Objektif.id – Tujuan perlindungan hukum bagi tenaga kerja dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dari kesewenang-wenangan pengusaha dan untuk menciptakan suasana yang harmonis di perusahaan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip yang ada dalam hubungan industrial. Peranan pemerintah dalam masalah ketenagakerjaan ini adalah dalam rangka memberikan perlindungan kepada pihakyang lemah dalam hal ini pihak tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita.
Masalah ketenagakerjaan pada hakekatnya merupakan masalah nasional yang sangat kompleks ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang semakin merosot. Keadaan ini menimbulkan semakin banyak tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan karena adanya pemutusan hubungan kerja, sementara itu menimbulkan banyaknya tuntutan dari tenaga kerja baik yang bersifat normatif maupun non normatif. Menghadapi kondisi ini pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja sangat penting untuk menangani permasalahan ketenagakerjaan secara tepat, salah satunya masalah perlindungan tenaga kerja wanita. Selama ini perlindungn terhadap tenaga kerja wanita, khususnya mengenai keselamatan, kesehatan dan hak-hak reproduksinya tidak dapat dilakukan sepenuhnya karena adanya peluang yang diberikan oleh peraturannya sendiri yang secara tegas melarang dan tidak adanya sanksi yang tegas. Hal ini dapat dilihat dalam undang-undang dan peraturan menteri yang mengatur tentang tenaga kerja wanita yang tidak membuat sanksi terhadap penyimpangan dari perusahaan dan kalaupun ada sanksi, pelaksanaannya kurang adil dan tegas.
Perusahaan banyak melakukan usaha-usaha demi meminimalisasi kerugian mereka dengan memberikan insentif seperti bonus kehadiran (attendance bonus), bonus dari pelaksanaan suatu pekerjaan (performance bonus) dan bonus-bonus yang berkaitan dengan kehadiran tenaga kerja di tempat kerja. Hal ini berarti segala jenis insentif yang diberikan secara otomatis hilang jika pekerja tidak bekerja, walaupun hanya dalam waktu 1 (satu) hari dengan alasan yang jelas ataupun jika pekerja tidak dapat memenuhi target pekerjaan dalam satu hari, maka pekerja tidak akan memperoleh insentif, sebagai contoh bagi tenaga kerja wanita dengan pemberian insentif ini membuat pekerja wanita dengan terpaksa bekerja selama mengalami menstruasi yang sangat sakit sekalipun, hal ini mempengaruhi terhadap keselamatan dan kesehatan reproduksi pekerja tersebut. Hak untuk mendapat cuti haid para pekerja pada umumnya tidak pernah diambil oleh tenaga kerja wanita, dikarenakan panjangnya birokrasi yang harus dihadapi.
Kenyataannya banyak tenaga kerja wanita yang diberhentikan atau terkena pemutusan hubungan kerja, karena pekerja sudah menikah atau dalam keadaan hamil, pelanggaran menikah ini memilki tendensi di dalam industri yang mana mempekerjakan wanita sebagai pekerjanya. Perusahaan saat ini lebih suka untuk melakukan perekrutan pekerja terhadap pekerja wanita yang belum menikah sehingga mudah untuk mengontrol fasilitas yang diberikan.
Untuk lebih memahami keselamatan. Kesehatan, dan hak-hak reproduksi perlu mendapatkan perhatian dan penghormatan, khususnya pada hak-hak reproduksi perempuan, melihat kutipan dasar konferensi internasional kependudukan dan pembangunan di Kairo tahun 1994 deklarasi tersebut terus menguraikan prinsip-prinsip etis fundamental tersebut yaitu sebagai berikut:
- Perempuan dapat dan telah membuat keputusan yang bertanggungjawab untuk dirinya sendiri, keluarganya, masyarakatnya dan untuk keadaan dunia pada umumnya. Perempuan harus menjadi subyek bukan obyek dari kebijakan pembangunan mana pun terutama dari kebijakan untuk pembangunan kependudukan;
- Perempuan memiliki hak-hak untuk menentukan kapan, seperti apa, mengapa, dengan siapa dan bagaimana mengungkapkan seksualitasnya. Kebijakan kependudukan harus didasarkan pada prinsip penghormatan pada integritas seksual dan kebutuhan anak perempuan dan perempuan;
- Perempuan memiliki hak individual dan tanggungjawab sosial untuk menentukan apakah, bagaimana dan kapan memiliki anak dan berapa banyak, tidak ada seorang perempuan pun dapat dipaksakan untuk melahirkan, apabila hal itu idak sesuai dengan keinginannya;
- Laki-laki juga memiliki tanggung jawab personal dan sosial atas tingkah laku seksual dan atas tingkah laku mereka pada kesehatan serta kesejahteraan pasangan dan anak-anaknya.
