Gerakan Mahasiswa yang di tulis oleh Eko Prasetyo. Di dalam buku tersebut terdapat satu puisi yang berjudul “Ucapkan Kata – katamu” pada bait terakhir berbunyi “Jika kau menghaba pada ketakutan kita akan memperpanjang barisan perbudakan” yang kemudia puisi tersebut mengsugesti saya tentang bagaimana cara saya bersikap dan bertindak.

Sehingga pada prinsipnya secara historis seni memiliki peran yang saya nilai cukup besar dalam proses perjuangan pada masa masa perjuangan bangsa kita, dan Berkarya dengan Bahagia adalah wujud perjuangan.

Berkarya dengan Bahagia adalah wujud kemerdekaan diri. Ia! seperti kamu! Kamu juga wujud karya yang katanya ayah pidi baiq kita adalah karya kedua orang tua kita yang di selundupkan dari surga di kamar pengantin. Ya tanpa harus di jelaskan saya kira kamu sudah paham maksud dari itu.

Berkarya dengan Bahagia adalah wujud perlawanan. Ia! Perlawanan terhadap penindasan diri pada sikap yang tidak produktif sebab sikap yang pasif adalah wujud penjajahan diri.

Berkarya dengan Bahagia adalah wujud ekspresi diri. Ia! ekspresi tentang keberanian dalam mengambil sikap atas fenomena sosial.

Berkarya dengan Bahagia, Bahagia dengan Berkarya, dan Teruslah Berkarya!.

Penulis: M.S