Belajar dari Ambang Kehancuran: Menakar Posisi Indonesia Melalui Lensa Collapse Karya Jared Diamond

Penulis: Rizal Saputra H. Sembaga (Mahasiswa Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo)

Dalam karyanya yang monumental Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed, Jared Diamond, menggugah kesadaran kita bahwa keruntuhan suatu peradaban tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari akumulasi keputusan sosial, kebijakan politik, dan respons terhadap tekanan lingkungan. Lewat pendekatan multidisipliner, Diamond membedah penyebab runtuhnya berbagai masyarakat — dari Pulau Paskah hingga Kekaisaran Khmer — dengan membandingkannya pada masyarakat modern yang menghadapi krisis yang sama. Dua studi kasus penting, yakni perbandingan Republik Dominika vs Haiti, serta Montana di Amerika Serikat, menjadi cermin reflektif yang sangat relevan bagi Indonesia saat ini.

Republik Dominika vs Haiti: Satu Pulau, Dua Takdir

Pulau Hispaniola di Karibia menjadi laboratorium sosial yang unik. Ia dihuni oleh dua negara: Haiti dan Republik Dominika. Meskipun berbagi ekosistem yang sama, kedua negara memiliki nasib yang sangat berbeda.

  • Haiti: Gambaran Keruntuhan Ekologis Haiti adalah contoh nyata dari masyarakat yang runtuh karena eksploitasi alam yang tak terkendali. Sekitar 98% hutan di Haiti telah hilang akibat penebangan untuk kayu bakar dan perluasan lahan pertanian. Negara ini juga menghadapi kemiskinan ekstrem, pemerintahan yang korup, dan lemahnya penegakan hukum. Tanpa sumber daya alam yang cukup, Haiti terperosok dalam siklus bencana ekologis dan kemanusiaan yang tiada akhir.
  • Republik Dominika: Jalan Menuju Pemulihan Sebaliknya, Republik Dominika, di bawah kepemimpinan Presiden Joaquín Balaguer pada 1960–1990, berhasil menghindari keruntuhan. Ia menerapkan kebijakan konservasi hutan yang agresif, melarang penebangan liar, dan memperkuat lembaga perlindungan lingkungan. Meski rezimnya otoriter, hasilnya nyata: tutupan hutan tetap terjaga, banjir dapat dikendalikan, dan ketahanan ekologis masyarakat meningkat.

Montana: Potret Dilema dalam Negara Maju

Montana, negara bagian di Amerika Serikat yang kaya akan sumber daya alam dan dikenal akan keindahan alamnya, justru menghadapi degradasi ekologis yang serius. Penebangan liar, tambang logam berat yang mencemari tanah dan air, serta peternakan yang merusak padang rumput telah memperlihatkan paradoks negara maju: modernitas dan teknologi tak menjamin keberlanjutan jika tidak ada kesadaran dan regulasi yang tepat. Ironisnya, banyak penduduk Montana menolak campur tangan pemerintah dalam masalah lingkungan, meskipun mereka sangat bergantung pada subsidi federal untuk bertahan. Ini menunjukkan bahwa ideologi politik bisa menjadi penghalang dalam upaya penyelamatan lingkungan.

Kontekstualisasi terhadap Indonesia: Menelusuri Benang Merahnya

Ketika kita mencermati tiga kasus di atas, kita menemukan bahwa Indonesia memiliki sumbu keterkaitan yang kuat dengan semua elemen permasalahan yang dibedah Diamond. Berikut ini telaahnya:

Kerusakan Lingkungan yang Kian Sistemik

Seperti Haiti, Indonesia menghadapi deforestasi dalam skala besar. Data KLHK menunjukkan bahwa sejak 2000, jutaan hektar hutan Indonesia hilang karena pembalakan liar, ekspansi sawit, dan tambang. Contoh paling nyata adalah degradasi hutan di Kalimantan dan Papua, serta ancaman terhadap Raja Ampat akibat rencana pertambangan nikel. Ini sangat mirip dengan Haiti: eksploitasi alam menjadi jalan keluar jangka pendek dari masalah ekonomi, namun menjadi bumerang dalam jangka panjang.

Ketimpangan Sosial dan Ketergantungan Ekonomi

Seperti masyarakat Haiti dan petani Montana, banyak kelompok masyarakat di Indonesia masih bergantung pada sumber daya alam dalam kondisi ketidakpastian ekonomi. Kemiskinan struktural dan ketimpangan distribusi kekayaan mendorong masyarakat untuk menebang hutan, membakar lahan, dan menambang secara ilegal. Hal ini diperparah oleh lemahnya alternatif ekonomi berkelanjutan yang ditawarkan pemerintah.

Kepemimpinan dan Visi Politik yang Lemah dalam Perlindungan Lingkungan

Jika Republik Dominika bisa selamat karena visi ekologis seorang pemimpin, maka Indonesia hari ini menghadapi tantangan besar dari lemahnya kehendak politik untuk menjaga lingkungan. Pembangunan yang berorientasi infrastruktur dan investasi asing seringkali dilakukan dengan mengorbankan kawasan ekosistem esensial. Kasus alih fungsi hutan di Kalimantan untuk IKN atau pembiaran terhadap tambang di wilayah adat menunjukkan bahwa keberpihakan negara masih condong ke ekonomi ekstraktif.

Penegakan Hukum dan Tata Kelola yang Rapuh

Sama seperti Haiti yang gagal menegakkan aturan konservasi, Indonesia juga menghadapi persoalan serius dalam penegakan hukum lingkungan. Banyak perusahaan yang melakukan perusakan hutan tetap lolos dari jerat hukum. Sementara itu, masyarakat adat dan aktivis lingkungan yang mempertahankan tanahnya justru dikriminalisasi. Ini menunjukkan lemahnya tata kelola yang berpihak pada keberlanjutan.

Potensi dan Harapan: Belajar dari Republik Dominika dan Kesadaran Rakyat Montana

Namun Indonesia belum terlambat. Seperti Dominika, Indonesia memiliki potensi besar dalam sumber daya manusia dan biodiversitas. Di banyak daerah, masyarakat adat masih menjaga hutan dengan kearifan lokal mereka. Gerakan masyarakat sipil dan kesadaran publik terhadap isu iklim juga meningkat. Indonesia bisa mengambil jalur pemulihan seperti Dominika-jika didukung oleh kebijakan politik yang berani, investasi dalam energi hijau, dan pendidikan lingkungan yang masif.

Kesimpulan: Jalan Menuju Kelestarian atau Kehancuran

Jared Diamond menunjukkan bahwa peradaban runtuh bukan karena takdir, tetapi karena pilihan. Republik Dominika memilih untuk bertahan. Haiti memilih untuk membiarkan dirinya runtuh. Montana berada di tengah dilema ideologi dan pragmatisme. Indonesia kini berada di titik kritis: apakah akan menjadi Haiti berikutnya-negara yang tersandera eksploitasi alam dan ketimpangan sosial-atau memilih menjadi seperti Republik Dominika-negara yang menyelamatkan masa depannya dengan menyelamatkan lingkungan hari ini? Pilihan itu ada di tangan kita. Dalam kebijakan. Dalam kesadaran kolektif. Dan dalam tindakan nyata.

Penutup : Catatan Pribadi dan Seruan Moral

Sebagai warga negara yang tumbuh ditanah yang subur dan kaya akan sumber daya alam, saya tudak bisa diam dan berpangku tangan melihat arah pembangunan yang kerap kali mengabaikan keberlanjutan. Kasus Haiti bukan hanya kisah negeri yang jauh di karibia tapi ini menjadi cerminan untuk indonesia sebagai refleksi atas pengambilan kebijakan dalam menangani permasalahan lingkungan. Itu adalah cermin yang bisa memantulkan bayangan masa depan Indonesia jika kita terus membiarkan tambang menggantikan hutan, sawit menggantikan rawa gambut, dan beton menggantikan sungai.

Kita tidak kekurangan data, tidak kekurangan hukum, tidak kekurangan sumber daya. Yang kurang pada kita adalah kemauan politik dan kesadaran moral kolektif. Kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya berpikir tentang lima tahun ke depan, tetapi tentang keberlangsungan hidup anak cucu kita. Kita juga membutuhkan rakyat yang berani bersuara ketika hutan ditebang, ketika air tercemar, ketika tanah leluhur dijual atas nama “pembangunan”. Belajar dari kisah Republik Dominika, kita tahu bahwa perubahan itu mungkin. Ia tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi diperjuangkan—oleh pemimpin yang berani, oleh masyarakat yang sadar, oleh hukum yang ditegakkan tanpa pandang bulu. Maka, ketika kita ditanya: “Apakah Indonesia akan selamat?”, jawabannya tergantung pada apa yang kita lakukan hari ini. Diam adalah pilihan. Melawan perusakan juga pilihan. Dan masa depan adalah akibat dari pilihan-pilihan itu.

Raja Ampat Bukan untuk Ditambang: Seruan Keadilan Ekologis dan Perlindungan Warisan Alam Dunia.

5 Juni 2025 merupakan Hari Besar Lingkungan Hidup Sedunia (HBLH), pada hari yang baik ini saya mengajak seluruh elemen masyarakat untuk merefleksi kembali permasalahan lingkungan hidup yang ada di daerah masing-masing dalam skala regional dan dalam skala nasional untuk kemudian melihat serta menelisik dan mengkaji permasalahan yang ada di Raja Ampat. Mari sama-sama kita menolak Raja Ampat yang dijadikan lokasi pertambangan nikel.

Jangan biarkan hari lingkungan hidup hanya sebagai hari seremonial semata, suaramu bisa jadi pelindung bagi kehidupan ini karena kita butuh laut yang tetap biru dan hutan yang tetap hijau. Raja Ampat, permata biodiversitas dunia yang terletak di jantung segitiga terumbu karang, kini menghadapi ancaman serius akibat ekspansi pertambangan nikel.

Sebagai warga negara sekaligus mahasiswa yang berfokus pada kajian-kajian ekologi yang peduli terhadap kelestarian lingkungan dan masa depan generasi mendatang, saya menyuarakan penolakan tegas terhadap proyek ini. Kemudian mengajak kepada seluruh teman-teman mahasiswa, akademisi, aktivis lingkungan dan seluruh  elemen masyarakat untuk mengkampanyekan secara masif penolakan terhadap pertambangan di Raja Ampat.

