OPINI : Di Balik Label “Giveaway” Tersimpan Jutaan Tetes Keringat

Objektif.id – Dalam hiruk-pikuk dunia olahraga, tak jarang kita menyaksikan sorotan tajam media yang terkadang menyayat hati para atlet. Label “giveaway” yang disematkan begitu mudah oleh salah satu media tersohor di negeri ini, bagaikan pisau yang menusuk dalam-dalam ke relung jiwa para pejuang prestasi.

Di balik sebutan “giveaway” yang terkesan enteng itu, tersimpan jutaan tetes keringat yang bercucuran dalam latihan keras. Jam demi jam, hari demi hari, para atlet mencurahkan seluruh jiwa dan raga demi mengharumkan nama bangsa. Mereka rela meninggalkan keluarga, teman, bahkan mengorbankan masa muda demi mengejar mimpi.

Latihan fisik yang melelahkan, pola makan yang ketat, dan tekanan mental yang tinggi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan seorang atlet. Mereka berjuang melawan rasa sakit, mengatasi kegagalan, dan terus bangkit untuk meraih prestasi terbaik. Setiap medali yang mereka raih adalah hasil dari perjuangan tanpa kenal lelah.

Namun, dengan seketika, semua perjuangan itu seakan sirna begitu saja ketika media yang terkenal dengan logo kepala elang tersebut dengan mudahnya mencap mereka sebagai “giveaway”. Padahal, setiap pertandingan memiliki dinamika yang berbeda-beda. Ada kalanya seorang atlet tampil gemilang, namun ada kalanya ia harus mengakui keunggulan lawan.

Seharusnya media lebih menghargai jerih payah para atlet yang sudah berjuang penuh untuk membanggakan Indonesia jangan malah sebaliknya mengganggap sebagai “giveaway” hasil keringat mereka.

Kita tidak bisa hanya melihat hasil akhir dari sebuah pertandingan. Di balik kemenangan dan kekalahan, terdapat cerita panjang tentang perjuangan, semangat juang, dan dedikasi yang tinggi. Para atlet adalah manusia biasa yang juga memiliki keterbatasan. Mereka tidak selalu bisa tampil sempurna.

Label “giveaway” yang disematkan oleh media tersebut tidak hanya merendahkan prestasi para atlet, tetapi juga berdampak buruk pada psikologis mereka. Bayangkan, setelah berjuang keras, mereka harus menghadapi cibiran dan cercaan dari masyarakat yang terpengaruh oleh pemberitaan media.

Sebagai masyarakat, kita seharusnya lebih bijak dalam menyikapi prestasi para atlet. Mari kita hargai setiap perjuangan mereka, tanpa memandang hasil akhir. Dukungan kita sangat berarti bagi mereka untuk terus berprestasi dan mengharumkan nama bangsa.

Media massa memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk opini publik. Namun, seyogyanya media menyajikan berita yang objektif, akurat, dan membangun. Jangan sampai media menjadi alat untuk menjatuhkan semangat para atlet yang telah berjuang keras untuk negara.

Mari kita bersama-sama memberikan apresiasi yang tulus kepada para atlet kita. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang telah mengharumkan nama bangsa di kancah olahraga internasional. Jangan biarkan label “giveaway” meredupkan semangat juang mereka.

Dengan adanya kejadian ini mudah-mudahan kita bisa mengambil pelajarannya serta diharapkan kepada masyarakat dapat lebih menghargai perjuangan para atlet.

Sebagai informasi, media yang memicu kontroversi di tengah kehidupan damai masyarakat telah menyampaikan permintaan maaf lewat channel YouTubenya. Namun, tetap saja penulis sebagai masyarakat tetap merasa resah, karena hal seperti ini memungkinkan untuk dapat terulang kembali entah itu karena murni kelalaian semata ataupun memang ada unsur yang disengaja.

Sekali lagi melalui tulisan ini, penulis berharap media-media di kancah bumi pertiwi ini dapat lebih bijak dalam menyajikan berita khususnya di dunia olahraga.

 

Penulis: Novasari
Editor: Redaksi

OPINI : Berdalih Demokrasi, Kampus Justru Membungkam

Objektif.id – Pembatasan kampus terhadap hak suara mahasiswa menjadi perhatian utama. Kampus, yang seharusnya menjadi lumbung ide dan suara kritis mahasiswa, justru berubah menjadi penjara pemikiran.

Namun, dengan membatasi hak suara mahasiswa, kita telah mencabut mikrofon dari tangan mereka dan memaksa mereka menjadi penonton pasif dalam drama besar kehidupan kampus.

Membatasi hak suara membuat mahasiswa tidak dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di kampus itu sendiri dan kemungkinan besar akan mengurangi keinginan mahasiswa untuk mengikuti kegiatan yang diadakan oleh kampus.

Seperti dilansir Sketsaunmul.co, peristiwa yang terjadi di Universitas Indonesia (UI) Tahun 2021 lalu, jagat maya dihebohkan oleh sebuah meme kontroversial yang menampilkan sosok Presiden Joko Widodo dengan mahkota di kepala, bergelar ‘King of Lip Service’. Foto satir ini memicu badai kritik yang dahsyat, mengguncang istana dan memicu perdebatan sengit di seluruh penjuru negeri.

Komentar pedas, dukungan fanatik, hingga ancaman berbaur menjadi satu, menciptakan suasana yang memanas dan penuh ketegangan.

Banyak pihak dari berbagai kelompok oposisi juga menilai tindakan mahasiswa ini melanggar Aturan Kritik dan Berpendapat, serta bisa dituntut sesuai dengan pelanggaran UU ITE.

Di sisi lain, ada yang mengatakan bahwa hal itu sebagai upaya untuk mengungkap realita pahit Indonesia. khususnya bagaimana jerat hegemoni membungkam suara kritis mahasiswa, meredam semangat muda yang haus akan kebebasan. Ini bukan sekadar narasi, ini adalah jeritan hati yang ingin didengar.

Hal serupa juga terjadi pada tahun 2017 yang dialami Zaky Mubarok, Ketua BEM Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Birokrat mengancam akan memulangkan Zaky ke orang tuanya. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh gerakan solidaritas mahasiswa UNY yang terjadi di halaman gedung rektorat UNY beberapa waktu lalu.

Dalam aksinya, para pengunjuk rasa menuntut beberapa poin, di antaranya transparansi Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sayangnya, aspirasi para mahasiswa ini tidak mendapatkan respon yang memadai dari pihak kampus.

Inilah dua kejadian yang terjadi di kampus terkait pembatasan hak suara, dan hal ini masih marak terjadi hingga detik ini. Dengan membatasi hak suara mahasiswa, kampus melanggar prinsip dasar dan menghalangi terciptanya lingkungan yang demokratis.

Kampus yang demokratis adalah kampus yang memberikan kebebasan berekspresi kepada mahasiswanya. Bayangkan sebuah kampus di mana mahasiswa bebas berdebat, mengkritik, dan mengajukan pertanyaan. Itulah gambaran kampus ideal. Namun, saat hak suara dibatasi, kita justru menciptakan lingkungan yang lebih menyerupai barak militer daripada rumah belajar.

Dalam hal ini, pemerintah berperan penting untuk menjamin hak setiap warga negara, termasuk mahasiswa, memiliki panggung yang sama untuk menyuarakan pendapatnya. Ketika saja pemerintah abai terhadap hak suara mahasiswa, maka kita sedang menyaksikan benih-benih otoritarianisme tumbuh subur di tanah air kita. Ini adalah ancaman serius bagi masa depan demokrasi kita.

Melibatkan mahasiswa dalam pengambilan keputusan menjadikan kampus sebagai tempat yang lebih baik untuk belajar dan berkembang. Mahasiswa bersuara, Bangsa berjaya.

