Adinda Kesayangan

Semua mahkluk, yang hidup-mati, baru-lama, mereka memanggilnya Sonyior. Dia akan marah bila tidak dipanggil Sonyior. Tapi kadangkala orang berbicara sendiri dalam hatinya, “kalau dia marah dipanggil lain, sekalian saja kita panggil dia Tuhan.”

Diwaktu mudanya, Sonyior pernah tergabung dalam organisasi kemahasiswaan politik dan organisasi pemberitaan. Oh, tentu dimasa itu dia masuk dalam deretan tokoh-tokoh mahasiswa paling gacor di kampusnya.

Berbekal dengan pengalaman yang dia dapatkan, Sonyior menjadi piawai untuk mengakrabkan diri pada perempuan. Kelincahannya dalam menguasai lorong-lorong asrama putri, membuat dirinya dinobatkan sebagai bapak kos pemberdayaan perempuan.

Karena kehebatannya itu, Sonyior beruntung menikah dengan seorang janda muda, anak satu, usia anaknya berusia 5 Tahun.

“Lihat! Sonyior diberkati Tuhan, beli satu gratis satu,” ucap teman-teman Sonyior yang sedang seru menonton video meme, salah seorang kandidat kepala kampung yang mengatakan akan mempercepat kemiskinan ketika terpilih menjadi pemimpin.

Menjelang 21 Tahun umur pernikahan Sonyior, istrinya pulang terlebih dahulu menghadap sang Illahi. Waktu yang cukup panjang diantara mereka berdua dalam memadu kasih.

Tapi dalam benak Sonyior, berusaha menguatkan dirinya, “Tuhan lebih sayang istrinya. Kepergiannya tidak kemudian membuat harapan Sonyior hilang. Dia tahu bahwa hidup harus tetap dijalani ke depan.”

Kemudian dalam hatinya bergumam, “bahwa kehilangan istri dengan seluk beluk kisahnya selama 21 Tahun tidak terlalu sakit, ketika dibandingkan dengan usia 21 Tahun reformasi yang disabotase oleh pejabat publik, dengan cara melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baik dari dalam internal struktural maupun secara moralitas kelembagaan.”

Sejak kepergian istrinya, perhatiannya kini tertuju pada anak satu-satunya, yang secara gratis dia peroleh sewaktu meminang istrinya dahulu.

Saat anaknya itu berusia 5 Tahun, dia belum mempunyai nama. Sonyior waktu itu sempat berpikir ingin menamainya Binahong, nama seorang Raja pada dinasti Teataru, yang bertahta sejak 586-465 Masehi.

Namun dirinya khawatir nama itu akan disalahgunakan oleh anaknya. Sonyior sadar betul, bahwa di Negerinya, setiap orang yang memakai nama-nama Raja dan tidak berperilaku baik maka akan membuat kegaduhan, dengan tuduhan yang bersifat diskriminasi.

Katanya, di Negeri Sonyior, mereka yang melabeli dirinya dengan nama-nama Raja tidak boleh merusak marwah baik yang ada pada nama-nama itu. Jika pengguna nama-nama Raja berbuat tidak baik maka itu dia anggap sebagai penghinaan suku terhadap keturunan para Raja.

Dengan kerisauan itu, akhirnya Sonyior batal mengenakan nama Raja pada anaknya. Karena itu batal, digantinya nama anaknya menjadi Mulyono, yang dia dapati dalam mimpinya sewaktu berziarah ke kubur istrinya. Pikirnya, nama itu cocok untuk anaknya, sepertinya itu pemberian dari istrinya.

“Tapi, di masa yang silam nama itu bagaikan momok yang menakutkan. Pernah terjadi pada seorang anak, saat dinamai Mulyono, dia sering sakit-sakit. Apa kau tak takut jika anakmu menggunakan nama itu?” Ucap ketua perdukunan di kampung Sonyior.

“Karena sering sakit-sakit, anak itu diberi nama baru, yaitu kodowi. Ampuh! Selain sakitnya hilang nama itu juga yang akan menguasai Negerinya selama 1 dekade, dengan ragam dinamika sosialnya,” ungkap dukun itu, berusaha meyakinkan Sonyior untuk tidak memakai nama Mulyono pada anaknya.

Setelah merasa bahwa nama yang dia pikirkan nantinya akan berdampak buruk pada anaknya. Dia memutuskan untuk ke pasar bunga. Barang kali muncul inspirasi dalam kepalanya untuk memberikan nama yang tepat kepada anaknya.

Sesampainya di pasar bunga, dan memasuki salah satu toko bunga kembang. Di dalam toko itu, Sonyior memperhatikan semua karyawan yang ada. Yang masing-masing dibaju karyawan tertera nama mereka. Diantaranya, Nira, Makus, Marah, Vano, Memoy, Kenni, Hidawa, Haris, dan terakhir Adede. Dari sekian nama-nama itu, Sonyior hanya tertarik pada sosok Adede, yang sejak Sonyior memasuki toko bunga sampai bergegas meninggalkan toko itu hanya Adede yang begitu aktif merapikan bunga-bunga yang berserakan sekaligus menyiapkan semua orderan yang akan diantar kepada konsumen.

Akibat dari keseriusan serta tanggung jawabnya dalam bekerja, Sonyior merasa terpana dengan Sikap Adede. Sebelum meninggalkan toko bunga, Sonyior menghampiri Adede yang masih sibuk menyusun bunga, kemudian bertanya kepada Adede, “kamu kenapa semangat sekali bekerja? Semua dikerjakan oleh kamu, padahal disini karyawannya bukan cuma kamu,” kata Sonyior dengan tatapan mengagumkan pada Adede.

“Dari dulu, orang tua saya keras mengajarkan untuk tidak lupa diri terhadap tanggung jawab yang diberikan,” ujar Adede sambil senyum.

“Karyawan disini memang bukan cuma saya. Tapi, kalau mau tunggu rasa malas teman-teman hilang, dan sementara dilain sisi mereka tidak berusaha keras merubah diri, kalau seperti itu maka toko ini tidak akan berkembang. Olehnya itu saya bergerak sendiri. Selain dari orang tua, saya juga belajar pada literatur yang ada. Pengembaraan terhadap literatur, membawa saya pada kalimat Tan Malaka, yang mengatakan begini: Disiplin itu nyawanya gerakan, Hanya mengaku setuju pada program itu bukan disiplin. Apalagi hanya hapal program. Program itu dijalankan dengan aksi, aksi, dan aksi,” kata Adede sembari mengeraskan suara agar didengar oleh teman-temannya.

“Semuanya menawan, tapi buat apa kalau hanya sekadar tampan dan cantik diparas? Teman-teman Adede, Pemalas! Apa itu yang mau dibanggakan, yang katanya sebagai generasi emas? Dasar Tolol,” desis Sonyior saat melangkah keluar dari toko bunga.

Dengan hati yang mantap, Sonyior menjadikan sikap Adede sebagai sosok yang kelak bisa terpatri pada anaknya. Sebenarnya dia ingin menamai anaknya Adede, tapi Sonyior berpikir kalau nama Adede terlalu kampungan untuk anaknya yang nanti akan ke Kota melanjutkan Jenjang Pendidikannya di perguruan tinggi. Akhirnya Sonyior merevisi nama Adede menjadi Adinda. Ya, Adinda untuk nama anaknya.

Merawat Adinda dengan penuh kasih sayang, Sonyior menunggu dengan hati yang cukup sabar. Kelak angan-angannya pasti menjadi kenyataannya. Sonyior yakin dengan nama itu, semoga Adinda bisa mengadopsi sikap yang ada pada Adede, dan pada diri Sonyior, yang dulunya pernah aktif sebagai aktivis jurnalis mahasiswa yang tajam dan kritis.

Sonyior merasa sangat bahagia, dia mengambil selembar kertas menambahkan kata jurnalis dibelakang nama Adinda. Sonyior membayangkan nama anaknya menjadi Adinda Jurnalis.

Sonyior yakinkan cita-citanya pada semua tetangganya, bahwa itu akan tercapai.

“Aku turut berduka jika kabar kemiskinan kalian tidak terkabarkan kepada masyarakat luas, terkhusus kepada pemerintah. Andai Adinda telah jadi jurnalis, kehidupan miskin kalian pasti akan mendapat perhatian lewat tulisannya,” kata Sonyior bangga.

Dan kalau Sonyior mengetahui telah terjadi kekerasan seksual pada tetangganya kemudian tidak mendapat perhatian publik, dia akan berkata, “sungguh malang nasib mereka, coba kalau Adinda sudah jadi jurnalis, pasti kasus anak itu akan sampai kepada Presiden.”

Sejak Adinda berangkat ke Kota Kunduru, Sonyior bertambah yakin, bahwa dari hari ke hari, bulan ke bulan, hingga tahun ke tahun, Adinda akan meraih apa yang selama ini Sonyior cita-citakan.

Terbukti, bahwa Adinda setiap tahun mengirimkan Sonyior Kartu Hasil Studi (KHS) jurusan jurnalistiknya, dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang baik. Terlebih lagi adinda mengikuti jejak Sonyior memasuki organisasi sewaktu dia mahasiswa dulu.

Waktu Sonyior membaca pesan-pesan Adinda yang menceritakan perkembangannya, Sonyior terharu gembira. “Saya akan bangga padamu, cita-cita yang ku dambakan akan Adinda laksanakan. Memang, kau harus jadi jurnalis. Kau akan rasakan kerja-kerja kemanusiaan itu. Orang akan lebih butuh pertolonganmu. Dan kau akan disegani.”

Semenjak hari itu, Sonyior kurang punya kesabaran oleh waktu yang tak kunjung tiba menjadikan Adinda sebagai seorang jurnalis. Tapi semua orang tahu bahwa cita-cita sonyior hanya menjadi mimpi belaka.

