Dua Sisi

Objektif.id – Dua sisi di sini adalah sebuah kondisi, latar belakang, dan perasaan dari seseorang yang tersembunyi atau dapat dikatakan hanya tuhan dan ia seorang saja yang tahu.

Kisah ini bercerita tentang dua kehidupan yang berbeda, dimana terdapat dua anak manusia yang berusaha bertahan dari jerat derita yang mereka alami.

Kisah pertama, seorang pria bernama Aldan merupakan remaja 18 tahun yang berasal dari keluarga terpandang. Orang-orang jika melihat statusnya pasti berpikiran bahwa kehidupannya bahagia dan tercukupi. Namun, yang tidak semua orang tahu adalah kehidupannya jauh dari kata bahagia.

Semuanya bermula pada kejadian dua tahun lalu. Aldan saat itu tengah mengendarai mobilnya selepas dari sekolah. Saat di persimpangan jalan rem mobilnya tiba-tiba blong, ia mencoba mengendalikan mobilnya namun naasnya takdir berkata lain, mobil tersebut oleng kemudian menabrak dan menewaskan sebuah pengendara motor yang di kendarai oleh seorang ibu yang sedang membonceng anaknya.

Kejadian tersebut berlalu begitu cepat. Persidangan pun di mulai yang tentunya dimenangkan oleh pengaruh privilege keluarga Aldan. Namun, sayangnya akibat dari peristiwa itu hanya menyisakan perasan trauma yang mendalam hingga percobaan mengakhiri hidup tak luput ia lakukan. Jika saja ia tidak meminum pil penenang mungkin ia tak akan bertahan hingga detik ini. Ibaratnya, jasadnya utuh, tetapi jiwanya mati.

Kisah kedua, bercerita tentang seorang perempuan bernama Ana berusia 14 tahun dan berasal dari keluarga menengah tidak kaya dan tidak miskin juga. Ia merupakan seorang gadis yang ceria, mudah bergaul, dan tentunya senang menolong orang yang kesusahan.

Dibalik sifatnya yang ceria ada tertanam sebuah rahasia yang bahkan keluarganya sendiri pun tidak mengetahuinya. Yah, ia terjangkit penyakit leukimia akut yang kapan saja dapat merenggut jiwa-raganya. Penyakit ini diketahuinya dua tahun lalu, saat setiap kali kepalanya sering sakit dan juga kadangkala mimisan.

Bukannya tidak ingin memberitahukan hal tersebut kepada keluarganya hanya saja, ia tidak sanggup melihat kesedihan yang terpancar dari raut wajah keluarganya. Mengingat kedua orang tuanya juga harus bekerja keras untuk membiayai sekolah adik dan kakaknya.

Ana di usianya yang masih terbilang di bawah umur harus dipaksa dewasa oleh keadaan. Kehidupannya sekarang, selalu tergantung pada obat-obatan hingga tiba saatnya obat tersebut tak mampu lagi menunjang kehidupannya. Sedang, untuk menjaga kewarasannya tetap stabil yang dapat dia lakukan hanyalah terus berdoa kepada Tuhan.

TAMAT

Penulis: Tesa Ayu Sri Natari
Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Untukmu yang Abadi

“Jika kamu membuat seorang seniman jatuh hati, maka saat itu juga kamu dinyatakan abadi dalam karyanya”…

Objektif.id – “Krieeettt”, Suara pintu terbuka.

Aroma lilin terapi dipadu dengan semerbak bau cat dan kanvas di sebuah ruangan yang dibuka oleh seorang wanita. ia pun mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan yang dipenuhi lukisan wajah seorang wanita dengan berbagai macam ekspresi. Satu yang menarik perhatian wanita itu adalah dimana di tengah ruangan bertengger kursi dan kanvas di depannya yang tertutup oleh kain merah.

Si wanita pun berjalan menuju ke arah kursi itu berada. Setelahnya, ia melihat sebuah buku tergeletak begitu saja di kursi itu yang dililit dengan benang merah. Ia pun kemudian duduk sambil membuka lilitan di buku itu dan mulai membuka lembaran pertama…

3 Januari 1998
Seperti biasa aku menjajakan lukisanku kepada orang-orang di pinggir kota. Saat itu juga aku melihatmu. Senyuman yang selalu kamu berikan kepada para pelanggan tak henti-hentinya selalu membuatku tersihir. Hingga saat aku sedang melukis, tanpa kusadari aku malah melukis wajahmu. Rasanya sangat malu sekaligus lucu. Mungkin ini yang dinamakan orang-orang cinta. Aku harus akui itu bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu.