 

Penulis: Novasari
Editor: Andi Tendri

OPINI : Dilema Kasih Sayang Yang Hilang

Objektif.id – dewasa ini, berita tentang orang tua yang tega meninggalkan anak-anaknya sendiri semakin sering kita dengar . Hati nurani kita terusik melihat betapa besarnya penderitaan yang dialami anak-anak akibat pengabaian orang tuanya.

Penelantaran anak dapat memiliki dampak yang besar dan merugikan bagi mereka terutama dalam pembentukan fisik ,mental, serta emosional anak itu sendiri. Selain itu, anak yang tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya dapat memicu trauma yang mendalam dan membuat ia kesulitan bersosialisasi.

Dilansir dari detik.com Akibat tidak memberikan nafkah kepada keempat anaknya setelah bercerai, seorang nelayan HA (44) dari Aceh Timur ditangkap polisi atas laporan mantan istrinya SA. Berdasarkan laporan dari sang mantan istri hal ini telah dilakukan HA selama bertahun-tahun.

Nah, itulah salah satu contoh miris perilaku orang tua yang tidak bertanggungjawab. Seharusnya sebagai orang tua memiliki peran penting untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak-anak mereka dengan baik, memberikan Pendidikan yang layak dan mereka pantas untuk dicintai serta dihargai. Betapa pedihnya hati anak-anak yang seharusnya merasakan kasih sayang seorang ibu dan ayah, justru ditinggalkan begitu saja dalam kehampaan.

Kejadian seperti ini merupakan bagian dari pelanggaran kepada hak-hak anak yang sudah di jamin oleh aturan hukum serta kesepakatan bersama. Namun, tindakan penelantaran ini adalah bukti nyata bahwa perjanjian itu seringkali dilanggar.

Sebagai masyarakat, kita juga perlu memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan membantu meminimalisasi angka penelantaran anak. Jika perlu kita wujudkan lingkungan yang damai untuk mendukung perkembangan anak dengan memberikan bantuan yang cukup kepada anak-anak yang rentan.

Adapun, faktor ekonomilah yang seringkali memicu beberapa kasus penelantaran anak. Orang tua yang kesulitan ekonomi membutuhkan lebih dari sekadar belas kasihan. Mereka membutuhkan dukungan nyata dalam bentuk bantuan finansial, pendidikan, dan layanan sosial. Dengan begitu, kita dapat mencegah terjadinya penelantaran anak dan membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Lewat tulisan ini sekali lagi saya tekankan bahwa penelantaran adalah kejahatan terhadap kemanusiaan apapun dan siapapun yang melakukannya sungguh dapat penulis katakan ia adalah manusia tercela.

Sudah saatnya para orang tua membuka mata dan hati. Jangan biarkan anak-anak menjadi korban keegoisan kalian. Mari perbaiki kesalahan yang telah kalian lakukan, karena luka yang timbul akibat penelantaran tidak mudah sembuh.

Sayangilah anak kalian, dengan begitu Tuhan juga bakalan sayang terhadap kalian, karena kalian telah bertanggungjawab menjalankan amanah yang Tuhan berikan.

 

 

Penulis: Novasari 
Editor: Redaksi

Pentingnya Google Earth Dalam Penentuan Arah Kiblat

Objektif.id – Google earth telah menjadi alat yang sangat penting dalam banyak aspek kehidupan modern. Termasuk dalam menentukan arah kiblat bagi umat muslim diseluruh dunia. Berikut adalah beberapa alasan mengapa google earth sangat berguna, dalam hal ini:

1. Akurasi dan Presisi 

Google earth menyediakan peta global yang sangat akurat, termasuk informasi detail tentang lokasi geografis dimana pun. Hal ini memungkinkan umat muslim untuk menemukan arah kiblat dengan presisi yang tinggi, terutama di tempat-tempat yang tidak memiliki akses yang mudah ke informasi lokal atau infrastruktur untuk menentukan kiblat secara langsung.

2. Aksesibilitas Universal

Google earth dapat diakses secara luas melalui perangkat komputer dan ponsel cerdas, ini memungkinkan siapapun, di mana pun mereka berada, untuk menentukan arah kiblat dengan mudah hanya dengan menggunakan aplikasi atau versi web google earth. Aksesibilitas ini sangat bermanfaat bagi musafir atau mereka yang tinggal di daerah yang tidak memiliki referensi lokal yang cukup untuk menentukan kiblat.

3. Penggunaan Yang Mudah

Antarmuka google earth dirancang untuk mudah digunakan, bahkan bagi pengguna yang kurang berpengalaman dalam navigasi atau penggunaan teknologi. Pengguna dapat dengan cepat memasukkan koordinat atau nama tempat untuk menemukan arah kiblat dengan beberapa klik.

4. Fleksibilitas Dalam Menentukan Lokasi 

Google earth tidak hanya memberikan informasi tentang arah kiblat di lokasi saat ini, tetapi juga memungkinkan pengguna untuk menelusuri dan menemukan arah kiblat di berbagai lokasi di seluruh dunia. Ini sangat bermanfaat untuk perencanaan perjalanan atau kegiatan di tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.

5. Integrasi Dengan Teknologi Lain

Beberapa aplikasi dan situs web islam yang berkaitan dengan waktu shalat atau panduan keagamaan telah mengintegrasikan fungsi google earth untuk menunjukan arah kiblat secara langsung kepada pengguna mereka. Hal ini meningkatkan kenyamanan dan ketepatan dalam menentukan arah kiblat dalam konteks kegiatan keagamaan sehari-hari.

Dengan demikian, google earth telah membuktikan dirinya sebagai alat yang sangat berguna dan efektif dalam membantu umat muslim di seluruh dunia menentukan arah kiblat dengan mudah, akurat, dan tepat waktu.

 

Penulis: Adenis sastrawan S.Hi., M.H & Madiarto
Editor: Melvi Widya

Kamuflase Mahasiswa Dari Idealis Menjadi Pragmatis 

Objektif.id – Mahasiswa memiliki peran yang sangat penting sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Mereka adalah pembawa obor idealisme yang seringkali menjadi inisiator pergerakan dan mengorganisir demonstrasi, diskusi, dan kampanye perjuangan hak asasi manusia, kesetaraan gender, keadilan sosial, dan isu-isu krusial lainnya.

Sebagai kaum akademis, mahasiswa tidak hanya bergerak dalam ruang kuliah, tetapi juga berperan aktif dalam kehidupan masyarakat. Kecerdasan intelektual hanya bermanfaat jika diiringi dengan integritas dan kejujuran moral. Ketika kecerdasan dan kejujuran intelektual bersatu, itulah yang membawa perubahan positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Idealisme adalah nilai-nilai ideal yang diekspresikan dalam pemikiran atau tindakan positif dalam masyarakat. Di sisi lain, pragmatisme lebih menekankan nilai praktis dan keberhasilan, yang kadang-kadang mengorbankan aspek realistik. Dalam era modern ini, perubahan sosial dan politik menimbulkan tantangan besar bagi mahasiswa.

Beberapa dekade terakhir, terlihat pergeseran dalam paradigma mahasiswa yang menunjukkan dinamika pergerakan dan pemikiran mahasiswa seiring dengan perkembangan zaman.

Semangat juang mahasiswa terkikis oleh realitas yang keras dan tuntutan kehidupan sehari-hari. Realitas pahit menunjukkan kemerosotan semangat juang dan kepedulian terhadap isu-isu sosial. Tuntutan akademik, gaya hidup konsumerisme, dan hiruk pikuk perkuliahan tampaknya mengurangi jiwa kritis dan nurani sosial mahasiswa.

Dalam dunia yang semakin komersial, tidaklah mengherankan melihat mahasiswa terjebak dalam godaan materi. Gerakan aksi mahasiswa dengan slogan keadilan seringkali disertai oleh kepentingan pribadi yang terselubung, menunjukkan bahwa idealisme telah terkubur dalam ambisi finansial.