Orang-orang bingung bagaimana harus mengatakan agar Sonyior percaya. Sonyior justru memusuhi orang yang menjelekkan Adinda. Sonyior beranggapan kalau orang-orang itu hanya iri saja dengan kemajuan yang dicapai anaknya.

Tanpa pikir panjang, Sonyior terus-menerus memanjakan Adinda. Segala macam bentuk dia upayakan demi proses belajar Adinda.

“Cepatlah pulang dan bawa pengalaman jurnalismu, biar kau tampar mereka lewat tulisan-tulisan yang kau buat,” tulisnya pada pesan yang akan dia kirimkan.

Dengan begitu, orang-orang kasihan pada Sonyior. Akhirnya semua orang tak berbicara yang sungguh-sungguh benar lagi. Mereka justru memuja-muji Adinda yang katanya serius ingin menjadi jurnalis.

“Anak Sonyior itu, persis seperti bapaknya dulu waktu jadi mahasiswa. Kalau tidak ada kuliah, dia ke kantor jurnalis mahasiswanya. Kata teman-temannya, Adinda masuk divisi Layout, Audiovisual, sekaligus Reporter. Diantara ke tiganya tidak ada yang dia geluti serius,” ungkap seorang warga yang anaknya berteman dengan Adinda.

Sonyior merasa tersinggung mendengar perkataan itu, “kalau kamu tidak liat langsung apa yang dilakukan Adinda, tidak perlu sok tahu.”

Pada warga yang lain terjadi percakapan pelan, “kalau Adinda hanya sekadar masuk organisasi, pasang nama. Itu namanya cuma numpang tenar. Kalau seperti itu, apa bedanya Adinda dengan tehel, debu, dan benda-benda mati yang ada dikantor jurnalistiknya,” ucap mereka menahan tawa, takut didengar Sonyior.

Setiap orang yang memuji Adinda, pasti diberi apresiasi yang tinggi oleh Sonyior.

“Anakmu anak yang baik, dia pasti berhasil. Kamu akan bangga Sonyior. Seluruh Kota Kunduru, mengenal dirinya, Semua laki-laki berharap diterima cintanya oleh Adinda,” kata warga yang baru pulang dari Kota.

Sonyior dengan bangga berkata, “bukan main, begitu hebat rupanya putriku. Dia berhasil lebih maju dariku. Haa haha ahee. Dia memang cantik seperti ibunya, siapa yang tidak inginkan dia. Datanglah kau ke rumah, kita potong ayam untuk mosonggi.”

Kemudian kalau Sonyior ketemu pria-pria pengangguran dikampungnya, dia akan mengatakan,”kau kenal Adinda? Nanti aku kenalkan kalian kepada dia, biar masalah pengangguran masuk dalam agenda-agenda peliputannya.”

Para pria itu mukanya merah, merasa marah. Namun bagi Sonyior muka merah itu karena tersipu malu, bangga, akan dikenalkan oleh anaknya.

Ketika Sonyior tahu kalau anak Ketua kampung ingin menikah. Sonyior merasa bahwa Adinda juga sudah harus dia pikirkan pada siapa akan dipasangkan. Tapi Sonyior akan membenci kepada setiap warga yang memiliki anak tampan yang tidak mempedulikan Adinda.

Namun kepada Adinda, Sonyior tak menunjukkan marah. Dia mengatakan manja, “banyak pria yang datang, semua tertolak. Saya yakin pada dirimu Adinda, kau tentu lebih mementingkan proses belajarmu dibanding persoalan laki-laki. Kau akan jadi orang hebat. Pilih saja laki-laki dari Kota. Laki-laki yang sesuai dengan kau,” tutup pesan Sonyior.

Jika dulu Adinda yang berbohong, Sonyior yang percaya. Masa kini, Sonyior yang menipu, Adinda yang percaya.

Untuk membuktikan kebenaran pesannya kepada Adinda, Sonyior kirimkan semua koleksi foto laki-laki yang ada padanya. Sonyior terus menerus mengirim foto, baik yang sudah menikah atau belum. Sonyior berharap semoga anaknya tidak tertarik terhadap foto-foto itu.

Sonyior merasa khawatir kepalsuan sandiwaranya berakhir pada suatu waktu. Adinda, lama-lama pasti tahu, dan tentu itu akan memunculkan masalah baru.

Berkenaan dengan foto terakhir yang Sonyior kirimkan pada Adinda, bertepatan pula kabar dari Adinda tak pernah datang lagi. Lesuh dan gelisah Sonyior menanti kabar anaknya. Tak langsung menyerah Sonyior masih terus mengirimi Adinda pesan. Dikirimnya, ditunggunya. Tak terbalas juga. Bulan datang dan pergi, Sonyior terus menunggu.

Suatu hari yang tidak berpihak pada Sonyior. Datang warga yang baru pulang dari kota dengan membawa kabar bahwa pesan-pesannya tak pernah tersampaikan. Betapa remuk dan hancur perasaan sonyior. Dia tak percaya dengan hal itu. Sonyior berusaha untuk tak menyakini apa yang dia dapati. Dipaksanya dirinya untuk menganggap semua itu hanya mimpi.

Segalanya menjadi tidak baik sejak saat itu. Hanya satu orang yang Sonyior inginkan, kabar dari Adinda. Seakan semuanya telah berakhir. Hidupnya tak bergairah lagi. Tiba-tiba Sonyior ingat asal-usul nama Adinda. Harapannya dulu, bahwa Adinda harus menjadi seperti Adede yang tekun dan bertanggung jawab, dan seperti dirinya yang jadi aktivis mahasiswa yang tajam dan kritis.

Sabar menunggu dari hari ke hari, tiba masa dimana kabar tentang adinda sampai pada Sonyior. Langkah pelan dari seorang warga yang nampak memasuki halaman rumah Sonyior dengan map kuning ditangan.

Sonyior yang lumpuh sejak tak pernah mendapat kabar dari Adinda. Tiba-tiba bangkit mendatangi warga itu. Dengan tubuhnya yang kusut tak berdaya, dia bersandar pada kursi dan menyuruh warga itu membacakan pesan yang dia bawa.

Hening sementara, warga itu kemudian membacakan pesan untuk Sonyior: “diawal memasuki kampus sampai bergabung pada organisasi jurnalis kemahasiswaan. Adinda begitu sangat disayangi oleh semua orang, bahkan semua panggung proses diberikan padanya. Semua itu dilakukan dengan maksud, agar Adinda lebih giat lagi menempa dirinya untuk mewujudkan cita-cita Sonyior. Tiba suatu masa, dimana Adinda……,” tak selesai pesan itu dibacakan warga, Sonyior memerintahkan untuk tidak meneruskan pesan itu.

“Tak akan sanggup saya mendengarnya. Saya akan mati lemas oleh kebahagiaan yang ada dalam pesan itu. Tunggu sampai tubuhku sehat, baru kau datang lagi untuk bacakan pesan itu,” ucap Sonyior yang suaranya kembali membara seperti waktu awal dia membangga-banggakan Adinda.

Sepanjang jalan, saat warga itu pulang. Dia tetap melanjutkan membaca isi pesan. Isi pesan itu sebagai berikut: “tiba suatu masa, dimana Adinda selalu merasa bisa, tapi sejatinya dia tidak pernah bisa merasa. Semua tanggung jawab yang diberikan tidak pernah serius dia kerjakan. Memang tetap ada yang menormalisasi sikapnya, muncul sebagai pahlawan. Tapi dengan sikap Adinda yang seperti itu, ternyata dia tidak ada bedanya dengan teman-teman Adede yang dulu pernah diberi umpatan buruk oleh Sonyior. Kalau Adinda merasa belajar seharusnya ada progres. Tapi itulah dia, selalu merasa bisa, tapi tidak bisa merasa. Meskipun demikian, secara otomatis seleksi alam akan berlaku, disetiap zaman, pada setiap orang. Adinda tidak cukup sabar menangkap maksud dari pesan belajar yang diberikan. Terlalu manja, apalagi ketika ada yang muncul sebagai pahlawannya. Dengan sadar, tidak akan ada penyesalan dengan kepergian. Waktu terlalu singkat untuk memikirkan itu. Jika Adinda hanya menginginkan kenyamanan saja, lebih baik Adinda tidak usah hidup. Untuk Sonyior yang terhormat, tolong jangan takut kehilang Adinda. Kalau kehilangan Adinda, kita masih dapat Adinda-Adinda yang lain. Justru takutlah kalau kehilangan ide, karena kalau itu yang hilang kita akan punah sebagai sebuah peradaban. Atau…..”

Tidak selesai pesan itu dibacakan, si warga menutupnya dan mengatakan, “nanti saja saya lanjutkan. Nanti kalau Sonyior sudah sehat. Padahal masih ada bagian cerita-cerita Adinda tentang kelupaannya pada suatu hal,” ucap warga sembari membuang ludah, Kemudian melanjutkan perjalanan pulangnya.

Kendari, Minggu 03 November 2024

Penulis: Hajar
Editor: Tim redaksi

Si Busuk Mulut

Terhitung 10 tahun, Arga Sanda Uyung, sapaan akrabnya Asyu, menjadi pengabdi di dalam perkumpulan pemuda yang bergerak dibidang distributor data publik. Sejak namanya tercatat secara resmi sebagai pengabdi, selama itu juga dia mulai atur sana-atur sini.

Awalnya, Asyu masih sering merasa bersalah. “Inalillahi, kenapa mesti saya atur mana data yang boleh keluar dan mana yang tidak boleh. Padahal semua itu sifatnya penyampaian kepada publik,” pikirnya waktu otaknya masih berfungsi dengan benar. Namun ditempat tongkrongannya yang lain, katanya kalau tidak pandai tekan sana-tekan sini itu dianggap aneh.

“Membatasinya harus lebih kuat lagi Syu,” ujar kawan-kawannya.