3 Februari 1998
Setiap kali aku melihatmu bahagia jantung ini selalu berdebar tak karuan. Suatu hari aku mendapatkanmu tiba-tiba menangis dan murung hatiku ikut sakit melihatnya. Aku sangat ingin menghampiri dan bertanya apa yang telah membuatmu bersedih sedemikian rupa, sekaligus menghapus butiran air mata yang mengalir di pipimu. Namun, aku terlalu takut dan pengecut yang dapat kulakukan hanyalah memandangmu dari kejauhan.

5 Februari 1998
Hari ini aku terbangun dengan badan yang lemas dan kepala yang pusing. Aku pun memeriksakan diri ke dokter. Namun, bukannya mendapatkan solusi atas sakit yang kuderita yang ada malah hanyalah sebuah kabar buruk yang membuat kepalaku bertambah sakit saat mendengarnya. Dimana, ternyata aku mengidap kanker darah stadium akhir. Ya sebuah penyakit yang bisa kapan saja merenggut nyawaku. Tuhan apakah harus secepat ini? Apakah aku tidak akan diberi kesempatan lagi untuk merasakan setitik kebahagian?.

6 Februari 1998
Kejadian kemarin bagaikan mimpi buruk bagiku. Setiap kali mengingat dirimu, bayang-bayang akan penyakit itu juga ikut melintas dalam pikiranku. Tuhan, ku mohon cukup sebentar saja biarkan aku setidaknya dapat bersamanya. Setelah itu terserah padamu Tuhan aku pasrahkan diri ini.

8 Februari 1998
Hari ini, tidak ada angin atau hujan kamu tiba-tiba saja datang menghampiriku dan mengajakku berbincang sambil memakan roti di trotoar tempat biasa aku menjajakan lukisanku. Tentunya aku senang sekali, karena semalam doaku seakan di ijabah oleh Tuhan. Terima kasih Tuhan, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kudapat ini.

3 Oktober 1998
Semenjak peristiwa makan roti bersama hari itu, kami jadi lebih sering berbincang tentang kehidupan kita masing-masing. dan pada malam ini kami akan pergi dinner serta aku akan mengutarakan isi hatiku untuk melamarnya. Aku tak henti-hentinya berdoa semoga Tuhan memperlancarkan niatku ini.

10 Oktober 1998
Hari ini adalah hari pernikahanku. Semuanya bagaikan mimpi bagiku yang dimana semula aku hanya dapat memandangmu dari jauh, sekarang aku dapat melihatmu sedekat ini berdiri tepat di sampingku. Di tengah menyalami para tamu undangan kepalaku tiba-tiba terasa sangat sakit dan semuanya gelap. Saat aku terbangun, aku sudah berada di rumah sakit kemudian aku melihatmu dengan masih balutan gaun pengantin tertidur di kursi samping brankar rumah sakit. Hatiku serasa teriris belati yang tajam saat melihat bagaimana aku melihatmu dengan keadaan seperti ini. Maafkan diriku yang tidak berdaya ini. Karena, keinginanku untuk merasakan kebahagiaan sebelum malaikat menjemputku aku harus bersikap egois dan pengecut hanya untuk bersamamu.

30 Desember 1998
Sudah seminggu, sejak kita bertengkar. Dikarenakan aku tidak ikut pergi menghabiskan malam tahun baru bersama, dan berakhir kamu pergi meninggalkanku sendiri di rumah ini. Kurasa sudah seharusnya seperti itu. Karena, jika kamu tetap di rumah ini hingga pergantian tahun nanti maka itu artinya kamu harus melihatku untuk pergi selama-lamanya. Sungguh aku tidak sanggup jika harus melihatmu bersedih…
Untukmu, saat kamu menemukan buku ini mungkin aku sudah tiada. Sebagai permintaan maafku karena telah menutupi penyakit yang kuderita darimu, aku hanya dapat memberikan sebuah lukisan ini kepadamu Semoga kamu suka ya. Satu lagi entahlah ini sekedar firasat atau bukan tapi aku yakin bahwa anak kita nantinya akan terlahir kembar, berikanlah mereka nama Amaranggana yang artinya bidadari dan Narendra yang berarti raja. Maaf ya, aku tidak bisa menemanimu melewati masa-masa kehamilan hingga melahirkan. Namun, percayalah bahwa aku akan tetap mengawasimu dari atas nanti. Berbahagialah, selamat tinggal, Ti Amo.