Sangat disayangkan melihat banyak mahasiswa terjebak dalam dinamika politik yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, bukan demi perubahan positif. Bukan lagi militan perubahan yang menggerakkan gerakan, melainkan dorongan untuk mendapatkan insentif personal dan mengorbankan nilai moral serta keadilan.

Moralitas kader intelektual terpinggirkan dan dimanipulasi untuk kepentingan politik yang bertentangan dengan masyarakat umum. Masa depan bangsa bergantung pada mahasiswa sebagai generasi penerus yang berwibawa, namun apatis terhadap isu-isu politik tidak hanya merugikan diri mereka sendiri, tetapi juga masa depan bangsa.

Tetapi tidak semua mahasiswa beralih dari idealisme ke pragmatisme. Masih banyak yang mempertahankan nilai-nilai idealistik sambil mengakui kebutuhan untuk menghadapi realitas praktis. Pentingnya mendidik integritas sebagai benteng kokoh dan menjadikan mahasiswa sebagai katalisator transformasi terus menjadi sorotan.

 

Penulis: Ismail
Editor: Hajar

Politik Kekecewaan Racun Bagi Demokrasi 

Objektif.id – Tujuan dari politik bukan hanya sebagai cara untuk meraih kekuasaan, tetapi juga strategi dalam menyelaraskan perbedaan untuk hidup bersama. Namun, apa jadinya jika cita-cita keinginan hidup bersama tercederai atas kepentingan pihak tertentu yang mengklaim diri dengan bangga jika persoalan personal adalah representasi semua golongan. Tidak fair kalau ketidakpuasan beberapa individu kepada individu lainnya ingin dijadikan dasar terbentuknya kekecewaan secara kolektif, yang dalam anggapan mereka telah mewakili semua entitas.

Istilah fatsun politik sakit hati muncul atas keadaan peristiwa politik dramatis dengan membuat gerakan sebagai juru selamat dan seakan-akan itu adalah tindakan idealis yang tidak akan mengecewakan, tetapi siapa yang bisa menjamin? Jangan sampai lokomotif penggeraknya penuh gimik belaka melalui kemasan pencitraan baik yang palsu. Idealnya, sebelum mulut menceritakan keburukan orang lain, penting untuk mengecek hidung terlebih dahulu apakah bisa mencium kebusukan diri sendiri. Oleh karena itu, sopan santun politik yang berbasis sakit hati sejatinya hanya akan menghasilkan iklim politik disintegrasi yang mengandalkan perang narasi tidak objektif. Kalaupun menghasilkan persatuan, itu hanya bersifat sementara, melahirkan anak banci, tersesat dan merusak pergerakan.

Sebenarnya pandangan ketidakpuasan hanya sebagai alasan klise yang hadir pada setiap generasi, jika ditinjau dari indera penciuman seorang aktivis, gerakan insidental itu merupakan gangguan mental dari perasaan-perasaan menyedihkan yang timbul akibat kehilangan legitimasi dan superioritas terhadap diri mereka kepada orang lain atau pada perkumpulan tertentu. Kalaupun asumsi tersebut benar adanya maka secara eksplisit bisa kita simpulkan bahwa apa yang dilakukan hanya mementingkan ego sendiri. Haruskah sikap selalu merasa paling penting dan berpengaruh itu dilanggengkan?

Akan lebih beretika kalau kita saling introspeksi diri, bukan malah merasa paling bermoral. Jika hanya memandang pada satu sisi yakni sisi kekecewaan semata, orang akan kehilangan sudut pandang yang lain. Dari sisi kekecewaan saja, yang datang pada diri sendiri hanyalah sakit hati dan dendam. Ketidakpuasan diri sendiri terhadap seseorang memang sifatnya manusiawi, begitupun sebaliknya. Jangan sampai ketidakpuasan seolah-seolah menjadi kabut tebal sakit hati dalam menilai seseorang hingga memunculkan gerakan partisan yang mengorbankan banyak generasi nantinya.

Apakah hari ini kita tengah menguatkan tesis yang mengatakan salah satu symptoom paling menonjol adalah meningkatnya prevalensi baru yang bersifat individualism bukan lagi sosial-horizontal. Sesama manusia yang berkumpul di satu tempat yang sama kita perlu saling mengingatkan untuk menjaga komitmen tolong-menolong, merawat dan saling membesarkan agar menghindari perilaku oportunistik.

Dengan demikian, maka kelompok yang terbentuk itu akan mampu mencapai tujuan-tujuan bersama secara lebih efisien. Kita harus meneladani sikap legowo Hannah Arendt, filsuf politik terkemuka abad 20 keturunan yahudi yang bersedia memaafkan Martin Heidegger yang menjadi salah satu tokoh propaganda nazi atas tindakannya di masa kekuasaan Hitler. Tapi fenomena sekarang kita paling gampang sekali melibatkan bawaan perasaan (baperan) untuk hal-hal yang idealnya bisa diselesaikan dengan bawaan candaan (bacaan).

Hampir pada setiap momentum kontestasi politik kedengkian selalu menjalar. Yang sangat menonjol ada tensi politik intens dan terstruktur dalam menghunuskan perpecahan dan permusuhan terhadap manusia yang akan dituduh mengecewakan. Coba kita telisik kembali, apa yang membuat mereka kecewa? Bukankah kekecewaan itu muncul karena perbedaan, sebab keinginan mereka tidak sesuai dengan harapan pribadi. Seharusnya ketika ada perbedaan selayaknya hal tersebut dihormati dan dihargai antar sesama bukan memojokkan dan memusuhi yang dibungkus dalam bingkai kekecewaan.

Semestinya pencerdasan politik atau pendidikan politik harus hadir sebagai cita-cita tentang diskursus kritis untuk mengucapkan selamat tinggal pada politik kebencian. Di zaman modern lawan kita bukan lagi antar sesama manusia, praktik saling menjatuhkan berlaku di masa baheula oleh peradaban primitif yang alergi dengan eksistensi lain. Sangat jelas di era kolaborasi saat ini masih banyak sisa-sisa manusia yang mengalami kelainan jiwa terhadap kegilaan pengakuan yang digerakkan oleh hasrat kekuasaan semata sehingga menimbulkan konflik yang memenuhi ruang-ruang harmoni keberagaman.

Jika dinilai secara objektif yang sedang menggulirkan kekecewaan bukan malaikat dan nabi, melainkan orang-orang mengecewakan juga dengan mulut besarnya dalam kantong-kantong kemunafikan. Gerakan yang di dalamnya dilandasi dengan sakit hati hanya akan memberikan afirmasi eksklusi dan sekat-sekat yang beroperasi menghasilkan dukungan politik yang nanti mengorbankan kaderisasi.

Ironisnya, alih-alih terwujud suatu solidaritas dan kedamaian, dukungan ekslusif justru semakin menegaskan segregasi yang dikuatkan dinding tebal dikotomi. Sadar atau tidak resiprokal yang berujung pemencilan, orang akan cenderung kehilangan sikap ramah terhadap perbedaan karena terhasut dan terjebak pada politik kebencian yang diseret dalam ego permainan kekuasaan yang tidak membentuk nilai-nilai soliditas secara utuh.