“Kamu harus bisa atur data yang akan keluar, apa lagi kalau itu data yang akan merusak citra anggota kita. Tidak apa-apa, kontrol saja narasi yang dibuat disitu. Kan proyek-proyek yang ada kamu kebagian juga. Jangan sok suci. Bahkan kerabatmu yang mau masuk ngajar kita bantu luluskan. Apalah artinya jika keberadaanmu didalam sana tidak bermanfaat buat geng. Apa kamu mau lupakan jasa yang diberikan kepada kamu?”

Karena pada dasarnya Asyu predator pragmatis, maka campur tangan makin lancar tanpa gentar. Asyu merasa sudah sepantasnya dia melakukan itu. Seperti tidak melakukan kesalahan apapun.

Kecanduan berbuat seperti itu, Asyu semakin lincah dan licin. Kemampuannya dalam mengendus informasi yang berpotensi merugikan kepentingan gengnya semakin meningkat. Penciuman Asyu, lebih tajam dari anjing.

Setiap agenda pengumpulan data dia bisa tahu, baik yang sementara didiskusikan ataupun yang sedang direncanakan. Dalam kerja-kerja inteligennya, sedalam apapun isu yang merugikan gengnya disembunyikan, dia pasti akan tahu. Ditambah koneksi mata-mata lain selain Asyu, yang dititipkan gengnya untuk membantu dirinya. Asyu cukup pandai berpura-pura, sekadar nimbrung di bengkel pengolahan data untuk mendapatkan informasi. Menunjukkan perhatian palsunya.

Dengan pengalamannya selama 5 tahun menjadi bagian dari distributor data publik, sekaligus penghambaannya pada geng begundalnya selama 15 tahun, Asyu jadi mahir betul menghentikan arus informasi yang akan merugikan gengnya.

Tentu saja Asyu mulai terkenal sebagai manusia dengan skil tingkat dewa melalui indera penciumannya yang begitu tajam melebihi seekor anjing. Selain itu, hartanya bertambah dari hasil bagi-bagi proyek.

Saban waktu, Asyu pernah ditanya oleh penjual buku keliling, “apakah harta bapak ini hasil dari usaha sampingan, selain dari gaji pekerjaan bapak? Dan bagaimana bapak menjamin bahwa tidak terjadi pembajakan data ketika itu akan dikeluarkan kepada publik?”

“Kalau harta ini hasil upaya-upaya mandiri, mas,” ungkapnya sambil mengorek upil. “Kemudian untuk distribusi datanya, saya selalu menyampaikan itu secara terbuka kepada publik karena itu hak mereka untuk mendapatkannya. Saya ini takut Tuhan mas, takut buat salah. Apakah mas masih ragu? Kalau dilihat dari penampilan, kurang religius apa lagi saya? Saya pakai peci pemberian Kiai, sarung yang saya pakai dibeli di Mekkah waktu berangkat Haji yang kesepuluh kali, bahkan baju saya bertulis besar, hamba Tuhan yang berani jujur itu hebat,” ujarnya sambil mengipas tubuhnya dengan Majalah Harian Tusuk yang bersampul siluet hidung panjang Presiden Jokrori.

Sejak saat itu, nafas mulutnya bertambah busuk. Walaupun Asyu belum merasakan apa-apa. Dia tidak merasakan sakit di mulutnya, lidahnya tidak gatal-gatal.

Dia baru tahu bau mulutnya dari perempuan yang sering dia kencani dan ajak telponan berjam-jam sebelum akhirnya malam membungkus mereka dalam gelap gulita yang menunggu fajar.

Bau mulut itu kemudian terungkap saat malam selanjutnya mereka bertemu untuk tidur di ranjang yang sama. Sebelum tidur, terjadi percakapan romantis. Sampai tiba pada pertemuan silahturahim dua bibir atas dan bawa diantara mereka berdua.

Tiba-tiba seperti ada bau dari alam lain yang menghantam hidung perempuan itu, lalu dia bertanya “Mulutmu kenapa busuk sekali, Asyu?”

Sambil menghembuskan nafasnya, Asyu bertanya.
“Mulutku? Ada apa dengan mulutku?”

“Baunya busuk, kamu habis ciuman dengan siapa Asyu?”

Sontak Asyu berdiri mengarah ke cermin. Sambil mengeluarkan uap mulutnya, dia membuka mulutnya untuk mengecek apakah ada sesuatu didalamnya. Memang seperti ada yang aneh tapi dia tidak tahu apa yang terjadi.

“Hubungi Dokter sekarang,” perintahnya.

Tanpa butuh waktu lama Dokter Sabluk datang dengan perlengkapan medisnya, secara serius dan sangat detail memperhatikan mulut pasiennya. Rupanya tidak terjadi apa-apa. “Dalamnya kelihatan normal Pak, paling bangun tidur nanti baunya sudah hilang. Mungkin Bapak terlalu banyak bicara. Nanti minum saja obat yang saya beri,” kata Sabluk sembari menutup hidungnya menahan bau mulut Asyu.

Selepas meminum obat, Asyu tertidur pulas. Sementara itu, saat Dokter Sabluk meninggalkan rumah, dengan nada menjengkelkan dia mengatakan “sumpah mulutnya busuk sekali,” geramnya.

Keesokan harinya begitu Asyu bangun dari tidurnya, dia merasa baunya semakin parah. Dia semakin panik. Dia cepat-cepat menuju ke kamar mandi untuk membasuh mulutnya, kemudian kembali menghembuskan nafasnya. Dia seakan tidak percaya. Tubuhnya gemetar. Gelisah dengan keadaan mulutnya yang baunya semakin busuk.

Begitu perempuan yang dia kencani juga terbangun, Asyu menutup rapat mulutnya. “Jangan dekati saya,” serunya, “Kamu yang buat mulutku bau, kamu yang sering mencium dan menggigit-gigit bibirku. Enyahlah perempuan jalang,” ucapnya sambil menjauhkan diri.

Dengan ratapan sedih, seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan Asyu. “Jangan berkata seperti itu Asyu, aku selalu menuruti semua permintaanmu.” pelan-pelan Asyu membuka mulutnya. Dan perempuan itu merasa bahwa mulut Asyu semakin parah.

Tunggu, nanti aku panggil lagi Dokter Sabluk,” kata perempuan itu. Tidak perlu! Dia hanya membohongiku. Omongan dan obat-obatnya hanya sekadar penenang belaka. Dasar pembohong. Panggil dokter yang lebih sakti!”

Di salah satu kampung yang agak jauh dari Kota, dijemputlah seorang Dokter sakti, ketika Dokter itu menemui Asyu di dalam kamar dia kaget mencium aroma tidak sedap yang menusuk tajam ke hidungnya.

“Tolong saya Pak, saya bingung dengan yang terjadi pada mulut saya. Padahal semua makanan yang masuk di dalamnya halal, saya selalu berkata jujur, melaksanakan pekerjaan dengan benar, apa yang terjadi dengan saya pak?” ucapnya dengan penuh belas kasih. Tidak lama setelah dia bicara seekor lalat telah mendarat di bibirnya.

“Lihat Pak! perhatikan mulut saya, sudah ada lalat yang hinggap di mulut saya, parah! jangan-jangan ada jin yang mengganggu saya,” teriaknya kalang kabut.

Setelah berteriak histeris, Dokter sakti itu kemudian mulai memeriksa dan memperlihatkan apa yang terjadi pada mulut Asyu.

“Bagaimana, Pak, apa yang terjadi?”

Dokter itu masih tajam memperhatikan

“Apakah bisa sembuh, Pak?

Diam sejenak, Dokter itu dengan dingin mulai menjawab.

“Pernah dengar tentang salah seorang warga PKM yang bau mulutnya?”

“Tidak, kenapa dengan itu Pak?”

“Masa biar cerita itu tidak tahu! Percuma banyak uang kalau miskin pengetahuan.”

“Apa hubungannya dengan pengetahuan? Kalau mau kaya harus sibuk bekerja cari uang, apa gunanya membaca atau mencari tahu sesuatu? Lebih baik saya cari uang Pak.”

“Kalau kamu pernah baca cerita rakyat itu, Pasti kamu akan mendapat pelajaran berharga dari cerita tersebut. Dalam cerita itu, sangat jelas diceritakan bahwa yang ucapannya tidak selaras dengan tindakannya, mulutnya akan memunculkan aroma busuk. Semakin munafik ucapannya, maka semakin busuk mulutnya.”

“Terus hubungannya dengan saya, sama cerita itu apa?”

“Coba dipikir ulang, kamu pernah bohong atau tidak?

Asyu terpaku membisu. Mukanya pucat. Dan masih asyik, seekor lalat tadi nimbrung di bibirnya.

“Itu cuma cerita rakyat, Pak.”

“Tapi itu justru terbukti terjadi kepada kamu, Asyu.”

“Padahal saya tidak pernah bohong, saya selalu turuti arahan yang diberikan. Bahkan…..” Tidak sempat selesai bicaranya, satu lalat datang lagi menempel. Ikonik! Dua lalat bercengkrama mesra di bibir Asyu.

Karena Dokter sakti itu tidak bisa menyembuhkan bau mulut Asyu. Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan perawatan dengan mengonsumsi ramuan dari alam, sebagaimana yang dia dapatkan melalui mimpinya.

Setelah perawatan yang panjang, Asyu kembali beraktivitas seperti biasa. Apa lagi dia akan menjadi narasumber pada kegiatan seminar penyampaian informasi publik secara jujur.

Saat dia memasuki ruangan tempat kegiatan diselenggarakan, para peserta seminar menatapnya tajam ketika dia mulai menyapa hadirin yang ada pada kegiatan itu.

“Nafasnya sudah tidak bau.” Salah seorang peserta berbicara pelan.

Asyu pun, mulai menyampaikan materinya dengan kata-kata yang begitu indah terangkai rapi. Semua bicaranya adalah kalimat panjang basa basi busuknya. Kata-kata mutiaranya berhamburan dimana-mana. Sampai-sampai yang mendengarnya mabuk dibuatnya.