1. Raja Ampat : Mahakarya Ekologis Nusantara
Raja Ampat adalah rumah bagi lebih dari 1.800 spesies ikan, 550 spesies karang (75% dari total dunia), serta berbagai megafauna laut seperti Pari Manta, Paus, dan Penyu. Keanekaragaman hayati ini menjadikan Raja Ampat sebagai salah satu ekosistem laut terkaya di planet ini, yang berperan penting dalam stabilitas ekosistem global dan sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat lokal melalui pariwisata berkelanjutan.

Perairan Kepulauan Raja Ampat dan sekitarnya telah ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor Kep.64/Men/2009 yang selanjutnya menetapkan perairan Kepulauan Raja Ampat dan laut sekitarnya sebagai Suaka Alam Perairan (SAP). Keberadaan tiga ekosistem seperti Karang, Lamun dan Manggrove seperti juga yang di temukan di perairan Kepulauan Raja Ampat mempunyai peran dan fungsi saling melengkapi dalam kestabilan ekosistem laut.

Supriyadi (2017) dalam Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, berpendapat bahwa Walaupun peran dan Fungsi tiga Ekosistem tersebut sangat besar dalam sistem perairan Kepulauan Raja Ampat, namun keberadaan tiga ekosistem tersebut rentan terhadap pengaruh dan tekanan perubahan lingkungan terlebih dalam tekanan aktivitas manusia seperti pembukaan lahan pertambangan yang saat ini terjadi di Raja Ampat.

2. Ancaman Nyata dari Alih Fungsi Lahan
Ekspansi pertambangan nikel di Raja Ampat membawa dampak ekologis yang signifikan:
Kerusakan Ekosistem Laut: Limbah tambang dan sedimentasi dapat merusak terumbu karang dan habitat laut lainnya.
Deforestasi dan Erosi Tanah: Pembukaan lahan untuk pertambangan menyebabkan hilangnya tutupan hutan dan meningkatkan risiko erosi.
Pencemaran Air dan Udara: Penggunaan bahan kimia dalam proses penambangan dapat mencemari sumber air dan udara, membahayakan kesehatan masyarakat dan kehidupan laut.

3. Perspektif Hukum dan Etika
Dari sudut pandang keadilan lingkungan, proyek ini melanggar prinsip-prinsip dasar:
Keadilan Distribusi: Masyarakat lokal menanggung dampak negatif lingkungan tanpa
mendapatkan manfaat yang setara.
Keadilan Prosedural: Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
terkait proyek ini menunjukkan ketidakadilan dalam proses.
Keadilan Pengakuan: Mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan nilai-nilai budaya mereka
terkait dengan tanah dan laut.

4. Suara Masyarakat dan Solidaritas Nasional
Masyarakat lokal, bersama dengan organisasi lingkungan seperti Greenpeace, telah menyuarakan penolakan terhadap pertambangan nikel di Raja Ampat. Dukungan dari berbagai elemen masyarakat di seluruh Indonesia menunjukkan solidaritas nasional dalam upaya melindungi warisan alam kita.

Maka lewat tulisan ini saya mengajak seluruh teman-teman mahasiswa, aktivis lingkungan Gorontalo dan seluruh elemen masyarakat Gorontalo untuk sama-sama mengkampanyekan bentuk penolakan terhadap proyek pertambangan nikel di Kepulauan Raja Ampat. Atas nama Warga Negara Saya menyerukan kepada pemerintah untuk menghentikan
proyek pertambangan nikel di Raja Ampat dan meninjau kembali kebijakan yang mengancam kelestarian lingkungan. Mari bersama-sama menjaga Raja Ampat sebagai warisan alam dunia yang tak ternilai harganya.

Penulis : Rizal Saputra H. Sembaga (Mahasiswa Jurusan Biologi,Fakultas MIPA, Universitas
Negeri Gorontalo.

Kita Tidak Butuh Banyak

Persma selamanya. Ya, pers mahasiswa Objektif akan tetap abadi bahkan ketika gerakannya hanya dimotori oleh segelintir orang. Aku mungkin tidak selama para senior yang lebih dulu masuk dalam organisasi yang bekerja pada ruang-ruang jurnalistik ini. Aku sendiri bergabung sejak tahun 2021, dengan usia semester yang masih belia. Memang bukan pilihan yang lazim selayaknya kebanyakan mahasiswa untuk masuk ke dunia organisasi. Untungnya aku tidak sepengecut mereka, yang tersandera oleh stigma masyarakat bahwa organisasi itu merupakan tempat yang kumuh tak bermanfaat dan penuh kekerasan. Ironisnya, perbuatan durjana oknum dianggap sebagai kesimpulan utuh atas kondisi dari sebuah organisasi.

Berproses di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Objektif adalah sesuatu yang awalnya tak aku seriusi. Berbagai metode pembentukan karakter dan jalan intelektualnya adalah sesuatu yang baru kudapatkan, tentu hal itu yang membuat anak kampungan seperti aku yang jauh dari kultur aktivisme mahasiswa seperti membaca, menulis dan diskusi, merasa tak sanggup untuk mudah beradaptasi.

Sekali lagi, bahwa itu memang bukan sesuatu yang mudah. Tapi dengan cara-cara keras (bukan kasar dan tidak bersifat komando) itulah yang menciptakan manusia-manusia tangguh, yang tidak manja, tolol dan feodal. Andai kata pedang, ia harus ditempa dengan sekuat dan sekeras-kerasnya agar menghasilkan ketajaman yang optimal. Bahwa hasil dari proses keras itu tidak menjadikan aku sebagai mahasiswa berprestasi bukan sebuah masalah bagiku, justru aku sangat bangga dengan kesibukan yang menuntunku jatuh cinta pada demonstrasi, kajian isu, hingga liputan yang mengusik kepentingan-kepentingan manusia lainnya atas segala kemudaratan perbuatannya.

Dengan berbagai aktivitas kemahasiswaan seperti itu yang tidak banyak ditempuh oleh orang lain, aku kemudian membuat kesimpulan yang mungkin terkesan subjektif, “bahwa dalam kampus kita bukan hanya sekadar mengejar juara apalagi gelar sarjana semata lebih daripada itu kita harus menjadi manusia.” Manusia yang peka terhadap persoalan masyarakat arus bawah, yang lantang bersuara pada ketidakadilan, serta memutus rantai perbudakan dari kebijakan-kebijakan politik yang bangsat.

Menjadi kader UKM Pers merupakan ketidaksengajaan yang tidak akan aku sesali. Bahwa perlawanan dan keragu-raguan yang menjadi dasar kerja-kerja jurnalistiknya harus betul-betul diresapi oleh setiap anggotanya. UKM Pers tidak boleh hanya sekadar menjadi organisasi penampung manusia yang tak punya keberanian apalagi kehilangan perspektif. Dalam banyak momentum penerimaan anggota, aku melihat standar perekrutan yang dipakai masih cenderung memakai tolak ukur kekerabatan relasi yang tidak berbasis pada kompetensi. Akibatnya, organisasi hanya melahirkan kuantitas secara berlebihan yang jauh dari ideologi pers mahasiswa.

Tidak berlebihan kiranya jika aku menyampaikan kegalauan pada organisasi yang telah berhasil melahirkan kader-kader keder yang masuk karena ingin numpang tenar atau menjadikan UKM Pers sebagai batu loncatan untuk mencapai sisi-sisi yang lain dalam menunjang karir dan kepentingan pribadi mereka. Hari ini aku ingin menyampaikan secara gamblang, sudah cukup sekian lamanya organisasi tidak menyiapkan kader yang sigap dan kuat melanjutkan kerja-kerja pers mahasiswa yang sesungguhnya. Harus diakui jujur, mayoritas kader dan alumni UKM Pers tidak paham sejarah perjuangan pers mahasiswa sebagaimana yang telah diulas dalam buku putih Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Padahal sejatinya gerakan pers mahasiswa dipandu pada tiga pokok kultur, yang pertama adalah kesadaran historis yang menempatkan sejarah perjuangan pers mahasiswa sebagai penguatan organisasi melalui karya jurnalisitknya yang menjadi bagian penting dalam laku hidup pergerakannya yang berorientasi kerakyatan. Kedua, adalah memahami pola gerakan pers mahasiswa disesuaikan dengan kebutuhan zaman yang tidak terlepas dari kesulitan-kesulitan yang harus siap diterima oleh mereka yang berkecimpung di organisasi pers mahasiswa. Ketiga, kesadaran praktis dalam melihat kondisi organisasi yang terbengkalai karena kemunduran wawasan dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.

Sebagai pimpinan redaksi di periode kepengurusan tahun ini aku prihatin dan khawatir. Prihatin ketika pengurus masih menerapkan standar perekrutan kader baru berbasis kuantitas, sekaligus khawatir secara keorganisasian jika masih memperpanjang ruang keistimewahan pada mereka yang tak bisa dan tak mau menulis. Bukankah itu sebuah aib nyata yang sedang dipelihara. Haruskah kita menormalisasi anomali itu? Aku pikir tidak, mengamini itu sama halnya menghianati nilai-nilai dari ideologi pers mahasiswa itu sendiri.

Model kader surplus gaya minim karya selalu lebih banyak daripada mereka yang tulus berbuat mempersembahkan produk jurnalistiknya pada publik. Dari puluhan manusia yang direkrut disetiap angkatan pada akhirnya hanya menjadi tumpukan “kotoran” yang tidak bisa diberdayakan selain dibersihkan. UKM Pers Objektif IAIN Kendari tidak lahir dari ruang kosong dan hampa. Ia lahir dari rahim perjuangan yang panjang. Jejak perlawanannya tercatat disetiap lembar liputannya. Sudah saatnya membersihkan kader yang tak cakap dalam menulis dan tak punya keberanian untuk melawan demi kepentingan publik termasuk melawan intervensi alumni dalam agenda liputan dan penerbitan.

Secara kolektif kita harus sepakat saat dinamika kampus dan problem kebangsaan yang terus bergejolak, pers mahasiswa hadir sebagai salah satu ruang yang meramu ide-ide visioner, berteriak dengan lantang, mempertaruhkan jiwa raganya dalam memperjuangkan kebenaran dan kepentingan publik. Akan tetapi, seiring waktu, wajah dari kader pers mahasiswa kita malah jauh bergeser dari arah garis membela mereka yang tertindas, menjadi corong bagi suara yang dibungkam, serta menghidupi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kebenaran. Begitu sangat nampak bagaimana kegugupan untuk kritis serta menghasilkan produk jurnalistik telah disarangi oleh kemalasan. Banyak dari anggota tidak lagi mengetahui atau merasakan ruh perjuangan pers mahasiswa. Mereka lebih sibuk dengan algoritma media sosialnya yang membuat apatis ketimbang mengimplementasikan apa yang menjadi perannya sebagai jurnalis media alternatif.