Perempuan berdasarkan fungsi biologisnya melahirkan suatu hak yaitu hak reproduksi yang harus dilindungi. Fungsi reproduksi perempuan meliputi masa menstruasi, masa pra dan pasca kehamilan serta masa menyusui. Ketiga fungsi ini sudah melekat pada setiap perempuan sehingga pelaksanaan perlindungan untuk menjaga hak- hak reproduksi perempuan itu suatu keharusan.
Perlindungan yang diberikan bagi perempuan terhadap kesehatan reproduksi akan berdampak terhadap proses pembangunan khususnya pada bidang kependudukan. Dengan kesehatan reproduksi yang baik, maka seorang ibu akan melahirkan seorang anak yang sehat. Keguguran dan kematian ibu akan dapat diminimalisir dengan adanya dari tiap individu untuk menjaga kesehatan reproduksinya. Disinilah peran pemerintah sangat besar di dalam pengawasan pelaksanaan perlindungan hak- hak reproduksi.
Perlindungan Hukum Terhadap Keselamatan, Kesehatan dan Hak-Hak Reproduksi Pekerja Wanita
Perlindungan pekerja merupakan faktor utama dalam keselamatan, kesehatan kerja dan hak-hak reproduksi pekerja wanita. Pendekatan tersebut bermula dari meningkatnya dampak buruk perkembangan doktrin Laissez Faire di Eropa pada abad pertengahan. Doktrin tersebut mengusung filosofi liberalisasi ekonomi, khususnya di sektor industri. Secara garis besar, intervensi pemerintah dalam hubungan ekonomi/industrial tidak diperkenankan. Berkembang pula aksi pengabaian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, (Kiswandari : 2014).
Perlindungan hukum (Puspitasari : 2014) pekerja, terlebih dalam bentuk peraturan perundang-undangan berkembang sangat lambat. Pertentangan terjadi antara serikat pekerja dan para reformis di dalam maupun di luar parlemen, dengan para pengusaha besar dan kaum intelektual pengusung doktrin Laissez Faire, (Puspitasari : 2014).
Penyusunan dan penerbitan undang[1]undang pertama bidang kesehatan kerja (arbeidsbeschermingswetten) bermula di Inggris pada tahun 1802 melalui The Health and Moralsof Apprentices Act yang ditujukan bagi pekerja anak magang yang dipekerjakan dipabrik dengan jamkerja yang berkepanjangan. Perlindungan yang diatur adalah perlindungan terhadap kesehatan kerja (gezonheidhealth) dan keselmatan kerja atau keamanan kerja (veiligheid safety) dalam menjalankan pekerjaan. Kedua hal tersebut dikembangkan sebagai suatu bidang tersendiri dalam hukum perburuhan yang menonjolkan intervensi negara dalam bentuk hukum (peraturan perundang[1]undangan). Pada mulanya, peraturan yang disusun hanya berupa pembatasan jam kerja bagi pekerja anak, kemudian pekerja remaja dan selanjutnya pekerja wanita, ( Puspitasari : 2014).
Dasar pemikiran yang melatar belakangi pengaturan tersendiri bagi pekerja wanita adalah karena wanita memiliki kekhususan[1]kekhususan tertentu, utamanya fisik biologis, psikis moral dan sosial kesusilaan. Prinsip dibidang kesehatan kerja bagi pekerja wanita adalah perlindungan khusus atas kekhususan mereka utamanya fungsi melanjutkan keturunan (biologis), (Puspitasari : 2014). Perlindungan berbentuk pembatasan-pembatasan dalam praktik pemerkerjaan wanita terkait batas usia dan kondisi tertentu sebagai penghalang pemerkerjaan. Pembatasan meliputi larangan mempekerjakan pekerja wanita yang berumur kurang dari 18 tahun atau kondisi hamil dengan keterangan dokter bahwa mempekerjakan pekerja wanita tersebut dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan diri dan kandungannya pada malam hari, mulai jam 11 malam sampai dengan jam 7 pagi. Disisi lain, apabila pengusaha mempekerjakan pekerja wanita terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu pemberian makanan dan minuman bergizi, adanya jaminan bagi kesusilaan dan keamanan pekerja wanita selama di tempat kerja, serta penyediaan angkutan antar jemput. Bentuk perlindungan lainnya adalah pemberian hak-hak khusus wanita terkait waktu istirahat dan kesempatan untukmenyusui anak selama waktu kerja.