“Sodara-sodari seperjuangan, upaya panjang dalam mengawal penyampaian informasi publik akan terus menggelora berpihak pada kebenaran. Tidak ada pembajakan informasi, bahwa jika salah tentu mesti lantang kita ucapkan kalau itu salah, dan jika itu sebuah kebenaran maka sampaikan sebagaimana mestinya.” Orasinya yang sangat membara.

Asyu mengepalkan tangan kemudian berteriak, “hidup Asyu, panjang umur untuk perjuangan kita semua.” Dia merasa apa yang dia lakukan semua adalah benar, orang hanya sentimen saja kepada dirinya. Ditengah teriakan pujian para peserta yang berhasil termakan racun rayuan Asyu, terlihat seorang jurnalis yang sedang mengambil dokumentasi, kaget melihat apa yang ada pada mulut Asyu.

Setelah dia selesai menutup penyampaian materinya yang menggelegar. Ya, mulut Asyu tiba-tiba dikelilingi oleh kerumunan lalat rakus yang senang dengan bau busuk.

Luar biasa! Itulah Asyu, dengan kelunturan mulutnya yang mampu menyembunyikan baunya dari manusia, tapi tidak terhadap alam. Lihatlah! Asyu, selalu paling merasa bisa, tapi tidak bisa merasa.

Kendari, 28 Oktober 2024.

Penulis: Hajar86
Editor: Tim redaksi

Kenangan di Kampus Biru

Di sebuah kampus yang terletak di pinggiran kota, ada banyak gedung-gedung megah berwarna biru yang menjadi simbol kebanggaan para mahasiswanya. Kampus ini bukan hanya tempat untuk belajar, tetapi juga menjadi saksi bisu perjalanan hidup banyak orang. Di sinilah cerita tentang dimulai.

Siti adalah seorang mahasiswa baru yang penuh semangat. Di hari pertama kuliah, ia merasa malu dan sedikit takut. Saat memasuki aula besar untuk perkenalan, pandangannya tertuju pada seorang pemuda bernama Joan. Joan adalah seorang kakak senior yang terkenal ramah dan selalu membantu mahasiswa baru. Siti pun terpesona dengan senyumnya yang hangat.

Setelah acara perkenalan, Siti memberanikan diri untuk mendekati Joan dan bertanya tentang kegiatan di kampus. Joan pun dengan sabar menjelaskan berbagai organisasi dan acara yang ada. Dan dari situlah, mereka mulai sering bertemu dan berbagi cerita serta pengalaman.

Seiring berjalannya waktu, Siti dan Joan semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama di perpustakaan, belajar, hingga mengikuti berbagai kegiatan kampus. Siti merasa nyaman dengan Joan, seolah-olah mereka sudah berteman sejak lama.

Suatu saat di siang hari, mereka duduk di taman kampus sambil menikmati angin yang sepoi-sepoi, Joan mengungkapkan harapannya untuk mengikuti kompetisi debat tingkat nasional. Siti pun mendukungnya dan berjanji akan membantunya berlatih.

Namun, tidak semua berjalan mulus. Joan mengalami kesulitan dalam persiapan kompetisi karena tekanan dari berbagai pihak. Ia merasa putus asa dan hampir menyerah. Melihat sahabatnya dalam keadaan seperti itu, Siti pun berusaha memberikan semangat.

“Joan, ingatlah mengapa kamu memulai ini. Kamu memiliki bakat luar biasa! Ayo kita latih bersama,” kata Siti dengan penuh keyakinan. Dari situ, mereka mulai berlatih lebih intensif. Siti membantu Joan merumuskan argumen dan mengasah keterampilan berbicaranya. Dengan kerja keras dan dukungan satu sama lain, mereka berhasil melewati masa-masa sulit tersebut.

Hari kompetisi pun tiba. Siti mendampingi Joan ke lokasi dengan penuh harapan. Saat giliran Joan untuk tampil, jantung Siti berdegup kencang. Namun, saat Joan mulai berbicara, semua rasa cemas itu sirna. Ia tampil percaya diri dan berhasil memukau juri dengan penampilannya.

Ketika pengumuman pemenang diumumkan, Siti tidak bisa menahan air mata bahagia saat nama Joan disebut sebagai juara pertama. Mereka berpelukan di tengah sorakan teman-teman lainnya.

Setelah kompetisi itu, hubungan Siti dan Joan semakin erat. Mereka terus bersama dan saling mendukung, melewati suka duka kehidupan kampus hingga akhirnya lulus dengan prestasi gemilang. Momen-momen indah di kampus biru itu akan selalu dikenang sebagai bagian terpenting dalam hidup mereka.

Siti menyadari bahwa kampus bukan hanya tempat untuk belajar ilmu pengetahuan, tetapi juga tempat untuk membangun persahabatan sejati dan menghadapi tantangan hidup bersama orang-orang yang kita cintai.

Kampus biru itu kini menjadi lebih dari sekadar gedung-gedung megah, baginya itu adalah rumah dimana kenangan indah yang akan selalu tersimpan dalam hati Siti dan Joan selamanya. Setiap sudut kampus menyimpan cerita-cerita yang tak terlupakan tempat di mana mimpi dimulai dan persahabatan terjalin erat.

Penulis : ysna

Suara Hati di Kota besar

Objektif.id – Di sebuah kota besar yang penuh dengan gemerlap dan kehidupan yang serba cepat, ada seorang pria bernama Aman. Aman adalah seorang penulis dengan magnum opus tentang kritik sosial. Ketika dia masih muda, dia melihat banyak ketidakadilan dan kekurangan dalam sistem sosial yang ada di kota ini. Dia berusaha untuk menyampaikan pesan-pesannya melalui tulisan-tulisannya.

Namun, kebanyakan orang hanya melihat Aman sebagai tokoh kontroversial dan tidak ada yang menganggapnya serius. Mereka lebih suka memandang Aman sebagai sosok aneh yang hanya mencari sensasi semata. Meskipun orang-orang tahu ada kebenaran dalam kata-kata Aman, mereka lebih memilih mengabaikan daripada bertindak untuk mengubah keadaan.

Setiap hari, Aman berkeliaran di jalan-jalan kota besar ini. Dia melihat anak-anak jalanan yang kelaparan, pekerja bawah tanah yang lelah, dan keluarga miskin yang berjuang untuk bertahan hidup. Aman menghadapinya dengan perasaan yang campur aduk. Dia merasa kesedihan yang mendalam dan juga kemarahan yang tak terkendali.

Suatu hari, Aman melihat sebuah aksi pementasan teater di pusat kota. Aksi panggung ini menggambarkan sebuah keluarga miskin yang berjuang untuk mengatasi ancaman dari pihak industri besar yang ingin merebut tanah mereka. Aman terinspirasi oleh keberanian para pemain teater ini dan menyadari bahwa dia perlu menemukan cara baru untuk menyampaikan pesan kritisnya kepada masyarakat.

Aman kemudian memutuskan untuk memulai aksi protes yang dramatis. Dia menyewa megafon dan berdiri di tengah-tengah jalan utama di kota. Mengenakan kostum sepertinya adalah keberanian yang baru ia temukan. Dia mulai berteriak tentang ketidakadilan dan ketidaksetaraan sosial yang ada di kota ini. Banyak orang yang mengelilinginya, tapi sebagian besar hanya tertawa dan menganggapnya sebagai hiburan semata.

Namun, ada beberapa orang yang menyadari ketulusan dan kebenaran dari kata-kata Aman. Mereka mulai bergabung dengannya, dan kerumunan yang semakin besar mulai mengerubungi mereka. Mereka mulai menyuarakan tuntutan mereka untuk perubahan sosial.

Tak lama kemudian, media mulai meliput aksi protes Aman. Pesan yang ingin dia sampaikan akhirnya terdengar oleh masyarakat yang lebih luas. Orang-orang mulai mempertanyakan keadaan sosial yang ada, dan gerakan protes semakin meluas.

Aman menyadari bahwa ia telah mencapai tujuannya. Meskipun awalnya ia dianggap sebagai orang aneh, dia telah mampu mengubah pandangan dan menyadarkan banyak orang akan masalah sosial yang ada. Tidak hanya itu, ia mampu mendapatkan dukungan dan keterlibatan dari aktivis sosial lainnya, akhirnya terbentuklah gerakan yang bertujuan untuk membawa perubahan positif.

Cerita Aman mengingatkan kita bahwa untuk membuat perubahan dalam masyarakat, kita perlu berani menyuarakan kritik sosial. Meskipun awalnya kita mungkin diabaikan atau dianggap aneh, ketulusan dan kebenaran kita akan mencapai orang-orang yang benar-benar peduli dan bersedia berjuang bersama untuk mengatasi ketidakadilan sosial. Bersama-sama, kita dapat menciptakan perubahan dan membawa keadilan bagi semua orang.

Penulis: Kusmawati

Editor: Melvi Widya

Sebuah Impian Sang Anak Petani

Objektif.id – Suasana pedesaan yang tenang dan sederhana menjadi latar belakang cerita ini. Di sebuah desa kecil, tinggal seorang anak petani bernama Budi. Budi tumbuh dalam keluarga yang sederhana, di mana ayahnya bekerja keras mempertahankan kehidupan mereka dengan bertani, sedangkan ibunya menjalankan kegiatan rumah tangga sehari-hari.

Sejak kecil, Budi telah bercita-cita menjadi tentara. Setiap kali ada TNI yang bertugas di desa mereka. Budi selalu terpesona dengan pakaian seragam yang gagah, ketegasan gerakan, dan keberanian para prajurit. Ia ingin menjadi seseorang yang dapat melindungi orang-orang yang ia cintai dan memberikan kontribusi nyata untuk negaranya.