Disinilah pentingnya menata ulang arah. Bahwa regenerasi yang sehat membutuhkan sistem kaderisasi yang kuat, tidak memanjakan kader, membentuk kualitas bukan sekadar militansi. Jika definisi dari nama pers dan mahasiswa itu berat dan mulia karena didalamnya terkandung spirit intelektualitas (kritis), kemanusiaan
(keberpihakan pada moral dan etika), kerakyatan (keberpihakan
dan kepedulian pada rakyat bawah), kebangsaan (demokratisasi
dan kemartabatan negeri), dan pers mahasiswa yang
independen. Maka dengan demikian buat apa secara keorganisasian kita masih mempertahankan kader yang tak tahu berbuat apa saat tergabung dalam pers mahasiswa.
Lagi-lagi di dalam nama “pers mahasiswa”, terkandung beban sejarah dan semangat perjuangan. Ia adalah wujud dari keberpihakan. Berpihak kepada rakyat kecil, pada etika dan nurani, pada proses demokratisasi, serta pada martabat bangsa. Maka tak berlebihan bila menempatkan pers mahasiswa sebagai kekuatan independen yang kritis terhadap segala bentuk penyimpangan.

Dalam kegusaranku menulis di ruang redaksi yang hening, disaksikan tembok yang kusam dan tumpukan buku di rak, aku sadar satu hal—bahwa perubahan tidak datang dari langit. Ia harus mulai dari yang kecil; membongkar masalah lebih jujur, menyusun ulang pola kaderisasi, kemudian mewariskannya dalam bahasa generasi kini dan selanjutya. Aku tahu berat, tapi siapapun itu tak ingin menjadi manusia yang menyerah dalam diam. bahwa yang paling penting kita tidak butuh banyak, kita butuh yang tidak gagap untuk berbuat. Mereka yang tidak aktif tidak perlu dilibatkan. yang tidak serius buat apa dikasih ruang. Pengurus organisasi harus tahu batas dan tahu diri, jika anggota tidak menganggap penting pers mahasiswa maka secara kelembagaan harus memperlakukan hal yang sama.

Mudarat Hukum Kolonialisme Indonesia di Papua

Syukur bagimu Tuhan Allah Maha Kudus, Alam Semesta, dan Leluhur Bangsa Papua yang senantiasa memberikan kehidupan bagi saya agar terus berjuang menegakan keadilan, kebenaran, kejujuran, di hadapan Hukum Kolonialisme Indonesia. Namun keadlian tak lagi kunjung, kebenaran dijual belikan, kejujuran menjadi sampah kehidupan bagi parasit- parasit oligarki yang memegang kendali kekuasaan.

Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan kejujuran dan kebenaran fakta kejadian atas penggusuran paksa yang di lakukan oleh Militerisme TNI/POLRI, panitia Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021, dan Lembaga Universitas Cenderawasih (Uncen). Mereka adalah aktor kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, terlebih khusus terhadap mahasiswa Papua, pada 2021 yang digusur paksa dengan kekuatan Militer TNI/POLRI mengunakan dalil untuk penempatan atlet PON dan renovasi asrama.

Pada faktanya di Tanah Papua, kebenaran selalu di jual belikan antara Hakim dan Pemodal demi melanggengkan kepentingan akumulasi modal tetapi saya salah satu dari sekian ribu orang Papua tidak pantang menyerah atas segala bentuk kejahatan HAM yang terus terjadi di Tanah Papua. Pelanggaran HAM yang terjadi pada tanggal 21 Mei 2021 lalu adalah luka yang tidak akan pernah sembuh, karena saya sebagai salah satu korban penggusuran paksa yang tidak pernah mendapatkan keadilan, kebenaran, dan kejujuran di hadapan Hukum pengadilan Abepura Kota Jayapura Papua. Dalam persoalan pelanggaran HAM, kami nilai terjadi pelanggaran hak atas pendidikan, pelanggaran hak atas tempat tinggal yang layak dilakukan oleh Kampus UNCEN merupakan bentuk pelanggaran ganda. Mahasiswa selama 5 tahun telah ditelantarkan tanpa kepedulian pihak kampus hak atas pendidikan dan hak atas tempat tinggal yang layak.

Saya masih ingat sekali, pada tanggal 21 Mei 2021 pukul 09.00 WIT. Yang mengepung duluan di Asrama Universitas Cenderawasih (UNCEN) Rusunawa itu ribuan Militer gabung TNI/POLRI, yang mengunakan peralatan perang dengan lengkap. Militer TNI/POLRI kepung membuat seluruh penghuni asrama mahasiswa kaget, dan mereka begitu tiba bicara mengunakan megaphone bersifat himbauan darurat dengan menyampaikan “kepada seluruh penghuni asrama agar segera tinggalkan tempat dan keluar dari lingkungan asrama Rusunawa dan asrama Unit 1 – Unit 6 dengan alasan, ini perintah Rektor Apolos Safanpo.”

Mereka memberikan waktu untuk menyimpan barang–barang mahasiswa hanya satu jam, setelah waktu satu jam berakhir TNI/POLRI masuk menggrebek asrama mengunakan senjata membongkar pintu–pintu kamar mahasiswa. Setelah itu tidak lama kemudian eskafator tiba dan langsung memutuskan tangga–tangga gedung asrama, dan seluruh penghuni di kumpulkan di depan halaman Bola Volly dan Bola Futsal. Beberapa pengurus asrama dan saya selaku penghuni yang memimpin massa mahasiswa ingin bernegosiasi tetapi kami dipukul babak belur oleh TNI/POlRI, mereka beralasan bahwa “sekarang bukan waktunya kita negosiasi tetapi sekarang waktunya untuk kalian keluar meninggalkan Asrama”.

Pada saat itu juga beberapa penggurus asrama ditarik paksa kasih keluar dari lingkaran massa mahasiswa ke jalan besar karena dengan alasan memprovokasi massa mahasiswa, termasuk Lembaga Bantun Hukum (LBH) Papua tidak diberikan izin untuk masuk kedalam lingkungan asrama. Saya masih ingat sekali pada waktu itu Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobai, ditarik oleh Polisi untuk dikeluarkan dari lingkungan asrama tetapi pada waktu itu karena masa ribut akhirnya Polisi biarkan Emanuel masuk bicara dengan mahasiswa korban penggusuran paksa.

Militer TNI/POLRI menjadi dalang pelanggaran HAM berat dalam kasus ini, pada saat proses penggusuran paksa asrama mahasiswa Uncen, dengan watak arogansinya waktu itu membungkam seluruh ruang gerak dan ruang untuk berpendapat kami sebagai penghuni asrama mahasiswa. Waktu itu situasi kami di bawah kendali militerisme TNI/POLRI karena seluruh ruang gerak dan ruang untuk menyampaikan pendapat penghuni di bungkam habis dengan alasan mereka bahwa sekarang bukan waktunya kami bicara tetapi sekarang waktunya kalian menyimpan barang dan keluar dari asrama. Pada saat situasi pengusuran berlangsung, hampir seluruh penghuni menangis, dan hal itu membuat saya dan beberapa penggurus asrama mulai membawah keluar seluruh massa mahasiswa dengan satu sikap kita secara spontan bahwa “Mogok Pendidikan di Uncen.”

Setelah kami di keluarkan dari asrama kami seluruh penghuni Asrama, malamnya duduk diskusi di punggir jalan raya, ada beberapa kesimpulan yang kami dapat dari diskusi yaitu sebagai berikut:
1. Kami sepakati membentuk posko umum di depan Asrama Rusunawa Uncen dan beberapa sektor posko.
2. Kami malam itu juga membentuk struktur posko yang diketuai Fredi Kogoya dan Sekretaris saya sendiri Varra Iyaba, dan penanggung Jawab Devanus Siep dan David Wilil selaku Badan Pengurus asrama.
3. Kami malam itu sepakati secara kolektif untuk menempu jalur hukum agar kita buktikan di pengadilan.
4. Kami juga mengumpulkan data korban alat–alat mahasiswa dan mengambil data seluruh mahasiswa yang mengalami korban pengusuran paksa.

Kemudian setelah itu persoalan penggusuran paksa asrama mahasiswa, kami secara resmi memberikan kuasa penuh kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua sebagai pendamping hukum kami. Proses hukum tentang kasus penggusuran di pengadilan semakin tidak jelas, terkesan hakim dan pihak Uncen berselingku di atas mimbar pengadilan serta mempelacurkan hukum kolonialisme. Kami korban penggusuran menunggu kepastian hukum tentang keadilan, kebenaran, dan kejujuran dari sejak 2021 hingga kini 2025 belum ada tanda kemenangan, dan kebenaran menjadi buram di pengadilan.

Setiap persoalan baik itu persoalan politik, Sosial, ekonomi, dan budaya yang dialami boleh umat manusia di dunia memiliki kerinduan yang sama tentang kedamaian, keadila, kebenaran, dan kejujuran di hadapan hukum baik itu hukum negara maupun hukum adat. Kami mahasiswa korban penggusuran paksa asrama Uncen memiliki keinginan tentang keadilan, kebenaran, dan kejujuran oleh hakim yang mulia di pengadilan, namun keadilan tidak lagi mengharumkan bagi korban.

Kami sebagai mahasiswa korban penggusuran paksa merasakan dan menyatakan dengan jujur bahwa hukum di Indonesia berlaku untuk pemodal atau orang yang memiliki uang, hakim berselingku dengan pelaku dan memberikan perlindungan hukum terhadapnya.Walaupun keadilan, kebenaran, dan kejujuran terlihat buram di pengadilan tetapi semangat kami akan terus berkobar sepanjang massa di jalan pemberontakan.

Setiap orang memiliki kerinduan untuk mendapatkan keadilan maka dengan itu mahasiswa korban penggusuran paksa asrama Uncen melimpahkan kasus dengan harapan yang sama yaitu menuntut keadilan. Kami juga menuntut agar Pengadilan Negeri Abepura memberikan efek jerah terhadap pihak kampus Uncen yang telah melakukan praktik – praktek yang melanggar HAM, dan melanggar hak atas pendidikan, dan juga melanggar hak atas tempat tinggal mahasiswa yang layak.

