Keindahan Pantai Surga

Suara ombak yang menghantam karang membuat suasana pantai semakin hidup. Matahari pagi yang terbit bersamaan dengan kedatangan kami di Pantai Surga memberikan kehangatan yang menyenangkan. Pepohonan rindang di sekitar pantai memberi keteduhan dari teriknya sinar matahari.

Kami, keluarga besar, sudah lama memendam rasa penasaran untuk mengunjungi keindahan pantai ini. Kabar tentang keindahan alam yang luar biasa dan pemandangan yang menakjubkan sudah menarik perhatian kami sejak lama.

Setibanya kami di pantai, kami langsung terpesona dengan keindahannya. Pasir putih yang lembut, air laut yang bening, serta latar belakang perbukitan hijau yang memukau menjadi pemandangan yang mempesona. Tak berapa jauh dari tepi pantai, alam yang menarik perhatian kami adalah karang-karang indah yang tersebar di sekitar pantai. Karang-karang tersebut terlihat indah sekali dengan warna-warna cerahnya dan dipercantik dengan berbagai ikan yang berenang di sekitarnya.

Kami melihat banyak wisatawan yang sibuk beraktivitas di pantai. Beberapa di antaranya bermain bola di atas pasir, sementara yang lain asyik berjemur di bawah sinar matahari. Anak-anak berlarian sambil mencari kerang-kerang cantik yang tersembunyi di dalam pasir.

Dalam perjalanan kami menuju pantai, mata kami dihiasi dengan warna-warni layang-layang yang berterbangan di langit biru. Selain itu, kami juga melihat orang-orang yang naik selancar di atas ombak yang tinggi. Rasanya ingin ikut bermain di pantai ini.

Kami pun segera menyusuri pantai dan menikmati berbagai wahana yang ada. Rasanya sangat menyenangkan saat ombak menerjang. Sensasi adrenalin yang kami dapatkan saat berselancar menerobos ombak membawa kami semakin dekat ke tengah laut.

Makan siang kami habiskan di sebuah warung makan yang terletak di tepi pantai. Sambil menikmati hidangan laut segar, kami juga menikmati suara ombak yang semakin lama semakin keras. Suasana yang tenang dan damai membuat makan siang kami semakin nikmat.

Pada sore hari, kami memutuskan untuk menaiki kapal tradisional untuk menikmati keindahan pantai dari sudut yang berbeda. Sensasi menyusuri pantai sambil menikmati hembusan angin sore membuat kami semakin jatuh cinta dengan Pantai Surga ini. Sambil berlayar, kami juga melihat indahnya sunset yang terlihat semakin merah dan semakin memantulkan warna indah di langit.

Setelah satu hari penuh berpetualangan dan melihat keindahan pantai, kami pulang dengan hati yang riang dan pikiran yang penuh dengan kenangan indah tentang keindahan Pantai Surga ini. Keindahan alamnya masih menghiasi mimpi kami dan membuat kami ingin kembali ke pantai ini. Kami menyadari bahwa alam ini harus dijaga agar generasi mendatang masih bisa menikmati keindahan alam ini.

Dalam perjalanan pulang, kami berjanji untuk kembali lagi suatu hari nanti. Keindahan Pantai Surga ini sungguh tak terlupakan dan tetap membekas di hati kami.

Penulis: Muh. Aidul Saputra
Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Yang Tak Terlihat 

Namaku Tiara Anastasya. Ibuku telah lama meninggal saat melahirkanku, dan karena depresi ayahku pun menyusul ibu. Aku tinggal bersama nenek, namun seminggu yang lalu ia berpulang menyisakan diriku seorang.

Saat ini aku telah sampai di sekolah, tapi ada yang berbeda hari ini suasananya sangat ramai dimana para senior sedang membagi-bagikan brosur. Langsung saja aku mengunjungi salah satu senior disana lalu kemudian mengambil brosurnya yang bertuliskan “Pendaftaran Terbuka Ekskul Musik”.

Sekilas tentang Ekskul Musik. Ekskul ini merupakan salah satu ekskul yang banyak diminati karena, ekskul ini telah banyak melahirkan generasi yang berbakat dan selalu menjadi pemenang di setiap kompetisi musik yang ada hingga ke ajang internasional.

Singkat cerita, aku pun mendaftar. Setelah itu, kami digiring untuk uji keterampilan bermain musik. Kebetulan aku cukup lihai bermain gitar jadi tentunya aku lolos uji seleksi ini. Rasanya sangat senang sekali apalagi aku dapat berkenalan dengan banyak teman-teman baru yang sama-sama menyukai musik sepertiku.

Pada suatu hari, sepulang sekolah aku berniat untuk mengasah kemampuan gitarku menjadi lebih baik. Jadi, aku memutuskan ke ruang musik sebentar. Saat membuka pintu ruangan alangkah terkejutnya diriku menemukan banyaknya puntung rokok serta botol minuman yang bertebaran, ditambah salah satu seniorku yang bernama kak Aldi yang hanya selonjoran kaki di sofa yang ada di ruang musik tersebut.

“ Bersihkan, saat aku bangun aku tidak ingin melihat satupun kotoran atau tau sendiri akibatnya ”, Kata kak Aldi. Kemudian ia lanjut tidur.

Karena aku menghormatinya sebagai seniorku jadi, aku membersihkan sampah-sampah yang ada di ruangan ini. Dan setelah bersih, aku pun melanjutkan niatku datang ke tempat ini. Saking fokusnya aku tidak sadar bahwa sudah ada sepasang kaki menjulang. Dan saat aku menengok ke atas, ternyata itu adalah kak Aldi.

“ Kenapa ya kak? ”, Tanyaku heran.

“ Ritme dan tempo untuk lagu yang kau mainkan salah ”, Tegur Kak Aldi.

“ Sini aku ajarkan cara yang tepat itu gini ”, Lanjutnya. Mengambil gitar itu kemudian duduk di sampingku dan mempraktekkannya.

Di dalam kamar, saat mengerjakan tugas sekolah terlintas di pikiranku tentang kejadian tadi. Dan tiba-tiba aku teringat salah satu aturan tata-tertib yang mengatakan siswa dilarang membawa atau mengonsumsi rokok apalagi minuman keras bahkan aturan itu dibacakan dengan lantang setiap upacara bendera.

“Apa sebaiknya ku laporkan saja yang kulihat tadi? tapi aduh…aku tidak punya sesuatu untuk dijadikan barang bukti dan pasti puntung rokok dan botol minuman itu sudah diangkut oleh tukang bersih-bersih sekolah”, Ucapku bermonolog.

Di suatu hari saat berniat pulang sekolah, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Jadi, sambil menunggu hujan reda aku pun mampir ke ruang musik. Saat baru saja ingin membuka pintu aku mendengar suara-suara aneh di dalam. Karena penasaran, aku kemudian mengintip di sela-sela pintu dan apa yang kutemukan adalah sebuah pemandangan menjijikan seniorku Kak Rian dan Kak Rani. Tanpa babibu aku langsung beranjak dari tempat yang sudah ternodai itu.

Sudah berulang kali aku dapatkan kejadian seperti itu selama 3 bulan sejak aku masuk dalam Ekskul Musik ini, entah antar sesama senior maupun antar senior dan junior. Karena sudah muak, aku pun diam-diam memotret kelakuan mereka dan melaporkannya kepada pihak sekolah. Namun, yang kudapatkan sebaliknya adalah teguran bahkan mereka tidak segan-segan mengancamku jika aku melaporkan hal ini kepada pihak berwajib.