Kembali ke masa sekarang…

Setelah menutup lembaran terakhir, sambil menangis tersedu-sedu Si wanita bangkit dari kursi yang didudukinya dan mulai melangkah secara perlahan-lahan ke depan mendekati sebuah kanvas yang tertutupi kain merah. Ia pun membuka kain itu, dan alangkah terkejutnya dia melihat sebuah lukisan yang menggambarkan seorang wanita diapit oleh dua orang anak kecil. ia semakin menangis lirih. Dadanya kian sesak disertakan berbagai kalimat penyesalan yang tak luput terucap dari mulutnya karena ketidakpekaan-nyalah suaminya harus menanggung semuanya sendirian.

TAMAT

Penulis: Tesa ASN
Reporter: Melvi Widya

Saatnya Introspeksi

Begini ya dek, susah dan senang itu akan selalu berdampingan jadi apapun yang kamu kerjakan jalani dengan ikhlas. Syukuri apa yang ada di hidupmu, sembari perbaiki yang masih kurang. Semua itu akan terasa ringan jika kita bersyukur, insya Allah dengan sendirinya Konsisten itu akan muncul.

 

Selalu saja terulang hal yang sama saat ingin produktif. Namun, sayang seribu sayang nyatanya hanya menjadi wacana. Ketika melihat jam dinding dipagi hari ternyata sudah pukul 07.20 menit dan itu menandakan kuliah sisa 10 menit lagi dimulai. Seketika aku langsung beranjak dari atas kasur sekret yang penuh dengan air liur senior -senior, kemudian aku bersiap-siap untuk mandi dan tanpa sarapan berangkat ke kampus. Saat tiba di kampus aku langsung bergegas menuju kelas dan seperti biasa, terlambat lagi.

“Permisi Pak boleh masuk?” ucapku kepada dosen.

“Silahkan masuk, tapi kamu sudah dinyatakan alpa pada mata kuliah bapak pagi ini.” Jawab dosen dengan raut wajah kusut seperti tisu bekas menyeka ingus.

Mendengar jawaban seperti itu aku hanya bisa terdiam dengan wajah muram. Bahkan sepanjang kelas berlangsung hingga berakhir aku hanya merenung menyesali perbuatan yang selalu saja buang waktu dan tidak konsisten terhadap apa yang sedang dijalani.

Selesai mata kuliah aku kemudian menuju ruang tunggu fakultas merenung sampai tersadar bahwa salah satu faktor kebiasaan buruk itu terjadi ialah selama ini lingkungan pergaulanku dikelilingi dengan orang-orang yang tidak menghargai waktu sehingga hal tersebut membawa aku terjerumus kedalam ruang inkonsisten.

“Aaa,,,,kenapa sih hidup tuh bisa secape ini,”
Teriakku penuh kesal.

Mendengar teriakanku seketika seorang senior yang hendak masuk ruang kelas menghampiriku lalu bertanya, “Kamu kenapa apakah ada masalah?” ucapnya dengan penuh keheranan.

“Ngga papa kak, saya hanya bersedih.” Kataku dengan wajah lesu.

Masih penasaran dengan jawaban yang diberikan, ia terus memaksa agar aku menceritakan apa yang sedang terjadi pada diriku.

“Ayo dek cerita saja sama kakak masalah apa yang kamu alami.”

Dengan nada yang menekan dan penuh paksaan, akhirnya aku menceritakan kepadanya tentang masalah yang menimpaku. Setelah menyimak detail yang kujelaskan ia kemudian menyemangati sekaligus memberikan motivasi kepadaku.

“Begini ya dek, susah dan senang itu akan selalu berdampingan jadi apapun yang kamu kerjakan jalani dengan ikhlas. Syukuri apa yang ada di hidupmu, sembari perbaiki yang masih kurang. Semua itu akan terasa ringan jika kita bersyukur, insya Allah dengan sendirinya Konsisten itu akan muncul.”

Setelah dialog singkat tersebut aku meniatkan dalam hati dan akan serius belajar disiplin menata waktu dengan baik agar bisa konsisten disetiap hari dan selamanya. Sebab selain kata senior tadi John C.Maxwell juga mengatakan, disiplin kecil yang di ulang dengan konsisten setiap hari mengarah pada pencapaian besar yang diperoleh secara perlahan seiring berjalannya waktu.