Persatuan dalam keberagaman rupanya telah direnggut oleh kepicikan demagog politik yang berupaya merepresentasikan kebencian dirinya telah mewakili secara mayoritas perasaan orang lain. Upaya menggeneralisasi ini adalah ingin mengesankan diri mereka sebagai pahlawan. Tidak ada yang menjamin yang sekarang menodong orang lain mengecewakan, apakah di masa mendatang mereka tidak akan mengecewakan? Gaya-gaya populisme yang sedang ditunjukan bisa menjadi masalah dalam politik manakala populisme berafiliasi dengan politik kepentingan sektarian yang tidak merata mengakomodasi kepentingan semua golongan yang ada; populisme oleh karenanya dianggap membahayakan dan mengancam soliditas sebab menggiring orang pada perpecahan. Dalam hidup ada keseimbangan, ada mulia dan jahat, ada malaikat bermuka iblis ada iblis bermuka malaikat. Benar apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “barangsiapa hanya memandang pada keceriaan saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit. Kalau tidak ingin ada kekecewaan silahkan ke akhirat.”

Implementasi politik sakit hati hanya akan memperpanjang konflik horizontal. Sebagai orang waras seharusnya ruang politik diwarnai dengan corak pertengkaran pikiran yang sehat. Kedewasaan dalam menyikapi seluruh rangkaian politik yang dinamis adalah orientasi penting untuk mewujudkan satu kekuatan soliditas agar menghentikan dikotomi kepentingan sektarian yang terus melebar.

Kemarahan bukanlah solusi, tetapi untuk memaklumi kemarahan, kita mesti mengalah sebab percuma berhadapan dengan orang yang sedang tidak waras walau hanya sementara, karena bagi Seneca, orang yang marah sedang mengalami “gila sementara” (temporary madness). Hal yang wajib menjadi perhatian adalah rasa kekecewaan seseorang tidak boleh menjadi senjata propaganda yang menodong untuk menyebarkan ketakutan (appeal to fear) dengan menunjuk satu pihak tertentu sebagai penyebabnya. Menyebarkan ketakutan tanpa alasan logis untuk mempengaruhi orang lain itu adalah tindakan pengecut. Sehingga penting bagi siapapun tidak mengambil keputusan secara emosional yang didasarkan oleh pernyataan yang menakut-nakuti.

Harapannya jangan lagi ada orang-orang dionisia (dionysian) dalam istilah Nietzsche adalah mereka yang lebih mempedulikan kebesaran diri dan penegasan kehidupan lainnya daripada mengikuti norma-norma politik. Dengan menuruti moralitas “tuan” dan mentalitas “pahlawan”, tindakan mereka cenderung tidak berbudi, tidak rasional, bernafsu dan politiknya bersifat aristokratik.

 

Editor: Hajar

Ridho Orang Tua = Ridho Tuhan

Objektif.id – Sebelum saya menulis lebih jauh mengenai perihal judul tersebut, saya akan mencopas sebuah hadis nabi dari sebuah website. Yufidia.com

رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْو َالِدَيْنِ

“Ridha Allah SWT bergantung dari ridha kedua orang tua dan murka Allah SWT bergantung dari kemurkaan orang tua”. (HR. Tirmidzi, ibnu hibban, Hakim).

Dalam pembahasan ini, saya akan lebih memfokuskan pada poin “kunci keberhasilan anak berasal dari doa orang tua”.

Hari ini, kita banyak melihat dan mendengar tentang banyak kesuksesan orang-orang di luar sana karena memuliakan kedua orang tua mereka. Diantaranya yakni kisah dari seorang Imam besar masjidil Haram.

Di saat beliau sedang anak-anak seperti anak kecil pada umumnya yang sering bermain, pada suatu hari sang ibu sedang menyiapkan hidangan untuk sang ayah dan tamunya namun saat hidangan tersebut telah siap tiba-tiba saat anak yang semenjak tadi sedang asik bermain tanah mengambil debu dan menaburkannya di atas makanan.

Sontak sang ibu yang langsung melihat kejadian tersebut marah namun, tentu marahnya bukan mencaci sang anak namun dengan kalimat yang mengandung doa untuk sang anak sendiri, ia berkata “Idzhab. Ja’alaka imaaman lilharamain”. ( pergi kamu. Biar kamu jadi imam di Haramain).

Dan kini sang anak telah dewasa dan berkat amarah yang terukur di bingkai dalam doa sang ibu ia pun kini telah menjadi Imam di masjidil Haram dan sang anak tersebut bernama Syaikh Abdurrahman-as sudais, imam masjidil haram yang nada tartilnya menjadi favorit kebanyakan kaum muslimin di seluruh dunia.

Tentu masih banyak lagi kisah inspiratif di luar sana selain kisah di atas, berangkat dari kisah itu mengajarkan kita betapa pentingnya doa dari orang tua kita.

Selagi kedua orang tua kita masih ada, jangan sia-siakan mereka. Minta maaflah atas segala kesalahan yang telah kita perbuat selama ini serta maafkan pula kesalahan mereka selama ini namun tentu tidak akan pernah ada diantara kita yang mampu untuk membalas jasa dan kebaikan dari kedua orang tua kita.

Permintaan maaf di hadapan mereka ketika mereka masih ada itu lebih berarti dibandingkan permintaan maaf di hadapan batu nisan mereka. Jangan sampai kita tergolong orang-orang yang merugi dikemudikan hari nanti.

 

Penulis: La Ode Muhammad Fazril
Editor: Melvi Widya

Penyelenggara Pemilu Tak Paham Aturan, Lalu Kemana Masyarakat Harus Mencari Tahu Terkait Regulasi?

Objektif.id – Pemilihan umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali mulai dari pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Kab/Kota di seluruh wilayah Indonesia. Yang mana, rakyat diberi hak memilih siapa yang lebih layak untuk menahkodai negara ini, dan pada hari ini rakyat pun telah menyelesaikan pesta demokrasi tersebut dengan berbagai dinamika yang telah terjadi di dalamnya.

Penyelenggara pemilu merupakan lembaga yang di beri kewenangan untuk mengatur jalannya pemilu. Jika merujuk pada UU No.7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum (Pemilu) menjelaskan bahwa Penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu terbagi atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Pada narasi singkat ini, penulis hanya akan menitik beratkan sedikit pandangan terkait pemilihan yang diadakan di Desa Laea, Kecamatan Poleang Selatan, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara terkhusus di TPS 001. Terdapat informasi dari salah satu masyarakat Desa Laea tentang adanya masyarakat berdomisili dari Kabupaten Kolaka telah melakukan pencoblosan 5 kertas suara di Desa Laea. Akibat kelalaian dari KPPS dan kurangnya pengetahuan terkait regulasi yang ada tentunya akan melahirkan asumsi publik bahwa di TPS 001 Desa Laea ada indikasi kecurangan. Di tambah lagi telah masuknya laporan dari salah satu masyarakat Desa Laea ke Panwascam pada tanggal 19 Februari 2024 akan tetapi ditolak karena bukti yang diberikan masih berupa file sementara, sementara Panwascam sendiri ingin bukti yang telah di print-out. 

Dari kasus seperti di atas, penulis memandang bahwa Panwascam pun tak paham tentang aturan yang bahkan telah dijelaskan UU ITE pada pasal 5 ayat 1 yang mengatur bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Dari kasus ini pun kita dapat bebas berasumsi bahwa panwascam seolah-olah menunda-nunda laporan hingga akhir batas PSU yaitu 10 hari setelah pemilihan.

Pada hari Selasa tanggal 20 Februari 2024, Pelapor kembali ke sekretariat untuk melanjutkan laporan yang sempat tertunda dan laporan pun diterima dan pelapor menunggu hasil kajian dari Panwascam. Namun, sampai pada tanggal 23 Februari 2024 belum ada kejelasan dari Panwascam, sehingga pelapor berinisiatif ke sekretariat Panwascam untuk meminta kejelasan terkait laporan tersebut.

Akan tetapi, tanggapan dari Panwascam bahwa kasus yang terjadi saat ini merupakan kasus baru, membuat mereka kesulitan mencari pasal yang mengatur terkait laporan tersebut dan akhirnya laporannya dibawa ke Bawaslu Kabupaten tak lupa pula pelapor membawa bukti pendukung dengan harapan laporan itu di proses secepatnya. Akan tetapi, hingga tanggal 24 Februari 2024 pihak Bawaslu tak memberikan kejelasan terkait laporan tersebut.