Sebenarnya ada apa dengan orang-orang di sekolah ini? mereka seakan-akan menutup-nutupi. Setelah kutelusuri alasan pihak sekolah berbuat demikian, ternyata tak bukan karena orang tua para senior Ekskul Musik ini adalah orang penting dalam pemerintahan. Semuanya menjadi masuk akal sekarang yaitu karena uang dan kekuasaan.

Semenjak kejadian itu, sudah terhitung sebulan aku tak pernah datang lagi ke ruang musik. Hari ini, aku sedang bersantai di halaman rumah sambil menikmati cemilan dan minuman dingin yang telah aku buat.

“ kriiing ”, sebuah notifikasi muncul. Tak ayal bunyinya mengejutkanku.

Aku pun meraih ponselku, dan membukanya ternyata pesan dari grup ekskul yang mengatakan untuk datang rapat persiapan tampil di pentas seni. Tapi, yang membuatku heran disini adalah kenapa tempat rapatnya di tempat karaoke, kan sungguh tidak masuk akal. Namun, karena aku berniat mengundurkan diri secara terbuka, jadi, aku pun memutuskan untuk datang ke tempat tersebut.

Saat sampai ke tempat tujuan aku langsung masuk di salah satu ruangan seperti yang tertera dalam grup sebelumnya. Di dalam ruangan tersebut yang kudapatkan hanyalah para senior laki-laki. Melihat hal itu aku memutuskan menunggu yang lain di luar ruangan saja. Saat hendak berbalik tiba-tiba aku ditarik dan kedua tanganku ditahan. Aku panik, mereka mau apakan diriku? apalagi dihadapanku sudah berdiri kak Aldi yang menatapku tajam.

“ Kak apa-apaan ini? ”, Tanyaku. Sambil berusaha melepaskan diri.

“ Pakai bertanya lagi, guys sikat dia ”, Ujar kak Aldi. Tanpa menghiraukan pertanyaanku.

Hari itu sungguh kejadian mengerikan sekaligus menjijikan yang aku alami dalam hidup ini. Kejadian dimana, harga diriku dan tubuhku rusak serta hancur berkeping-keping.

“Inilah akibatnya jika coba melawan kami”, Ujar kak Aldi. Sambil menamparku 3 kali. Lalu pergi begitu saja meninggalkanku.

Beberapa saat kemudian, dengan langkah tertatih menahan perih dan sakit akupun mulai berjalan keluar. Orang-orang sekitar hanya memandangku bahkan terkesan mengabaikan.

“Ibu, aku sudah tak sanggup lagi mereka jahat bu, mereka semua gila, bawa aku pergi dari sini bu”, Ucapku. Sambil terisak.

Saat melihat truk dari kejauhan, tanpa pikir panjang langsung saja kutabrakkan diri ini pada truk yang sedang melaju itu, dan Sebelum benar-benar menutup mata, akhirnya setelah selama 16 tahun hidup aku dapat melihat ibuku sedang tersenyum kepadaku.

“Ibu, aku datang…”, Ucapku. Sambil membalas senyumannya.

TAMAT

Penulis : Rose Nere
Editor: Redaksi

Arti Keluarga

Objektif.id – Semilir angin, kicauan burung serta cahaya senja bersinar menerpa wajah sesosok gadis yang berada dalam sebuah rumah pohon sambil tersenyum dengan sorot mata teduhnya.

Tiba-tiba terdengar seruan pemuda dari bawah pohon meneriakkan nama gadis itu.

“Ayana, Ayana, Ayanaa!”, Teriak pemuda itu.
“iyaa!, Naiklah kak Al”, Jawab Ayana.

si pemuda tadi atau biasa dipanggil Al tersebut memutuskan untuk naik ke rumah pohon tempat Ayana menikmati sinaran senja.

Setelah Al naik ia pun duduk di samping Ayana. Tanpa banyak kata Ayana memberikan sebuah surat kepada Al. Meski agak ragu, Al akhirnya menerima dan membaca isi yang tertera dalam surat tersebut. Beragam macam ekspresi turut hadir di wajahnya.

“Apa ini Ayana, katakan padaku bahwa semua ini tidak betul… katakan!!!”, Seru Al mengguncang bahu Ayana.

“Kak Al sendiri telah melihatnya kan? apa perlu aku harus jelaskan lagi?” Tanya Ayana. Menatap langsung tepat di mata kakaknya.

Sambil menarik napas dalam-dalam Ayana menjelaskan maksud dari surat tersebut.

“Baiklah, seperti yang tertulis dalam surat bahwa aku sekarang divonis kanker otak dan sudah memasuki stadium akhir… Hahaha sungguh ironi bukan hidupku ini?” Jelasnya diselingi tawa. Yang jika didengar tawa tersebut penuh sarat akan ketidakberdayaan untuk hidup.

Al yang mendengar pengakuan langsung dari adiknya tanpa disadari wajah rupawan itu telah dibanjiri oleh air mata. Ia pun lantas menampar wajahnya sendiri berkali-kali dan mengucap berbagai kata penyesalan kepada adiknya.

Melihat respon yang ditunjukkan Al, sebaliknya Ayana semakin tertawa. Karena, ia tahu bahwa kakaknya ini adalah orang yang tidak pernah peduli sedikitpun kepadanya. Bahkan disaat kedua orangtua mereka memarahi dan memukulinya sekalipun dia hanya duduk bersantai di ruang keluarga sambil bermain dengan ponselnya.


Hujan yang mengguyur bumi secara terus-menerus kala itu tak membuat langkah kaki sesosok gadis berseragam SMA bernametagkan Ayana Putri untuk cepat sampai ke rumah kediamannya.

Tak lama kemudian, Ayana telah sampai ke rumahnya dengan pakaian yang basah kuyup di guyur hujan. Bukannya sambutan hangat yang diterima sebaliknya tamparan keras oleh Sang kepala keluarga mendarat mulus di wajah jelita Ayana hingga meninggalkan bekas.

“Kamu darimana saja Ha? mau jadi apa kamu diluaran sana Ha? jam segini baru pulang”, Teriaknya berapi-api tepat di depan wajah putrinya.

Baru saja Ayana akan menjelaskannya. Namun, ayahnya langsung mengangkat lima jarinya mengisyaratkan untuk diam. Setelah itu, ia pun berlalu pergi meninggalkan Ayana yang terduduk lemas di lantai yang dingin dengan wajah lebam kemerahan akibat tamparan yang bertubi-tubi ia terima.

Ayana melihat sekitar berharap ada yang membantunya. Namun, yang ia dapatkan sungguh membuat dadanya sesak tak tertahankan. Dimana, Sang kakak yang sebagai perisai pelindung malah asik tertawa dengan ponselnya, Sang ibu yang sejatinya adalah seseorang yang tidak pandang bulu dalam hal menyayangi anaknya malah sibuk membaca majalah. Di rumah ini ia tak ayalnya bagaikan setitik debu yang kehadirannya tidak diinginkan sama sekali.

Kejadian seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari Ayana dapatkan dari penghuni rumah tersebut. Bahkan tak jarang tindakan pengusiran Ayana dapatkan yang menyebabkan ia harus menahan lapar dan tidur didepan toko-toko yang telah tutup. Tiada seorangpun yang berniat mencari dirinya.