Dengan demikian, poinnya adalah jadikan semua kesalahan sebagai pembelajaran untuk kedepannya agar supaya tidak ada lagi kesalahan yang sama terjadi secara berulang-ulang.

Sekian dari penulis, semoga ada hikmah yang bisa dipetik oleh para pembaca melalui kesederhanaan cerpen ini.

Penulis : Novasari
Editor : Hajar

Katamu, Kita Abadi

Ingin kudedah aksara dalam puisimu itu, agar aku tahu adakah diksi nirmala yang lainnya.

“Katamu, Kita Abadi”

Ingin kusudahi puisi cinta darimu, ingin sekali rasanya…

Ingin kuhentikan pikiranku tentang dirimu, tentang isi di kepalaku yang terus-menerus menghantuiku

Ingin kumelupa, sampai aku tak tahu apa arti puisi cinta darimu itu

Lalu aku pun lupa bahwa ada diksi nirmala itu untukku

Katamu, kita abadi, tak lekang oleh waktu seperti penyair-penyair puisi lainnya juga seperti puisi Eyang Sapardi yang katanya, kita abadi

Namun, kenyataannya kita hanyalah temu yang bersemu dalam peluh

Yang kenyataannya, kita hanyalah sepasang jiwa yang rengkuh dalam dekap yang memburu namun, saling acuh

Kenyataan ini begitu angkara

Tapi, bukankah itu lebih baik?

Ingin kudedah aksara dalam puisimu itu, agar aku tahu adakah diksi nirmala yang lainnya

Atau adakah yang lebih dari puisi eyang Sapardi yang katanya kita abadi?

Adakah yang lebih dari itu?

Agar aku menitik di tiap bait puisi cinta darimu

Agar kuhentikan duka nestapa ini di destinasi adiwarna berbau angkara

Lalu menepi, menghilang tanpa jejak dan kebebasanku atas bayang-bayang dirimu tak sekadar sebuah diksi.

Penulis: Elf
Editor: Redaksi

Ingin Pulang

“Ingin Pulang”

Perih rasa menaruh di dalam kalbu ketika terdengar kata “pulang”

Tangis rasa tak terbendung di dalam hati
ketika terkenang memori masa itu,
Masa di mana aku masih berkisah
bersama orang-orang yang tak asing bagiku

Pupus harapan ketika tak jadi pulang
Bagaikan taru yang patah karna pawana menyapu
Jatuh seketika ke tanah tampa ada sedikit
harapan untuk berdiri kembali

Andai aku masih di sana takan ku
biarkan waktu berlalu begitu saja tanpa
ada kenangan yang ku ambil.
rindu dan rasa ingin pulang lebih besar
dari pada rasa tinggal yang tak nyaman
secercah harapan ku pintakan
“Aku ingin pulang”.

Penulis: Ferdiani
Editor: Ai

Keindahan Pantai Surga

Suara ombak yang menghantam karang membuat suasana pantai semakin hidup. Matahari pagi yang terbit bersamaan dengan kedatangan kami di Pantai Surga memberikan kehangatan yang menyenangkan. Pepohonan rindang di sekitar pantai memberi keteduhan dari teriknya sinar matahari.

Kami, keluarga besar, sudah lama memendam rasa penasaran untuk mengunjungi keindahan pantai ini. Kabar tentang keindahan alam yang luar biasa dan pemandangan yang menakjubkan sudah menarik perhatian kami sejak lama.

Setibanya kami di pantai, kami langsung terpesona dengan keindahannya. Pasir putih yang lembut, air laut yang bening, serta latar belakang perbukitan hijau yang memukau menjadi pemandangan yang mempesona. Tak berapa jauh dari tepi pantai, alam yang menarik perhatian kami adalah karang-karang indah yang tersebar di sekitar pantai. Karang-karang tersebut terlihat indah sekali dengan warna-warna cerahnya dan dipercantik dengan berbagai ikan yang berenang di sekitarnya.

Kami melihat banyak wisatawan yang sibuk beraktivitas di pantai. Beberapa di antaranya bermain bola di atas pasir, sementara yang lain asyik berjemur di bawah sinar matahari. Anak-anak berlarian sambil mencari kerang-kerang cantik yang tersembunyi di dalam pasir.

Dalam perjalanan kami menuju pantai, mata kami dihiasi dengan warna-warni layang-layang yang berterbangan di langit biru. Selain itu, kami juga melihat orang-orang yang naik selancar di atas ombak yang tinggi. Rasanya ingin ikut bermain di pantai ini.