Prinsip berikutnya adalah larangan diskriminasi atas dasar jenis kelamin/gender di tempat kerja, (Konvensi ILO1951). Bentuk-bentuk diskriminasi di tempat kerja meliputi perbedaan pengupahan untuk pekerjaan yang bernilai sama, perbedaan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan, pelatihan ketrampilan dan jabatan tertentu, serta perbedaan ketentuan dan syarat kerja. Pertimbangan pembatasan-pembatasan tersebut adalah karena wanita memiliki kekhususan-kekhususan utamanya biologis tertentu dengan aspek kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan pria, selain kekhususan kesusilaannya.
Pembatasan berikutnya berupa pemberian waktu istirahat bagi pekerja di sela waktu kerja yang harus dipenuhinya, Waktu istirahat bertujuan agar pekerja dapat memulihkan tenaganya setalah bekerja terus menerus selama beberapa hari dalam seminggu. Selain waktu istirahat terdapat pula bentuk lain dari waktu istirahat berupa cuti. Meliputi cuti untuk menjalankan ibadah yang diwajibkan oleh agama pekerja, cuti haid selama dua hari per bulan, cuti hamil dan melahirkan selama 1,5 (satu setengah bulan) sebelum melahirkan dan 1,5 (satu setengah bulan) sesudah melahirkan sesudahmelahirkan anak menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan, serta cuti gugur kandung selama 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan keterangan dokter kandungan atau bidan.
Selanjutnya pembatasan lain atas waktu kerja adalah hari libur. Pekerja tidak diwajibkan bekerja pada hari-hari libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Hari libur bertujuan agar pekerja berkesempatan untuk merayakan hari raya tertentu, hal mana merupakan salah satu faktor kesejahteraan pekerja.
Tujuan perlindungan hukum bagi tenaga kerja dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dari kesewenang-wenangan pengusaha dan untuk menciptakan suasana yang harmonis di perusahaan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip yang ada dalam hubungan industrial. Peranan pemerintah dalam masalah ketenagakerjaan ini dalam rangka memberikan perlindungan kepada pihak yang lemah dalam hal ini pihak tenaga kerja.
Pelindungan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hak pekerja yang berkaitan dengan norma kerja yang meliputi waktu kerja, istirahat (cuti). Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar tenaga kerja dan menjamin kesamaan kesempatan, serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan dunia usaha, (Riris : 2009).
Bentuk perlindungan tenaga kerja akan terlihat dalam perjanjian kerja atau isi perjanjian kerja harus mencerminkan isi dari Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Perjanjian inilah yang mendasari lahirnya hubungan kerja dengan kata lain hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha sebagaimana diuraikan pada bagian hubungan kerja harus dituangkan dalam PKB dan perjanjian kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara tenaga kerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja, yakni suatu perjanjian dimana pekerja menyatakan kesanggupan untuk bekerja pada pihak perusahaan/majikan dengan menerima upah danpengusaha menyatakan kesnggupannyauntuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah, (Riris : 2009).
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengatur mengenai hak-hak perempuan di dalam Pasal 49 yang merumuskan:
(1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.
(2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.
(3) Hak hkusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi. reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum”.
Ketentuan inilah yang menjadi dasar terbentuknya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya berkaitan dengan perlindungan bagi tenaga kerja wanita yang meliputi perlindungan tenaga kerja wanita di bawah umur. Perlindungan terhadap larangan anak untuk dipekerjakan dimaksudkan agar anak dapat memperoleh haknya untuk mengembangkan kepribadiannya serta untuk memperoleh pendidikan karena anak merupakan generasi penerus bangsa.
Dalam Pasal 69 ayat (1) UUK bahwa anak yang diperbolehkan bekerja yaitu anak yang berumur antara 13 tahun sampai dengan 15 tahun melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial, (Hardijan : 2011). Pekerjaan ringan yang dapat dilakukan oleh anak-anak harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Ijin tertulis dari orang tua/wali;
- Perjanjian kerja antara pengusaha dan orang/wali;
- Waktu kerja maksimal 3 (tiga) jam/hari;
- Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
- Perlindungan K3;
- Adanya hubungan kerja yang jelas;
- Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berkaitan dengan jaminan sosial Undang[1]Undang Ketenagakerjaan memberikan pengaturan secara umum dalam Pasal 99 sampai dengan Pasal 101. Pasal 99 ayat (1) merumuskan, “Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja”.