Berujung Ayana sendirilah berinisiatif pulang dan harus bersujud meminta maaf kepada ayahnya atas kesalahan yang bahkan ia sendiri tak tahu apa. Hal ini terjadi karena, ayahnya langsung pergi begitu saja setelah melampiaskan amarahnya.

Ayana kadang selalu berpikir dalam hati Mengapa orang-orang di rumah itu selalu menebarkan kebencian terhadap dirinya. Apa salah dirinya? hanya ada kata kenapa dan mengapa yang terus berkecamuk dalam benaknya.

Mengingat semua itu, Ayana semakin tertawa kencang. Al yang melihatnya merasa heran akan sikap adiknya. Bukannya merasa sedih mengidap penyakit yang mematikan malah menunjukan ekspresi seakan-akan bahagia akan hal itu.

“Ayana! Hey sadarlah, apa yang lucu dari semua ini kamu divonis penyakit yang mematikan apa kau menyadarinya itu, dan itu artinya hidupmu sudah tak lama lagi Ayana”, Ujar Al lirih.

“Hahaha, menurutku lucu saja melihat reaksi mu itu. Dan aku penasaran gimana reaksi orang tua kita, apakah reaksinya akan sama seperti mu? Aku tak sabar menantikannya”, Balas Ayana menyeringai sinis.

Ayana pun bangkit dari duduknya. Kemudian, berjalan menuju tasnya entah mengambil apa lalu berbalik lagi kepada Al.

“Sekarang, aku tanya mengapa kamu peduli? hm… bukannya kamu tak pernah peduli sedikit pun kepadaku ya, ohh apa perlu kuingatkan lagi segala perlakuanmu kepadaku dulu? dimana Al itu hanya melihat saja adiknya diperlakukan layaknya sampah oleh keluarganya sendiri, sosok Al itu dimana saat adiknya diusir malah memilih pergi bersenang-senang bersama teman-temannya… Sebenarnya apa sih arti diriku untuk kalian? kenapa kalian memperlakukan seperti itu? apakah jika aku mati akan membuat kalian puas? itukan yang sebenarnya kalian inginkan, maka baiklah aku akan mewujudkannya”, Tukasnya dingin.

Jika memang kematian adalah jalan memutus rantai derita ini maka Ayana akan dengan senang hati melakukannya. Ia pun memperlihatkan benda yang ia ambil dari dalam tasnya sebelumnya yang ternyata adalah pisau.

Tanpa babibu Ayana langsung menyayat lehernya sendiri dengan pisau itu. Sedang, Al yang melihatnya hanya bisa menatap kosong tubuh adiknya yang telah tergeletak di genangan darah yang dihasilkan oleh Sang adik. Kemudian, tak lama setelah itu, Al dengan rasa penyesalannya akhirnya memutuskan menjatuhkan dirinya dari pohon yang tingginya kurang lebih 20 meter. Menyusul Sang adik.

TAMAT

Penulis: Rose Nere
Editor: Redaksi

Teman Di Balik Layar

Penulis: Fitriani

Di dalam ruangan yang penuh akan suara bisingan teman-teman sekelas kala itu, berbagai macam cerita yang mereka ceritakan sembari menunggu kedatangan dosen mata kuliah.

Dalam suasana kelas yang sangat ramai, berbanding terbalik dengan ku yang merasa sunyi ditengah keramaian itu.

Tak berselang lama keheninganku dipecahkan oleh suara sapaan dari seorang tak ku kenal berpakaian sederhana namun terlihat rapi dibalut dengan nikop yang ada pada wajahnya.

“Hai Salam kenal” sapaannya kala itu.

Seketika sapaan itu melenyapkan keheninganku sedari tadi, suara yang lembut menyapaku dan kubalas dengan senyuman. Itu adalah pertemuan pertama kami.

Widyan namanya, singkat dengan pribadi yang ceria dia bercadar namun kain yang membalut wajahnya tidak menutupi keceriaannya. Aku dan dia sekelas yang sama.

Di Kampus, aku tidak hanya menyibukan diriku dengan kegiatan perkuliahan tetapi juga dengan kegiatan organisasi. Widyan pun begitu, selalu aktif pada kegiatan organisasinya namun tidak mengesampingkan aktifitas kuliahnya.

Beberapa kali aku sering memperhatikan nya, jika dia belum datang di kelas sesekali aku melirik depan kelas menanti kedatangannya. Hal itu berjalan beberapa kali pertemuan saat kuliah.

Menjelang beberapa bulan setelah libur semester kami pun akhirnya berkumpul kembali dan mulai melakukan aktifitas penawaran pada kelas yang sama dan hal itu sudah kami sepakati pada semester sebelumnya.

Hingga kami mulai aktif kuliah, pada suatu kesempatan dia terpilih sebagai Wakil Wetua Tingkat pada semester ini.

Suatu ketika, aku disibukan dengan kegiatan organisasi, story Whats up ku di Penuhi dengan kegiatan-kegiatan ku hingga akhirnya ada beberapa mata kuliah tidak ku ikuti.

Pada hari itu aku tertidur dengan pulasnya hingga alarm ponsel ku yang sudah saya aktifkan pukul 04.00 WITA tidak mendengarnya, hingga pada akhirnya aku terbangun pada Pukul 10.00 WITA.

Hari itu ada dua mata kuliah yang masuk hingga akhirnya aku ikhlaskan saja dan melanjutkan tidur dengan tidak lagi membuka ponsel ku.

Pada malam hari dia membalas salah satu insta story What’s up ku dan dia bertanya

“Nia Kenapa tidak beritahu saya biar absen mu tidak ditulis alpa sama dosen,” tanya Widyan.

“Aku pikir tidak ada alasan izin untuk kegiatan ini sudah masuk konsekuensi,” jawabku dengan emot senyuman.

Akhirnya diapun menerima dan bilang pada akhir obrolan kami.

“Lain kali beritahu saya saja nanti saya akan usahakan bagaimana baik nya,” pesannya mengahiri obrolan.

“iya-iya,” ucap saya sambil terharu menjawab pesannya.

Tak disangka namun sedikit tidak percaya ternyata dia selama ini memperhatikan ku, Ku pikir hanya aku yang memperhatikannya, sambil tersenyum kami sudahi obrolan kami malam itu.

Dengan sapaan “hai” dan ucapan “salam kenal” kala itu membuatku berfikir ternyata dia datang sebagai sahabat ku.

Aku sadar, kami tidak begitu sering interaksi saat di kelas namun saling memperhatikan secara pribadi.

Ku pikir sahabat tidak selama nya dia yang selalu terlihat, sering jalan bersama, makan bersama dan lain sebagainya lain halnya dia yang selalu mendukung ku di balik layar kehidupan bilik kampus.

Penulis adalah mahasiswa aktif Institut Agama Islam (IAIN) Kendari, Juga Anggota Aktif Unit Kegiatan Mahasiswa Pers (UKM-Pers) serta Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat AL-Gazali.

Mengikhlaskan

Penulis: Asrinawati Azizah

Malam itu, digelapnya malam yang membungkus bumi seorang gadis bernama Rizky Anandita hanya bisa terdiam kaku menatap wajah pucat pasi dan kaku sang Ibu. Dirasakannya tangan kekar yang memeluknya dari belakang beserta bisikan dengan suara bergetar dari sang ayah.