Kami pun segera menyusuri pantai dan menikmati berbagai wahana yang ada. Rasanya sangat menyenangkan saat ombak menerjang. Sensasi adrenalin yang kami dapatkan saat berselancar menerobos ombak membawa kami semakin dekat ke tengah laut.

Makan siang kami habiskan di sebuah warung makan yang terletak di tepi pantai. Sambil menikmati hidangan laut segar, kami juga menikmati suara ombak yang semakin lama semakin keras. Suasana yang tenang dan damai membuat makan siang kami semakin nikmat.

Pada sore hari, kami memutuskan untuk menaiki kapal tradisional untuk menikmati keindahan pantai dari sudut yang berbeda. Sensasi menyusuri pantai sambil menikmati hembusan angin sore membuat kami semakin jatuh cinta dengan Pantai Surga ini. Sambil berlayar, kami juga melihat indahnya sunset yang terlihat semakin merah dan semakin memantulkan warna indah di langit.

Setelah satu hari penuh berpetualangan dan melihat keindahan pantai, kami pulang dengan hati yang riang dan pikiran yang penuh dengan kenangan indah tentang keindahan Pantai Surga ini. Keindahan alamnya masih menghiasi mimpi kami dan membuat kami ingin kembali ke pantai ini. Kami menyadari bahwa alam ini harus dijaga agar generasi mendatang masih bisa menikmati keindahan alam ini.

Dalam perjalanan pulang, kami berjanji untuk kembali lagi suatu hari nanti. Keindahan Pantai Surga ini sungguh tak terlupakan dan tetap membekas di hati kami.

Penulis: Muh. Aidul Saputra
Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Puisi: Tentang Rumah Itu

“Tentang Rumah Itu”

Rumah itu
Masih berdiri kokoh dan
Masih berpenghuni

Rumah itu
Tempat menampung dan mendidik,
Tempat bertemu untuk saling berbagi,
Tempat memberikan kenyamanan serta keamanan melakukan segala sesuatu

Tetapi,
Kini rumah itu berubah
Menjadi pencetak penguasa,
Menjadi tempat kepentingan politik

Masih pantaskah ini disebut rumah???

Sebab
Hanya mendengar kegaduhan dan,
Berisiknya suara yang berseteru demi kepentingan.

Juni, 2023

Penulis: Muh. Aksan

Kepada Mama

“Kepada Mama”

Ma, jiwaku rengkuh
Akalku sirna
Otakku bukan lagi pada tempat semestinya
Sebab, mereka mulai menghantui aku lagi
Mereka ramai di sana, Ma
Mereka abadi di kepala
Bising di telinga
Dan aku sakit

Ragaku asyik tersenyum
Sibuk memilih topeng
Topeng pertama, senyuman
Topeng kedua, tawa
Topeng ketiga, canda
Lalu orang-orang akan mengutuk ragaku yang ceria
Sementara, aku mengutuk jiwaku yang perlahan terkikis
Oleh setan-setan
Yang mengajakku pergi
Dari semesta yang tak pernah ingin ku sebut diriku manusia

Mereka menyebutku manusia paling ceria dengan senyuman candu paling mujur
Padahal jiwaku habis digerogoti oleh ekspetasi-ekspetasi;
Tentang menjadi anak yang berbakti
Menjadi manusia yang berguna
Menjadi orang dengan memiliki sebuah gelar
Menjadi manusia yang sempurna

Padahal aku hanya ingin menjadi manusia sewajarnya. Dengan mengenakan topeng;
Lapis pertama, marah
Lapis kedua, bersedih
Lapis ketiga, terluka
Dan aku akan binasa
Perlahan menjadi manusia sewajarnya
Dan aku tidak akan sibuk mempertanyakan eksistensiku sebagai ciptaan Tuhan yang disebut manusia.

“Ditulis 28 April 2023 pukul 11.15”

Penulis: Elfirawati 

Bulan Dilautan Malam

“Bulan Dilautan Malam”

Bulan…

Dikala malam itu,aku terduduk dan terdiam
Lalu menatap pada sang langit
Sambil berkata

Ohh bulan…
(Cahaya mu) Engkau begitu terang menyinari dunia ini
Bulan…
Karena (Sinar) mu dapat memunculkan perasaan, dan pikiran yang tenang
Bulan…
Karena mu membuat ku merasa terjaga, aman tanpa ada sosok yang mengganggu

Bulan oh bulan…
Ku ucapkan terima kasih,atas sinar dan cahayamu, dunia ini lebih bermakna

Penulis: Melvi Widya

Yang Tak Terlihat 

Namaku Tiara Anastasya. Ibuku telah lama meninggal saat melahirkanku, dan karena depresi ayahku pun menyusul ibu. Aku tinggal bersama nenek, namun seminggu yang lalu ia berpulang menyisakan diriku seorang.