Dari kasus di atas, lagi dan lagi kita dapat berasumsi bebas bahwa dari pihak Panwascam dan juga Bawaslu seakan-akan menunda laporan dari pelapor hingga akhir batas waktu PSU dengan alasan kesulitan mencari pasal terkait kasus tersebut.

Penulis juga berasumsi bahwa dari pihak penyelenggara tidak ada yang paham akan aturan karena sudah jelas telah diatur dalam UU No.7 Tahun 2017 pada Pasal 372 poin 2 yang berbunyi “Pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pengawasan terbukti terdapat pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan.”

Sedangkan, bukti yang telah dilampirkan oleh pelapor bahwa terlapor terdaftar sebagai pemilih tetap di Kecamatan Tahoa, Kabupaten Kolaka dan tidak terdaftar sebagai pemilih tetap Kecamatan Poleang Selatan, Desa Laea.

Berangkat dari adagium hukum “Ignorantia excusator non juris sed facti” (ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat di maafkan tetapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum). Jika dari pihak penyelenggara saja tak paham akan hukum lantas apakah masyarakat yang tak tahu hukum dapat dipermasalahkan seperti bunyi adagium hukum di atas?

Seharusnya pihak penyelenggara lah yang memberikan edukasi kepada masyarakat terkait aturan. Namun, fenomena hari ini justru pihak penyelenggara pun seakan tak paham, lalu kemana masyarakat harus mencari tahu?

COGITATIONIS POENAM NEMO PATITUR
(Seseorang tidak dapat di hukum karena apa yang dipikirkannya).

 

Penulis: Ni
Editor: Melvi Widya

Perkembangan Bank Syariah : Arah Perkembangan dan Respon Masyarakat Pada Bank Syariah

Objektif.id – Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962).

Usaha modern pertama untuk mendirikan Bank tanpa bunga dimulai di Pakistan yang mengelola dana haji pada pertengahan tahun 1940-an. Masa kejayaan perkembangan Bank Syariah yakni pada tahun 1963 di negara Mesir dengan berdirinya Mit Ghamr Lokal Bank dengan begitu sistem perbankan syariah diterima dikalangan masyarakat luas.

Cikal bakal dikembangkannya Bank-bank Syariah di Indonesia itu sendiri karena pesatnya sistem keuangan global di Barat dan Asia, dengan demikian keuangan islam belum memperlihatkan kemajuan yang signifikan, dibanding dengan kemajuan keuangan bank konvensional yang berdiri di kota hingga ke pelosok desa.

Jika dilihat dari sejarah perkembangan bank syariah di indonesia, pada tahun 1990 pemerintah berupaya mengembangkan sistem keuangan syariah, melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Sebagai hasil kerja tim perbankan MUI yakni dengan berdirinya Bank Syariah pertama di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991.

Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,- Pada awal masa operasinya, keberadaan bank syariah belumlah memperoleh perhatian yang optimal dalam tatanan sektor perbankan nasional. Namun, dari tahun ke tahun bank syariah semakin meningkat baik lembaga perbankan milik negara maupun lembaga perbankan milik swasta.

Kehadiran bank syariah yang semakin meningkat memberikan wajah baru bagi perekenomian di indonesia, bank syariah terus dikembangkan dan dikaji dalam dunia akademisi sehingga semakin meningkatkan tingkat kepercayaan kepada masyarakat dalam menggunakan jasa perbankan syariah.

Peluang perkembangan bank syariah di Indonesia dipandang pemerintah sebagai solusi keuangan syariah yang dapat menopang sistem perekonomian. Oleh karena itu, melalui perencanaan dan persiapan yang matang pemerintah melalui kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menggabungkan tiga bank syariah yakni BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) pada tahun 2021.

Masa depan bank syariah dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain perubahan tren perekonomian global, perkembangan teknologi, dan perubahan peraturan.

Beberapa prakiraan masa depan perbankan syariah antara lain: Pertama, Teknologi Finansial (Fintech): Bank syariah kemungkinan akan semakin mengadopsi teknologi keuangan untuk meningkatkan efisiensi operasional, memberikan layanan yang lebih baik kepada nasabah, dan mengembangkan produk inovatif yang sesuai dengan prinsip syariah. Platform digital, blockchain, dan kecerdasan buatan dapat menjadi bagian integral dari operasi perbankan Islam.

Kedua, Peningkatan Keberlanjutan dan Tanggung Jawab Sosial: Bank syariah dapat fokus pada keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial. Peningkatan tanggung jawab sosial perusahaan dan investasi berkelanjutan sesuai prinsip syariah dapat menjadi pendorong pertumbuhan.

Ketiga, Globalisasi dan Kerjasama Antar Bank: Bank syariah kemungkinan besar akan meningkatkan kerjasama dengan bank syariah di negara lain untuk menciptakan jaringan global. Hal ini dapat membantu diversifikasi risiko, pertukaran pengalaman, dan memfasilitasi perdagangan dan investasi Islam secara internasional.

Keempat, Peningkatan Literasi Keuangan Syariah: peningkatan literasi dilakukan dengan melakukan edukasi dan literasi keuangan syariah akan menjadi fokus untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan syariah. Bank syariah dapat berperan aktif dalam meningkatkan kesadaran dan literasi keuangan syariah.

Kelima, Pembaruan Regulasi: Regulasi yang memadai dan mendukung perkembangan bank syariah akan menjadi kunci pertumbuhannya. Regulator dapat memperbarui pedoman dan standar untuk mendukung inovasi dan pertumbuhan industri keuangan syariah.

Keenam, Pertumbuhan Ekonomi di Negara yang Mayoritas Penduduknya Muslim: Pertumbuhan ekonomi di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dapat menjadi pendorong pertumbuhan bank syariah. Permintaan terhadap produk dan layanan keuangan syariah dapat meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi tersebut.

Ketujuh, Meningkatkan Pembiayaan Berbasis Teknologi: Bank syariah dapat meningkatkan penyediaan pembiayaan berbasis teknologi, seperti pembiayaan peer-to-peer (P2P) yang sesuai dengan prinsip syariah.

Kedelapan, Inklusi Keuangan: Bank syariah dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan inklusi keuangan di negara-negara dengan populasi yang belum memiliki akses penuh terhadap layanan keuangan. Penting untuk diingat bahwa perkembangan ini dapat berubah seiring berjalannya waktu, dan bank syariah perlu beradaptasi dengan dinamika pasar dan lingkungan perekonomian agar tetap relevan dan berkelanjutan.

Dimasa perkembangan, lembaga perbankan syariah ditengah persaingan bank-bank konvensional masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat. Hal tersebut dikarenakan banyaknya yang menganggap sistem yang dijalankan perbankan syariah sama saja dengan perbankan konvensional, bahkan administrasi yang dilakukan nasabah lebih ribet dibandingkan dengan bank konvensional.

Dalam upaya untuk terus mengembangkan bank syariah pemerintah perlu terus untuk mengembangkan sistem ekonomi syariah dengan melakukan upaya-upaya untuk mengkaji lebih dalam sistem perbankan syariah, selain itu kerjasama dengan stakeholder sangat penting untuk terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara masiv akar dapat memanfaatkan perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usaha.

Penulis: Safriuddin

Editor: Melvi Widya

Anak Durhaka 

Objektif.id – Aku adalah anak kandung dari bapak dan ibu yang bernama Feodalisme dan Patriarki, bahagia telah dilahirkan sekaligus bangga karena terlahir sehat dengan akal yang tidak cacat, walaupun keluar dari hasil silahturahim kelamin yang busuk penuh pengekangan. Halo anak-anak durhaka lainnya, saatnya merayakan kebebasan.