“kamu kuat nak, Allah lebih sayang Ibu. Ikhlaskan yah nak” bisik sang ayah.

Setelah mendengar bisikan sang ayah maka Luruh lah air mata yang sedari tadi ditahan gadis berumur 16 tahun itu, hancurlah tembok pertahanan yang ia bangun untuk tidak mempercayai Malaikat Tanpa Sayap nya telah tiada. Ibu yang selama ini merawat dan menyayanginya dengan sepenuh hati telah pergi ke pangkuan sang Ilahi. Rasanya dunia seperti runtuh seketika.Ia terduduk diatas dinginnya lantai, meraung dengan penuh rasa sakit yang menggerogoti hatinya.

Setelah sekian lama menangis Dita mencoba mendekati tubuh kaku sang Ibu mengelus wajahnya serta mengecup seluruh penjuru wajah sang malaikat tanpa sayap nya dengan menahan isakan dari mulut kecilnya. Ia berbisik di telinga sang Ibu.

“Do’akan Dita untuk ikhlas Bu, Dita sayang Ibu”

Setelah prosesi pemakaman Dita duduk terdiam menatap Nisan sang ibu, di dalam benaknya terus berpikir. Bagaimana ia dapat melanjutkan hidupnya tanpa sosok ibu di sampingnya? siapa yang akan menghibur ayahnya setelah lelah bekerja nantinya? siapa yang akan menguatkan nya ketika dirinya sedang ditimpa masalah?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya sampai dirasakannya tepukan pada pundaknya. Ternyata tepukan itu berasal dari sang ayah, ditatapnya sang ayah yang tidak kalah berantakan dengannya. Mata yang sembab serta bibir yang pucat pasi, Ayah tersenyum dan ikut bergabung bersama Dita mengamati batu nisan sang ibu.

Lama terdiam dalam kebisuan, ayah membuka suara

“Nak, kamu harus tetap kuat. Tetap kuat dan tegar untuk ayah karena kalau kamu juga menyerah alasan ayah untuk bertahan Apalagi.”

Dita tertegun dengan kata-kata yang diucapkan sang ayah hatinya Terasa dihimpit Batu yang sangat besar dan matanya terasa berkabut akibat Bendungan air mata yang siap bobol mengaliri pipi mulusnya. Sedetik kemudian Dita berhambur ke pelukan sang ayah menumpahkan Seluruh Rasa sesak di dada.

” In Syaa Allah Dita kuat Ayah. Jadi Ayah juga harus kuat.” tutur Dita dengan isakan.

“Iya sayang. Yang terpenting kamu harus ikhlas nak, ibu pasti sedih kalau kamu belum ikhlas menerima kepergiannya”

Dita hanya bisa menjawab perktaan ayah dengan anggukan dan makin mempererat pelukannya pada tubuh sang ayah.

Hari-hari terus berlalu, Jujur dalam melewati hari-harinya bukan hal mudah untuk Dita lewati apalagi ketika ia berada di rumah. Karena di setiap sudut rumah tersimpan begitu banyak memori indah yang di lewati bersama ibunya.

Ketika malam menyapa dan orang rumah telah terlelap di ruangan kecil bercahaya tamaram, Dita duduk terdiam di atas tempat tidur kecilnya. Hal ini terjadi lagi, saat-saat dimana ia merindukan sang malaikat tanpa sayap nya. Dita beranjak dari duduknya, diambilnya daster lusuh kesayangan sang Ibu dari dalam lemari. Dipeluknya daster itu erat-erat. Isakan-isakan kecil mulai mengalun keluar dari bibir mungilnya. Ia terisak ditengah gelap malam tanpa seorang pun yang tahu.

Lama-kelamaan Dita mulai dapat mengiklaskan kepergian sang Ibu. Ia menjalani hari-harinya dengan senyuman melanjutkan sekolahnya menghabiskan waktu Bersama sang ayah dan merajut cita-cita yang ingin Ia capai untuk membanggakan orang tuanya.

Suatu hari, setelah pulang sekolah Ayah mengajak Dita berziarah ke makam sang Ibu. Sesampainya disana ia menuangkan rasa rindunya lewat panjatan do’a untuk sang Ibu. Melihat putrinya yang mulai menitikkan airmata Ayah segera membawa tubuh mungil itu dalam pelukannya.

“Dita sudah ikhlas bukan?” tanya Ayah

“iya yah, Dita sudah ikhlas” Jawab Dita sambil tersenyum.

Dilepaskan pelukan sang Ayah, lalu ia menatap batu nisan Ibunya sembari berkata dalam hati “Bu, mengikhlaskan kepergian mu memang tidak mudah, tapi aku harus melakukan nya agar kaupun tenang di pangkuan sang ilahi. agar Ayah juga bisa tetap kuat dalam menjalani hari-hari tanpa ibu. Tunggu Dita dan Ayah di atas sana ya Bu. In Syaa Allah, jika Allah mengizinkan kita akan di persatukan di dalam surganya kelak. Dita pulang dulu Bu.”

Penulis adalah mahasiswa aktif Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, juga anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Pers (UKM-Pers).

Paradoks Cinta!

Seperti biasa perempuan itu hanya menghabiskan waktu malamnya di Kedai Gerbang Akademik, selalu menyendiri menikmati secangkir Thai Tea di hadapannya.

Demikianlah, ia hampir tak punya aktivitas lain selain menyendiri dengan menikmati secangkir thai tea setiap malamnya.

Semua bukan tanpa sebab, ia dahulu dikenal sebagai perempuan humoris dan aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan saat duduk di bangku perkuliahan. Kini, ia diterpa badai kekecewaan, kosong dan tersuruk dalam dunia hitam. Ia menjadi korban persaksian cicak tentang noda darah di bilik kamar berukuran empat kali enam miliknya.

“Aku berangkat dulu. Doakan sukses senantiasa membersamai anakmu,” percakapan di rusuk rumah bersama Ibunda, diakhiri tanda pamit hijrah ke kota.

Sofia demikianlah panggilan akrab perempuan itu. Semua yang tahu pasti mengenalnya Muslimah yang taat. Sebab, dahulu tubuhnya dihijabi jubah dan jilbab besar.

Ia menyelesaikan studinya seperti mahasiswi lain, hal yang membedakan adalah ia meninggalkan luka dan kekecewaan. Korban retorika cinta aktivis sayap kiri. Hal itulah yang membuatnya selalu menyendiri dan merenung, ditambah lagi tak ada penyesalan pada Tuhan dari lelaki itu setelah bercinta dengannya.

“boleh aku duduk disini?,” sebuah suara tiba-tiba menyapa.

“boleh silahkan,” jawabnya dengan tatapan tanda tanya.

Setelah beberapa saat berbasa basi perbincangan keduanya pun mulai cair.

“beberapa malam belakangan, saya perhatikan selalu menyendiri,” lanjut sapanya berusaha akrab.

Sofia bercerita soal masa lalunya. Mungkin ia sudah terbawa suasana hingga tak sadar menceritakan semuanya.

“terus usahamu untuk meminta pertanggung jawaban sampai disitu saja?,” tanya Sahra dengan rasa penasaran yang makin dalam.