Saat ini aku telah sampai di sekolah, tapi ada yang berbeda hari ini suasananya sangat ramai dimana para senior sedang membagi-bagikan brosur. Langsung saja aku mengunjungi salah satu senior disana lalu kemudian mengambil brosurnya yang bertuliskan “Pendaftaran Terbuka Ekskul Musik”.

Sekilas tentang Ekskul Musik. Ekskul ini merupakan salah satu ekskul yang banyak diminati karena, ekskul ini telah banyak melahirkan generasi yang berbakat dan selalu menjadi pemenang di setiap kompetisi musik yang ada hingga ke ajang internasional.

Singkat cerita, aku pun mendaftar. Setelah itu, kami digiring untuk uji keterampilan bermain musik. Kebetulan aku cukup lihai bermain gitar jadi tentunya aku lolos uji seleksi ini. Rasanya sangat senang sekali apalagi aku dapat berkenalan dengan banyak teman-teman baru yang sama-sama menyukai musik sepertiku.

Pada suatu hari, sepulang sekolah aku berniat untuk mengasah kemampuan gitarku menjadi lebih baik. Jadi, aku memutuskan ke ruang musik sebentar. Saat membuka pintu ruangan alangkah terkejutnya diriku menemukan banyaknya puntung rokok serta botol minuman yang bertebaran, ditambah salah satu seniorku yang bernama kak Aldi yang hanya selonjoran kaki di sofa yang ada di ruang musik tersebut.

“ Bersihkan, saat aku bangun aku tidak ingin melihat satupun kotoran atau tau sendiri akibatnya ”, Kata kak Aldi. Kemudian ia lanjut tidur.

Karena aku menghormatinya sebagai seniorku jadi, aku membersihkan sampah-sampah yang ada di ruangan ini. Dan setelah bersih, aku pun melanjutkan niatku datang ke tempat ini. Saking fokusnya aku tidak sadar bahwa sudah ada sepasang kaki menjulang. Dan saat aku menengok ke atas, ternyata itu adalah kak Aldi.

“ Kenapa ya kak? ”, Tanyaku heran.

“ Ritme dan tempo untuk lagu yang kau mainkan salah ”, Tegur Kak Aldi.

“ Sini aku ajarkan cara yang tepat itu gini ”, Lanjutnya. Mengambil gitar itu kemudian duduk di sampingku dan mempraktekkannya.

Di dalam kamar, saat mengerjakan tugas sekolah terlintas di pikiranku tentang kejadian tadi. Dan tiba-tiba aku teringat salah satu aturan tata-tertib yang mengatakan siswa dilarang membawa atau mengonsumsi rokok apalagi minuman keras bahkan aturan itu dibacakan dengan lantang setiap upacara bendera.

“Apa sebaiknya ku laporkan saja yang kulihat tadi? tapi aduh…aku tidak punya sesuatu untuk dijadikan barang bukti dan pasti puntung rokok dan botol minuman itu sudah diangkut oleh tukang bersih-bersih sekolah”, Ucapku bermonolog.

Di suatu hari saat berniat pulang sekolah, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Jadi, sambil menunggu hujan reda aku pun mampir ke ruang musik. Saat baru saja ingin membuka pintu aku mendengar suara-suara aneh di dalam. Karena penasaran, aku kemudian mengintip di sela-sela pintu dan apa yang kutemukan adalah sebuah pemandangan menjijikan seniorku Kak Rian dan Kak Rani. Tanpa babibu aku langsung beranjak dari tempat yang sudah ternodai itu.

Sudah berulang kali aku dapatkan kejadian seperti itu selama 3 bulan sejak aku masuk dalam Ekskul Musik ini, entah antar sesama senior maupun antar senior dan junior. Karena sudah muak, aku pun diam-diam memotret kelakuan mereka dan melaporkannya kepada pihak sekolah. Namun, yang kudapatkan sebaliknya adalah teguran bahkan mereka tidak segan-segan mengancamku jika aku melaporkan hal ini kepada pihak berwajib.