Oleh karena itu kami menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Kami mendesak kepada pihak Uncen agar segera bertanggung jawab atas segala bentuk kerugian mahasiswa yang mengalami korban penggusuran paksa, pada 21 Mei 2021 lalu di Rusunawan Kamwolker Perumnas lll Waena Kota Jayapura Papua.
2. Kami mendesak kepada Pengadilan Negeri Abepura Kota Jayapura agar segera mempercepat proses hukum dan juga harus memberikan kepastian hukum kepada mahasiswa korban penggusuran paksa asrama Uncen.
3. Kami mendesak kepada panitia PON 2021 dan Pemerintah Provinsi Papua agar segera bertanggung jawab atas penggusuran paksa asrama mahasiswa Uncen.
4. Kami meminta kepada Negara Indonesia agar segera tangkap dan adili mantan Rektor Uncen Apolos Sanfapo selaku pelaku yang memerintahkan penggusuran paksa asrama mahasiswa.

Kami sebagai manusia yang mengalami korban penggusuran paksa asrama mahasiswa Uncen, merindukan kemenangan, keadilan, kebenaran, dan kejujuran. Kami juga memiliki kerinduan untuk di hargai atas suara teriakan kami dari waktu – kewaktu dan kini sudah 5 tahun lamanya. Walaupun suara kami tak lagi didengar, dan tetesan air mata kami tak diperdulikan, tetapi kami akan eksis menanam beni pahit ini di setiap lahan baru agar api pemberontakan tetap menyala di setiap waktu.

Rusunawa 21 Mei 2021 – 21 Mei 2025

penulis: Varra Iyaba

Pendidikan Sebagai Tolak Ukur Perempuan Dalam Menyikapi Kesetaraan Gender

Objektif.id – Pendidikan adalah sebuah proses humanisme yang selanjutnya dikenal dengan istilah memanusiakan manusia. Oleh karena itu kita seharusnya bisa menghormati hak asasi setiap manusia. Untuk itu pendidikan tidak saja membentuk insan yang berbeda dengan sosok lainnya yang dapat beraktifitas menyantap dan meneguk, berpakaian serta memiliki rumah untuk tinggal hidup, ihwal inilah disebut dengan istilah memanusiakan manusia.

Perempuan pada saat ini dihadapkan pada berbagai macam peran. Perempuan juga diharapkan dapat memilih dan bertanggung jawab atas peranan yang telah dipilihnya ketika ia memasuki tahap perkembangan dewasa dini. Peranan kaum perempuan pada tahap dewasa dini pada saat ini secara umum memang mulai bergeser dalam peran gender yang dianutnya ke arah egaliter. Perempuan mulai meninggalkan peran gender tradisionalnya karena peran ini bertentangan dengan kompetensi dan pencapaian prestasi, dua aspek yang sangat dihargai masyarakat namun masih sulit diperoleh oleh perempuan.

Meskipun begitu, di Indonesia kaum perempuan memang terus diberi peluang makin besar untuk ikut serta dalam proses pembangunan. Namun, di samping itu masyarakat sadar bahwa peranan perempuan dalam pembangunan tidak bisa dipisahkan dengan peranannya sebagai ibu di dalam lingkungan keluarga, yakni sebagai ibu rumah tangga. Fungsi ibu lebih dikaitkan dengan peran mereka sebagai pendamping suami, pengasuh anak, sehingga penghargaan pada ibu lebih dikaitkan dengan peran ibu dalam keluarga.

Dalam kehidupan bermasyarakat khususnya di pedalaman sudah menjadi tugas perempuan untuk bisa mengendalikan tiga bagian wilayah dalam kehidupan rumah tangga yaitu kasur, dapur dan sumur bagi kehidupan perempuan yang sudah berumah tangga. Tugas-tugas yang serupa juga dilakukan bagi perempuan yang masih mengenyam pendidikan dengan dalih perempuan harus bisa mempersiapkan diri agar pandai dalam mengurus rumah tanggah nya kelak serta pembiasaan kepada anak perempuan.

Keinginan untuk lebih meningkatkan kualitas hidup kaum perempuan dewasa ini telah mampu meningkatkan tingkat partisipasi kaum perempuan di dunia pendidikan. Bahkan di beberapa negara maju, tingkat partisipasi kaum perempuan di dunia pendidikan lebih tinggi dibandingkan kaum laki-laki. Namun demikian, tingginya partisipasi perempuan di dunia pendidikan belum diiringi dengan perubahan kultur yang menunjukkan keseimbangan antara fungsi dan potensi laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, salah satu poin dari Millenium Development Goals adalah mendorong terwujudnya kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan.

Saat ini perempuan dihadapkan dengan trend bahwa perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi kemudian tidak mengembangkan karirnya dan lebih memilih menjadi ibu rumah tangga. Pada zaman yang modern ini boleh saja perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga secara total, tetapi hendaknya menjadi ibu rumah tangga yang memiliki wawasan yang cukup dan berdaya. Hal ini dapat dicapai dengan pendidikan dan terus belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.

Kesenjangan Gender Dalam Dunia Pendidikan Yang Sangat Merugikan Kaum Perempuan

Banyak faktor yang menyebabkan para perempuan indonesia tidak memiliki keterampilan, antara lain adalah sedikitnya kesempatan memperoleh keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan setempat, faktor kemiskinan, tidak adanya semangat semangat dan kemauan untuk memperoleh kesempatan dan fasilitas berlatih keterampilan dengan baik, meskipun otaknya mungkin baik atau bisa disebut cermerlang. Tingkat pendidikan dan pengetahuan serta keterampilan yang rendah bagi perempuan menyebabkan mereka menjadi sumber daya manusia yang kurang mampu bersaing dalam hal dunia kerja. Agar dapat memiliki kemampuan yang setara atau agar dapat bersaing salah satunya adalah menjadi manusia yang berkualitas tinggi. Sumber daya manusia yang berkualitas tinggi ini dapat dihasilkan oleh salah satunya melalui jalur pendidikan dan pelatihan.

Namun dalam prosesnya, pendidikan bagi perempuan ini sering muncul beberapa faktor yang kemudian menjadi hambatan bagi kaum perempuan. Adapun faktor-faktor tersebut sebagai berikut:

A. Faktor kesenjangan gender

Ketidak meratakan pendidikan di tanah air disebabkan oleh beberapa faktor penting yang kemudian menjadi penyebab timbulnya kesenjangan khusus nya bagi kaum perempuan sehingga banyak yang mengambil jalan pintas dengan putus sekolah dan berdiam di rumah membantu tugas orang tua mengajarkan tugas rumah tangga bahkan berkebun.

B. Faktor penyebab kesenjangan

1. Cara pandang masyarakat yang menganggap perempuan itu hanya mengurusi tugas rumah tangga.

2. Kesadaran masyarakat kurang akan pentingnya pendidikan.

3. Keselamatan kaum perempuan jika jauh dari pengawasan orang tua.

4. Ekonomi masyarakat yang lemah.

5. Kurangnya fasilitas pendidikan yang memadai di suatu desa.

6. Dampak yang ditimbulkan, dampak kesenjangan tersebut adalah pendidikan masyarakat yang rendah dan pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan dan perkembangan masyarakat yang lemah dan pembangunan desa secara fisik maupun non-fisik.

Sehingga kesenjangan perempuan di desa benar-benar terjadi, yaitu adanya anggapan bahwa pendidikan lebih utama untuk kaum laki-laki dibandingkan perempuan. Faktor-faktor penyebab kesenjangan pendidikan yang terjadi yaitu faktor ekonomi, budaya, lingkungan, pergaulan, pola pikir, serta sarana dan prasarana pendidikan yang minim. Selain itu, dampak yang ditimbulkan ialah pendidikan masyarakat yang rendah dan pada akhirnya berpengaruh pula terhadap pembangunan desa baik secara fisik maupun non fisik dan juga tentunya perkembangan masyarakat itu sendiri.

Pandangan KH. Ahmad Dahlan Akan Status Perempuan Dalam Dunia Pendidikan 

Menurut KH.Ahmad Dahlan dunia tidak akan maju dengan sempurna jika wanita hanya tinggal di belakang (di dapur saja). Sehingga dalam usahanya beliau mengumpulkan kaum wanita kemudian diberi pelajaran dan kursus, yang diperuntukkan khusus bagi kaum ibu. Mereka diberi pelajaran surat al maun, yang berisi perintah memberi pertolongan kepada orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Pendapat Ahmad Dahlan dalam masalah pendidikan untuk kaum wanita ini kelihatannya sederhana, tetapi pada saat itu, di mana wanita belum memperoleh pendidikan yang sewajarnya, walaupun ia tergolong orang mampu.

Usaha Ahmad Dahlan dalam membina kaum perempuan ini sudah merupakan usaha yang besar. Ahmad Dahlan berusaha mengubah pendapat umum pada masa itu yang beranggapan bahwa “wanita itu surga dan neraka itu tergantung suaminya”. Dari mana timbulnya gagasannya memperhatikan pendidikan untuk kaum wanita? Dari keterangan-keterangan yang berhasil penulis temukan, maka penulis berpendapat bahwa pemikiran beliau mengenai masalah pendidikan bagi kaum perempuan karena pemahamannya terhadap ajaran islam yang tidak membeda-bedakan antara kaum laki-laki dan perempuan, tinggi rendahnya seseorang tergantung dari kadar takwanya.

Melihat usaha yang dilakukan para tokoh-tokoh terdahulu untuk memperjuangkan hak-hak pendidikan bagi perempuan tentunya memiliki makna yang berarti. Sehingga bisa melahirkan perempuan dengan pola pikir yang unggul serta cerdas dan mampu memainkan peranannya dalam masyarakat baik itu sebagai anak, istri dan perannya pada masyarakat. Perempuan juga sangat memiliki andil yang besar dalam mempersiapkan generasi bangsa karena dari rahimnya lah akan lahir para pemimpin bangsa yang tentunya harus memiliki guru yang luar biasa untuk anak-anaknya.

Perempuan memiliki peranan penting dalam pendidikan untuk mencetak generasi yang baik sebagai salah satu bagian dari penerus bangsa. Maka, perempuan harus mengupayakan diri untuk menjadi wanita yang berilmu pengetahuan sebagai bekal untuk anak-anaknya kelak, karena ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas dan kecerdasan tidak dapat diperoleh kecuali dengan proses belajar. Perempuan memiliki peranan penting dalam hal pendidikan, bahkan pendidikan pertama yang diberikan kepada anak adalah dari seorang ibu, melalui metode keteladanan, kedisiplinan, kebudayaan, yang dilakukan sehari hari sehingga secara tidak langsung anak tersebut akan meniru kelakuan orang tuanya khususnya ibu.