Sahra, adalah nama lelaki yang menyapanya, ia adalah mahasiswa angkatan 2014 berstatus DO dari kampusnya, ia adalah aktivis kiri yang selalu berdemonstrasi tentang ketidakadilan di kampusnya. Mungkin, karena itu ia di DO.

“saat ini saya hanya pasrah pada kata terserah. Sebab, ketika tabu usai diguratkan di atas tubuhku yang rapuh yang tersisa dalam mulut rasaku hanya luka sakit yang mengiris,” curhat Sofia

“hidup tak selalu soal kehampaan dan rasa kosong yang tak pernah bisa disibak. Hidup tak selalu kosong seperti lorong kegelapan yang tak ada jalan keluarnya,” patuah Sahra.

“bukan soal itu, ada hal lain yang memaksa saya untuk menyerah. Lihat saja pesan WA darinya,” tegas Sofia.

“saya telah menikah karena dijodohkan. Jangan ganggu saya lagi dan maaf tak sempat memberi undangan. Dan saya rasa itulah yang terbaik untuk saya,” seperti itulah pesan singkat WA dari lelaki yang telah mencicipi tubuhnya yang tenggelam tanpa sisa dalam pori-pori kulitnya.

Tanpa terasa arloji telah menunjukkan pukul 02.00, keduanya bergegas untuk pulang.

“saya antar pulang ya…” tawarnya.

“boleh, lagian malam semakin larut,” angguk Sofia menerima tawaran Sahra.

Sejak saat itu, keduanya menjadi lebih akrab dan sering berdiskusi tentang berbagai hal hingga larut malam di kos milik Sofia.

Hingga suatu ketika, ransangan aneh kembali hinggap pada lepah-lepah kulit perempuan itu. Matanya memandangi redup langit-langit kamar tanpa kedip. Saat Sahra berhasil mencuri perhatiannya dalam keadaan berdempetan.

“bawa aku terbang untuk melupakan diri sendiri, lupakan aku dengan masa laluku,” gumamnya sebelum sepanjang malam itu ia kembali terjaga dalam aib, dalam tabu, seperti saat pertama kali ia mendapatkan tanda memar merah di bagian dada.

Paginya, ia kembali merasakan kehampaan, rasa kosong yang tak pernah tersibak. Seolah hidup hanya sederetan kekosongan diantara lorong kegelapan yang tak ada jalan keluarnya.

“Semua lelaki sama saja, mereka aktivis kiri adalah penguasa filsafat, pemeran retorika cinta untuk kenikmatan sesaat. Paradoks cinta, berkhotbah meminjam nama cinta demi kenikmatan sesat namun implementasi yang dijalankan demikian pula, keseringan membuat setan menertawai. Barangkali perempuan juga seperti itu, sebab sejak tubuhku pertama kali tak berkain dan tubuhku terbuka digerayangi secara superbebas, aku berjajanji untuk tidak mengulanginya. Namun, baru beberapa saat Sahra menginjakan kaki di kosku cumbu dan cubit-mencubit antar mulut itu kembali terjadi. Iman dan nalarku kembali terlukai, barangkali perempuan memang hiburan untuk laki-laki sesuai eksistensi penciptaan yang kupahami. Hawa diciptakan saat Adam merasa galau dan butuh pasangan untuk menghibur dirinya,” tulisnya setelah mengambil kertas dan sebilah pena.

Arunika benar-benar telah pergi. Dan hari itu ia telah mati rasa dengan lelaki. Barangkali begitrulah tabu, selalu menagih seorang pendosa untuk terus melakukan hal yang serupa dan mengulanginya lagi dalam bentuk serupa. Lupa, sejatinya perempuan adalah emansipasi, bukan bahan pelacurnisasi pada keringat asin yang dicicipi secara sukarela, tanpa kompensasi cinta. Dan lupa cinta yang sebenar-benarnya adalah cinta kepada Ilahi.

Penulis: HDS

Payung Teduh Dari Nenek

Perkenalkan namaku Pelita, aku lahir pada bulan September. Kata orang-orang bulan September adalah bulan yang identik dengan keceriaan dan kebahagiaan. Bagaimana tidak hampir di seluruh penjuru dunia mengalami perubahan besar di bulan kelahiranku ini salah satu diantaranya merupakan awal musim gugur, awal musim semi, dan musim hujan. Sayangnya, aku bukan anak perempuan ceria seperti bulan kelahiranku.

Tepat hari ini umurku berinjak 10 tahun. Keluargaku tidak pernah merayakan ulang tahunku ataupun mengucapkannya aku tidak pernah berharap mereka akan mengatakan itu, tapi yang kutahu setiap bulan kelahiranku nenek selalu membelikanku payung. Aku punya banyak sekali koleksi payung. Aku tidak tahu apakah payung adalah hadiah hari ulang tahunku atau bukan karena nenek tidak pernah mengatakan itu.

Aku tidak begitu dekat dengan ayah dan ibuku, aku hanya dekat dengan nenek dan juga adik dari ibuku. Dari kecil aku selalu ditinggal oleh kedua orang tuaku, ibu selalu pergi menemani kakek ke kebun. Kata ibu, kebun kakek sangat jauh untuk sampai ke kebun mereka harus menyeberang menggunakan perahu. Sementara ayah, baru beberapa bulan terakhir ini aku merasakan sosok kehadirannya. Aku selalu bertanya-tanya kepada nenek, bagaimana wujud ayah, di mana ayah atau ayahku itu yang seperti apa.

Mengingat ayah membuatku mengingat tentang kejadian 4 tahun yang lalu, aku bersyukur memiliki daya ingat begitu tajam setidaknya untuk tidak pernah melupakan kenangan yang tak pernah ingin kami alami aku, ibu, dan adik laki-lakiku. Sosok ayah dan ibu sepertinya memang tidak begitu dekat denganku, bahkan saat aku menangis atau kesakitan aku tidak pernah memanggil ibu yang kutahu hanyalah mengadu pada nenek.

“Nenek, Ayahku di mana? Teman-temanku bilang jika ayahku tidak akan pernah kembali,” rengekku.

Kuhamburkan pelukanku pada tubuh nenek, selepas pulang bermain bersama Rara, Guntur dan ketiga temannya mengejekku karena semenjak TK sampai Sekolah Dasar Guntur tidak pernah melihat ayahku. Sebenarnya, tidak hanya teman-teman sekolahku saja yang selalu mengejekku beberapa ibu-ibu tetangga selalu menertawaiku dan menanyakan di mana ayahku atau mereka akan bilang jika aku tidak akan pernah bertemu ayah atau hal yang paling buruknya adalah jika aku sudah memiliki ibu tiri.

“Pelita mau mainan yang banyak kan? Ayah Pelita kan lagi cari uang yang banyak untuk membeli mainan dan buku untuk Pelita.” selalu saja seperti itu jawaban yang kudengar dari nenek.

“Tapi, aku tidak pernah mendapatkan mainan dan buku cerita dari Ayah, Nek.”

“Pelita mau Ayah kembali?”

“Iya, Nek. Aku ingin sekali bertemu Ayah dan mengajak Ayah bermain layang-layang seperti Ayah Guntur.”

“Kalau begitu Pelita harus sholat dan banyak berdoa agar Ayah pulang ke rumah,” titah nenek

“Sholat dan berdoa yang banyak bisa membuat Ayah pulang, Nek?”