Meskipun tak jarang mendapat cemoohan teman-temannya yang menganggap impian tersebut tak realistis, Budi tidak pernah berhenti bermimpi. Ia mendambakan perubahan yang dapat dia satukan dengan kecintaannya terhadap tanah air. Setiap hari, Budi belajar dengan giat dan membaca buku tentang ketentaraan serta berbagai pengetahuan yang dapat mendukung langkahnya ke depan.

Namun, rintangan muncul ketika cerita tentang mimpi Budi menyebar di desanya. Beberapa orang tua dan bahkan teman-temannya menganggap bahwa hidup di depan medan pertempuran adalah pilihan yang tidak bijaksana dan berisiko tinggi. Mereka berpikir bahwa masa depan Budi akan lebih baik apabila ia tetap bertani, mewarisi profesi yang telah menjadi warisan keluarga mereka sejak lama.

Terlepas dari pandangan-pandangan negatif yang ia terima, Budi tidak mengendurkan semangatnya. Ia tetap fokus pada mimpi dan tekadnya untuk menggapai cita-citanya sebagai prajurit TNI yang berdedikasi. Budi menyadari bahwa rencananya tidak akan terwujud begitu saja. Ia belajar untuk mengatasi setiap rintangan yang menghadang di depannya.

Dengan kerja keras dan bimbingan dari beberapa orang yang mendukung impian Budi, ia berhasil mengatasi semua tes dan ujian masuk Akademi Militer. Proses pelatihan di sana tidaklah mudah, tetapi jiwa petani yang kuat dan tekad baja Budi membuatnya tidak menyerah. Ia melewati segala tantangan pelatihan fisik maupun mental dengan penuh semangat dan keteguhan.

Begitu lama berlalu, saat yang ditunggu-tunggu tiba. Budi resmi menjadi seorang perwira TNI yang dihormati. Ia mengabdikan diri untuk menjaga negaranya dan melayani masyarakat dengan dedikasi tinggi. Budi membuktikan kepada semua orang bahwa mimpi bukanlah sekedar bunga tidur. Sang anak petani telah mengubah impiannya menjadi kenyataan.

Dalam kehidupan barunya sebagai prajurit, Budi tetap rendah hati dan memegang teguh nilai-nilai yang telah keluarganya ajarkan. Ia tidak pernah melupakan asal-usulnya sebagai anak petani dan setiap hari libur, ia mengunjungi orang tuanya di desa untuk membantu mereka dalam kegiatan bertani.

Kisah Budi menjadi inspirasi bagi semua orang di desa kecil itu, terutama bagi para anak muda yang memiliki impian-impian besar di masa depan. Ia membuktikan bahwa dengan keberanian, ketekunan, kerja keras, dan penolakan terhadap kata putus asa, apa pun yang ia impikan dapat terwujud.

Sebagai sang anak petani yang sukses mewujudkan impiannya menjadi TNI, Budi juga membuktikan bahwa penting bagi kita untuk tetap memperjuangkan apa yang kita yakini, meskipun banyak rintangan atau pandangan negatif. Hanya dengan tekad yang kuat, kita dapat melampaui batasan-batasan yang mungkin mempersempit jalan menuju impian kita.

Penulis: Muh. Aidul Saputra

Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Melodi Terakhir

Objektif.id – Pagi itu, langit cerah memancarkan sinar matahari yang menyapa desa kecil di pegunungan. Di sebuah rumah kecil di pinggiran desa, hidup seorang anak bernama Melodi. Melodi adalah gadis berusia 8 tahun yang memiliki bakat dalam bermusik. Ia memiliki suara yang indah dan mampu memainkan berbagai alat musik.

Suatu hari, Melodi mendengar kabar bahwa akan diadakan sebuah festival musik di kota besar. Atas dorongan teman-temannya, ia pun memutuskan untuk mengikuti audisi. Dengan tekun, Melodi berlatih menyanyi setiap hari dan memperbaiki keterampilannya memainkan alat musik.

Hari audisi pun tiba. Melodi tampil dengan penuh semangat dan berbakat. Namun, di tengah penampilannya, terdengar suara aneh yang berasal dari dalam tubuhnya. Suaranya yang indah tiba-tiba pecah dan tidak mampu mengeluarkan nada yang benar. Melodi merasa sangat malu dan kecewa, ia ingin lari dari panggung tersebut.

Setelah audisi, Melodi kembali ke rumah dengan perasaan sedih. Ia merasa kehilangan masa depannya dalam dunia musik. Namun, sang ibu datang menghampiri dengan senyuman lembut. Ibu Melodi memberikan sebuah cermin ajaib kepada anaknya.

“Ayahmu dulu juga seorang musisi hebat,” kata ibunya. “Cermin ini adalah warisan dari ayahmu, cermin ini akan menunjukkan kekuatanmu sebagai musisi. Pandanglah dirimu di dalam cermin ini dan dengarkan suara paling dalam hati.”

Melodi mengambil cermin itu dan mulai memandangi dirinya. Ia mendengarkan suara hatinya, yang mengingatkannya pada cinta dan semangatnya dalam bermusik. Dalam hati Melodi, terdapat keyakinan bahwa ia tidak boleh menyerah.

Beberapa minggu berlalu dan kabar tiba-tiba datang menghampiri. Melodi mendapatkan undangan untuk tampil dalam konser akhir festival musik internasional. Suara indahnya yang kerap terngiang di telinga para juri membuat mereka tidak bisa melupakan Melodi.

Pada malam konser, Melodi menaiki panggung dengan percaya diri. Ia memandangi cermin ajaib itu sekali lagi dan mengenang pesan sang ibu. Begitu ia mulai bernyanyi, suaranya menyentuh setiap jiwa yang mendengarkan. Musik yang ia mainkan diiringi oleh lantunan suara ajaibnya. Ia menciptakan harmoni indah yang terdengar sampai ke penghujung kota.

Penonton terpesona melihat penampilan Melodi. Mereka terhanyut dalam melodi yang ia ciptakan dan terkagum-kagum dengan keberanian dan semangatnya. Akhirnya, saat Melodi menyelesaikan lagu terakhirnya, sorak-sorai gemuruh dari penonton memenuhi ruangan.

“Pemenangnya adalah Melodi!” seru sang juri dengan bangga.

Melodi tersenyum bahagia, ia berhasil melampaui kegagalannya di audisi dan mencapai mimpi terbesarnya. Di balik panggung, Melodi mengucapkan terima kasih kepada cermin ajaib dan lantunan suaranya yang penuh semangat. Meskipun menghadapi kesulitan, Melodi tidak menyerah dan berhasil mengelilingi dunia dengan musiknya yang indah.

Akhirnya, Melodi menyadari bahwa tak ada mimpi yang terlalu besar jika tidak memiliki semangat dan keberanian untuk menghadapinya. Ia mengerti bahwa dalam dirinya terdapat kekuatan yang tidak bisa dimatikan oleh kegagalan. Melodi membuktikan bahwa sukses adalah hasil dari ketekunan, keyakinan, dan cinta yang ia miliki dalam bermusik.

Dalam cerita ini, Melodi adalah contoh seorang individu yang menghadapi kegagalan dan kehilangan, tetapi membangun kembali mimpi dan semangatnya. Cerita ini menggambarkan betapa pentingnya memperjuangkan impian kita dan tetap teguh dalam keyakinan diri.

Penulis: Kusmawati

Editor: Melvi Widya

Cerita Anak Nelayan

Objektif.id – Nelayan atau pelaut (sebutan di kampung ku), adalah salah satu pekerjaan yang dominan di tanah tempatku dilahirkan. kecamatan Laonti, kabupaten Konawe Selatan, Desa Ulusawa. Sebagian besar masyarakatnya bergantung pada hasil laut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Jika musim timur telah tiba dimana para nelayan sulit untuk mendapat ikan, maka beberapa orang akan beralih ke mata pencarian lain, misalnya berkebun, pertukangan, dan lain sebagainya.

Aku menjadi anak nelayan sejak kecil. Sebagai anak nelayan bukan berarti tidak pernah mengalami hal yang kurang mengenakkan, apa lagi aku anak perempuan pertama. Anak perempuan seringkali menjadi sasaran utama dalam strata lingkungan sosial masyarakat. Sebagian orang menganggap bahwa perempuan hanya mampu di dapur, di kasur, dan di sumur. Padahal bukan hanya itu, perempuan bisa melakukan lebih dari itu. Bahkan saat ini, perempuan bisa bekerja di kantoran bahkan menjadi seorang pemimpin. Sayangnya, paradigma kuno tersebut masih melekat pada masyarakat desaku sampai saat ini. Sangat umum bagi perempuan sepertiku, jika sudah tamat SMP maupun SMA dianjurkan untuk menikah.

Masyarakat di desa tempatku lahir sering berkata, “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi jika hanya menjadi ibu rumah tangga yang pekerjaannya berkutik di dapur”.

Dan syukur alhamdulillah pemikiran orang tuaku berbeda dengan masyarakat di desaku, dan tidak sedikit yang berpendapat kalau punya anak perempuan di minta segera menikah. Orang tuaku sebaliknya, mereka selalu mendukung setiap langkahku. Bahkan, untuk masuk dalam sebuah organisasi.

Bapak pernah berkata kepadaku, “Kuliah Lah yang serius apa lagi kamu anak perempuan pertama papa, cukup kami saja orang tuamu yang buta huruf, kalian jangan, biar tidak sengsara sepertiku”.

Bapak rela menjaminkan tubuhnya di tengah lautan yang begitu jahat, ia rela tertempa badai laut sepanjang siang dan malam. Karena, semua itu ia lakukan hanya untuk menghidupi istri dan 6 orang anaknya.

Penghasilan sebagai seorang nelayan hanya berkisaran ratusan ribu dalam sehari, itupun kalau cuaca laut sedang baik-baik saja. Sedangkan kalau cuaca sedang tidak baik-baik saja kadang ada hasil, kadang juga tidak ada terutama pada musim hujan angin.

Teruntuk anak-anak yang ada di luaran sana apalagi anak dari seorang nelayan, jangan sepelekan pengorbanan bapakmu walaupun itu terlihat sepele di matamu, dia rela mengorbankan tubuhnya ditengah laut yang begitu jahat, dia rela berpanas-panasan, kehujanan, kedinginan bahkan menahan lapar, hanya untuk menyekolahkan kamu.

Selain itu, untuk para remaja khususnya perempuan mari patahkan stigma bahwasannya perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, ujung-ujungnya juga hanya menjadi ibu rumah tangga, yang hanya bisa di dapur. Mengapa perempuan harus berilmu sekalipun ia akan jadi ibu rumah tangga? perempuan menjadi pintu dakwah pertama bagi anak-anaknya. Oleh Karenanya, jadilah perempuan yang tidak hanya cantik tetapi juga berilmu dan berakhlak baik.

Penulis: Nurhawati

Editor: Melvi Widya

Kita, Takdir yang Mempertemukan

Objektif.id – Suasana kampus begitu ramai saat hari pertama perkuliahan. Di antara ribuan mahasiswa yang bergegas menuju gedung perkuliahan, ada dua mahasiswa yang tak sengaja bertabrakan di tengah jalan. Mereka saling meminta maaf dengan wajah yang canggung. Pandangan mereka bertemu, dan dalam detik itu pula takdir mempertemukan mereka.

Siapa sangka, mahasiswa laki-laki yang bertubuh tinggi dan berambut hitam lurus itu ternyata bernama Farhan. Sedangkan mahasiswi perempuan itu mendadak jantungnya berdebar tidak karuan yang bernama Aisyah. Mereka sama-sama mahasiswa baru yang memiliki impian besar untuk masa depan mereka.

Mereka memiliki jadwal perkuliahan yang serupa di beberapa mata kuliah. Karena itu, mereka mulai akrab satu sama lain. Mereka sering bertemu di ruang kuliah, perpustakaan, atau di antara anak tangga saat menuju kelas. Percakapan demi percakapan memperkuat rasa kebersamaan mereka.

Waktu berlalu begitu cepat, sudah satu tahun mereka menjadi teman sekaligus sahabat. Farhan dan Aisyah sudah saling mengenal satu sama lain begitu dalam. Mereka saling mendukung di saat sedang down, meraut senyum di saat sedang senang, dan menatap yakin di saat keduanya meragukan kemampuan mereka sendiri.

Namun, pada suatu malam yang hujan, takdir membawa mereka ke momen yang menentukan. Farhan pergi ke kafe tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk belajar, dan Aisyah pun sudah menantinya di meja biasa mereka duduk. Namun, Farhan terlambat. Ia terjatuh dari sepedanya, dan mengalami patah tangan.

Aisyah yang merasa cemas tak bisa menahan diri dan segera berlari ke jalan untuk mencari keberadaan Farhan. Ia menemukan Farhan yang tergeletak di atas jalan.

Aisyah menangis dengan air mata campur hujan, ia memberinya harapan dan mengatakan, “Kau tidak perlu khawatir, Farhan. Aku di sini untukmu, kita bisa mengatasi ini bersama.”

Mereka tersenyum setelah melalui perjalanan panjang yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Farhan bertanya kepada Aisyah, apakah ia telah menjadi kekasihnya selama ini.

Aisyah menatap Farhan dengan tegas dan menjawab, “Kita adalah takdir yang saling mempertemukan, Farhan. Lebih daripada sekadar kekasih, kita adalah sahabat sejati yang saling menguatkan dan memperjuangkan mimpi kita.”

Setelah perjalanan yang penuh liku dan ujian, Farhan dan Aisyah lulus dengan predikat terbaik dan meraih impian mereka masing-masing. Mereka mengikat janji untuk terus melangkah bersama, melewati setiap rintangan, dan meraih semua yang mereka impikan dengan tulus dan saling mendukung.

Cinta mereka tak sekadar tentang asmara, tetapi juga tentang ikatan yang kuat sebagai sahabat. Mereka percaya, takdir mempertemukan mereka untuk membantu satu sama lain tumbuh dan berkembang, serta menjadi sosok yang selalu ada di saat bahagia maupun duka. Kehadiran mereka saling melengkapi dan memberi semangat untuk melangkah maju.

Akhir kisah ini bukanlah tentang kesempurnaan hidup mereka, tetapi tentang ketulusan dalam berbagi dan mengasihi. Farhan dan Aisyah adalah bukti hidup bahwa persahabatan sejati bisa menjadi kekuatan yang tak tergoyahkan dalam menghadapi semua perjalanan hidupnya.

Penulis: Nana

Editor: Melvi Widya

Ketua Senat dan Pengagumnya

Objektif.id – Jahar Angkasa Seorang Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa atau senat kampus. Laki-laki itu adalah sosok mahasiswa teladan. Sebagai ketua senat Jahar terkenal karena kepiawaiannya dalam berlagak aneh dan agak kritis sehingga mengundang orang dalam memberikan argumen banyak tentang dia.

Selain itu, Jahar juga menjadikan Gedung Ormawa sebagai salah satu tempat rumah keduanya di kampus sekaligus tempat belajarnya. Ia bahkan sesekali tidak pulang ke rumah dalam beberapa minggu terakhir, karena menghabiskan waktunya di kampus bersama beberapa teman-teman Ormawa yang juga ikut terlibat dalam kegiatan kampus.

Jahar adalah mahasiswa dari prodi Biologi Fakultas Keguruan Universitas Pancasila. Sebagai seorang senat memang tidak sesibuk anggota BEM. Akan tetapi, tetap saja menjadi mahasiswa merangkap anak organisasi bukanlah hal yang mudah. Jahar dituntut untuk bisa mendedikasikan dirinya menjadi mahasiswa yang dapat memberikan contoh baik oleh mahasiswa lainnya. Beberapa kali menjadi pengisi seminar kemahasiswaan juga perwakilan kampus untuk beberapa urusan.

Selain sibuk dengan kuliahnya dan kegiatan kampus. Jahar juga punya teman dekat yang namanya Mia. Mia adalah mahasiswi dari prodi Ekonomi dan Bisnis. Jarang ada yang tau kedekatan mereka. Mereka memiliki hubungan yang cukup akrab walaupun, selama ini Jahar jarang mengajaknya jalan. Mia sendiri adalah junior Jahar di kampus. Awal perjumpaan mereka terbilang cukup berkesan. Saat itu Mia yang merupakan mahasiswi baru  mengikuti serangkaian kegiatan ospek universitas, yang mana Jahar menjadi salah satu panitia pengawas yang mendampingi BEM dalam menjalankan program kerjanya, Pengenalan Lingkungan Kampus atau ospek.

Ketika itu Mia yang sedang duduk di taman menunggu temannya dan kebetulan Jahar lewat sambil menyapa kepada salah satu mahasiswi yang tidak lain adalah Mia. Pada saat itu juga mereka mengobrol satu sama lain. Namun siapa sangka, itu adalah awal dari segalanya.

Sejak kenal dengan Mia, Jahar memang sering dibantu dalam hal apapun, termasuk dalam mengerjakan tugas, begitu juga dengan Mia, karena mereka memiliki hobi yang sama. Mia punya hobi membaca dan sering kali Mia membaca buku-buku milik Jahar, dari situlah mereka saling membantu satu sama lain. Apalagi sekarang ini Mia sementara sedang mendaftar dalam tahap seleksi pertukaran mahasiswa di Thailand. Meskipun, pengumumannya belum keluar. Ia tampak masih bisa tersenyum tipis walau masih ada sesuatu yang mengganjal di kepalanya yang membuatnya gelisah sejak beberapa hari kemarin.

Karena sudah dari dulu, ia sangat ingin mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri. Alasannya, karena ingin mencari suasana baru. Dan kebetulan kampus membuka pendaftaran bagi mahasiswa-mahasiswi yang ingin mengikuti program tersebut dengan berbagai persyaratan seperti IPK dan sudah lulus IELTS.

Alhamdulillah dia berhasil mendaftar dalam program tersebut. Begitupun juga dengan Jahar. Ia juga mendapat tugas dari pihak kampus untuk mengikuti kegiatan kampus diluar kota. Mereka akan sama-sama tidak saling bertemu untuk beberapa bulan ke depan akibat studi yang harus mereka laksanakan masing-masing.

Perpisahan akan mungkin memisahkan kita, tetapi jarak dan waktu akan selalu ada untuk kita bertemu kembali. Ketika kita sibuk meraba perasaan, mempertanyakan apakah itu cinta atau sekedar rasa nyaman, saat itulah kita tidak pernah tahu, kehilangan mungkin saja sedang berada dekat dengan kita.

Penulis: Nining Hastuti

Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Love Silent

Objektif.id – Sudah dua tahun lamanya Helena memendam rasa kepada Ketua OSIS di sekolahnya. Setiap kali melihatnya, hatinya selalu berdebar-debar. Pandangan matanya hanya selalu tertuju pada si Ketos itu. Meskipun begitu, ia tidak berani untuk mengungkapkan perasaannya.

Nama Ketos tersebut adalah Alex seorang yang tampan dan populer di sekolah. Selain menjabat sebagai Ketos Alex juga merupakan salah satu anggota tim basket sekolah dimana timnya dari generasi ke generasi selalu menyandang juara 1 baik tingkat regional maupun nasional.

Suatu hari, entah roh apa yang merasuki Helena hari itu ia bertekad untuk mengungkapkan perasaannya melalui surat yang telah ia tulis semalam suntuk. Ia pun melangkahkan kaki jenjangnya ke taman belakang sekolah karena biasanya taman tersebut dijadikan tempat istirahat Alex setiap habis latihan basket.

Sesampainya di taman, Helena mengedarkan pandangannya dan kemudian menemukan Alex yang sedang membaca buku di salah satu bangku taman. Dengan hati yang berdebar ia pun melangkahkan kakinya menuju ke arah Alex.

Setelah sampai ke hadapan Alex, Helena langsung menyodorkan suratnya. Menyadari ada seseorang di depannya Alex pun mengangkat kepalanya melihat sosok perempuan yang sedang menyodorkan seberkas surat. Sambil tersenyum ramah Alex menerima surat tersebut.

Melihat suratnya diterima tak terhitung seberapa senang perasaan Helena, dengan malu-malu Helena langsung membalikkan badan berniat untuk pergi. Namun, yang tidak disangka tangannya malah ditahan oleh Alex ia kira Alex ingin mengatakan sesuatu padanya ternyata tanpa diduga ketika ia berbalik sebilah pisau langsung hinggap di perutnya.

Alex si psikopat itu terus menghujamkan pisau tajamnya ke perut Helena hingga ia merasakan mules yang menyakitkan. Helena tak pernah terpikirkan bahwa ungkapan perasaannya dibalas dengan yang lebih parah ketimbang penolakan yaitu ia harus meregang nyawa di tangan orang yang ia sukai.

TAMAT

Penulis: Tesa Ayu Sri Natari

Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Persahabatan Si Miskin dan Si Kaya

Objektif.id – Alkisah terdapat seorang sahabat yang telah bersama-sama sejak kecil. Kedua sahabat ini bernama Rayyan dan Andi. Rayyan yang merupakan seorang anak saudagar kaya, namun memiliki keterbatasan fisik yaitu ia tidak bisa melihat. Sedangkan, Andi hanyalah seorang anak petani yang rajin dan tekun.

Di suatu pagi yang cerah diselingi kicauan burung, Andi terlihat berlari menghampiri sebuah rumah mewah dipertengahan desa. Rumah tersebut tak lain dan tak bukan adalah rumah sahabat kecilnya Rayyan. Tujuan Andi ke rumah berniat mengajak Rayyan belajar bersama dikarenakan keterbatasannya ia diharuskan homeschooling oleh orangtuanya.

“Assalamualaikum, Rayyan ada mang?” Tanya Andi kepada satpam yang berjaga di pos depan rumah Rayyan.

“Iya den, mari silahkan masuk.” Jawab satpam.

Andi bersama dengan satpam melangkah menyusuri rumah yang mewah tersebut menuju kamar sang putra tunggal keluarga itu. Setelah sampai di depan kamar, sang satpam pamit undur diri kemudian Andi pun mengetuk pintu yang berukiran rumit tersebut. Pintu terbuka memunculkan seorang pria yang memegang tongkat untuk menunjang penglihatannya.

“Ray, yuk ikut aku belajar bersama anak-anak!” Seru Andi. Mendengar hal tersebut Rayyan pun menganggukkan kepalanya tanda bahwa ia setuju untuk ikut.

Singkat cerita,,, mereka berdua pun telah sampai ke tempat tujuan. Tempat tersebut ialah sebuah gubuk di pinggir ladang yang memang biasa digunakan oleh anak-anak sekitar untuk belajar maupun mengaji.

“Assalamualaikum adik-adik!” Seru Andi dan Rayyan.

“Waalaikumsalam kak Andi dan kak Rayyan.” Balas anak-anak tersebut.

Tempat itu pun seketika di isi oleh seruan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak-anak kepada Andi dan Rayyan terkait materi yang disampaikan dan masih banyak lagi yang mereka lakukan. Andi pun melihat sahabatnya Rayyan yang sedang bercanda-gurau bersama anak-anak, dalam hati ia berjanji bahwa akan selalu mengukir senyuman digaris wajah sahabatnya itu.

Itulah kisah persahabatan sederhana antara Andi dan Rayyan yang menjadi bahwa status sosial itu tidak penting dalam persahabatan.

TAMAT

Penulis: Tesa Ayu Sri Natari

Editor: Melvi Widya

Aku Merindukanmu Ibu

Objektif.id – Kurang lebih tiga bulan sudah kita tidak bertemu. Rasa hati ini sangat merindukanmu, ingin rasanya aku memelukmu dengan erat. Aku sangat merindukan kasih sayangmu ibu, semoga engkau selalu dalam keadaan sehat walafiat Aamiin.

Ibu, jadilah support system versi terbaik untuk anak perempuan pertamamu, karena rasa kesepian, kesendirian, dan kerinduan adalah hal yang akrab di rasakan oleh anak perempuan yang berada di tanah rantau yang jauh dari orang tua. Saat jauh darimu anakmu ini menyimpan kerinduan yang mendalam tanpa harus bicara langsung kepadamu ibu.

Merantau bukanlah perkara sederhana, jauh dari orang tua adalah hal yang paling sulit dijalani di mana suasana sangat berbeda. Namun, percayalah anak perempuanmu ini yang sedang berjuang di tanah rantau, semakin jauh diriku maka akan semakin dekat dengan ridho mu, namun percayalah kelak anakmu ini akan membahagiakan mu ibu.

Selain ibu yang melahirkan, ibu juga punya frekuensi batin yang kuat dengan anaknya, ibu bisa merasakan apa yang anaknya rasakan. Tiada kesuksesan yang dicapai tanpa pengorbanan, karena aku yakin tidak ada hasil yang menghianati proses. Mandiri adalah pilihan!

Teruntuk ibuku, terimakasih telah mengizinkan anakmu menjadi seorang yang kuat menghadapi dunia. Hanya ibu yang hebat yang merelakan anak perempuannya pergi merantau. Ibuku tahu bahwa sangat berat melepaskan anaknya pergi ke tanah orang. Tapi, disitulah kehebatan ibuku melepas anaknya untuk mendapatkan pengalaman yang lebih banyak guna untuk masa depan anaknya. Aku menyadari bahwa ibuku yang hebat memberi sebuah kepercayaan yang besar kepadaku untuk meraih kesuksesan diluar zona nyaman.

Untuk anak perempuan yang sedang ditanah rantau segala sesuatu yang runtuh mungkin bisa ditata kembali, tapi tidak dengan kepercayaan. Jadi, selama ibu masih ada tolong jangan sia siakan!

Penulis: Nurhawati
Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Dua Sisi

Objektif.id – Dua sisi di sini adalah sebuah kondisi, latar belakang, dan perasaan dari seseorang yang tersembunyi atau dapat dikatakan hanya tuhan dan ia seorang saja yang tahu.

Kisah ini bercerita tentang dua kehidupan yang berbeda, dimana terdapat dua anak manusia yang berusaha bertahan dari jerat derita yang mereka alami.

Kisah pertama, seorang pria bernama Aldan merupakan remaja 18 tahun yang berasal dari keluarga terpandang. Orang-orang jika melihat statusnya pasti berpikiran bahwa kehidupannya bahagia dan tercukupi. Namun, yang tidak semua orang tahu adalah kehidupannya jauh dari kata bahagia.

Semuanya bermula pada kejadian dua tahun lalu. Aldan saat itu tengah mengendarai mobilnya selepas dari sekolah. Saat di persimpangan jalan rem mobilnya tiba-tiba blong, ia mencoba mengendalikan mobilnya namun naasnya takdir berkata lain, mobil tersebut oleng kemudian menabrak dan menewaskan sebuah pengendara motor yang di kendarai oleh seorang ibu yang sedang membonceng anaknya.

Kejadian tersebut berlalu begitu cepat. Persidangan pun di mulai yang tentunya dimenangkan oleh pengaruh privilege keluarga Aldan. Namun, sayangnya akibat dari peristiwa itu hanya menyisakan perasan trauma yang mendalam hingga percobaan mengakhiri hidup tak luput ia lakukan. Jika saja ia tidak meminum pil penenang mungkin ia tak akan bertahan hingga detik ini. Ibaratnya, jasadnya utuh, tetapi jiwanya mati.

Kisah kedua, bercerita tentang seorang perempuan bernama Ana berusia 14 tahun dan berasal dari keluarga menengah tidak kaya dan tidak miskin juga. Ia merupakan seorang gadis yang ceria, mudah bergaul, dan tentunya senang menolong orang yang kesusahan.

Dibalik sifatnya yang ceria ada tertanam sebuah rahasia yang bahkan keluarganya sendiri pun tidak mengetahuinya. Yah, ia terjangkit penyakit leukimia akut yang kapan saja dapat merenggut jiwa-raganya. Penyakit ini diketahuinya dua tahun lalu, saat setiap kali kepalanya sering sakit dan juga kadangkala mimisan.

Bukannya tidak ingin memberitahukan hal tersebut kepada keluarganya hanya saja, ia tidak sanggup melihat kesedihan yang terpancar dari raut wajah keluarganya. Mengingat kedua orang tuanya juga harus bekerja keras untuk membiayai sekolah adik dan kakaknya.

Ana di usianya yang masih terbilang di bawah umur harus dipaksa dewasa oleh keadaan. Kehidupannya sekarang, selalu tergantung pada obat-obatan hingga tiba saatnya obat tersebut tak mampu lagi menunjang kehidupannya. Sedang, untuk menjaga kewarasannya tetap stabil yang dapat dia lakukan hanyalah terus berdoa kepada Tuhan.

TAMAT

Penulis: Tesa Ayu Sri Natari
Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Untukmu yang Abadi

“Jika kamu membuat seorang seniman jatuh hati, maka saat itu juga kamu dinyatakan abadi dalam karyanya”…

Objektif.id – “Krieeettt”, Suara pintu terbuka.

Aroma lilin terapi dipadu dengan semerbak bau cat dan kanvas di sebuah ruangan yang dibuka oleh seorang wanita. ia pun mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan yang dipenuhi lukisan wajah seorang wanita dengan berbagai macam ekspresi. Satu yang menarik perhatian wanita itu adalah dimana di tengah ruangan bertengger kursi dan kanvas di depannya yang tertutup oleh kain merah.