Dengan demikian, maka jelas bahwa seharusnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam hal pendidikan, tidak ada yang lebih di utamakan antara laki-laki dan perempuan karena keduanya sama-sama memiliki peran dan kebutuhan masing-masing dalam hal pendidikan.

Penulis: Fitriani

Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Wanita dan Kaitannya Terhadap Kesehatan Reproduksi

Objektif.id – Tujuan perlindungan hukum bagi tenaga kerja dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dari kesewenang-wenangan pengusaha dan untuk menciptakan suasana yang harmonis di perusahaan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip yang ada dalam hubungan industrial. Peranan pemerintah dalam masalah ketenagakerjaan ini adalah dalam rangka memberikan perlindungan kepada pihakyang lemah dalam hal ini pihak tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita.

Masalah ketenagakerjaan pada hakekatnya merupakan masalah nasional yang sangat kompleks ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang semakin merosot. Keadaan ini menimbulkan semakin banyak tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan karena adanya pemutusan hubungan kerja, sementara itu menimbulkan banyaknya tuntutan dari tenaga kerja baik yang bersifat normatif maupun non normatif. Menghadapi kondisi ini pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja sangat penting untuk menangani permasalahan ketenagakerjaan secara tepat, salah satunya masalah perlindungan tenaga kerja wanita. Selama ini perlindungn terhadap tenaga kerja wanita, khususnya mengenai keselamatan, kesehatan dan hak-hak reproduksinya tidak dapat dilakukan sepenuhnya karena adanya peluang yang diberikan oleh peraturannya sendiri yang secara tegas melarang dan tidak adanya sanksi yang tegas. Hal ini dapat dilihat dalam undang-undang dan peraturan menteri yang mengatur tentang tenaga kerja wanita yang tidak membuat sanksi terhadap penyimpangan dari perusahaan dan kalaupun ada sanksi, pelaksanaannya kurang adil dan tegas.

Perusahaan banyak melakukan usaha-usaha demi meminimalisasi kerugian mereka dengan memberikan insentif seperti bonus kehadiran (attendance bonus), bonus dari pelaksanaan suatu pekerjaan (performance bonus) dan bonus-bonus yang berkaitan dengan kehadiran tenaga kerja di tempat kerja. Hal ini berarti segala jenis insentif yang diberikan secara otomatis hilang jika pekerja tidak bekerja, walaupun hanya dalam waktu 1 (satu) hari dengan alasan yang jelas ataupun jika pekerja tidak dapat memenuhi target pekerjaan dalam satu hari, maka pekerja tidak akan memperoleh insentif, sebagai contoh bagi tenaga kerja wanita dengan pemberian insentif ini membuat pekerja wanita dengan terpaksa bekerja selama mengalami menstruasi yang sangat sakit sekalipun, hal ini mempengaruhi terhadap keselamatan dan kesehatan reproduksi pekerja tersebut. Hak untuk mendapat cuti haid para pekerja pada umumnya tidak pernah diambil oleh tenaga kerja wanita, dikarenakan panjangnya birokrasi yang harus dihadapi.

Kenyataannya banyak tenaga kerja wanita yang diberhentikan atau terkena pemutusan hubungan kerja, karena pekerja sudah menikah atau dalam keadaan hamil, pelanggaran menikah ini memilki tendensi di dalam industri yang mana mempekerjakan wanita sebagai pekerjanya. Perusahaan saat ini lebih suka untuk melakukan perekrutan pekerja terhadap pekerja wanita yang belum menikah sehingga mudah untuk mengontrol fasilitas yang diberikan.

Untuk lebih memahami keselamatan. Kesehatan, dan hak-hak reproduksi perlu mendapatkan perhatian dan penghormatan, khususnya pada hak-hak reproduksi perempuan, melihat kutipan dasar konferensi internasional kependudukan dan pembangunan di Kairo tahun 1994 deklarasi tersebut terus menguraikan prinsip-prinsip etis fundamental tersebut yaitu sebagai berikut:

  1. Perempuan dapat dan telah membuat keputusan yang bertanggungjawab untuk dirinya sendiri, keluarganya, masyarakatnya dan untuk keadaan dunia pada umumnya. Perempuan harus menjadi subyek bukan obyek dari kebijakan pembangunan mana pun terutama dari kebijakan untuk pembangunan kependudukan;
  2. Perempuan memiliki hak-hak untuk menentukan kapan, seperti apa, mengapa, dengan siapa dan bagaimana mengungkapkan seksualitasnya. Kebijakan kependudukan harus didasarkan pada prinsip penghormatan pada integritas seksual dan kebutuhan anak perempuan dan perempuan;
  3. Perempuan memiliki hak individual dan tanggungjawab sosial untuk menentukan apakah, bagaimana dan kapan memiliki anak dan berapa banyak, tidak ada seorang perempuan pun dapat dipaksakan untuk melahirkan, apabila hal itu idak sesuai dengan keinginannya;
  4. Laki-laki juga memiliki tanggung jawab personal dan sosial atas tingkah laku seksual dan atas tingkah laku mereka pada kesehatan serta kesejahteraan pasangan dan anak-anaknya.

Perempuan berdasarkan fungsi biologisnya melahirkan suatu hak yaitu hak reproduksi yang harus dilindungi. Fungsi reproduksi perempuan meliputi masa menstruasi, masa pra dan pasca kehamilan serta masa menyusui. Ketiga fungsi ini sudah melekat pada setiap perempuan sehingga pelaksanaan perlindungan untuk menjaga hak- hak reproduksi perempuan itu suatu keharusan.

Perlindungan yang diberikan bagi perempuan terhadap kesehatan reproduksi akan berdampak terhadap proses pembangunan khususnya pada bidang kependudukan. Dengan kesehatan reproduksi yang baik, maka seorang ibu akan melahirkan seorang anak yang sehat. Keguguran dan kematian ibu akan dapat diminimalisir dengan adanya dari tiap individu untuk menjaga kesehatan reproduksinya. Disinilah peran pemerintah sangat besar di dalam pengawasan pelaksanaan perlindungan hak- hak reproduksi.

Perlindungan Hukum Terhadap Keselamatan, Kesehatan dan Hak-Hak Reproduksi Pekerja Wanita

Perlindungan pekerja merupakan faktor utama dalam keselamatan, kesehatan kerja dan hak-hak reproduksi pekerja wanita. Pendekatan tersebut bermula dari meningkatnya dampak buruk perkembangan doktrin Laissez Faire di Eropa pada abad pertengahan. Doktrin tersebut mengusung filosofi liberalisasi ekonomi, khususnya di sektor industri. Secara garis besar, intervensi pemerintah dalam hubungan ekonomi/industrial tidak diperkenankan. Berkembang pula aksi pengabaian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, (Kiswandari : 2014).

Perlindungan hukum (Puspitasari : 2014) pekerja, terlebih dalam bentuk peraturan perundang-undangan berkembang sangat lambat. Pertentangan terjadi antara serikat pekerja dan para reformis di dalam maupun di luar parlemen, dengan para pengusaha besar dan kaum intelektual pengusung doktrin Laissez Faire, (Puspitasari : 2014).

Penyusunan dan penerbitan undang[1]undang pertama bidang kesehatan kerja (arbeidsbeschermingswetten) bermula di Inggris pada tahun 1802 melalui The Health and Moralsof Apprentices Act yang ditujukan bagi pekerja anak magang yang dipekerjakan dipabrik dengan jamkerja yang berkepanjangan. Perlindungan yang diatur adalah perlindungan terhadap kesehatan kerja (gezonheidhealth) dan keselmatan kerja atau keamanan kerja (veiligheid safety) dalam menjalankan pekerjaan. Kedua hal tersebut dikembangkan sebagai suatu bidang tersendiri dalam hukum perburuhan yang menonjolkan intervensi negara dalam bentuk hukum (peraturan perundang[1]undangan). Pada mulanya, peraturan yang disusun hanya berupa pembatasan jam kerja bagi pekerja anak, kemudian pekerja remaja dan selanjutnya pekerja wanita, ( Puspitasari : 2014).

Dasar pemikiran yang melatar belakangi pengaturan tersendiri bagi pekerja wanita adalah karena wanita memiliki kekhususan[1]kekhususan tertentu, utamanya fisik biologis, psikis moral dan sosial kesusilaan. Prinsip dibidang kesehatan kerja bagi pekerja wanita adalah perlindungan khusus atas kekhususan mereka utamanya fungsi melanjutkan keturunan (biologis), (Puspitasari : 2014). Perlindungan berbentuk pembatasan-pembatasan dalam praktik pemerkerjaan wanita terkait batas usia dan kondisi tertentu sebagai penghalang pemerkerjaan. Pembatasan meliputi larangan mempekerjakan pekerja wanita yang berumur kurang dari 18 tahun atau kondisi hamil dengan keterangan dokter bahwa mempekerjakan pekerja wanita tersebut dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan diri dan kandungannya pada malam hari, mulai jam 11 malam sampai dengan jam 7 pagi. Disisi lain, apabila pengusaha mempekerjakan pekerja wanita terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu pemberian makanan dan minuman bergizi, adanya jaminan bagi kesusilaan dan keamanan pekerja wanita selama di tempat kerja, serta penyediaan angkutan antar jemput. Bentuk perlindungan lainnya adalah pemberian hak-hak khusus wanita terkait waktu istirahat dan kesempatan untukmenyusui anak selama waktu kerja.

Prinsip berikutnya adalah larangan diskriminasi atas dasar jenis kelamin/gender di tempat kerja, (Konvensi ILO1951). Bentuk-bentuk diskriminasi di tempat kerja meliputi perbedaan pengupahan untuk pekerjaan yang bernilai sama, perbedaan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan, pelatihan ketrampilan dan jabatan tertentu, serta perbedaan ketentuan dan syarat kerja. Pertimbangan pembatasan-pembatasan tersebut adalah karena wanita memiliki kekhususan-kekhususan utamanya biologis tertentu dengan aspek kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan pria, selain kekhususan kesusilaannya.