Nenek mengangguk tersenyum. Ia mengelus puncak kepalaku

“Nek, kira-kira Ayahku sebesar apa? Apakah seperti Ayah Guntur, Nek?”

Lagi, nenek mengangguk. Kulihat ia mengusap kedua matanya.

“Nenek kenapa? Nenek menangis?”

“Berjanjilah Nak, untuk tidak pernah membenci Ayahmu.”

“Aku berjanji Nek, aku tidak akan pernah membenci Ayah karena aku ingin sekali bertemu Ayah, tidak apa Ayah tak membawakanku buku atau mainan aku hanya ingin membuktikan pada Guntur kalau aku punya Ayah.”

“Percayalah rasa cinta Ayahmu lebih besar daripada Nenek,” kata nenek lagi ia mengusap puncak kepalaku

“Cinta itu apa Nek?”

“Cinta itu kasih sayang, seperti Nenek yang selalu mengusap dan merawat Pelita ketika sakit.”

“Nek, cinta nenek padaku sebesar apa?”

“Sebesar kasih sayang Ayahmu, Pelita.”

“Tapi, aku tidak pernah melihat Ayah. ”

Kata nenek, kasih sayang Ayah melebihi rasa sayangnya padaku. Nenek selalu mengatakan itu padaku berulang kali, walaupun ayah sudah kembali tetap saja tidak ada yang melebihi rasa cinta nenek untukku. Cinta nenek padaku terlalu besar, sebesar langit, tapi kata nenek rasa cintanya sebesar payung yang selalu ia berikan padaku. Karena katanya, rasa cinta yang ia berikan itu cukup membuatku merasakan kehadiran sosok yang tak pernah hadir dalam hidupku. Padahal rasa cintanya padaku lebih dari cukup.

Hari ini tepat dua tahun kedatangan ayah. Aku selalu menghabiskan hari-hariku bermain bersama ayah, walaupun terdengar terlambat untuk bermain bahkan mengenal ayah, namun aku tetap bersyukur. Sekarang hari-hariku di warnai dengan banyak warna. Cinta yang kudapatkan bukan dari satu warna saja, tapi dari berbagai macam warna. Ada Guntur yang selalu datang mengajaku bermain layang-layang dan masih banyak lagi dan juga ayah dan ibu yang sudah banyak meluangkan waktunya padaku.

Teruntuk nenek dan payung teduhnya yang selalu ia berikan setiap hari dan juga payung pemberiannya setiap bulan kelahiranku adalah kenangan yang tak pernah ingin kulupa. Rasa cintanya akan tetap ada walaupun wujudnya telah tiada. Nenek meninggal setelah 5 bulan kedatangan Ayah. Walaupun begitu nenek bilang untuk tidak pernah merasa sedih jika telah tiba kepergiannya, karena katanya aku harus bahagia dan ceria sebagaimana bulan kelahiranku yang selalu identik dengan keceriaan.

Penulis : Elfirawati

Bukan penulis tapi suka menulis, tidak suka hujan tulisan-tulisan lainnya bisa dibaca di blog : https://elfirawati-ereke.blogspot.com

Aku, Laut dan Pencemaran

Aku dan keluargaku tinggal di pesisir pantai dan menggantungkan kehidupan dari hasil laut.

Hampir seluruh aktivitasku tak luput dari desiran ombak yang selalu menderu, dari membuka mata dipagi hari, mandi, pergi sekolah, pulang dari sekolah, bermain dengan kawan sampai akan tidur kembali di malam hari, lantunan lagu dari laut itu tak pernah luput dari telingaku.

Tiap malam, sebelum tidur ayah selalu cerita tentang keindahan dan melimpahnya hasil laut di masa lalu, bercerita tentang ikan yang besar hingga ikan yang mengikuti perahu ayah yang membuat ayah merasa terhibur karena tingkahnya. Hampir tiap malam ayah bercerita tentang itu dan membuat aku penasaran dengan kehidupan di lautan lepas sana.

Aku merasa cerita ayah yang begitu membanggakan itu adalah kehidupan yang paling indah dan menyenangkan.
Sampai suatu ketika ayah mengajak aku untuk melaut agar aku mempunyai pengalaman tentang melaut dan menangkap ikan.

“Nak, besok kan hari Minggu jadi kamu ikut ayah melaut yah, biar bantu ayah tanggkap ikan. ”

Dengan hati gembira dan tanpa pikir panjang aku mengiyakan ajakan ayah. Yah meski aku sedikit ragu karena itu adalah pengalaman pertama aku menjajaki lautan lepas dan berkenalan dengan ikan ikan yang aku pikir akan besarnya seperti badan orang dewasa.

“Ok ayah..!! Besok bangunkan aku lebih pagi yah biar aku siap siap.”

“Iya nak.!! Tidurlah, agar esok bisa bangun lebih awal”

Pagi pagi sekali saya sudah bangun dan siap siap untuk mengikuti ayah berangkat kelaut. Setelah Berjam jam melaut aku dan ayah baru mendapat ikan yang besarnya hanya sekepal tangan, itupun masih bisa dihitung dengan jari tangan.

Aku mulai merasa kecewa dan putus asah dengan keadaan itu.
Aku merasa apa yang ayah ceritakan hanyalah dongeng dan khayalan belaka.
Perasaan jengkel pada ayah mulai merasuk dalam hati dan jiwa aku, namun aku belum berani melayangkan protes pada ayah.

Namun sampai menjelang sore apa yang kami dapat hanya kisaran bisa dimakan untuk malam hari saja. Tanpa ragu aku bertanya pada ayah.

“Ayah..!! apa yang ayah ceritakan tentang laut dan ikan besar itu cuman dongeng yah.??”

Dengan menunduk ayah mulai bercerita.

“Apa yang ayah ceritakan tiap malam pada kamu itu semua benar, ayah tidak mengarang ataupun mendongeng, namun apa yang ayah ceritakan itu hanyalah kenangan masa lalu, dimana masa itu ayah masih seumur kamu, ketika kakek mengajak ayah kelaut dan hasilnya seperti apa yang ayah ceritakan pada kamu tiap malamnya.”

“Namun saat ini kondisinya berbeda, saat ini ikan ikan sudah sangat sedikit yang tinggal di laut kita, mungkin karena banyaknya sampah yang mengotori laut kita, atau mungkin karena banyaknya pencemaran laut yang berasal dan tetesan kapal tangker pengangkut minyak dan solar untuk perusahaan dikota sebelah hingga membuat ikan ikan di laut kita tidak betah tinggal dan berkembang biak.”

Saat mendengar cerita ayah aku merasa bersalah pada ayah karena sudah berani protes pada ayah, sementara ayah pun tak tau kenapa ikan sudah tidak banyak lagi dilautan ini.

Dengan menghela nafas yang panjang lalu ayah berpesan pada aku.

“Nak.!! Sekolah lah yang baik agar kelak kamu menjadi orang pandai dan bisa mengajarkan pada generasimu tentang pentingnya menjaga kebersihan laut.”
Yah mungkin saja dengan kamu ajak dan edukasi mereka tentang laut, mereka paham untuk tidak membuang sampah dan mencemari laut lagi.

Penulis: Tinta Merah, alumni IAIN Kendari, suka jalan-jalan.