Sebenarnya ada apa dengan orang-orang di sekolah ini? mereka seakan-akan menutup-nutupi. Setelah kutelusuri alasan pihak sekolah berbuat demikian, ternyata tak bukan karena orang tua para senior Ekskul Musik ini adalah orang penting dalam pemerintahan. Semuanya menjadi masuk akal sekarang yaitu karena uang dan kekuasaan.

Semenjak kejadian itu, sudah terhitung sebulan aku tak pernah datang lagi ke ruang musik. Hari ini, aku sedang bersantai di halaman rumah sambil menikmati cemilan dan minuman dingin yang telah aku buat.

“ kriiing ”, sebuah notifikasi muncul. Tak ayal bunyinya mengejutkanku.

Aku pun meraih ponselku, dan membukanya ternyata pesan dari grup ekskul yang mengatakan untuk datang rapat persiapan tampil di pentas seni. Tapi, yang membuatku heran disini adalah kenapa tempat rapatnya di tempat karaoke, kan sungguh tidak masuk akal. Namun, karena aku berniat mengundurkan diri secara terbuka, jadi, aku pun memutuskan untuk datang ke tempat tersebut.

Saat sampai ke tempat tujuan aku langsung masuk di salah satu ruangan seperti yang tertera dalam grup sebelumnya. Di dalam ruangan tersebut yang kudapatkan hanyalah para senior laki-laki. Melihat hal itu aku memutuskan menunggu yang lain di luar ruangan saja. Saat hendak berbalik tiba-tiba aku ditarik dan kedua tanganku ditahan. Aku panik, mereka mau apakan diriku? apalagi dihadapanku sudah berdiri kak Aldi yang menatapku tajam.

“ Kak apa-apaan ini? ”, Tanyaku. Sambil berusaha melepaskan diri.

“ Pakai bertanya lagi, guys sikat dia ”, Ujar kak Aldi. Tanpa menghiraukan pertanyaanku.

Hari itu sungguh kejadian mengerikan sekaligus menjijikan yang aku alami dalam hidup ini. Kejadian dimana, harga diriku dan tubuhku rusak serta hancur berkeping-keping.

“Inilah akibatnya jika coba melawan kami”, Ujar kak Aldi. Sambil menamparku 3 kali. Lalu pergi begitu saja meninggalkanku.

Beberapa saat kemudian, dengan langkah tertatih menahan perih dan sakit akupun mulai berjalan keluar. Orang-orang sekitar hanya memandangku bahkan terkesan mengabaikan.

“Ibu, aku sudah tak sanggup lagi mereka jahat bu, mereka semua gila, bawa aku pergi dari sini bu”, Ucapku. Sambil terisak.

Saat melihat truk dari kejauhan, tanpa pikir panjang langsung saja kutabrakkan diri ini pada truk yang sedang melaju itu, dan Sebelum benar-benar menutup mata, akhirnya setelah selama 16 tahun hidup aku dapat melihat ibuku sedang tersenyum kepadaku.

“Ibu, aku datang…”, Ucapku. Sambil membalas senyumannya.

TAMAT

Penulis : Rose Nere
Editor: Redaksi

Arti Keluarga

Objektif.id – Semilir angin, kicauan burung serta cahaya senja bersinar menerpa wajah sesosok gadis yang berada dalam sebuah rumah pohon sambil tersenyum dengan sorot mata teduhnya.

Tiba-tiba terdengar seruan pemuda dari bawah pohon meneriakkan nama gadis itu.

“Ayana, Ayana, Ayanaa!”, Teriak pemuda itu.
“iyaa!, Naiklah kak Al”, Jawab Ayana.

si pemuda tadi atau biasa dipanggil Al tersebut memutuskan untuk naik ke rumah pohon tempat Ayana menikmati sinaran senja.

Setelah Al naik ia pun duduk di samping Ayana. Tanpa banyak kata Ayana memberikan sebuah surat kepada Al. Meski agak ragu, Al akhirnya menerima dan membaca isi yang tertera dalam surat tersebut. Beragam macam ekspresi turut hadir di wajahnya.

“Apa ini Ayana, katakan padaku bahwa semua ini tidak betul… katakan!!!”, Seru Al mengguncang bahu Ayana.

“Kak Al sendiri telah melihatnya kan? apa perlu aku harus jelaskan lagi?” Tanya Ayana. Menatap langsung tepat di mata kakaknya.