Pembatasan berikutnya berupa pemberian waktu istirahat bagi pekerja di sela waktu kerja yang harus dipenuhinya, Waktu istirahat bertujuan agar pekerja dapat memulihkan tenaganya setalah bekerja terus menerus selama beberapa hari dalam seminggu. Selain waktu istirahat terdapat pula bentuk lain dari waktu istirahat berupa cuti.  Meliputi cuti untuk menjalankan ibadah yang diwajibkan oleh agama pekerja, cuti haid selama dua hari per bulan, cuti hamil dan melahirkan selama 1,5 (satu setengah bulan) sebelum melahirkan dan 1,5 (satu setengah bulan) sesudah melahirkan sesudahmelahirkan anak menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan, serta cuti gugur kandung selama 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan keterangan dokter kandungan atau bidan.

Selanjutnya pembatasan lain atas waktu kerja adalah hari libur. Pekerja tidak diwajibkan bekerja pada hari-hari libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Hari libur bertujuan agar pekerja berkesempatan untuk merayakan hari raya tertentu, hal mana merupakan salah satu faktor kesejahteraan pekerja.

Tujuan perlindungan hukum bagi tenaga kerja dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dari kesewenang-wenangan pengusaha dan untuk menciptakan suasana yang harmonis di perusahaan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip yang ada dalam hubungan industrial. Peranan pemerintah dalam masalah ketenagakerjaan ini dalam rangka memberikan perlindungan kepada pihak yang lemah dalam hal ini pihak tenaga kerja.

Pelindungan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hak pekerja yang berkaitan dengan norma kerja yang meliputi waktu kerja, istirahat (cuti). Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar tenaga kerja dan menjamin kesamaan kesempatan, serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan dunia usaha, (Riris : 2009).

Bentuk perlindungan tenaga kerja akan terlihat dalam perjanjian kerja atau isi perjanjian kerja harus mencerminkan isi dari Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Perjanjian inilah yang mendasari lahirnya hubungan kerja dengan kata lain hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha sebagaimana diuraikan pada bagian hubungan kerja harus dituangkan dalam PKB dan perjanjian kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara tenaga kerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja, yakni suatu perjanjian dimana pekerja menyatakan kesanggupan untuk bekerja pada pihak perusahaan/majikan dengan menerima upah danpengusaha menyatakan kesnggupannyauntuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah, (Riris : 2009).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengatur mengenai hak-hak perempuan di dalam Pasal 49 yang merumuskan:

(1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.

(2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.

(3) Hak hkusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi. reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum”.

Ketentuan inilah yang menjadi dasar terbentuknya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya berkaitan dengan perlindungan bagi tenaga kerja wanita yang meliputi perlindungan tenaga kerja wanita di bawah umur. Perlindungan terhadap larangan anak untuk dipekerjakan dimaksudkan agar anak dapat memperoleh haknya untuk mengembangkan kepribadiannya serta untuk memperoleh pendidikan karena anak merupakan generasi penerus bangsa.

Dalam Pasal 69 ayat (1) UUK bahwa anak yang diperbolehkan bekerja yaitu anak yang berumur antara 13 tahun sampai dengan 15 tahun melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial, (Hardijan : 2011).  Pekerjaan ringan yang dapat dilakukan oleh anak-anak harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Ijin tertulis dari orang tua/wali;
  2. Perjanjian kerja antara pengusaha dan orang/wali;
  3. Waktu kerja maksimal 3 (tiga) jam/hari;
  4. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
  5. Perlindungan K3;
  6. Adanya hubungan kerja yang jelas;
  7. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Berkaitan dengan jaminan sosial Undang[1]Undang Ketenagakerjaan memberikan pengaturan secara umum dalam Pasal 99 sampai dengan Pasal 101. Pasal 99 ayat (1) merumuskan, “Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja”.

Jaminan sosial secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial bagi Tenaga Kerja yang penyelenggaraannya sekarang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, dimana jaminan sosial ketenagakerjaan berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan, ruang lingkup meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan.

Peraturan-peraturan ini dapat dijadikan patokan dasar dalam penegasan pemberian pelindungan terhadap keselamatan, kesehatan dan hak-hak reproduksi pekerja wanita, hanya saja pihak pengusaha tidak dapat merealisasikan secara baik ketentuan yang ada.

Pekerja wanita hanya dituntut untuk bekerja tanpa adanya suatu pemahaman yang baik tentang hak dan kewajibannya, disatu sisi juga perusahaan perusahaan atau pengusahapun tidak pernah dipertemukan secara langsung oleh pemerintah untuk mensosialisasikan peraturn yang ada.

Saat ini pemasalahan seperti ini tidak disorot sebagai permasalahan yang berat, akan tetapi suatu saat nanti akan terjadi dimana pekerja sampai pada taraf pendidikan yang lebih baik, para pekerja wanita akan sadar bahwa keselamatan,kesehatan, dan hak-hak reproduksi (cuti haid, hamil dan melahirkan) adalah kondisi biologis yang merupakan bagian dari hak asasi wanita yang harus dihargai dan dihormati.

Dengan adanya beberapa kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, khususnya berkaitan dengan pelindungan hak asasi manusia bagi tenaga kerja wanita, maka sudah selayaknya Indonesia memberikan perhatian yang serius terhadap perlindungan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita. Hal ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan regulasi-regulasi dibidang ketenagakerjaan.

Upaya pembinaan bagi tenaga kerja dan pengusaha dalam upaya penegakkan hak-hak tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita harus terus dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar tenaga kerja lebih memahami lagi hak[1]haknya dan pengusaha memahami lagi akan kewajiban-kewajibannya. Upaya pengawasan dimaksud, diharapkan bukan hanya suatu rutinitas periodik saja, tetapi sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan dan aplikasi perlindungan hak asasi manusia bagi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita dan bagi yang melanggarnya harus diambil tindakan hukum.

Perlindungan hukum bagi tenaga kerja wanita di Indonesia harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yangtidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dan juga harus disesuaikan dengan konvensi internasionl yang sudah diratifikasi oleh bangsa Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan bangsa dan negara.

Kendala yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Perlindungan terhadap Keselamatan, Kesehatan, dan Hak-Hak Reproduksi bagi Tenaga Wanita

Resiko kerja diperusahaan tentunya akan merugikan pengusaha, baik kerugian berupa materi maupun kerugian moral. Selain merugikan pengusaha resiko kerja di perusahaan pun merupakan kergian juga bagi pekerja.

Kendala dari pengusaha. Pengusaha yang dianggap paling kuat kedudukannya dibandingkan pekerja, cenderung melakukan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku. Adapun bentuk penyimpangan yang dilakukan pengusaha dikarenakan masih adanya pengusaha yang kurang menyadari manfaat dari dilaksanakannya peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi perusahaannya maupun bagi pekerja itu sendiri. Sebagai contoh pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja yang dalam hal ini menjamin hak-hak tenaga kerja secara keseluruhan sering dilanggar dengan cara tidak mendaftarkan pekerja sebagai peserta jamsostek yang sekarang menjadi BPJS Ketenagakerjaan masih ada kendala dari pengusaha sperti:

  1. Pengusaha yang kurang menyadari manfaat diselenggarakannya program jamsostek bagi pekerja diperusahaannya. Program tersebut dirasakan oleh perusahaan sebagai suatu yang membebani keuangan perusahaan dan merupakan penghambat dari jalannya proses produksi, padahal manfaat dari diadakannya program jamsostek sangat menguntungkan bagi pengusaha, misalnya apabila suatu waktu terjadi kecelakaan kerja, kematian, hari tua/sakit yang dialami oleh tenaga kerja, pengusaha tidak harus memikirkan lagi biaya pengobatan/ tunjangan bagi pekerjanya, karena segala pembiayaan yang semestinya dikeluarkan oleh pengusaha ditanggung oleh program jamsostek;
  2. Pengusaha masih kurang taat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal yang paling penting dalam program jamsostek di bidang ketenagakerjaan adalah dengan didukung oleh adanya kejujuran dari pihak pengusaha dalam membuat keterangan sebagai syarat dari pihak penyelenggara;
  3. Masih terdapat pekerja yang tidak tahu hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan program jamsostek, sehingga pengusaha dapat memanfaatkan ketidaktahuan pekerja itu untuk membayarkan seluruh tanggungan jamsostek kepada para pekerjanya, padahal pekerja hanya membayar iuran hari tuanya saja, sedangkan untuk keselamatan dan kesehatan pekerja ditanggung oleh pengusaha tersebut;
  4. Kurangnya penyuluhan dan penerangan kepada pekerja baik itu dari pihak pengusaha ataupun dari pihak yang terkait dalam program ini.

Kendala dari pihak pekerja wanita itu sendiri, misalnya kurang memahami akan hak dan kewajibannya, pekerja mempuyai kewajiban untuk memenuhi dan mematuhi seluruh syarat dalam peraturan kesehatan dan keselamatan kerja yang diwajibkan.

Kendala yang terjadi dari aparat penegak hukum dikarenakan penegakaan peraturan dibidang ketenagakerjaan belum dapat dilaksanakan secara efektif. Penegakan hukum dibidang ketenagakerjaaan dilakukan oleh pengawas ketenagakerjan dari Kementrian Ketenagakerjaan.

Di dalam keselamatan dan kesehatan kerja terdapat panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja yaitu merupakan suatu panitia yang dibentuk untuk suatu perusahaan yang menggunakan tenaga kerja minimal 50 (lima puluh) orang. Bagi perusahaan yang menggunakan kurang dari 50 (lima puluh) orang tenaga kerja tidak diharuskan adanya panitia pembina K3. Adapun bagi perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja diatas 100 orang maka di dalam perusahaan tersebut diharuskan adanya seorang ahli K3 dalam panitia K3 tersebut.

Pembentukan Panitia K3 merupakan wewenang dari Menteri Tenaga Kerja sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yaitu, ““Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia K3 guna memperkembangkan kerjasama, saling pengertian dan partipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di bidang k3 dalam rangka melancarkan usaha berproduksi”.

Masih belum sempurnanya sistem administrasi yang dilaksanakan oleh pengawas ketenagakerjaan dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya penyimpangan secara administrasi oleh pengusaha. Pada dasarnya segala penyimpangan secara administratif akan terdeksi secara dini, apabila dalam pelaksanaan ketentuan adminstratif tersebut dapat dilaksanakan maka segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh pengusaha dapat teratasi.