Berproses Di Bumi Gayatri

Penulis: Arini Triana Suci Rahmadani

Hai, aku Arini Triana Suci Rahmadani biasa dipanggil Arini. Bersama temanku Aksan, tepat seminggu yang lalu dia menghubungiku untuk ikut berangkat menuju ke Tulung Agung atau daerah yang biasa dijuluki Bumi Gayatri untuk mengikuti kegiatan kongres Perhimpunan Pers Mahasiswa ke 16 sekaligus merayakan hari lahir Perhimpunan Pers Mahasiswa yang ke 27.

Pagi dini hari pukul 04:00, setelah semalaman tidak tidur karena memikirkan banyak hal terkait keberangkatan kami aku dan Aksan mulai bersih-bersih diri sebelum menuju Bandara Haluoleo, ya benar sekali kami memutuskan untuk tinggal di kantor  UKM-Pers IAIN Kendari semalaman karena jarak rumah tempat tinggalku cukup jauh dari bandara.

Setelah siap, aku dan teman-teman UKM-Pers berkumpul membentuk sebuah lingkaran untuk melakukan sesi berdoa sebelum berangkat menuju Bandara Halu Oleo Kendari, sekalian mengambil gambar bersama-sama. Pukul 05:00 Wita, kami diantar menuju bandara, setelah sampai tak lama kemudian nomor pesawat yang akan kami tumpangi disebut dan itu berarti kami akan segera berangkat menuju Bandara Sultan Hasanuddin di Ujung Pandang.

Selama di pesawat aku hanya duduk sambil melihat ke bawah, mataku menelusuri semua keindahan alam yang ada, dari atas sini pepohonan terlihat seperti karpet hijau yang luas. Sesekali aku menoleh melihat Aksan yang duduk di samping kiri ku sedang asyik mengobrol dengan kenalan barunya, aku juga sesekali menguping pembicaraan mereka. Aku bukan seseorang yang mudah berinteraksi dengan orang baru, tapi tunggu sebentar lagi mulutku tidak akan berhenti berbicara.

Karena ini adalah pengalaman pertama buat kami, sesampainya di Bandara Sultan Hasanudin tentu saja hal utama yang kami lakukan adalah mengambil gambar. Tak lupa pula kami mengabari senior dan teman-teman kami di UKM-Pers. Karena waktu transit yang sempit, aku dan Aksan memutuskan untuk sarapan di Surabaya saja, rasanya konyol kalau harus ketinggalan pesawat karena alasan sarapan.

Penerbangan selanjutnya pukul  09:00 Wita, setibanya di Bandara Djuanda Aksan mengeluarkan satu kalimat yang cukup panjang hari itu. “Jangan jauh-jauh, disini ramai. Kita tidak ada kenalan dan bahaya. Apalagi di terminal nanti, tadi kakak yang disampingku cerita kalau kita tidak boleh interaksi dengan orang lain selain petugas bandara.” Baru berapa menit tiba dikota orang Aksan sudah terlihat seperti orang tua yang posesif terhadap anaknya, aku cuma mengiyakan.

Sambil menunggu Djawatan Angkoetan Motor Repeobblik Indonesia (Damri) yang kami tumpangi jalan aku dan Aksan mengecek smartphone  kami masing-masing, satu hal yang aku sadari ternyata senior-senior ku benar-benar mengkhawatirkan ku. Mungkin karena aku perempuan, jadi isi kolom chat Aksan hanya tentang “jaga saudarimu baik-baik.” Aku tersentuh, sedangkan Aksan menghela napas karena dititipkan tanggung jawab besar.

Damri yang kami tumpangi melaju menuju terminal Purabaya, dari terminal Purabaya kami naik bus menuju tempat tujuan kami yakni terminal Gayatri di Kabupaten Tulung Agung. Dengan estimasi waktu sekitar 5 jam, melewati jalan tol. Setelah sampai di Tulung Agung hal pertama yang kami lakukan tentu saja mencari warung untuk memberi nutrisi cacing-cacing diperut. Lelah mengelilingi terminal, kami akhirnya memutuskan untuk makan didepan terminal sembari menghubungi teman-teman LPM yang ada di Tulung Agung, selang beberapa menit setelah makan kami di hampiri dua orang cowo yang akrab di panggil Dadang dan Rizal, mereka adalah teman-teman dari LPM Dimensi UIN Satu Tulung Agung.

Sebelum menuju ke kontrakan LPM Dimensi Dadang dan Rizal mengajak aku dan Aksan untuk singgah ditempat angkringan untuk ngopi dan nyemil. Ditempat itu, kami hanya sedikit bertukar cerita tentang keadaan kota masing-masing, kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju kontrakan LPM Dimensi.

Dikontrakan LPM Dimensi kami disambut dengan ramah oleh beberapa anggota yang masih aku ingat Mba Ria, Mas Panda dan lain-lain. Disana juga aku bertemu dengan Efendi dari LPM Al Fikr Probolinggo. Kami banyak tukar cerita tentang kegiatan yang sering UKM Pers atau LPM lakukan, tidak hanya itu kita juga bercerita terkait budaya bahkan sampai culture shock yang aku rasakan.

Teman-teman LPM Dimensi sangat antusias mendengar ceritaku tentang perjalanan kami yang penuh dengan kebingungan, soto ayam yang di campur langsung dengan nasi sampai rasa teh di sana yang sangat ringan dan wangi.

Malam hari pun tiba aku memutuskan untuk beristirahat di kos Mba Ria, karena kurang etis rasanya harus menginap di kontrakan yang isinya mayoritas laki-laki. Temanku Aksan tetap di kontrakan tersebut, sebelum istirahat aku dan teman-teman memutuskan untuk makan malam diwarung Mak Tik, yang cukup terkenal di daerah sekitar kampus UIN Satu Tulung Agung. Lagi-lagi aku dibuat syok karena harga makanan yang terbilang sangat murah bagiku.

Besok pagi, aku bersih-bersih diri setelah itu menuju kontrakan dimensi untuk sarapan pagi. Sampai pada siang hari, aku bersama Aksan, Dadang dan Mas Shibi memutuskan untuk berangkat ke lokasi kongres duluan. Setelah pamitan, kamipun berangkat. Jarak yang kami tempuh cukup jauh, karena berada dikecamatan yang berbeda.

Sampai ditempat kongres aku dan aksan terlebih dahulu melakukan registrasi, kemudian menuju tempat istirahat kami masing-masing. Karena pada saat itu tempat perempuan dan laki-laki dipisahkan, aku agak kebingungan.

Selang beberapa saat kemudian, aku masuk didalam ruangan luas yang isinya anggota PPMI dari berbagai Dewan Kota, disitu pula aku bertemu kenalan baruku Sanna gadis cantik dan ramah dari LPM Bhaskara.

Berada di dalam ruangan luas yang asing, aku hanya diam sambil sesekali bertukar senyum dengan Sanna, waktu menunjukkan pukul 15:00 kegiatan pertama ku ditempat itu dimulai. Mengikuti kegiatan workshop ‘cek fakta’ ini adalah kegiatan collab PPMI dan AJI.

Setelah kegiatan workshop selesai kami diberi waktu untuk istirahat dan membersihkan diri, aku melewati beberapa anak tangga menuju ruangan istirahat kami sebut saja kamar. Sampai di kamar, aku menelusuri seluruh isi ruangan dengan kedua bola mataku, ternyata teman-teman dari kota lain sudah lebih dulu berkumpul sambil bertukar nomor handphone, ada juga yang berbagi majalah yang mereka bawa.