Jaminan sosial secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial bagi Tenaga Kerja yang penyelenggaraannya sekarang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, dimana jaminan sosial ketenagakerjaan berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan, ruang lingkup meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan.
Peraturan-peraturan ini dapat dijadikan patokan dasar dalam penegasan pemberian pelindungan terhadap keselamatan, kesehatan dan hak-hak reproduksi pekerja wanita, hanya saja pihak pengusaha tidak dapat merealisasikan secara baik ketentuan yang ada.
Pekerja wanita hanya dituntut untuk bekerja tanpa adanya suatu pemahaman yang baik tentang hak dan kewajibannya, disatu sisi juga perusahaan perusahaan atau pengusahapun tidak pernah dipertemukan secara langsung oleh pemerintah untuk mensosialisasikan peraturn yang ada.
Saat ini pemasalahan seperti ini tidak disorot sebagai permasalahan yang berat, akan tetapi suatu saat nanti akan terjadi dimana pekerja sampai pada taraf pendidikan yang lebih baik, para pekerja wanita akan sadar bahwa keselamatan,kesehatan, dan hak-hak reproduksi (cuti haid, hamil dan melahirkan) adalah kondisi biologis yang merupakan bagian dari hak asasi wanita yang harus dihargai dan dihormati.
Dengan adanya beberapa kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, khususnya berkaitan dengan pelindungan hak asasi manusia bagi tenaga kerja wanita, maka sudah selayaknya Indonesia memberikan perhatian yang serius terhadap perlindungan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita. Hal ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan regulasi-regulasi dibidang ketenagakerjaan.
Upaya pembinaan bagi tenaga kerja dan pengusaha dalam upaya penegakkan hak-hak tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita harus terus dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar tenaga kerja lebih memahami lagi hak[1]haknya dan pengusaha memahami lagi akan kewajiban-kewajibannya. Upaya pengawasan dimaksud, diharapkan bukan hanya suatu rutinitas periodik saja, tetapi sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan dan aplikasi perlindungan hak asasi manusia bagi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita dan bagi yang melanggarnya harus diambil tindakan hukum.
Perlindungan hukum bagi tenaga kerja wanita di Indonesia harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yangtidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dan juga harus disesuaikan dengan konvensi internasionl yang sudah diratifikasi oleh bangsa Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan bangsa dan negara.
Kendala yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Perlindungan terhadap Keselamatan, Kesehatan, dan Hak-Hak Reproduksi bagi Tenaga Wanita
Resiko kerja diperusahaan tentunya akan merugikan pengusaha, baik kerugian berupa materi maupun kerugian moral. Selain merugikan pengusaha resiko kerja di perusahaan pun merupakan kergian juga bagi pekerja.
Kendala dari pengusaha. Pengusaha yang dianggap paling kuat kedudukannya dibandingkan pekerja, cenderung melakukan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku. Adapun bentuk penyimpangan yang dilakukan pengusaha dikarenakan masih adanya pengusaha yang kurang menyadari manfaat dari dilaksanakannya peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi perusahaannya maupun bagi pekerja itu sendiri. Sebagai contoh pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja yang dalam hal ini menjamin hak-hak tenaga kerja secara keseluruhan sering dilanggar dengan cara tidak mendaftarkan pekerja sebagai peserta jamsostek yang sekarang menjadi BPJS Ketenagakerjaan masih ada kendala dari pengusaha sperti:
- Pengusaha yang kurang menyadari manfaat diselenggarakannya program jamsostek bagi pekerja diperusahaannya. Program tersebut dirasakan oleh perusahaan sebagai suatu yang membebani keuangan perusahaan dan merupakan penghambat dari jalannya proses produksi, padahal manfaat dari diadakannya program jamsostek sangat menguntungkan bagi pengusaha, misalnya apabila suatu waktu terjadi kecelakaan kerja, kematian, hari tua/sakit yang dialami oleh tenaga kerja, pengusaha tidak harus memikirkan lagi biaya pengobatan/ tunjangan bagi pekerjanya, karena segala pembiayaan yang semestinya dikeluarkan oleh pengusaha ditanggung oleh program jamsostek;
- Pengusaha masih kurang taat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal yang paling penting dalam program jamsostek di bidang ketenagakerjaan adalah dengan didukung oleh adanya kejujuran dari pihak pengusaha dalam membuat keterangan sebagai syarat dari pihak penyelenggara;
- Masih terdapat pekerja yang tidak tahu hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan program jamsostek, sehingga pengusaha dapat memanfaatkan ketidaktahuan pekerja itu untuk membayarkan seluruh tanggungan jamsostek kepada para pekerjanya, padahal pekerja hanya membayar iuran hari tuanya saja, sedangkan untuk keselamatan dan kesehatan pekerja ditanggung oleh pengusaha tersebut;
- Kurangnya penyuluhan dan penerangan kepada pekerja baik itu dari pihak pengusaha ataupun dari pihak yang terkait dalam program ini.