Terdidik dalam keluarga yang pongah, membiasakan kita tumbuh dibesarkan oleh tekanan. Akan tetapi, hal itu menjadi anugerah dari Tuhan yang memberkati agar supaya tangguh menjadi anak durhaka yang terlatih membangkang pada kebengisan. Saatnya membiarkan yang sehat akal bertumbuh untuk sebarkan sabda-sabda perubahan.

Tidak seperti yang lain, yang rupanya penuh dengan pura-pura. Menjadi anak durhaka adalah kejujuran serta pilihan yang tepat untuk membongkar bias-bias kesucian, yang manipulatif diperankan juga dipertontonkan melalui kultur keluarga feodalisme dan patriarki kepada anak-anak yang tolol. Bayangkan saja, jika agama dan cinta dijadikan sebagai alat penjinak yang mencengkram pikiran-pikiran abstraksi dan imajinasi radikal manusia untuk berkembang. Kita bukan hewan ternak.

Berbeda dari anak durhaka, anak-anak yang tolol tanpa melakukan perlawanan mereka dibesarkan penuh tekanan serta pengekangan jiwa dan pikiran yang pilihan-pilihan kemerdekaannya dibunuh atas nama kebahagiaan, yang dimakamkan dalam kubur kematian akal dengan bernisan hina bertulis “anak pembebek”. Suka duka cita-cita anak tolol, yang terluka mati dibunuh oleh keluarga yang feodal dan patriarki. Jahat paling serius, meniadakan eksistensi manusia atas dasar cinta yang ramai dosa-dosa sepi doa-doa. Rasakan, Siapa suruh menjadi tolol.

Memilih durhaka di zaman yang angkuh dan dirawat oleh keluarga tak beradab, tentu itu adalah spirit untuk melakukan jihad menolak pembungkaman terhadap keadaan sekitar yang sesak dipenuhi dengan moral Hazard. Lebih mulia menjadi durhaka daripada merelakan diri kita terjajah oleh tradisi feodalisme dan patriarki masyarakat yang buruk. Watak-watak anak durhaka beda dengan anak tolol. Perlawanan terang-terangan anak durhaka itu tidak mungkin diasuransikan dengan sopan santun palsu pada mereka yang tolol.

Bahkan sebagai anak durhaka kita harus merayakan kematian orang tua itu dengan penuh kegembiraan, bahwa itu menandakan api perjuangan tidak boleh padam untuk membakar warisan-warisan amoral yang menjajah anak-anak tolol. Saksikanlah, anak durhaka tidak akan pernah berhenti untuk terus bergerak melakukan perlawanan terhadap kultur yang bukan memanusiakan manusia. Mundur sejengkal pun adalah bentuk penghianatan.

Problem terbesar pada banyak anak adalah ketidakmampuan berbicara terhadap suatu hal untuk melakukan penolakan, anak-anak tolol sendiri yang sejatinya memproduksi secara terus-menerus kebiasaan yang merugikan diri mereka. Lupa Kah kita, bahwa diberbagai tempat bagaimana feodalisme dan patriarki membodohi, memperbudak, serta membunuh generasi yang sedang bertumbuh. Sehingga buta hati dan pecundang kita jika tidak berani durhaka, melawan kokohnya kezaliman yang berseliweran dimana-mana.

Anak durhaka menjerumuskan diri dalam pergolakan perlawan adalah demi kepentingan peradabannya, bahwa ada keharusan melakukan upaya konstruktif menentang kesewenang-wenangan sebuah sistem sosial yang terkontruksi secara rapi sedang menghina akal sehat banyak manusia. Menderita dan terpuruk kata Fahrudin Fais, adalah sikap melecehkan tuhan sebab manusia diciptakan untuk bahagia. Stop menjadi tolol.

Jika mayoritas dari kita mengungkapkan bahwa tidak masalah menjadi tolol yang terpenting masih bisa hidup. kalau seperti demikian, apa bedanya kita dengan binatang? Tidak ingatkah kalian bahwa revolusi bangsa kita di perjuangkan diatas dasar prinsip-prinsip yang amat diwarnai patriotisme. Haruskah harga yang di bayar oleh banyak orang atas ketidakpedulian anak tolol pada urusan publik, adalah dipimpin oleh orang jahat? Prinsip harus tetap ada. Jika salah dan keluar dari jalur kemanusiaan, maka bentuk perlawanan mesti kita gaungkan.

Kita tidak ingin seperti masyarakat yang dimaksud Goerge Orwell melalui karya termasyhurnya 1984, yang merupakan satire tajam tentang luluhnya kehidupan, yang didalamnya setiap gerak warga dipelajari, setiap kata yang terucap disadap, dan setiap pemikiran dikendalikan. Dengan demikian, jika tidak ada yang menjadi anak durhaka untuk melawan maka kita hanya akan memperpanjang barisan kebodohan.

Bahwa dalam dunia yang penuh dusta, berbicara jujur dan bersikap menentang adalah langkah patriotik anak durhaka agar tidak menjadi tolol seperti anak-anak yang lain. Anak durhaka ikhlas dibenci tetapi menolak kebodohan memperbudak kehidupan. Apa jeleknya jadi durhaka? Daripada jadi anak tolol? Kalau kata Soe Hoek Gie, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Nilaimu tak lantas buruk, saat hidup orang tolol lebih baik. Feodalisme dan patriarki selalu nya berjanji membangun kebahagiaan, meski tidak ada cinta di sana.

Saatnya bekerja sama, yang tolol hanya perlu menggenggam tangan, memejamkan mata, dan percaya kalau anak durhaka bisa menyelamatkan dia dari peliknya dunia. Tanpa malu-malu, kita harus berani mengatakan bahwa mungkin feodalisme dan patriarki lolos dari siksaan sejarah. Akan tetapi yakinlah, dosa-dosa itu tidak lepas dari murka Tuhan. Seperti yang diungkapkan Muhammad Iqbal, Jika dunia tak selaras denganmu, bangkit dan tantang dia. Jangan canggung dihadapan dunia. Meskipun di dunia hari ini yang tua tak bisa menjadi bijak dan teladan, melainkan bersifat kekanak-kanakan, kalaupun tidak kekanak-kanakan pasti ingin di Tuhan Kan. Seperti itulah feodalisme dan patriarki bekerja. Bajingan.

Penulis: Hajar

Editor: Melvi Widya

Mahasiswa Diwajibkan Merogoh Kocek Untuk Wisuda, Efektifkah?

Objektif.id – “Habis gelap terbitlah terang” begitulah kata pepatah yang sangat relate dengan kehidupan para mahasiswa, karena seperti yang kita tahu dari mulai menjadi seorang mahasiswa mereka tiada hentinya berjuang mati-matian hingga berhasil meraih gelar sarjana yang diinginkan melalui prosesi wisuda.

Wisuda adalah sebuah momen berharga yang dirayakan oleh para mahasiswa yang telah menyelesaikan studi akademiknya. Para wisudawan ini biasanya akan menggunakan baju toga yang menjadi simbol keberhasilan mereka dan kemudian dapat ditunjukkan kepada orang-orang tersayang. Namun, apa jadinya jika momen tersebut terdapat transaksi di dalamnya?

Well, sayang seribu sayang masih banyak universitas-universitas yang mewajibkan mahasiswanya membayar demi menikmati momen wisuda yang telah dinanti itu. Biaya yang dikenakan pun bisa dibilang tidak sedikit, sebagai contoh salah satu PTN ternama UI biaya wisudanya dikenakan sejumlah 1 juta rupiah disertai sumbangan sejumlah Rp300.000. Sedangkan, untuk universitas lain yang mana hanya untuk pendaftaran saja dibebankan dengan biaya mencapai Rp 2 juta dan ini belum termasuk biaya tambahan lainnya.