Pembinaan dan penyuluhan terhadap unsur perusahaan tentang perlindungan terhadap keselamatan, kesehatan dan hak-hak reproduksi pekerja wanita hanya dapat berjalan apabila pengusaha berusaha mematuhi ketentuan yang berlaku, untuk itu kepada pengusaha perlu diadakan pembinaan dibidang ketenagakerjaan mengenaihak[1]hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh pengusaha dan pekerja, sehingga diharapkan pengusaha tersebut akan memahami hak dan kewajibannya. Hal ini berkaitan dengan masalah tanggungjawab yang harus dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja wanita dalam hal pelindungan keselamatan, kesehatan kerja dan hak-hak reproduksinya.

Penutup

Perlindungan hukum terhadap keselamatan, kesehatan dan hak-hak reproduksi dalam pelaksanannya secara umum sebagian sudah sesuai, misalnya jaminan sosial secara umum telah diberikan kepada tenaga kerja wanita, tetapi ada sebagian yang belum sesuai misalnya, cuti haid, cuti hamil, belum sepenuhnya diberikan, belum disediakannya ruang untuk memberikan asi, selanjutnya karena tenaga kerja wanita lebih banyak di sektor domestik pada akhirnya akan lebih banyak mengalami diskriminasi terutama bagi tenaga kerja wanita yang bekerja di luar negeri.

Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan terhadap keselamatan, kesehatan, dan hak-hak reproduksi tenaga kerja wanita, dari pihak pemerintah terkaitnya lemahnya pengawasan, dari pihak pengusaha sering melanggar peraturan demi keuntungan pengusaha, dari pihak tenaga kerja wanita yaitu kurang paham terhadap peraturan perundangan ketika terjadi pelenggaran hak[1]haknya sebagai pekerja.

Adapun sebagai saran, bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja wanita harus melaksanakan hak-hak bagi pekerja wanita sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan perjanjian kerja, serta perjanjian kerja bersama. Pemerintah juga harus memberikan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang melanggar terhadap peraturan perundang[1]undangan maupun perjanjian kerja dan perjanjian kerja bersama yang mempekerjakan pekerja wanita.

Pennulis: Wahyudin Wahid
Editor: Redaksi

Maraknya Pelecehan Seksual dan Ketabuannya Dalam Pandangan Masyarakat Indonesia

Objektif.id – Kriminalitas merupakan aktivitas yang melanggar hukum dan norma masyarakat. Dalam era globalisasi saat ini, kriminalitas semakin merajalela, seperti contohnya saja tindakan kriminal pelecehan seksual yang sudah sangat kompleks terjadi dan sulit untuk ditangani.

Saat ini, isu pelecehan seksual atau kekerasan seksual menjadi topik yang hangat diperbincangkan masyarakat luar negeri maupun dalam negeri, dikarenakan hampir setiap tahunnya terjadi. Adapun, pelecehan seksual ini, dapat terjadi di mana saja dan tertimpa oleh siapa saja, mulai dari anak-anak hingga orang yang sudah lanjut usia pun bisa menjadi korban akibat dari aksi kekerasan ini.

Dihimpun, dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa RI) terhitung sejak 1 Januari 2023 hingga sekarang telah terjadi kasus pelecehan seksual sebanyak 21.920 kasus dengan korban laki-laki sekitar 4.497 sedang korban perempuan sekitar 19.388. Adapun, tempat kejadian pelecehan seksual tersebut paling banyak berada di lingkup rumah tangga dengan kasus mencapai 13.423 kejadian.

Sungguh ironis melihat negeri tercinta kita rentang terjadi pelecehan seksual. Apalagi, melihat data tersebut yang paling banyak terjadi berada di lingkungan keluarga, yang mana sejatinya menjadi tempat hunian teraman. Namun, nyatanya tidak seperti itu.

Pornografi Pemicu Utama Terjadinya Pelecehan Seksual

Ya, tidak salah lagi salah satu faktor utama yang menjadikan seseorang melakukan tindakan seksual kepada orang lain disebabkan oleh konsumsi tayangan pornografi.

Sebelum ke pembahasan selanjutnya bagi yang belum tahu pornografi itu menurut KBBI adalah “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi.” Singkatnya pornografi itu adalah sebuah alat yang digunakan untuk memenuhi hasrat biologis manusia.

Jadi, kenapa pornografi se-berbahaya itu? Jika ditelisik dari faktor psikologis, visual yang terdapat dalam tayangan pornografi secara otomatis akan tersimpan dan terekam berulang kali dalam otak. Terutama jika hal ini terjadi kepada anak-anak maupun remaja yang bila terpapar dengan konten berbau pornografi maka hal ini akan menciptakan kebingungan baru, stress, kecanduan hingga puncaknya mereka tidak segan melampiaskan hasrat mereka terhadap orang lain yang mereka temui.

Seperti yang terjadi pada kasus pelecehan seksual di 2021 lalu dilansir dari Republika.co.id berdasarkan laporan dari Kemenpppa bahwa telah terjadi kasus pemerkosaan dan pembunuhan di Bandung yang dilakukan oleh remaja pria berusia 17 tahun kepada korban perempuan berusia 10 tahun. Hal ini terjadi karena kecanduannya terhadap pornografi.

Itulah, teman-teman dalam mencegah hal tersebut peran orang tua sangat penting untuk menjauhkan anak dari jangkauan perilaku negatif terutama yang berbau pornografi. Melihat sekarang semakin canggihnya teknologi maka, akses untuk ke sana pun semakin mudah. Waspadalah dalam berselancar jangan terlalu mendalami.

Pendidikan Seksual Masih Menjadi Hal Tabu Untuk Dibicarakan

Kenapa masih maraknya terjadi kasus pelecehan seksual atau kekerasan seksual? Dikarenakan masyarakat kita belum melek akan ajaran seksualitas. Indonesia sebagai sebuah negara yang masih kental akan budaya dan agama menjadikan pembahasan seksualitas masih tabu dalam masyarakat.

Hal tersebut dikarenakan mereka masih mempertahankan stigma bahwa jika membahas hal-hal yang mengandung seks akan merusak norma dan nilai-nilai budaya yang telah berlaku sejak turun-temurun. Selain itu, masih kental dalam pikiran masyarakat Indonesia menjadikan korban perempuan dari tindak kekerasan seksual sebagai pihak yang bersalah dan bertanggung jawab penuh atas kejadian tersebut. Sungguh miris, untuk itulah melalui tulisan ini semoga pemikiran-pemikiran seperti itu sudah tidak ada lagi dalam lingkungan masyarakat.

FYI, perlu diketahui bahwa pelajaran seksualitas itu sangat penting, karena di dalamnya terdapat banyak unsur mengenai tubuh kita secara mendalam. Selain itu, dengan adanya pendidikan seks yang dimulai sejak dini dapat mencegah timbulnya orientasi seksual menyimpang, mencegah terjadinya kehamilan usia dini, dan yang paling penting membuat mereka lebih menghargai lawan jenisnya sehingga tidak terjadilah yang namanya tindak pelecehan seksual.

Sekarang ini, Pemerintah Indonesia juga sudah mulai mengadakan sosialisasi terkait pentingnya pendidikan seksual. Jadi, yuk kita juga mulai buang jauh-jauh stigma yang mengatakan bahwa seksualitas itu tabu demi mewujudkan bangsa yang cerdas dan berbudi pekerti.

Penulis: Tesa Ayu Sri Natari

Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Parpolma Tempat “Gembel-Gembel” Lembaga Kemahasiswaan Dikader

Objektif.id – Pengurus lembaga kemahasiswaan dewasa ini bukan menjadi role model kepemimpinan yang ideal. Banyaknya teman-teman mahasiswa yang bergabung kedalam lembaga kemahasiswaan hanya menumpang tenar dan menjadi aib buruk dari delegasi partai politik mahasiswa.

Minimnya wawasan berlembaga dan bobroknya dalam mengelola organisasi membuat lembaga kemahasiswaan hari ini menjadi prematur dan tidak terukur untuk mencapai kerja-kerja kelembagaan.

Banyak kasus yang secara fakta terjadi dalam kepengurusan bahwa nama-nama pengurus yang masuk dalam tingkat legislatif ataupun eksekutif hanya masuk menjadi anggota yang tidak tahu apa yang akan mereka perbuat dan mereka itu kita terminologikan sebagai “gembel-gembel lembaga kemahasiswaan,” orang-orang miskin. Ya, miskin ide.

Kasus-kasus semacam itu mestinya menjadi perhatian secara kolektif oleh semua pihak, terutama oleh para partai politik mahasiswa yang menjadi kendaraan dalam kontestasi pemilihan mahasiswa yang sekaligus juga sebagai organisasi perkaderan calon-calon pemimpin lembaga kemahasiswaan.

Mengapa ini menjadi penting, sebab dari tahun ke tahun anggota partai yang diusung masuk kedalam struktural kepengurusan hanya mengincar posisi ketua saja, bukan betul-betul untuk mewakafkan dirinya atas nama mahasiswa yang telah memberikan mereka mandat melaksanakan segala tugas dan tanggungjawabnya sebagai representasi mahasiswa yang terpilih melalui mekanisme pemilihan mahasiswa.

Parpolma tidak pernah melakukan pendidikan politik

Partai politik mahasiswa seharusnya lebih peka terhadap keadaan buruk yang terjadi dalam lembaga kemahasiswaan karena melalui partai nama yang menjadi pengurus masuk dalam lembaga kemahasiswaan baik dilegislatif maupun eksekutif. Banyak nama yang disorong partai dan secara fakta itu hanya memperlihatkan bagaimana lembaga kemahasiswaan meningkat secara kuantitatif padahal mereka dimaksudkan untuk menjadi pengurus yakni meningkatkan taraf kualitas lembaga dengan membawa masing-masing ideologi partainya. Namun, yang terjadi sangat berbanding terbalik dengan apa yang menjadi jualan narasi yang dibuat oleh partai.

Partai politik mahasiswa tidak pernah mengajarkan sejak dini kepada para kadernya bagaimana menjadi anggota lembaga kemahasiswaan yang secara moral tahu dia dikirim dalam kepengurusan lembaga ingin menjadi apa. Selain dari pada itu, partai lalai melakukan kaderisasi kepemimpinan yang baik dan benar, seharusnya partai memberikan edukasi politik bahwa seorang pemimpin tidak mesti harus menjadi pimpinan.