Kendala dari pihak pekerja wanita itu sendiri, misalnya kurang memahami akan hak dan kewajibannya, pekerja mempuyai kewajiban untuk memenuhi dan mematuhi seluruh syarat dalam peraturan kesehatan dan keselamatan kerja yang diwajibkan.
Kendala yang terjadi dari aparat penegak hukum dikarenakan penegakaan peraturan dibidang ketenagakerjaan belum dapat dilaksanakan secara efektif. Penegakan hukum dibidang ketenagakerjaaan dilakukan oleh pengawas ketenagakerjan dari Kementrian Ketenagakerjaan.
Di dalam keselamatan dan kesehatan kerja terdapat panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja yaitu merupakan suatu panitia yang dibentuk untuk suatu perusahaan yang menggunakan tenaga kerja minimal 50 (lima puluh) orang. Bagi perusahaan yang menggunakan kurang dari 50 (lima puluh) orang tenaga kerja tidak diharuskan adanya panitia pembina K3. Adapun bagi perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja diatas 100 orang maka di dalam perusahaan tersebut diharuskan adanya seorang ahli K3 dalam panitia K3 tersebut.
Pembentukan Panitia K3 merupakan wewenang dari Menteri Tenaga Kerja sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yaitu, ““Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia K3 guna memperkembangkan kerjasama, saling pengertian dan partipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di bidang k3 dalam rangka melancarkan usaha berproduksi”.
Masih belum sempurnanya sistem administrasi yang dilaksanakan oleh pengawas ketenagakerjaan dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya penyimpangan secara administrasi oleh pengusaha. Pada dasarnya segala penyimpangan secara administratif akan terdeksi secara dini, apabila dalam pelaksanaan ketentuan adminstratif tersebut dapat dilaksanakan maka segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh pengusaha dapat teratasi.
Pembinaan dan penyuluhan terhadap unsur perusahaan tentang perlindungan terhadap keselamatan, kesehatan dan hak-hak reproduksi pekerja wanita hanya dapat berjalan apabila pengusaha berusaha mematuhi ketentuan yang berlaku, untuk itu kepada pengusaha perlu diadakan pembinaan dibidang ketenagakerjaan mengenaihak[1]hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh pengusaha dan pekerja, sehingga diharapkan pengusaha tersebut akan memahami hak dan kewajibannya. Hal ini berkaitan dengan masalah tanggungjawab yang harus dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja wanita dalam hal pelindungan keselamatan, kesehatan kerja dan hak-hak reproduksinya.
Penutup
Perlindungan hukum terhadap keselamatan, kesehatan dan hak-hak reproduksi dalam pelaksanannya secara umum sebagian sudah sesuai, misalnya jaminan sosial secara umum telah diberikan kepada tenaga kerja wanita, tetapi ada sebagian yang belum sesuai misalnya, cuti haid, cuti hamil, belum sepenuhnya diberikan, belum disediakannya ruang untuk memberikan asi, selanjutnya karena tenaga kerja wanita lebih banyak di sektor domestik pada akhirnya akan lebih banyak mengalami diskriminasi terutama bagi tenaga kerja wanita yang bekerja di luar negeri.
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan terhadap keselamatan, kesehatan, dan hak-hak reproduksi tenaga kerja wanita, dari pihak pemerintah terkaitnya lemahnya pengawasan, dari pihak pengusaha sering melanggar peraturan demi keuntungan pengusaha, dari pihak tenaga kerja wanita yaitu kurang paham terhadap peraturan perundangan ketika terjadi pelenggaran hak[1]haknya sebagai pekerja.
Adapun sebagai saran, bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja wanita harus melaksanakan hak-hak bagi pekerja wanita sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan perjanjian kerja, serta perjanjian kerja bersama. Pemerintah juga harus memberikan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang melanggar terhadap peraturan perundang[1]undangan maupun perjanjian kerja dan perjanjian kerja bersama yang mempekerjakan pekerja wanita.
Pennulis: Wahyudin Wahid
Editor: Redaksi