Disisi lain, untuk “Kampus Biru” sendiri biaya yang dikeluarkan hanya untuk pembelian baju toga serta sewa hotel sejumlah Rp450.000. Dilihat dari segi harga yang dibebankan dari pihak kampus biaya ini bisa dibilang tidak sedikit dan tidak banyak juga.

FYI, kewajiban membeli atribut wisuda ini, disertai dengan nota pembayaran merupakan bagian dari syarat untuk pengambilan ijazah.

Nah, selaras dengan hal diatas, penulis telah merampung pendapat dari beberapa mahasiswa yang telah wisuda tahun ini ada yang tidak sepakat dan sebagian lagi mengaku tidak apa-apa akan biaya tersebut.

Sebut saja Paijo dan Painem yang merupakan Alumni wisudawan yang tidak sepakat tentang hal itu.

“Untuk harga Rp450.000 itu bagi saya kurang efektif karena hanya dipakai sekali untuk berfoto setelah itu pakaiannya hanya menjadi kenang-kenangan saja,” ungkap mereka saat diwawancarai online oleh Objektif.id (06/11/2023).

Sementara itu, sebut saja Juminten dan Sumarni tidak mempermasalahkan biaya yang dibebankan tersebut.

“Tidak apa-apa mengeluarkan uang segitu untuk yang terakhir kalinya, karena baju tersebut sudah menjadi hak milik kita dan juga sebagai tanda perjuangan kita selama kuliah,” ucapnya.

Hm, berdasarkan ketidakseimbangan argumentasi yang di atas maka, penulis menyimpulkan bahwa terkait pembayaran untuk wisuda ini efektif ataupun tidak itu kembali ke pribadi masing-masing setiap orang.

Terakhir, baru-baru ini telah ramai diperbincangkan sistem wisuda UNS yang terbilang beda dari sistem wisuda pada umumnya, yang di mana mereka telah menghilangkan biaya administrasi serta menyewakan saja atribut wisuda kepada para mahasiswa. Semoga saja universitas lain dapat mencontoh UNS terutama untuk “Kampus Biru” kita tercinta karena dengan mengubah sistem wajib beli dengan sewa-menyewa juga tidak merugikan dua belah pihak baik dari pihak kampus maupun mahasiswa.

Penulis: Tesa Ayu Sri Natari

Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Kedudukan Perempuan dalam Hukum

Objektif.id – Perempuan adalah makhluk tuhan yang diciptakan dengan sebab kegelisahan seorang lelaki untuk memiliki pasangan. Kegelisahan ini memulai interaksi pertama antar manusia dimuka bumi. Sebab-sebab tersebut membuat kita mengetahui fitrah atau dasar adanya seorang perempuan. Secara spesifik sebab atau alasan diciptakannya perempuan itu ada tiga antara lain sebagai pasangan biologis, sebagai pasangan psikologis dan sebagai pasangan dalam sudut pandang sosiologis.

Dalam sudut pandang biologis perempuan memiliki sesuatu yang tidak dimiliki laki-laki begitu pun sebaliknya, maka dari itu dapat kita katakan bahwasanya kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam sudut pandang biologis adalah sama atau setara. Adapun laki-laki yang diciptakan lebih kuat dari perempuan secara fisik merupakan kecenderungan laki-laki sebagai pelindung begitupun perempuan yang memiliki kecenderungan dalam menyusui anak karena bentuk fisik dari perempuan itu sendiri.

Kencenderungan-kecenderungan yang ada diantara keduanya dalam hal ini laki-laki dan perempuan, kurang tepat apabila dikatakan sebagai hal untuk saling mengungguli karena dalam kehidupan sehari-hari yang terlihat keharmonisan antara keduanya di dapatkan lewat tanggung jawab dan kerja sama serta saling melengkapi.

Apabila perempuan ditinjau dari sudut pandang psikologis, perempuan hadir sebagai pasangan yang memberikan ketentaraman bagi laki-laki namun dalam waktu dan kondisi tertentu laki-laki juga berfungsi demikian. _Psiche_ merupakan akar kata psikologi yang berarti jiwa yang berkaitan langsung dengan kata tentram. Penjelasan diatas memberikan kita keterangan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan dalam sudut pandang psikoligis.

Jika makna sosial disepadankan dengan makna kata masyarakat. Maka, sosial sendiru dapat diartikan sebagai interaksi antar individu dalam suatu wilayah tertentu dengan tanggung jawab yang berbeda-beda pula sesuai dengan kemampuan dan skil yang dimilikinya masing-masing. Penjelasan kata sosial diatas meberikan keterangan bahwa laki-laki ataupun perempuan memiliki kedudukan setara (hak untuk memberikan kontribusi) dalam kehidupan bermasyarakat, keduanya sepatutnya dibenarkan dan diberi peluang untuk memberikan kontribusi, baik itu dalam bidang politik, hukum, ekonomi dan pendidikan serta bidang-bidang yang lain terkait dengan kehidupan bermasyarakat.

Dalam sudut pandang sosiologis ini dimaksudkan penjelasan terkait kedudukan perempuan dan laki-laki untuk saling bekerja sama dan bertanggung jawab untuk berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam pandangan penulis ilmu hukum merupakan turunan atau spesifikasi dari ilmu sosial yang dimaksudkan untuk melahirkan ketertiban dalam masyarakat. ketertiban itu sendiri adalah terpenuhinya hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat. Termasuk hak perempuan sebagai subjek hukum (untuk berkontribusi) ataupun sebagai objek hukum dalam kehidupan bermasyarakat sebab tolak ukur seseorang untuk bisa berkontribusi dalam masyarakat bukanlah jenis kelamin tetapi kemampuan atau skil yang dimiliki seseorang.

Penulis: Madiarto

Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Suarakan Resolusi Jihad, Renungkan Diri Kenang Sejarah 22 Oktober

Objektif.id – Hari Santri diadakan untuk memperingati perjuangan kaum kiai dan santri untuk mengingat, mengenang, dan menghargai kaum santri yang telah berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia.

Hal inilah yang akan menjadi refleksi untuk kita semua dalam mengingat kembali sejarah perjuangan kaum pondok pesantren, yang akan menyadarkan kita bahwa di zaman modern sekarang ini perlunya kita berbenah, memperbaiki kualitas diri demi kemajuan bangsa dan negara tercinta.

Hari Santri Nasional ditetapkan setiap tanggal 22 Oktober yang memiliki arti dan makna mendalam bagi kalangan santri itu sendiri, karena perjuangan yang mereka lalui membutuhkan pengorbanan dan waktu yang tidak singkat.

Asal Usul Hari Santri

Sejarah ini, dimulai pada 17 September 1945, KH Hasyim Asy’ari yang menjabat sebagai Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menetapkan resolusi jihad melawan aksi penjajahan di Surabaya, Jawa Timur yang bertujuan untuk merebut Indonesia, membangun Indonesia, dan mempertahankan NKRI.

Selanjutnya, para ulama melakukan pertemuan yang bertujuan untuk mengambil langkah tegas dalam menyikapi tentara Belanda yang berupaya kembali menguasai tanah air. Serta melahirkan resolusi jihad yang disepakati di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945, lalu menyebar luaskannya ke masyarakat sekitar.

Dalam fatwanya, KH Hasyim Asy’ari menyatakan dengan tegas bahwa hukum membela negara adalah fardu ain dan melawan penjajah adalah jihad serta siapapun yang zalim terhadap negara berhak mati. Resolusi ini disampaikan pada tanggal 17 September 1945 yang mana membawa dampak besar dan membakar semangat para santri untuk mempertahankan Indonesia.

Dilansir dari detiknews.com pada tanggal 15 Oktober 2015 Presiden Joko Widodo dalam surat Keputusan Presiden (Keppres) No. 22 Tahun 2015. Bahwa setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri keputusan ini ditetapkan di masjid Istiqlal, Jakarta.