Rasanya seperti sudah lama kenal mereka, hari itu aku kenalan dengan berbagai macam kepribadian. Febri dengan kepribadian humorisnya, Latifah dengan kepribadian cepat akrabnya karena sedari awal dia yang paling sibuk menemui kami satu persatu sambil meminta nomor telepon dengan tujuan untuk membuat grup, Andhani dengan suara merdunya, dan Shelia Gladia gadis melayu dengan kepribadian ramah dan lemah lembutnya.

Malam hari, kami semua kembali ke Aula tempat kegiatan yang terletak persis diatas kamar kami. Walaupun terbilang hari pertama, tidak sulit bagiku untuk berbaur karena kami telah berkenalan di kamar. Di atas kami mengikuti rangkaian acara pembukaan kongres PPMI sekaligus pemotongan tumpeng dalam rangka merayakan hari jadi PPMI. Setelah beberapa rangkaian acara selesai, hiburan pun dimulai.

Aku yang biasanya menikmati Kpop kali ini berbeda, aku dan teman-teman mendengarkan sebuah band musik menyanyikan lagu-lagu pop Indonesia yang sedang hits dikalangan anak muda. Tak lupa pula Andhani menyumbangkan suara merdunya, sangat merdu.

Kalau boleh jujur, aku bukan seseorang yang begitu menikmati keramaian, seringkali keramaian membuatku merasa lelah. Karena mulai merasa lelah, aku memutuskan untuk bergeser di sudut ruangan menemui Shelia yang sudah lebih dulu berpindah tempat. Sepertinya dia memahami keadaanku, dengan penuh rasa peduli Shelia merangkul.

Sejak saat itu aku banyak menghabiskan waktu bersama Shelia selama ditempat kongres. Kemanapun aku pergi di situ ada Shelia, begitu pula sebaliknya. Masuk pada kegiatan terakhir hari itu kami bincang-bincang terkait kekerasan terhadap jurnalis. Para pemantik menceritakan pengalaman mereka selama menjadi seorang jurnalis, kemudian memberikan saran yang bermanfaat untuk menghindari kekerasan terhadap jurnalis.

Keesokan harinya seperti dejavu, kegiatan yang sama terulang workshop ‘cek fakta’ dengan materi dan pemateri yang sama. Sampai pada kegiatan kami selanjutnya yakni diskusi terkait SOP Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis, tidak bisa di pungkiri hal-hal seperti ini sedang marak terjadi. Dalam diskusi yang kami lakukan terjadi perdebatan-perdebatan kecil terkait bentuk hal-hal yang termasuk pelecehan salah satunya catcalling.

Sebagian kubu menganggap bahwa tatapan tidak perlu dimasukkan dalam hal ini sebagai salah satu bentuk pelecehan. Tetapi sebagai seorang perempuan aku bantu menegaskan bahwa hal sepele tatapan yang membuat tidak nyaman sudah termasuk suatu pelecehan, ada pula yang berdalih bahwa bisa saja seseorang menatap karena ingin kenalan?

Sekali lagi teman sesama wanita yang bernama Eka menegaskan bahwa “kalau niat baik untuk kenalan, kenapa tidak langsung ditemui. Dari pada menatap sampai menciptakan perasaan tidak nyaman?”. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, waktu istirahat tiba.

Hari ketiga kegiatan sidang kongres pun dibuka, yang dilanjutkan dengan pemaparan kota oleh setiap sekjen kota atau pun perwakilan-nya. Aku dan Aksan banyak berdebat, karena ini kali pertama kami. Jadi sedikit bingung mau memaparkan apa, tiba saat karateker kota Kendari disebut. Mau tidak mau, siap tidak siap aku harus maju.

Dengan waktu 2 menit aku memaparkan rasa bingung di kepala, “terimaksih atas waktu yang diberikan kepada saya, terkait pemaparan kota. Saya sedikit kebingungan karena kami di kota Kendari masih menjadi karateker atau belum ada Dewan kota. Semoga setelah hadir di sini, kami bisa pulang dan membangun komunikasi yang baik dengan LPM-LPM yang ada di kota kami untuk kemudian fokus membentuk Dewan Kota,” kurang lebih se singkat itu.

Selanjutnya kami membahas tata tertib yang memakan waktu dua hari satu malam. Agak alot, seperti biasa. Apa yang anda harapkan dari sebuah diskusi yang isinya puluhan kepala? Pembahasan tata tertib selesai. Lanjut pada pembahasan LPJ Pengurus PPMI Nasional. Hal yang paling mengejutkan, forum berubah menjadi sesi penghakiman. Semua kesalahan-kesalahan kinerja di perdebatkan. Agak menjengkelkan, padahal yang seharusnya kita lakukan adalah belajar agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bukannya tiba-tiba menjadi hakim kehidupan.

Kegiatan selanjutnya masuk pada pembahasan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, karena melihat forum yang cukup alot dan waktu yang sempit. Aku berinisiatif, mengefisiensi waktu dengan menyarankan pembahasan AD dan ART Bab per bab. Setelah lobying dengan Mas Luki yang menginginkan pembahasan pasal per pasal bersama Mas Shelo sebagai Pimpinan sidang II, tidak ada jalan keluar. Kami pun melakukan voting, hasil voting membahas bab per bab.

Sehari semalam membahas AD dan ART, paginya kami lanjut membahas GBHO/GBHK sampai tuntas. Lanjut pada pemilihan Sekretaris Jendral PPMI Nasional, agak penuh drama. Para kandidat yang dicalonkan, menolak posisi tersebut dengan berbagai alasan. Setelah melalui kira-kira 3 kali pemilihan bakal calon Sekjend PPMI Nasional, yang berujung gagal. Forum di pending untuk waktu yang cukup lama.

Pada saat forum dipending, perwakilan setiap DK melakukan diskusi secara privat. Para peserta kongres yang lain sibuk dengan urusan masing-masing, karena merupakan malam terakhir kegiatan aku, Shelia dan Anri memutuskan untuk keluar mencari makan sebentar. Setelah kembali di Aula, secara tidak sengaja kami berpapasan dengan beberapa teman dari DK Madura dan DK Jember, kami sedikit bertukar cerita tentang budaya di kota masing-masing.

Sampai pada waktu tengah malam, forum di buka kembali. Karena frustasi, peraturan di dalam AD dan ART. Terkait syarat Sekjend Nasional dikesampingkan terlebih dahulu. Singkat cerita, Primo Rajendra perwakilan dari LPM Satu Kosong ITS, DK Surabaya. Memberanikan diri untuk mengambil alih jabatan Sekjend Nasional. Dengan beberapa pertimbangan, Primo disetujui. Setelah itu masuk pada bagian sidang Rekomendasi seperti rekomendasi BP Nasional dan kota yang akan menjadi tempat pelaksanaan Mukernas.

Saat itu teman-teman menyarankan tiga kota untuk menjadi tempat pelaksanaan Mukernas yakni Kota Kendari, Mataram dan Jogja. Melalui voting forum memutuskan pelaksanaan Mukernas dilaksanakan di Jogja.

Hari terakhir kegiatan, setelah bersih-bersih diri semua peserta berkumpul kembali di Aula untuk melakukan agenda penutupan kongres. Setelah menyetujui hasil diskusi di dalam kongres, dan ditutup.

Note: Arini Triana Suci Rahmadani adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah