Teman Di Balik Layar

Penulis: Fitriani

Di dalam ruangan yang penuh akan suara bisingan teman-teman sekelas kala itu, berbagai macam cerita yang mereka ceritakan sembari menunggu kedatangan dosen mata kuliah.

Dalam suasana kelas yang sangat ramai, berbanding terbalik dengan ku yang merasa sunyi ditengah keramaian itu.

Tak berselang lama keheninganku dipecahkan oleh suara sapaan dari seorang tak ku kenal berpakaian sederhana namun terlihat rapi dibalut dengan nikop yang ada pada wajahnya.

“Hai Salam kenal” sapaannya kala itu.

Seketika sapaan itu melenyapkan keheninganku sedari tadi, suara yang lembut menyapaku dan kubalas dengan senyuman. Itu adalah pertemuan pertama kami.

Widyan namanya, singkat dengan pribadi yang ceria dia bercadar namun kain yang membalut wajahnya tidak menutupi keceriaannya. Aku dan dia sekelas yang sama.

Di Kampus, aku tidak hanya menyibukan diriku dengan kegiatan perkuliahan tetapi juga dengan kegiatan organisasi. Widyan pun begitu, selalu aktif pada kegiatan organisasinya namun tidak mengesampingkan aktifitas kuliahnya.

Beberapa kali aku sering memperhatikan nya, jika dia belum datang di kelas sesekali aku melirik depan kelas menanti kedatangannya. Hal itu berjalan beberapa kali pertemuan saat kuliah.

Menjelang beberapa bulan setelah libur semester kami pun akhirnya berkumpul kembali dan mulai melakukan aktifitas penawaran pada kelas yang sama dan hal itu sudah kami sepakati pada semester sebelumnya.

Hingga kami mulai aktif kuliah, pada suatu kesempatan dia terpilih sebagai Wakil Wetua Tingkat pada semester ini.

Suatu ketika, aku disibukan dengan kegiatan organisasi, story Whats up ku di Penuhi dengan kegiatan-kegiatan ku hingga akhirnya ada beberapa mata kuliah tidak ku ikuti.

Pada hari itu aku tertidur dengan pulasnya hingga alarm ponsel ku yang sudah saya aktifkan pukul 04.00 WITA tidak mendengarnya, hingga pada akhirnya aku terbangun pada Pukul 10.00 WITA.

Hari itu ada dua mata kuliah yang masuk hingga akhirnya aku ikhlaskan saja dan melanjutkan tidur dengan tidak lagi membuka ponsel ku.

Pada malam hari dia membalas salah satu insta story What’s up ku dan dia bertanya

“Nia Kenapa tidak beritahu saya biar absen mu tidak ditulis alpa sama dosen,” tanya Widyan.

“Aku pikir tidak ada alasan izin untuk kegiatan ini sudah masuk konsekuensi,” jawabku dengan emot senyuman.

Akhirnya diapun menerima dan bilang pada akhir obrolan kami.

“Lain kali beritahu saya saja nanti saya akan usahakan bagaimana baik nya,” pesannya mengahiri obrolan.

“iya-iya,” ucap saya sambil terharu menjawab pesannya.

Tak disangka namun sedikit tidak percaya ternyata dia selama ini memperhatikan ku, Ku pikir hanya aku yang memperhatikannya, sambil tersenyum kami sudahi obrolan kami malam itu.

Dengan sapaan “hai” dan ucapan “salam kenal” kala itu membuatku berfikir ternyata dia datang sebagai sahabat ku.

Aku sadar, kami tidak begitu sering interaksi saat di kelas namun saling memperhatikan secara pribadi.

Ku pikir sahabat tidak selama nya dia yang selalu terlihat, sering jalan bersama, makan bersama dan lain sebagainya lain halnya dia yang selalu mendukung ku di balik layar kehidupan bilik kampus.

Penulis adalah mahasiswa aktif Institut Agama Islam (IAIN) Kendari, Juga Anggota Aktif Unit Kegiatan Mahasiswa Pers (UKM-Pers) serta Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat AL-Gazali.

Rindu Tak Tersampaikan

 

Penulis: Syafira Damayanti

Nostalgia mengantarku pada rindu, lalu merengkuh erat bayangmu, menikmati belaian kasihmu yang perlahan menjadi abu-abu. aku masih belum percaya, bahwa engkau sudah benar-benar tiada. tidak terasa lima tahun kepergianmu, senyum manismu, gema tawamu dan suara beratmu semuanya masih terasa nyata, bahkan sampai detik ini aku masih berharap kalau ini hanya mimpi.

Dua hari lagi akan memasuki bulan ramadhan, namun tidak seperti hari-hari biasanya, ketika bulan puasa tiba, mama selalu mengajakku untuk berbelanja ke pasar untuk membeli bahan-bahan dapur untuk dimasak bersama-sama.

Seketika rindu sosok yang selalu memanggil namaku dengan sebutan “anak mungil”  seketika rindu sosok selalu membangunkan dispertiga malam untuk melaksanakan sholat bersama-sama. Seketika rindu sosok yang selalu membuatkan sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah.

Andai saja waktu dapat bisa ku putar kembali. jika bisa mengubah banyak hal, aku mugkin akan mengambil kesempatan itu.

Dulu, aku selalu berpikir seiring dengan bejalannya waktu rasa rinduku kepadamu akan mulai pudar. Namun semua persepsiku salah, lagi-lagi kata rindu ternyata ia tak perlu pulang untuk sampai ke rumah. Ia juga tak perlu datang untuk mengemas gundah. Ia juga tak perlu lantang untuk didengar indah. hanya perlu aku dan dirimu.

Aku juga sudah mencoba bernegosiasi menylam kata sepakat untuk berdamai dengan hatiku, pada relung yang disebut dengan rindu. Namun lagi-lagi melupakanmu bukan tentang melangkah untuk pergi, melainkan ada candu yang tak terobati.

Dahulu Ibu selalu mengatakan kepadaku
“Kamu harus jadi sosok yang kuat nak, dan tidak mudah putus asa”
sekarang aku tahu mengapa Ibu selalu mengatakan kepadaku untuk menjadi sosok yang kuat. Karena aku tahu bahwa suatu hari nanti, aku akan membutuhkan kekuatan untuk menanggung kehilanganmu.

Pintahku, jika kerinduan hanya bisa diobati dengan pertemuan maka satu yang kuharapkan, semoga kita dipertemukan.

Penulis adalah mahasiswa aktif Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, juga anggota aktif Unit Kegiatan Mahasiswa Pers (UKM-Pers).

 

Mengikhlaskan

Penulis: Asrinawati Azizah

Malam itu, digelapnya malam yang membungkus bumi seorang gadis bernama Rizky Anandita hanya bisa terdiam kaku menatap wajah pucat pasi dan kaku sang Ibu. Dirasakannya tangan kekar yang memeluknya dari belakang beserta bisikan dengan suara bergetar dari sang ayah.

“kamu kuat nak, Allah lebih sayang Ibu. Ikhlaskan yah nak” bisik sang ayah.

Setelah mendengar bisikan sang ayah maka Luruh lah air mata yang sedari tadi ditahan gadis berumur 16 tahun itu, hancurlah tembok pertahanan yang ia bangun untuk tidak mempercayai Malaikat Tanpa Sayap nya telah tiada. Ibu yang selama ini merawat dan menyayanginya dengan sepenuh hati telah pergi ke pangkuan sang Ilahi. Rasanya dunia seperti runtuh seketika.Ia terduduk diatas dinginnya lantai, meraung dengan penuh rasa sakit yang menggerogoti hatinya.

Setelah sekian lama menangis Dita mencoba mendekati tubuh kaku sang Ibu mengelus wajahnya serta mengecup seluruh penjuru wajah sang malaikat tanpa sayap nya dengan menahan isakan dari mulut kecilnya. Ia berbisik di telinga sang Ibu.

“Do’akan Dita untuk ikhlas Bu, Dita sayang Ibu”

Setelah prosesi pemakaman Dita duduk terdiam menatap Nisan sang ibu, di dalam benaknya terus berpikir. Bagaimana ia dapat melanjutkan hidupnya tanpa sosok ibu di sampingnya? siapa yang akan menghibur ayahnya setelah lelah bekerja nantinya? siapa yang akan menguatkan nya ketika dirinya sedang ditimpa masalah?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya sampai dirasakannya tepukan pada pundaknya. Ternyata tepukan itu berasal dari sang ayah, ditatapnya sang ayah yang tidak kalah berantakan dengannya. Mata yang sembab serta bibir yang pucat pasi, Ayah tersenyum dan ikut bergabung bersama Dita mengamati batu nisan sang ibu.

Lama terdiam dalam kebisuan, ayah membuka suara

“Nak, kamu harus tetap kuat. Tetap kuat dan tegar untuk ayah karena kalau kamu juga menyerah alasan ayah untuk bertahan Apalagi.”

Dita tertegun dengan kata-kata yang diucapkan sang ayah hatinya Terasa dihimpit Batu yang sangat besar dan matanya terasa berkabut akibat Bendungan air mata yang siap bobol mengaliri pipi mulusnya. Sedetik kemudian Dita berhambur ke pelukan sang ayah menumpahkan Seluruh Rasa sesak di dada.

” In Syaa Allah Dita kuat Ayah. Jadi Ayah juga harus kuat.” tutur Dita dengan isakan.

“Iya sayang. Yang terpenting kamu harus ikhlas nak, ibu pasti sedih kalau kamu belum ikhlas menerima kepergiannya”

Dita hanya bisa menjawab perktaan ayah dengan anggukan dan makin mempererat pelukannya pada tubuh sang ayah.

Hari-hari terus berlalu, Jujur dalam melewati hari-harinya bukan hal mudah untuk Dita lewati apalagi ketika ia berada di rumah. Karena di setiap sudut rumah tersimpan begitu banyak memori indah yang di lewati bersama ibunya.

Ketika malam menyapa dan orang rumah telah terlelap di ruangan kecil bercahaya tamaram, Dita duduk terdiam di atas tempat tidur kecilnya. Hal ini terjadi lagi, saat-saat dimana ia merindukan sang malaikat tanpa sayap nya. Dita beranjak dari duduknya, diambilnya daster lusuh kesayangan sang Ibu dari dalam lemari. Dipeluknya daster itu erat-erat. Isakan-isakan kecil mulai mengalun keluar dari bibir mungilnya. Ia terisak ditengah gelap malam tanpa seorang pun yang tahu.

Lama-kelamaan Dita mulai dapat mengiklaskan kepergian sang Ibu. Ia menjalani hari-harinya dengan senyuman melanjutkan sekolahnya menghabiskan waktu Bersama sang ayah dan merajut cita-cita yang ingin Ia capai untuk membanggakan orang tuanya.

Suatu hari, setelah pulang sekolah Ayah mengajak Dita berziarah ke makam sang Ibu. Sesampainya disana ia menuangkan rasa rindunya lewat panjatan do’a untuk sang Ibu. Melihat putrinya yang mulai menitikkan airmata Ayah segera membawa tubuh mungil itu dalam pelukannya.

“Dita sudah ikhlas bukan?” tanya Ayah

“iya yah, Dita sudah ikhlas” Jawab Dita sambil tersenyum.

Dilepaskan pelukan sang Ayah, lalu ia menatap batu nisan Ibunya sembari berkata dalam hati “Bu, mengikhlaskan kepergian mu memang tidak mudah, tapi aku harus melakukan nya agar kaupun tenang di pangkuan sang ilahi. agar Ayah juga bisa tetap kuat dalam menjalani hari-hari tanpa ibu. Tunggu Dita dan Ayah di atas sana ya Bu. In Syaa Allah, jika Allah mengizinkan kita akan di persatukan di dalam surganya kelak. Dita pulang dulu Bu.”

Penulis adalah mahasiswa aktif Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, juga anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Pers (UKM-Pers).

Paradoks Cinta!

Seperti biasa perempuan itu hanya menghabiskan waktu malamnya di Kedai Gerbang Akademik, selalu menyendiri menikmati secangkir Thai Tea di hadapannya.

Demikianlah, ia hampir tak punya aktivitas lain selain menyendiri dengan menikmati secangkir thai tea setiap malamnya.

Semua bukan tanpa sebab, ia dahulu dikenal sebagai perempuan humoris dan aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan saat duduk di bangku perkuliahan. Kini, ia diterpa badai kekecewaan, kosong dan tersuruk dalam dunia hitam. Ia menjadi korban persaksian cicak tentang noda darah di bilik kamar berukuran empat kali enam miliknya.

“Aku berangkat dulu. Doakan sukses senantiasa membersamai anakmu,” percakapan di rusuk rumah bersama Ibunda, diakhiri tanda pamit hijrah ke kota.

Sofia demikianlah panggilan akrab perempuan itu. Semua yang tahu pasti mengenalnya Muslimah yang taat. Sebab, dahulu tubuhnya dihijabi jubah dan jilbab besar.

Ia menyelesaikan studinya seperti mahasiswi lain, hal yang membedakan adalah ia meninggalkan luka dan kekecewaan. Korban retorika cinta aktivis sayap kiri. Hal itulah yang membuatnya selalu menyendiri dan merenung, ditambah lagi tak ada penyesalan pada Tuhan dari lelaki itu setelah bercinta dengannya.

“boleh aku duduk disini?,” sebuah suara tiba-tiba menyapa.

“boleh silahkan,” jawabnya dengan tatapan tanda tanya.

Setelah beberapa saat berbasa basi perbincangan keduanya pun mulai cair.

“beberapa malam belakangan, saya perhatikan selalu menyendiri,” lanjut sapanya berusaha akrab.

Sofia bercerita soal masa lalunya. Mungkin ia sudah terbawa suasana hingga tak sadar menceritakan semuanya.

“terus usahamu untuk meminta pertanggung jawaban sampai disitu saja?,” tanya Sahra dengan rasa penasaran yang makin dalam.

Sahra, adalah nama lelaki yang menyapanya, ia adalah mahasiswa angkatan 2014 berstatus DO dari kampusnya, ia adalah aktivis kiri yang selalu berdemonstrasi tentang ketidakadilan di kampusnya. Mungkin, karena itu ia di DO.

“saat ini saya hanya pasrah pada kata terserah. Sebab, ketika tabu usai diguratkan di atas tubuhku yang rapuh yang tersisa dalam mulut rasaku hanya luka sakit yang mengiris,” curhat Sofia

“hidup tak selalu soal kehampaan dan rasa kosong yang tak pernah bisa disibak. Hidup tak selalu kosong seperti lorong kegelapan yang tak ada jalan keluarnya,” patuah Sahra.

“bukan soal itu, ada hal lain yang memaksa saya untuk menyerah. Lihat saja pesan WA darinya,” tegas Sofia.

“saya telah menikah karena dijodohkan. Jangan ganggu saya lagi dan maaf tak sempat memberi undangan. Dan saya rasa itulah yang terbaik untuk saya,” seperti itulah pesan singkat WA dari lelaki yang telah mencicipi tubuhnya yang tenggelam tanpa sisa dalam pori-pori kulitnya.

Tanpa terasa arloji telah menunjukkan pukul 02.00, keduanya bergegas untuk pulang.

“saya antar pulang ya…” tawarnya.

“boleh, lagian malam semakin larut,” angguk Sofia menerima tawaran Sahra.

Sejak saat itu, keduanya menjadi lebih akrab dan sering berdiskusi tentang berbagai hal hingga larut malam di kos milik Sofia.

Hingga suatu ketika, ransangan aneh kembali hinggap pada lepah-lepah kulit perempuan itu. Matanya memandangi redup langit-langit kamar tanpa kedip. Saat Sahra berhasil mencuri perhatiannya dalam keadaan berdempetan.

“bawa aku terbang untuk melupakan diri sendiri, lupakan aku dengan masa laluku,” gumamnya sebelum sepanjang malam itu ia kembali terjaga dalam aib, dalam tabu, seperti saat pertama kali ia mendapatkan tanda memar merah di bagian dada.

Paginya, ia kembali merasakan kehampaan, rasa kosong yang tak pernah tersibak. Seolah hidup hanya sederetan kekosongan diantara lorong kegelapan yang tak ada jalan keluarnya.

“Semua lelaki sama saja, mereka aktivis kiri adalah penguasa filsafat, pemeran retorika cinta untuk kenikmatan sesaat. Paradoks cinta, berkhotbah meminjam nama cinta demi kenikmatan sesat namun implementasi yang dijalankan demikian pula, keseringan membuat setan menertawai. Barangkali perempuan juga seperti itu, sebab sejak tubuhku pertama kali tak berkain dan tubuhku terbuka digerayangi secara superbebas, aku berjajanji untuk tidak mengulanginya. Namun, baru beberapa saat Sahra menginjakan kaki di kosku cumbu dan cubit-mencubit antar mulut itu kembali terjadi. Iman dan nalarku kembali terlukai, barangkali perempuan memang hiburan untuk laki-laki sesuai eksistensi penciptaan yang kupahami. Hawa diciptakan saat Adam merasa galau dan butuh pasangan untuk menghibur dirinya,” tulisnya setelah mengambil kertas dan sebilah pena.

Arunika benar-benar telah pergi. Dan hari itu ia telah mati rasa dengan lelaki. Barangkali begitrulah tabu, selalu menagih seorang pendosa untuk terus melakukan hal yang serupa dan mengulanginya lagi dalam bentuk serupa. Lupa, sejatinya perempuan adalah emansipasi, bukan bahan pelacurnisasi pada keringat asin yang dicicipi secara sukarela, tanpa kompensasi cinta. Dan lupa cinta yang sebenar-benarnya adalah cinta kepada Ilahi.

Penulis: HDS

Payung Teduh Dari Nenek

Perkenalkan namaku Pelita, aku lahir pada bulan September. Kata orang-orang bulan September adalah bulan yang identik dengan keceriaan dan kebahagiaan. Bagaimana tidak hampir di seluruh penjuru dunia mengalami perubahan besar di bulan kelahiranku ini salah satu diantaranya merupakan awal musim gugur, awal musim semi, dan musim hujan. Sayangnya, aku bukan anak perempuan ceria seperti bulan kelahiranku.

Tepat hari ini umurku berinjak 10 tahun. Keluargaku tidak pernah merayakan ulang tahunku ataupun mengucapkannya aku tidak pernah berharap mereka akan mengatakan itu, tapi yang kutahu setiap bulan kelahiranku nenek selalu membelikanku payung. Aku punya banyak sekali koleksi payung. Aku tidak tahu apakah payung adalah hadiah hari ulang tahunku atau bukan karena nenek tidak pernah mengatakan itu.

Aku tidak begitu dekat dengan ayah dan ibuku, aku hanya dekat dengan nenek dan juga adik dari ibuku. Dari kecil aku selalu ditinggal oleh kedua orang tuaku, ibu selalu pergi menemani kakek ke kebun. Kata ibu, kebun kakek sangat jauh untuk sampai ke kebun mereka harus menyeberang menggunakan perahu. Sementara ayah, baru beberapa bulan terakhir ini aku merasakan sosok kehadirannya. Aku selalu bertanya-tanya kepada nenek, bagaimana wujud ayah, di mana ayah atau ayahku itu yang seperti apa.

Mengingat ayah membuatku mengingat tentang kejadian 4 tahun yang lalu, aku bersyukur memiliki daya ingat begitu tajam setidaknya untuk tidak pernah melupakan kenangan yang tak pernah ingin kami alami aku, ibu, dan adik laki-lakiku. Sosok ayah dan ibu sepertinya memang tidak begitu dekat denganku, bahkan saat aku menangis atau kesakitan aku tidak pernah memanggil ibu yang kutahu hanyalah mengadu pada nenek.

“Nenek, Ayahku di mana? Teman-temanku bilang jika ayahku tidak akan pernah kembali,” rengekku.

Kuhamburkan pelukanku pada tubuh nenek, selepas pulang bermain bersama Rara, Guntur dan ketiga temannya mengejekku karena semenjak TK sampai Sekolah Dasar Guntur tidak pernah melihat ayahku. Sebenarnya, tidak hanya teman-teman sekolahku saja yang selalu mengejekku beberapa ibu-ibu tetangga selalu menertawaiku dan menanyakan di mana ayahku atau mereka akan bilang jika aku tidak akan pernah bertemu ayah atau hal yang paling buruknya adalah jika aku sudah memiliki ibu tiri.

“Pelita mau mainan yang banyak kan? Ayah Pelita kan lagi cari uang yang banyak untuk membeli mainan dan buku untuk Pelita.” selalu saja seperti itu jawaban yang kudengar dari nenek.

“Tapi, aku tidak pernah mendapatkan mainan dan buku cerita dari Ayah, Nek.”

“Pelita mau Ayah kembali?”

“Iya, Nek. Aku ingin sekali bertemu Ayah dan mengajak Ayah bermain layang-layang seperti Ayah Guntur.”

“Kalau begitu Pelita harus sholat dan banyak berdoa agar Ayah pulang ke rumah,” titah nenek

“Sholat dan berdoa yang banyak bisa membuat Ayah pulang, Nek?”

Nenek mengangguk tersenyum. Ia mengelus puncak kepalaku

“Nek, kira-kira Ayahku sebesar apa? Apakah seperti Ayah Guntur, Nek?”

Lagi, nenek mengangguk. Kulihat ia mengusap kedua matanya.

“Nenek kenapa? Nenek menangis?”

“Berjanjilah Nak, untuk tidak pernah membenci Ayahmu.”

“Aku berjanji Nek, aku tidak akan pernah membenci Ayah karena aku ingin sekali bertemu Ayah, tidak apa Ayah tak membawakanku buku atau mainan aku hanya ingin membuktikan pada Guntur kalau aku punya Ayah.”

“Percayalah rasa cinta Ayahmu lebih besar daripada Nenek,” kata nenek lagi ia mengusap puncak kepalaku

“Cinta itu apa Nek?”

“Cinta itu kasih sayang, seperti Nenek yang selalu mengusap dan merawat Pelita ketika sakit.”

“Nek, cinta nenek padaku sebesar apa?”

“Sebesar kasih sayang Ayahmu, Pelita.”

“Tapi, aku tidak pernah melihat Ayah. ”

Kata nenek, kasih sayang Ayah melebihi rasa sayangnya padaku. Nenek selalu mengatakan itu padaku berulang kali, walaupun ayah sudah kembali tetap saja tidak ada yang melebihi rasa cinta nenek untukku. Cinta nenek padaku terlalu besar, sebesar langit, tapi kata nenek rasa cintanya sebesar payung yang selalu ia berikan padaku. Karena katanya, rasa cinta yang ia berikan itu cukup membuatku merasakan kehadiran sosok yang tak pernah hadir dalam hidupku. Padahal rasa cintanya padaku lebih dari cukup.

Hari ini tepat dua tahun kedatangan ayah. Aku selalu menghabiskan hari-hariku bermain bersama ayah, walaupun terdengar terlambat untuk bermain bahkan mengenal ayah, namun aku tetap bersyukur. Sekarang hari-hariku di warnai dengan banyak warna. Cinta yang kudapatkan bukan dari satu warna saja, tapi dari berbagai macam warna. Ada Guntur yang selalu datang mengajaku bermain layang-layang dan masih banyak lagi dan juga ayah dan ibu yang sudah banyak meluangkan waktunya padaku.

Teruntuk nenek dan payung teduhnya yang selalu ia berikan setiap hari dan juga payung pemberiannya setiap bulan kelahiranku adalah kenangan yang tak pernah ingin kulupa. Rasa cintanya akan tetap ada walaupun wujudnya telah tiada. Nenek meninggal setelah 5 bulan kedatangan Ayah. Walaupun begitu nenek bilang untuk tidak pernah merasa sedih jika telah tiba kepergiannya, karena katanya aku harus bahagia dan ceria sebagaimana bulan kelahiranku yang selalu identik dengan keceriaan.

Penulis : Elfirawati

Bukan penulis tapi suka menulis, tidak suka hujan tulisan-tulisan lainnya bisa dibaca di blog : https://elfirawati-ereke.blogspot.com

Aku, Laut dan Pencemaran

Aku dan keluargaku tinggal di pesisir pantai dan menggantungkan kehidupan dari hasil laut.

Hampir seluruh aktivitasku tak luput dari desiran ombak yang selalu menderu, dari membuka mata dipagi hari, mandi, pergi sekolah, pulang dari sekolah, bermain dengan kawan sampai akan tidur kembali di malam hari, lantunan lagu dari laut itu tak pernah luput dari telingaku.

Tiap malam, sebelum tidur ayah selalu cerita tentang keindahan dan melimpahnya hasil laut di masa lalu, bercerita tentang ikan yang besar hingga ikan yang mengikuti perahu ayah yang membuat ayah merasa terhibur karena tingkahnya. Hampir tiap malam ayah bercerita tentang itu dan membuat aku penasaran dengan kehidupan di lautan lepas sana.

Aku merasa cerita ayah yang begitu membanggakan itu adalah kehidupan yang paling indah dan menyenangkan.
Sampai suatu ketika ayah mengajak aku untuk melaut agar aku mempunyai pengalaman tentang melaut dan menangkap ikan.

“Nak, besok kan hari Minggu jadi kamu ikut ayah melaut yah, biar bantu ayah tanggkap ikan. ”

Dengan hati gembira dan tanpa pikir panjang aku mengiyakan ajakan ayah. Yah meski aku sedikit ragu karena itu adalah pengalaman pertama aku menjajaki lautan lepas dan berkenalan dengan ikan ikan yang aku pikir akan besarnya seperti badan orang dewasa.

“Ok ayah..!! Besok bangunkan aku lebih pagi yah biar aku siap siap.”

“Iya nak.!! Tidurlah, agar esok bisa bangun lebih awal”

Pagi pagi sekali saya sudah bangun dan siap siap untuk mengikuti ayah berangkat kelaut. Setelah Berjam jam melaut aku dan ayah baru mendapat ikan yang besarnya hanya sekepal tangan, itupun masih bisa dihitung dengan jari tangan.

Aku mulai merasa kecewa dan putus asah dengan keadaan itu.
Aku merasa apa yang ayah ceritakan hanyalah dongeng dan khayalan belaka.
Perasaan jengkel pada ayah mulai merasuk dalam hati dan jiwa aku, namun aku belum berani melayangkan protes pada ayah.

Namun sampai menjelang sore apa yang kami dapat hanya kisaran bisa dimakan untuk malam hari saja. Tanpa ragu aku bertanya pada ayah.

“Ayah..!! apa yang ayah ceritakan tentang laut dan ikan besar itu cuman dongeng yah.??”

Dengan menunduk ayah mulai bercerita.

“Apa yang ayah ceritakan tiap malam pada kamu itu semua benar, ayah tidak mengarang ataupun mendongeng, namun apa yang ayah ceritakan itu hanyalah kenangan masa lalu, dimana masa itu ayah masih seumur kamu, ketika kakek mengajak ayah kelaut dan hasilnya seperti apa yang ayah ceritakan pada kamu tiap malamnya.”

“Namun saat ini kondisinya berbeda, saat ini ikan ikan sudah sangat sedikit yang tinggal di laut kita, mungkin karena banyaknya sampah yang mengotori laut kita, atau mungkin karena banyaknya pencemaran laut yang berasal dan tetesan kapal tangker pengangkut minyak dan solar untuk perusahaan dikota sebelah hingga membuat ikan ikan di laut kita tidak betah tinggal dan berkembang biak.”

Saat mendengar cerita ayah aku merasa bersalah pada ayah karena sudah berani protes pada ayah, sementara ayah pun tak tau kenapa ikan sudah tidak banyak lagi dilautan ini.

Dengan menghela nafas yang panjang lalu ayah berpesan pada aku.

“Nak.!! Sekolah lah yang baik agar kelak kamu menjadi orang pandai dan bisa mengajarkan pada generasimu tentang pentingnya menjaga kebersihan laut.”
Yah mungkin saja dengan kamu ajak dan edukasi mereka tentang laut, mereka paham untuk tidak membuang sampah dan mencemari laut lagi.

Penulis: Tinta Merah, alumni IAIN Kendari, suka jalan-jalan.

Ini Aku

Oleh : Elfirawati 

Ini aku, perempuan itu

Perempuan nirguna itu

Bukankah itu panggilanmu untukku, manusia sempurna?

Ini aku, manusia angkuh

Perempuan ini ringkih, tubuhnya sudah terkulai

Kau mau lihat?

Lihatlah ini! Lihatlah itu!

Ah! Bukannya kau manusia antipati?

Hingga perkataanku tak pernah kau pedulikan

Maukah kuberi tahu sesuatu?

Kau berhasil! Sangat berhasil

Tubuhnya sekarang habis ia gerogoti

Ia lukai hingga habis

Ini aku, perempuan gila itu!

Kau senang, wahai manusia sempurna?

Kau bahagia?

Selamat kalau begitu!

Apa kau tak mau mengucapkan kata terakhirmu sebelum aku habis menyayat diriku sendiri?

Ayolah, manusia sempurna!

Aku akan selalu mendengarmu

Apakah detikmu akan habis jika bom waktu di dalam kepalaku mulai meledak?

Kau tak tahu isi di kepalaku?

Ah! Lagi-lagi kau antipati

Bukannya kau yang menciptakan ini, mahkluk paling sempurna?

Isi di kepalaku itu sedetik saja mampu memusnahkanku

“Dasar manusia bodoh!”

“Perempuan jelek!”

“Lihatlah otakmu! Menjijikan!”

“Perempuan tak berguna!”

“Kau manusia?”

“Manusia sepertimu tak begini. Hahaha”

“Perempuan lemah!”

Sudahkah kau tahu itu manusia sempurna?

Perkataanmu memanglah rakitan bom paling ampuh untuk menghancurkan dunia kecilku

Duniaku gelap, bukan?

Kau menikmatinya? Kau puas?

Ini aku, perempuan gila itu

Detik demi detik

Ia akan habis

Dilahap oleh isi kepalanya sendiri

Dimusnakan oleh bom waktu yang sudah kau rakit dengan perkataanmu

Bersabarlah. Tunggulah aku

Aku tak lama lagi

Jangan khawatir, manusia sempurna

Duniamu tak akan runtuhkan?

Berproses Di Bumi Gayatri

Penulis: Arini Triana Suci Rahmadani

Hai, aku Arini Triana Suci Rahmadani biasa dipanggil Arini. Bersama temanku Aksan, tepat seminggu yang lalu dia menghubungiku untuk ikut berangkat menuju ke Tulung Agung atau daerah yang biasa dijuluki Bumi Gayatri untuk mengikuti kegiatan kongres Perhimpunan Pers Mahasiswa ke 16 sekaligus merayakan hari lahir Perhimpunan Pers Mahasiswa yang ke 27.

Pagi dini hari pukul 04:00, setelah semalaman tidak tidur karena memikirkan banyak hal terkait keberangkatan kami aku dan Aksan mulai bersih-bersih diri sebelum menuju Bandara Haluoleo, ya benar sekali kami memutuskan untuk tinggal di kantor  UKM-Pers IAIN Kendari semalaman karena jarak rumah tempat tinggalku cukup jauh dari bandara.

Setelah siap, aku dan teman-teman UKM-Pers berkumpul membentuk sebuah lingkaran untuk melakukan sesi berdoa sebelum berangkat menuju Bandara Halu Oleo Kendari, sekalian mengambil gambar bersama-sama. Pukul 05:00 Wita, kami diantar menuju bandara, setelah sampai tak lama kemudian nomor pesawat yang akan kami tumpangi disebut dan itu berarti kami akan segera berangkat menuju Bandara Sultan Hasanuddin di Ujung Pandang.

Selama di pesawat aku hanya duduk sambil melihat ke bawah, mataku menelusuri semua keindahan alam yang ada, dari atas sini pepohonan terlihat seperti karpet hijau yang luas. Sesekali aku menoleh melihat Aksan yang duduk di samping kiri ku sedang asyik mengobrol dengan kenalan barunya, aku juga sesekali menguping pembicaraan mereka. Aku bukan seseorang yang mudah berinteraksi dengan orang baru, tapi tunggu sebentar lagi mulutku tidak akan berhenti berbicara.

Karena ini adalah pengalaman pertama buat kami, sesampainya di Bandara Sultan Hasanudin tentu saja hal utama yang kami lakukan adalah mengambil gambar. Tak lupa pula kami mengabari senior dan teman-teman kami di UKM-Pers. Karena waktu transit yang sempit, aku dan Aksan memutuskan untuk sarapan di Surabaya saja, rasanya konyol kalau harus ketinggalan pesawat karena alasan sarapan.

Penerbangan selanjutnya pukul  09:00 Wita, setibanya di Bandara Djuanda Aksan mengeluarkan satu kalimat yang cukup panjang hari itu. “Jangan jauh-jauh, disini ramai. Kita tidak ada kenalan dan bahaya. Apalagi di terminal nanti, tadi kakak yang disampingku cerita kalau kita tidak boleh interaksi dengan orang lain selain petugas bandara.” Baru berapa menit tiba dikota orang Aksan sudah terlihat seperti orang tua yang posesif terhadap anaknya, aku cuma mengiyakan.

Sambil menunggu Djawatan Angkoetan Motor Repeobblik Indonesia (Damri) yang kami tumpangi jalan aku dan Aksan mengecek smartphone  kami masing-masing, satu hal yang aku sadari ternyata senior-senior ku benar-benar mengkhawatirkan ku. Mungkin karena aku perempuan, jadi isi kolom chat Aksan hanya tentang “jaga saudarimu baik-baik.” Aku tersentuh, sedangkan Aksan menghela napas karena dititipkan tanggung jawab besar.

Damri yang kami tumpangi melaju menuju terminal Purabaya, dari terminal Purabaya kami naik bus menuju tempat tujuan kami yakni terminal Gayatri di Kabupaten Tulung Agung. Dengan estimasi waktu sekitar 5 jam, melewati jalan tol. Setelah sampai di Tulung Agung hal pertama yang kami lakukan tentu saja mencari warung untuk memberi nutrisi cacing-cacing diperut. Lelah mengelilingi terminal, kami akhirnya memutuskan untuk makan didepan terminal sembari menghubungi teman-teman LPM yang ada di Tulung Agung, selang beberapa menit setelah makan kami di hampiri dua orang cowo yang akrab di panggil Dadang dan Rizal, mereka adalah teman-teman dari LPM Dimensi UIN Satu Tulung Agung.

Sebelum menuju ke kontrakan LPM Dimensi Dadang dan Rizal mengajak aku dan Aksan untuk singgah ditempat angkringan untuk ngopi dan nyemil. Ditempat itu, kami hanya sedikit bertukar cerita tentang keadaan kota masing-masing, kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju kontrakan LPM Dimensi.

Dikontrakan LPM Dimensi kami disambut dengan ramah oleh beberapa anggota yang masih aku ingat Mba Ria, Mas Panda dan lain-lain. Disana juga aku bertemu dengan Efendi dari LPM Al Fikr Probolinggo. Kami banyak tukar cerita tentang kegiatan yang sering UKM Pers atau LPM lakukan, tidak hanya itu kita juga bercerita terkait budaya bahkan sampai culture shock yang aku rasakan.

Teman-teman LPM Dimensi sangat antusias mendengar ceritaku tentang perjalanan kami yang penuh dengan kebingungan, soto ayam yang di campur langsung dengan nasi sampai rasa teh di sana yang sangat ringan dan wangi.

Malam hari pun tiba aku memutuskan untuk beristirahat di kos Mba Ria, karena kurang etis rasanya harus menginap di kontrakan yang isinya mayoritas laki-laki. Temanku Aksan tetap di kontrakan tersebut, sebelum istirahat aku dan teman-teman memutuskan untuk makan malam diwarung Mak Tik, yang cukup terkenal di daerah sekitar kampus UIN Satu Tulung Agung. Lagi-lagi aku dibuat syok karena harga makanan yang terbilang sangat murah bagiku.

Besok pagi, aku bersih-bersih diri setelah itu menuju kontrakan dimensi untuk sarapan pagi. Sampai pada siang hari, aku bersama Aksan, Dadang dan Mas Shibi memutuskan untuk berangkat ke lokasi kongres duluan. Setelah pamitan, kamipun berangkat. Jarak yang kami tempuh cukup jauh, karena berada dikecamatan yang berbeda.

Sampai ditempat kongres aku dan aksan terlebih dahulu melakukan registrasi, kemudian menuju tempat istirahat kami masing-masing. Karena pada saat itu tempat perempuan dan laki-laki dipisahkan, aku agak kebingungan.

Selang beberapa saat kemudian, aku masuk didalam ruangan luas yang isinya anggota PPMI dari berbagai Dewan Kota, disitu pula aku bertemu kenalan baruku Sanna gadis cantik dan ramah dari LPM Bhaskara.

Berada di dalam ruangan luas yang asing, aku hanya diam sambil sesekali bertukar senyum dengan Sanna, waktu menunjukkan pukul 15:00 kegiatan pertama ku ditempat itu dimulai. Mengikuti kegiatan workshop ‘cek fakta’ ini adalah kegiatan collab PPMI dan AJI.

Setelah kegiatan workshop selesai kami diberi waktu untuk istirahat dan membersihkan diri, aku melewati beberapa anak tangga menuju ruangan istirahat kami sebut saja kamar. Sampai di kamar, aku menelusuri seluruh isi ruangan dengan kedua bola mataku, ternyata teman-teman dari kota lain sudah lebih dulu berkumpul sambil bertukar nomor handphone, ada juga yang berbagi majalah yang mereka bawa.

Rasanya seperti sudah lama kenal mereka, hari itu aku kenalan dengan berbagai macam kepribadian. Febri dengan kepribadian humorisnya, Latifah dengan kepribadian cepat akrabnya karena sedari awal dia yang paling sibuk menemui kami satu persatu sambil meminta nomor telepon dengan tujuan untuk membuat grup, Andhani dengan suara merdunya, dan Shelia Gladia gadis melayu dengan kepribadian ramah dan lemah lembutnya.

Malam hari, kami semua kembali ke Aula tempat kegiatan yang terletak persis diatas kamar kami. Walaupun terbilang hari pertama, tidak sulit bagiku untuk berbaur karena kami telah berkenalan di kamar. Di atas kami mengikuti rangkaian acara pembukaan kongres PPMI sekaligus pemotongan tumpeng dalam rangka merayakan hari jadi PPMI. Setelah beberapa rangkaian acara selesai, hiburan pun dimulai.

Aku yang biasanya menikmati Kpop kali ini berbeda, aku dan teman-teman mendengarkan sebuah band musik menyanyikan lagu-lagu pop Indonesia yang sedang hits dikalangan anak muda. Tak lupa pula Andhani menyumbangkan suara merdunya, sangat merdu.

Kalau boleh jujur, aku bukan seseorang yang begitu menikmati keramaian, seringkali keramaian membuatku merasa lelah. Karena mulai merasa lelah, aku memutuskan untuk bergeser di sudut ruangan menemui Shelia yang sudah lebih dulu berpindah tempat. Sepertinya dia memahami keadaanku, dengan penuh rasa peduli Shelia merangkul.

Sejak saat itu aku banyak menghabiskan waktu bersama Shelia selama ditempat kongres. Kemanapun aku pergi di situ ada Shelia, begitu pula sebaliknya. Masuk pada kegiatan terakhir hari itu kami bincang-bincang terkait kekerasan terhadap jurnalis. Para pemantik menceritakan pengalaman mereka selama menjadi seorang jurnalis, kemudian memberikan saran yang bermanfaat untuk menghindari kekerasan terhadap jurnalis.

Keesokan harinya seperti dejavu, kegiatan yang sama terulang workshop ‘cek fakta’ dengan materi dan pemateri yang sama. Sampai pada kegiatan kami selanjutnya yakni diskusi terkait SOP Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis, tidak bisa di pungkiri hal-hal seperti ini sedang marak terjadi. Dalam diskusi yang kami lakukan terjadi perdebatan-perdebatan kecil terkait bentuk hal-hal yang termasuk pelecehan salah satunya catcalling.

Sebagian kubu menganggap bahwa tatapan tidak perlu dimasukkan dalam hal ini sebagai salah satu bentuk pelecehan. Tetapi sebagai seorang perempuan aku bantu menegaskan bahwa hal sepele tatapan yang membuat tidak nyaman sudah termasuk suatu pelecehan, ada pula yang berdalih bahwa bisa saja seseorang menatap karena ingin kenalan?

Sekali lagi teman sesama wanita yang bernama Eka menegaskan bahwa “kalau niat baik untuk kenalan, kenapa tidak langsung ditemui. Dari pada menatap sampai menciptakan perasaan tidak nyaman?”. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, waktu istirahat tiba.

Hari ketiga kegiatan sidang kongres pun dibuka, yang dilanjutkan dengan pemaparan kota oleh setiap sekjen kota atau pun perwakilan-nya. Aku dan Aksan banyak berdebat, karena ini kali pertama kami. Jadi sedikit bingung mau memaparkan apa, tiba saat karateker kota Kendari disebut. Mau tidak mau, siap tidak siap aku harus maju.

Dengan waktu 2 menit aku memaparkan rasa bingung di kepala, “terimaksih atas waktu yang diberikan kepada saya, terkait pemaparan kota. Saya sedikit kebingungan karena kami di kota Kendari masih menjadi karateker atau belum ada Dewan kota. Semoga setelah hadir di sini, kami bisa pulang dan membangun komunikasi yang baik dengan LPM-LPM yang ada di kota kami untuk kemudian fokus membentuk Dewan Kota,” kurang lebih se singkat itu.

Selanjutnya kami membahas tata tertib yang memakan waktu dua hari satu malam. Agak alot, seperti biasa. Apa yang anda harapkan dari sebuah diskusi yang isinya puluhan kepala? Pembahasan tata tertib selesai. Lanjut pada pembahasan LPJ Pengurus PPMI Nasional. Hal yang paling mengejutkan, forum berubah menjadi sesi penghakiman. Semua kesalahan-kesalahan kinerja di perdebatkan. Agak menjengkelkan, padahal yang seharusnya kita lakukan adalah belajar agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bukannya tiba-tiba menjadi hakim kehidupan.

Kegiatan selanjutnya masuk pada pembahasan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, karena melihat forum yang cukup alot dan waktu yang sempit. Aku berinisiatif, mengefisiensi waktu dengan menyarankan pembahasan AD dan ART Bab per bab. Setelah lobying dengan Mas Luki yang menginginkan pembahasan pasal per pasal bersama Mas Shelo sebagai Pimpinan sidang II, tidak ada jalan keluar. Kami pun melakukan voting, hasil voting membahas bab per bab.

Sehari semalam membahas AD dan ART, paginya kami lanjut membahas GBHO/GBHK sampai tuntas. Lanjut pada pemilihan Sekretaris Jendral PPMI Nasional, agak penuh drama. Para kandidat yang dicalonkan, menolak posisi tersebut dengan berbagai alasan. Setelah melalui kira-kira 3 kali pemilihan bakal calon Sekjend PPMI Nasional, yang berujung gagal. Forum di pending untuk waktu yang cukup lama.

Pada saat forum dipending, perwakilan setiap DK melakukan diskusi secara privat. Para peserta kongres yang lain sibuk dengan urusan masing-masing, karena merupakan malam terakhir kegiatan aku, Shelia dan Anri memutuskan untuk keluar mencari makan sebentar. Setelah kembali di Aula, secara tidak sengaja kami berpapasan dengan beberapa teman dari DK Madura dan DK Jember, kami sedikit bertukar cerita tentang budaya di kota masing-masing.

Sampai pada waktu tengah malam, forum di buka kembali. Karena frustasi, peraturan di dalam AD dan ART. Terkait syarat Sekjend Nasional dikesampingkan terlebih dahulu. Singkat cerita, Primo Rajendra perwakilan dari LPM Satu Kosong ITS, DK Surabaya. Memberanikan diri untuk mengambil alih jabatan Sekjend Nasional. Dengan beberapa pertimbangan, Primo disetujui. Setelah itu masuk pada bagian sidang Rekomendasi seperti rekomendasi BP Nasional dan kota yang akan menjadi tempat pelaksanaan Mukernas.

Saat itu teman-teman menyarankan tiga kota untuk menjadi tempat pelaksanaan Mukernas yakni Kota Kendari, Mataram dan Jogja. Melalui voting forum memutuskan pelaksanaan Mukernas dilaksanakan di Jogja.

Hari terakhir kegiatan, setelah bersih-bersih diri semua peserta berkumpul kembali di Aula untuk melakukan agenda penutupan kongres. Setelah menyetujui hasil diskusi di dalam kongres, dan ditutup.

Note: Arini Triana Suci Rahmadani adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah

Sepucuk Surat Untuk Sahabatku “Malam”

Malam….
Izinkan aku untuk merangkai
Kata didalam kesunyian karna ku tau
Engkau secerah cahaya dalam kegelapan

Malam….
Berilah aku kesempatan
Untuk melontarkan perkataan
Karna ada keresahan
Yang tidak bisa ditampung dalam fikiran
Meski engkau tak memberi jawaban
Setidaknya engkau sudah untuk mendengarkan

Karna aku tau pantang bagimu untuk
Memberi balasan kepada mahluk rendahan

“Hadirkan aku sebuah harapan agar aku tak merasa kehilangan jalan”
“Hadirkan aku sebuah candu agar diriku tak merasa bosan”
“Hadirkan aku sebuah sebuah kawan agar diriku tak merasa kesepian”
“Hadirkan aku sebuah keadaan tanpa keresahan agar diriku tak merasa sunyi dalam keramaian”

Salam dari mahluk yang merasa kesepian

Oleh : F.A

Diskriminasi Akal Oleh Sang Pencipta

Suasana hening
Untuk malam yang indah,
Lantunan suara angin
Yang seakan-akan
Saling membuat relasi,

Oh… sang kalimat
Yang dibentuk oleh kata,
Hal unik apa yang kalian miliki
Sehingga akal ini sulit
Untuk melahirkan ide
Dalam menggagas mu,

Keterbatasan apakah
Yang dimiliki akalku?
Apakah perlu ku khayalkan
Dirimu sebagai sang penguasa
Agar engkau selalu menuntun akal ku untuk bisa memahami mu…

Oleh: F.A

Rasanya Aku Ingin Berdoa Bersamamu Lagi

Hai..

Apakah kau akan membaca tulisan ini dengan baik? atau kau hanya akan melewatkannya seperti yang biasa kau lakukan setelah kita menjadi ‘dua orang asing’? Terserah itu hakmu. Sejak awal, aku tak pernah ingin mengarahkanmu atau memaksamu melakukan sesuatu yang tidak kau mau.

Kau begitu pandai bergaul dan mandiri, itu adalah kemewahan yang harus kau jaga.

Dimanapun kau berada, kau harus tahu, lagi-lagi aku kehilangan diriku dan harus menulis semua ini untuk memadamkan sebagian tubuhku yang terbakar, juga menguatkan sisi lain hatiku yang melemah.

Kau tentu tahu, aku benci hidup dalam pengulangan. Namun, segala masalah yang terjadi di duniaku tak pernah benar-benar selesai. Selalu terulang, terulang dan terulang.

Dari tujuh miliar manusia yang hidup di bumi, kau adalahl satu-satunya orang yang paling mengerti tentang masalah ini, kau membuat masalahku terdengar tidak remeh dan begitu hidup dan kau menguatkanku dengan caramu dan menuntunku berdoa, itu adalah satu momen terbaik dalam pertumbuhan hatiku.

Hari ini, masalah itu mengambil pikiranku sekali lagi, masalah itu tak pernah selesai. Ia terus tumbuh dan menjadi lebih besar dari sejak terakhir kau menemaniku menghadapinya.

Sekarang, katakan, bagaimana aku bisa terus bertahan dan melawan semua ini?

Jika kau membaca ini, aku ingin berterimakasih. Aku baru menyadari betapa hebatnya kau menguatkanku (dulu) dan betapa baiknya kau mau menyempatkan waktu untuk mendengar, membaca dan menenangkan badai duniaku.

Saat ini, aku benar-benar lelah, aku lupa bagaimana cara bersikap dan bagaimana cara terbaik untuk menghadapi masalah yang tak pernah selesai ini.

Aku hanya berpikir untuk mematikan ponselku dan mulai berjalan ke sisi dunia yang dingin, menjatuhkan diriku ke dalam segala sesuatu yang begitu abu-abu.

Rasanya Aku Ingin Berdoa Bersamamu Lagi.

Oleh : VVIP

Sendu Rembulan Dibahuku

Karya : Amirullah 

Saat senja iringan musik indah bersahutan nyanyian merdu
Angin sepoi – sepoi meniup pohon bambu nan rimbun
Aku meringkuk di istana sunyi dibalut selimut
Memandangi langit biru dihiasi matahari yang mulai turun
Terdengar isak yang mengganggu suara musik dan nyanyian indahku
Bergumang dadaku, rembulanku menagis di bahuku
Namun senyum dilimpahkan di hadapanku, menutup resah di dadaku
Bulanku nan kokoh terang meredup tertutup kabut
Aku lumpuh oleh gumang dada yang tak menentu
Ujung jariku menggapai bahu yang terus saja tersedu
Tak henti – henti bibirnya berceloteh keluh kesah yang menggunung Ia dihantam gelombang yang tak kunjung surut “tuturnya”
Terangnya seringkali disia-siakan tak tahu terimakasih akan hadirnya
Cobalah menuntunku menikmati terang “Katanya”

Menggetarkan dadaku menjelang lelap di malam itu
Akupun menggugat atas angkuhku dan menghabiskan rintik isak itu disisiku