Si wanita pun berjalan menuju ke arah kursi itu berada. Setelahnya, ia melihat sebuah buku tergeletak begitu saja di kursi itu yang dililit dengan benang merah. Ia pun kemudian duduk sambil membuka lilitan di buku itu dan mulai membuka lembaran pertama…

3 Januari 1998
Seperti biasa aku menjajakan lukisanku kepada orang-orang di pinggir kota. Saat itu juga aku melihatmu. Senyuman yang selalu kamu berikan kepada para pelanggan tak henti-hentinya selalu membuatku tersihir. Hingga saat aku sedang melukis, tanpa kusadari aku malah melukis wajahmu. Rasanya sangat malu sekaligus lucu. Mungkin ini yang dinamakan orang-orang cinta. Aku harus akui itu bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu.

3 Februari 1998
Setiap kali aku melihatmu bahagia jantung ini selalu berdebar tak karuan. Suatu hari aku mendapatkanmu tiba-tiba menangis dan murung hatiku ikut sakit melihatnya. Aku sangat ingin menghampiri dan bertanya apa yang telah membuatmu bersedih sedemikian rupa, sekaligus menghapus butiran air mata yang mengalir di pipimu. Namun, aku terlalu takut dan pengecut yang dapat kulakukan hanyalah memandangmu dari kejauhan.

5 Februari 1998
Hari ini aku terbangun dengan badan yang lemas dan kepala yang pusing. Aku pun memeriksakan diri ke dokter. Namun, bukannya mendapatkan solusi atas sakit yang kuderita yang ada malah hanyalah sebuah kabar buruk yang membuat kepalaku bertambah sakit saat mendengarnya. Dimana, ternyata aku mengidap kanker darah stadium akhir. Ya sebuah penyakit yang bisa kapan saja merenggut nyawaku. Tuhan apakah harus secepat ini? Apakah aku tidak akan diberi kesempatan lagi untuk merasakan setitik kebahagian?.

6 Februari 1998
Kejadian kemarin bagaikan mimpi buruk bagiku. Setiap kali mengingat dirimu, bayang-bayang akan penyakit itu juga ikut melintas dalam pikiranku. Tuhan, ku mohon cukup sebentar saja biarkan aku setidaknya dapat bersamanya. Setelah itu terserah padamu Tuhan aku pasrahkan diri ini.

8 Februari 1998
Hari ini, tidak ada angin atau hujan kamu tiba-tiba saja datang menghampiriku dan mengajakku berbincang sambil memakan roti di trotoar tempat biasa aku menjajakan lukisanku. Tentunya aku senang sekali, karena semalam doaku seakan di ijabah oleh Tuhan. Terima kasih Tuhan, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kudapat ini.

3 Oktober 1998
Semenjak peristiwa makan roti bersama hari itu, kami jadi lebih sering berbincang tentang kehidupan kita masing-masing. dan pada malam ini kami akan pergi dinner serta aku akan mengutarakan isi hatiku untuk melamarnya. Aku tak henti-hentinya berdoa semoga Tuhan memperlancarkan niatku ini.

10 Oktober 1998
Hari ini adalah hari pernikahanku. Semuanya bagaikan mimpi bagiku yang dimana semula aku hanya dapat memandangmu dari jauh, sekarang aku dapat melihatmu sedekat ini berdiri tepat di sampingku. Di tengah menyalami para tamu undangan kepalaku tiba-tiba terasa sangat sakit dan semuanya gelap. Saat aku terbangun, aku sudah berada di rumah sakit kemudian aku melihatmu dengan masih balutan gaun pengantin tertidur di kursi samping brankar rumah sakit. Hatiku serasa teriris belati yang tajam saat melihat bagaimana aku melihatmu dengan keadaan seperti ini. Maafkan diriku yang tidak berdaya ini. Karena, keinginanku untuk merasakan kebahagiaan sebelum malaikat menjemputku aku harus bersikap egois dan pengecut hanya untuk bersamamu.

30 Desember 1998
Sudah seminggu, sejak kita bertengkar. Dikarenakan aku tidak ikut pergi menghabiskan malam tahun baru bersama, dan berakhir kamu pergi meninggalkanku sendiri di rumah ini. Kurasa sudah seharusnya seperti itu. Karena, jika kamu tetap di rumah ini hingga pergantian tahun nanti maka itu artinya kamu harus melihatku untuk pergi selama-lamanya. Sungguh aku tidak sanggup jika harus melihatmu bersedih…
Untukmu, saat kamu menemukan buku ini mungkin aku sudah tiada. Sebagai permintaan maafku karena telah menutupi penyakit yang kuderita darimu, aku hanya dapat memberikan sebuah lukisan ini kepadamu Semoga kamu suka ya. Satu lagi entahlah ini sekedar firasat atau bukan tapi aku yakin bahwa anak kita nantinya akan terlahir kembar, berikanlah mereka nama Amaranggana yang artinya bidadari dan Narendra yang berarti raja. Maaf ya, aku tidak bisa menemanimu melewati masa-masa kehamilan hingga melahirkan. Namun, percayalah bahwa aku akan tetap mengawasimu dari atas nanti. Berbahagialah, selamat tinggal, Ti Amo.

Kembali ke masa sekarang…

Setelah menutup lembaran terakhir, sambil menangis tersedu-sedu Si wanita bangkit dari kursi yang didudukinya dan mulai melangkah secara perlahan-lahan ke depan mendekati sebuah kanvas yang tertutupi kain merah. Ia pun membuka kain itu, dan alangkah terkejutnya dia melihat sebuah lukisan yang menggambarkan seorang wanita diapit oleh dua orang anak kecil. ia semakin menangis lirih. Dadanya kian sesak disertakan berbagai kalimat penyesalan yang tak luput terucap dari mulutnya karena ketidakpekaan-nyalah suaminya harus menanggung semuanya sendirian.

TAMAT

Penulis: Tesa ASN
Reporter: Melvi Widya

Saatnya Introspeksi

Begini ya dek, susah dan senang itu akan selalu berdampingan jadi apapun yang kamu kerjakan jalani dengan ikhlas. Syukuri apa yang ada di hidupmu, sembari perbaiki yang masih kurang. Semua itu akan terasa ringan jika kita bersyukur, insya Allah dengan sendirinya Konsisten itu akan muncul.

 

Selalu saja terulang hal yang sama saat ingin produktif. Namun, sayang seribu sayang nyatanya hanya menjadi wacana. Ketika melihat jam dinding dipagi hari ternyata sudah pukul 07.20 menit dan itu menandakan kuliah sisa 10 menit lagi dimulai. Seketika aku langsung beranjak dari atas kasur sekret yang penuh dengan air liur senior -senior, kemudian aku bersiap-siap untuk mandi dan tanpa sarapan berangkat ke kampus. Saat tiba di kampus aku langsung bergegas menuju kelas dan seperti biasa, terlambat lagi.

“Permisi Pak boleh masuk?” ucapku kepada dosen.

“Silahkan masuk, tapi kamu sudah dinyatakan alpa pada mata kuliah bapak pagi ini.” Jawab dosen dengan raut wajah kusut seperti tisu bekas menyeka ingus.

Mendengar jawaban seperti itu aku hanya bisa terdiam dengan wajah muram. Bahkan sepanjang kelas berlangsung hingga berakhir aku hanya merenung menyesali perbuatan yang selalu saja buang waktu dan tidak konsisten terhadap apa yang sedang dijalani.

Selesai mata kuliah aku kemudian menuju ruang tunggu fakultas merenung sampai tersadar bahwa salah satu faktor kebiasaan buruk itu terjadi ialah selama ini lingkungan pergaulanku dikelilingi dengan orang-orang yang tidak menghargai waktu sehingga hal tersebut membawa aku terjerumus kedalam ruang inkonsisten.

“Aaa,,,,kenapa sih hidup tuh bisa secape ini,”
Teriakku penuh kesal.

Mendengar teriakanku seketika seorang senior yang hendak masuk ruang kelas menghampiriku lalu bertanya, “Kamu kenapa apakah ada masalah?” ucapnya dengan penuh keheranan.

“Ngga papa kak, saya hanya bersedih.” Kataku dengan wajah lesu.

Masih penasaran dengan jawaban yang diberikan, ia terus memaksa agar aku menceritakan apa yang sedang terjadi pada diriku.

“Ayo dek cerita saja sama kakak masalah apa yang kamu alami.”

Dengan nada yang menekan dan penuh paksaan, akhirnya aku menceritakan kepadanya tentang masalah yang menimpaku. Setelah menyimak detail yang kujelaskan ia kemudian menyemangati sekaligus memberikan motivasi kepadaku.

“Begini ya dek, susah dan senang itu akan selalu berdampingan jadi apapun yang kamu kerjakan jalani dengan ikhlas. Syukuri apa yang ada di hidupmu, sembari perbaiki yang masih kurang. Semua itu akan terasa ringan jika kita bersyukur, insya Allah dengan sendirinya Konsisten itu akan muncul.”

Setelah dialog singkat tersebut aku meniatkan dalam hati dan akan serius belajar disiplin menata waktu dengan baik agar bisa konsisten disetiap hari dan selamanya. Sebab selain kata senior tadi John C.Maxwell juga mengatakan, disiplin kecil yang di ulang dengan konsisten setiap hari mengarah pada pencapaian besar yang diperoleh secara perlahan seiring berjalannya waktu.

Dengan demikian, poinnya adalah jadikan semua kesalahan sebagai pembelajaran untuk kedepannya agar supaya tidak ada lagi kesalahan yang sama terjadi secara berulang-ulang.

Sekian dari penulis, semoga ada hikmah yang bisa dipetik oleh para pembaca melalui kesederhanaan cerpen ini.

Penulis : Novasari
Editor : Hajar