Peran Santri di Masa Sekarang

Peringatan Hari Santri 2023 mengusung tema Jihad Santri, Jayakan Negeri. Memiliki makna untuk mengajak para santri dalam upaya membangun kejayaan negeri dengan semangat intelektual para santri di era digitalisasi.

Di zaman modern seperti sekarang kita dihadapkan dengan tantangan digitalisasi dimana jihad tidak lagi merujuk pada pertempuran senjata, tetapi melalui perjuangan intelektual yang harus kita sambut dengan penuh semangat. Kita dapat menjadi milenial yang tidak hanya berprestasi dibidang akademik, tetapi juga mampu menyebarkan ajaran agama melalui perkembangan teknologi.

Menurut kemenag RI dilansir dari situs resmi kemanag.co.id bahwa, Kemenag menerbitkan surat edaran menteri agama tentang Panduan Pelaksanaan Peringatan Hari Santri No. SE 10 Tahun 2023 pada tanggal 11 Oktober 2023. Edaran ini bertujuan untuk memberikan panduan bagi pemangku kepentingan, pesantren, santri, dan masyarakat selama pelaksanaan kegiatan hari santri.

Penulis: Wahida
Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Fenomena Respon Dosen Kepada Mahasiswa Berdasarkan Muka

Objektif.id – Dunia perkuliahan adalah proses akhir seorang pelajar dalam menempuh pendidikan yang disebut universitas atau institut. Adapun, lingkungan perkuliahan menghadirkan beberapa fasilitas penunjang akademik dan juga interaksi sosial antar rekan mahasiswa maupun para tenaga pendidik.

Berbicara tentang interaksi sosial antara tenaga pendidik/dosen dengan mahasiswa merupakan suatu hal yang sangat penting, namun meskipun begitu banyak keluhan dari beberapa mahasiswa yang merasa bahwa sang dosen pilih kasih terutama dalam hal penginputan nilai yang dimana nilai mahasiswa yang jarang hadir, jarang kumpul tugas nilai akhirnya atau IPK-nya malah lebih bagus dibandingkan mahasiswa lainnya. Hm, sangat suspicious right? Apakah mahasiswa ini menggunakan sistem orang dalam? Who knows that.

Ada juga kasus serupa yang sudah familiar di telinga kalangan mahasiswa yaitu diacuhkan dosen pembimbing dimana saat di chat ataupun di telepon untuk pengajuan judul proposal malah message hanya di read dan telepon tidak responsif ditambah sang dosen pembimbing ini keberadaannya sangat susah ditemukan di kampus jadi, dia harus melalui chat terlebih dahulu, namun yang ada malah sebaliknya. Sungguh miris sekali niat ingin mencapai target lulus tepat waktu malah harus tertunda dikarenakan situasi yang seperti ini.

Sikap acuh yang dilakukan dosen tidak sampai disitu saja, tetapi juga ada beberapa oknum dosen yang over responsif mahasiswa yang good looking plus orang tuanya memiliki jabatan di pemerintahan, karena saking overratednya banyak mahasiswa yang kurang nyaman akan hal tersebut misalnya, mahasiswa good looking ini selalu dipuji setiap si dosen ini masuk padahal mahasiswa ini tidak memiliki pencapaian bahwa ia layak untuk dipuji. Bukti nyata bahwa pendidikan kita terbelakang, karena bukannya memberikan ilmu yang bermanfaat sebagaimana tugas tenaga pendidik malah sibuk mencari muka.

Dari sekian banyak permasalahan antara dosen dan mahasiswa, penulis juga akan memberikan sebuah tips cara menghadapi sikap dosen yang acuh tak acuh dan pilih kasih yaitu :

1. Belajar untuk terbuka dan sampaikan perasaan tidak nyaman kepada dosen yang dirimu anggap pilih kasih.

2. Jika, cara pertama tidak berhasil maka dapatkanlah dukungan dari teman ataupun pihak yang berwenang yakni pimpinan kampus dengan adanya campur tangan dari pihak berwenang maka akan meminimalisasi perilaku dosen yang tidak mencerminkan tenaga pendidik.

3. Tunjukkan pencapaian dan keberhasilan kamu selama mengikuti mata kuliah yang ia bimbing. Adapun, jika merasa perhatian dosen hanya kepada orang-orang good looking cukup hiraukan dan fokus kepada tujuan utama kamu berkuliah tips ini berlaku jika peristiwa tersebut tidak mempengaruhi nilai akademisi kamu.

4. Terakhir, jika kamu sudah frustasi menghadapi sikap dosen yang seperti itu jalan satu-satunya yaitu mencari dosen pengganti. Semoga bermanfaat tipsnya.

Penulis : TN

Editor: Melvi Widya

Stop!! Kekerasan dalam Dunia Pendidikan

Objektif.id – Sekolah adalah tempat untuk proses belajar mengajar. Seorang guru harus mendidik muridnya-muridnya agar bisa mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan yang baik.

Seorang guru juga sangat berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan, agar dapat melekat dalam benak murid yang dia didik. Jika seorang guru tidak memperhatikan hal yang demikian maka hal yang buruk dapat terjadi pada murid itu sendiri.

Dalam dunia pendidikan pun, sangat perlu di latih yang namanya kecerdasan emosi untuk para siswa.

Jangan hanya terfokus melatih kebiasaan kognitif,sebeb melatih kognitif itu lebih mudah di banding melatih emosional.

Melatih emosional siswa merupakan hal yang sangat penting untuk dilatih untuk membentuk karakter seorang siswa di masa depan. Seperti menjadi orang yang konsisten, komitmen, berintegritas tinggi, berpikiran terbuka, jujur, dan adil. Tak hanya itu, pelatihan emosional juga membuat siswa memiliki prinsip, visioner, percaya diri, dan bijaksana. Karena hal itu bukan hal yang mudah untuk di bentuk dalam diri masing-masing terkhusus untuk para pelajar.

Yang tidak kalah pentingnya, peran orang tua dalam menyikapi anak-anaknya. Seorang tualah atau wali murid yang harus mengontrol siswa saat pulang dari sekolah.

Biasanya anak-anak memiliki karakter yang tidak terpuji di sebabkan karena orang tua yang kurang perhatian kepada anaknya, membiarkan anaknya bebas atau tidak memberi batasan, dan orang tua yang bercerai.

Bercerainya kedua orang tua, terkadang menyebabkan psikologi anak tertekan dan biasanya seorang memilih pergaulan yang bebas.

Hal yang seperti itulah yang kerap menyebabkan siswa melakukan kekerasan kepada siswa yang lainnya.Sehingga banyak siswa yang menjadi korban bahkan nyawanya melayang karena kekerasan tersebut.

Adapun kejadian yang sering terjadi di sekolah dan di luar sekolah adalah tawuran antar siswa, pengeroyokan, penggunaan narkotika, pergaulan bebas, pembullyan dan lain sebagainya.

Siswa yang menjadi korban terkadang tak mau lagi bersekolah sebab trauma atas kejadian yang menimpanya bahkan terkadang siswa nekat untuk bunuh diri di sebabkan karena hal yang demikian.

Oleh karena itu orang tua atau wali murid serta guru yang berada di sekolah harus lebih mempertikan anak atau murid-muridnya agar bangsa kita memiliki generasi penerus.

“Ian Aristiawan (penulis) merupakan mahasiswa IAIN Kendari, Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI), Semester 3 (tiga). Dia seorang Jurnalis muda Objektif.id yang direkrut melalui Diklatsar jurnalistik UKM Pers IAIN Kendari tahun 2023. Foto: Ian Aristiawan/Objektif.id”.

Penulis: Ian Aristiawan

Editor: Rizal Saputra