Legitimasi kepemimpinan kader partai seyogianya bukan diukur dalam perspektif ia menjadi ketua melainkan bagaimana semangat pembaharuan itu berlaku secara kontinyu saat pertama kali bergabung dalam lembaga sampai masa baktinya diberhentikan oleh aturan. Artinya meninggalkan _policy_ yang baik, ada gagasan yang relevan mengimbangi laju perkembangan zaman.

Masalah akut yang sering kita jumpai yaitu banyaknya kader partai masuk dalam kepengurusan hanya untuk ajang lomba memamerkan dirinya bahwa ia adalah pengurus lembaga kemahasiswaan dengan harapan mendapat baju pengurus, tindakan seperti inilah kemudian mempertegas adagium yang sedang populer yakni “biar bodoh yang penting bergaya.”

Parpolma tempat kebohongan diproduksi

Sikap kader partai dalam kepengurusan lembaga kemahasiswaan memberikan kita gambaran bagaimana mereka dikader melalui partainya. Karakter yang malas dan kebodohan yang diperlihatkan adalah bentuk nyata bagaimana partai melakukan kaderisasi politik. Partai sudah tidak punya rasa malu lagi terhadap ribuan mahasiswa yang mereka wakili, apa yang partai lakukan dari setiap masa menjelang pemilihan mahasiswa hanya berupaya melakukan pembohongan publik dan itu adalah bagian penghianatan moral sekaligus menghina nalar seluruh mahasiswa.

kita ketahui bersama tentang apa yang dijanjikan melalui narasi-narasi pencitraan saat menjelang hari-hari kampanye, semua partai berlomba memenangkan kebohongannya dengan cara memanipulasi seakan-akan mereka paling peduli terhadap lembaga kemahasiswaan tetapi ketika terpilih justru organisasi dibuat rusak.

Seharusnya partai yang berani mencelupkan dirinya dalam giat-giat politik maka dengan penuh kesadaran mesti mempertanggungjawabkan semua apa yang telah digagas, penyakit semua partai hanya siap menang namun tak siap kalah. Kalau semua kader yang didelegasikan kelembaga hanya mengejar posisi ketua terus kapan visi misi partainya dieksekusi? Karena kadernya hanya sibuk mengejar politik kuasa yang tidak mementingkan lagi kepentingan khalayak.

Padahal menurut Antonio Gramsci “politik tidak terbatas pada perjuangan mendapat kekuasaan, politik mencakup kehidupan manusia yang lebih luas. Ikut serta dalam politik berarti mengembangkan kemampuan berpikir dan bertindak yang berguna bagi diri sendiri, mengembangkan otonomi yang tidak didikte oleh kekuasaan semata.” Artinya bahwa apa yang kita yakini berguna bagi diri sendiri tentu itu harus menjadi kemaslahatan banyak orang, jangan nanti momen pemilihan baru semua partai muncul dengan gagah melakukan banyak kebohongan yang hanya menginginkan posisi ketua saja.

Mahasiswa rindu dengan lembaga kemahasiswaan yang didalamnya semua pengurus dari masing-masing delegasi partai itu saling bertengkar tentang banyak hal untuk kemajuan organisasi yang pastinya berorientasi menjaga amanah dan memperjuangkan seluruh aspirasi mahasiswa. Berhentilah partai mengirim delegasi yang bodoh, yang hanya mengandalkan kebesaran nama partainya saja.

Jangan hanya jago jualan jargon

Kini partai harus melakukan upaya transformasi pola perekrutan sampai pendistribusian kader yang betul-betul mengedepankan kepentingan dalam memperjuangkan visi misinya secara konkret. Partai jangan hanya hebat dalam melakukan promosi yang sifatnya klise, sangat miris keadaan partai-partai hari ini yang semuanya masih mengandalkan tipuan-tipuan melalui jargon dan tidak memperhatikan anggota partainya yang banyak melakukan kebobrokan saat menjadi pengurus lembaga kemahasiswaan.

Ada hal yang sangat menarik pernah dikatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa “manusia pada dasarnya bodoh, dan menjadi terpelajar melalui perolehan pengetahuan.” Dengan demikian, jika partai memang tempat untuk melakukan proses kaderisasi kepemimpinan maka didalam pasti terjadi transaksi ide. Tapi kalau yang dikirim partai adalah orang-orang yang tidak berkualitas artinya partai gagal menjadi organisasi pengorbit calon-calon pemimpin, yang ada partai menternak para gembel yang miskin akan gagasan.

Berapa banyak lagi jargon yang harus menjadi penunjang partai untuk membesarkan namanya? Sedang implementasi dari visi misi partai nonsens yang sekedar menjadi tumpukan kata-kata tidak bermakna. Semangat yang digaungkan juga tidak menunjukkan spirit pembaharuan dalam lembaga kemahasiswaan. Setiap tahunnya partai hanya menciptakan polarisasi dikalangan mahasiswa, pertarungan antar partai bukan pertarungan gagasan melainkan ide-ide manipulatif yang dijual gratis.

Slogan-slogan yang melekat pada semua partai hanya untuk membodohi mahasiswa, semakin kuat dipromosikan dan dibangga-banggakan maka semakin kuat partai mengingkari visi-misinya sendiri.

Semoga para parpolma lebih banyak lagi introspeksi agar mereka tahu kalau pendidikan terbaik adalah tindakan bukan kata-kata, kata Charlie Chaplin.

Selain dari pada itu, partai sepertinya tidak pernah membaca banyak literatur dan realitas yang terjadi dilingkup kampus sehingga mereka merasa sistem yang terbangun dalam partainya sudah sangat baik, padahal karena banyak mahasiswa yang mereka bisa tipu. Partai sudah saatnya berhenti membanggakan slogan ataupun jargon kedewaan yang busuk dan tolol itu. Mereka mesti melakukan kesiapan diri untuk melakukan keutamaan yang terbaik dalam segala hal, termasuk dalam hal politik, apapun konsekuensinya. Itulah arete, suatu hal yang diistilahkan oleh Plato.

Penulis: Harpan Pajar

Editor: Melvi Widya

Mengenal Animasi dan Alasan Orang Dewasa Masih Senang Menikmatinya

Objektif.id – “Tidak usah malu kalau hobimu nonton anime ataupun kartun, karena ribuan orang di luaran sana lebih hobi nonton aib orang lain”- Dodit Mulyanto.

Animasi adalah sebuah seni gambar yang bergerak cepat untuk menciptakan suatu ilusi tertentu. Animasi terbagi menjadi beberapa bagian yaitu; Animasi 2D, Animasi 3D, Infografis (slide PowerPoint), Stop Motion, Motion Graphic (video konten promosi), dan Isometric.

Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk mengenal animasi, penulis akan sedikit memaparkan tentang sejarah animasi yang perlu diketahui bahwa dalam perkembangannya melewati proses yang tidak instan. Berawal dari tahun 1900-1930 (The Silent Era). Pada masa ini, manusia sudah mulai bermain ilusi gambar hitam-putih tanpa narasi dan dibuat dengan alat seadanya. Animasi terkenal pada saat itu ialah animasi Mickey Mouse oleh Walt Disney.

Memasuki The Golden Age Of Animation (1930-1960) animasi sudah menggunakan warna, kemudian pada masa The American Television Era (1960-1980), animasi sudah mulai ditayangkan secara komersial yakni pada siaran saluran TV, hingga akhirnya pada Modern Era (1980-now) animasi semakin berkembang pesat dengan adanya teknologi sehingga orang-orang tidak hanya dapat menikmati animasi melalui TV, tetapi juga bisa mengaksesnya dari platform lain seperti YouTube, Disney Hotstar, dan lainnya.

Dampak – Dampak Perubahan Animasi di Era Sekarang

Sering kita kenal animasi merupakan sebuah tontonan yang dikhususkan untuk anak-anak. Namun, apakah kalian tahu? bahwa animasi atau sinema kartun ini ternyata dapat ditonton di seluruh kalangan usia bahkan terkadang ada yang hanya dikhususkan untuk kategori tertentu.

Kita pasti sudah sering melihat sebuah tanda seperti G, PG-13, R, dan D/NC-17. Tanda-tanda ini adalah rating usia dalam sebuah film maupun sinetron. Disinilah perlunya kita mengetahui simbolik-simbolik seperti itu, karena tiap simbolnya memiliki makna yang berbeda-beda jika G (semua usia), PG-13 (usia 13 tahun kebawah), R (usia 17 tahun kebawah), sementara D/NC-17 (usia 18 tahun keatas).

Tidak hanya persoalan tanda rating usia, tetapi yang memprihatinkannya adalah animasi era sekarang ini telah banyak memuat unsur LGBT di dalamnya contohnya animasi Lightyear yang sempat viral di tahun 2022, karena isi ceritanya sangat kental akan LGBT. Tentunya hal seperti ini harus dihindari karena akan berdampak pada psikologis seksualitas pada anak. Jadi, peran orang tua sangat penting dalam memilih tontonan kepada anak-anak meskipun tontonan tersebut hanyalah sebuah animasi semata.

Orang Dewasa dan Kartun

Teman-teman pernah kepikiran tidak sih kenapa orang-orang senang menonton kartun terkhususnya pada orang dewasa? well, ternyata menonton kartun dapat memberikan dampak positif secara psikologis kepada orang dewasa.

Seperti yang kita tahu bahwa orang dewasa terkenal dengan slogannya yaitu “waktu adalah uang”. Saking sibuknya sehingga membuat mereka tidak memiliki waktu yang banyak untuk sekedar refreshing ke tempat-tempat wisata dan pada akhirnya mereka lebih memilih alternatif lain dengan menonton sebuah film di platform nonton online. Namun, bukannya menonton film yang diperankan oleh orang asli sebaliknya beralih menonton film yang berjeniskan animasi untuk menghilangkan kejenuhan yang mereka miliki.

Selain itu, beberapa dari mereka mengaku menonton kartun karena suka dan hobi dalam hal ini yang dimaksudkan adalah anime yang merupakan animasi dari negeri sakura Jepang. Anime ini mempunyai berbagai macam genre beserta alur cerita yang unik, inspiratif, visual yang memanjakan mata, dan jangan lupakan juga yang memang rata-rata ditujukan untuk penonton dewasa. Orang dewasa juga masih senang menonton kartun dikarenakan merasa bernostalgia hanya bermodalkan dengan menonton kartun saja dapat mengingatkan mereka tentang kenangan-kenangan indah di masa kecil dulu.

Penulis : Tesa Ayu Sri Natari
Editor: Melvi Widya