Sambil menarik napas dalam-dalam Ayana menjelaskan maksud dari surat tersebut.

“Baiklah, seperti yang tertulis dalam surat bahwa aku sekarang divonis kanker otak dan sudah memasuki stadium akhir… Hahaha sungguh ironi bukan hidupku ini?” Jelasnya diselingi tawa. Yang jika didengar tawa tersebut penuh sarat akan ketidakberdayaan untuk hidup.

Al yang mendengar pengakuan langsung dari adiknya tanpa disadari wajah rupawan itu telah dibanjiri oleh air mata. Ia pun lantas menampar wajahnya sendiri berkali-kali dan mengucap berbagai kata penyesalan kepada adiknya.

Melihat respon yang ditunjukkan Al, sebaliknya Ayana semakin tertawa. Karena, ia tahu bahwa kakaknya ini adalah orang yang tidak pernah peduli sedikitpun kepadanya. Bahkan disaat kedua orangtua mereka memarahi dan memukulinya sekalipun dia hanya duduk bersantai di ruang keluarga sambil bermain dengan ponselnya.


Hujan yang mengguyur bumi secara terus-menerus kala itu tak membuat langkah kaki sesosok gadis berseragam SMA bernametagkan Ayana Putri untuk cepat sampai ke rumah kediamannya.

Tak lama kemudian, Ayana telah sampai ke rumahnya dengan pakaian yang basah kuyup di guyur hujan. Bukannya sambutan hangat yang diterima sebaliknya tamparan keras oleh Sang kepala keluarga mendarat mulus di wajah jelita Ayana hingga meninggalkan bekas.

“Kamu darimana saja Ha? mau jadi apa kamu diluaran sana Ha? jam segini baru pulang”, Teriaknya berapi-api tepat di depan wajah putrinya.

Baru saja Ayana akan menjelaskannya. Namun, ayahnya langsung mengangkat lima jarinya mengisyaratkan untuk diam. Setelah itu, ia pun berlalu pergi meninggalkan Ayana yang terduduk lemas di lantai yang dingin dengan wajah lebam kemerahan akibat tamparan yang bertubi-tubi ia terima.

Ayana melihat sekitar berharap ada yang membantunya. Namun, yang ia dapatkan sungguh membuat dadanya sesak tak tertahankan. Dimana, Sang kakak yang sebagai perisai pelindung malah asik tertawa dengan ponselnya, Sang ibu yang sejatinya adalah seseorang yang tidak pandang bulu dalam hal menyayangi anaknya malah sibuk membaca majalah. Di rumah ini ia tak ayalnya bagaikan setitik debu yang kehadirannya tidak diinginkan sama sekali.

Kejadian seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari Ayana dapatkan dari penghuni rumah tersebut. Bahkan tak jarang tindakan pengusiran Ayana dapatkan yang menyebabkan ia harus menahan lapar dan tidur didepan toko-toko yang telah tutup. Tiada seorangpun yang berniat mencari dirinya.

Berujung Ayana sendirilah berinisiatif pulang dan harus bersujud meminta maaf kepada ayahnya atas kesalahan yang bahkan ia sendiri tak tahu apa. Hal ini terjadi karena, ayahnya langsung pergi begitu saja setelah melampiaskan amarahnya.

Ayana kadang selalu berpikir dalam hati Mengapa orang-orang di rumah itu selalu menebarkan kebencian terhadap dirinya. Apa salah dirinya? hanya ada kata kenapa dan mengapa yang terus berkecamuk dalam benaknya.

Mengingat semua itu, Ayana semakin tertawa kencang. Al yang melihatnya merasa heran akan sikap adiknya. Bukannya merasa sedih mengidap penyakit yang mematikan malah menunjukan ekspresi seakan-akan bahagia akan hal itu.

“Ayana! Hey sadarlah, apa yang lucu dari semua ini kamu divonis penyakit yang mematikan apa kau menyadarinya itu, dan itu artinya hidupmu sudah tak lama lagi Ayana”, Ujar Al lirih.

“Hahaha, menurutku lucu saja melihat reaksi mu itu. Dan aku penasaran gimana reaksi orang tua kita, apakah reaksinya akan sama seperti mu? Aku tak sabar menantikannya”, Balas Ayana menyeringai sinis.

Ayana pun bangkit dari duduknya. Kemudian, berjalan menuju tasnya entah mengambil apa lalu berbalik lagi kepada Al.

“Sekarang, aku tanya mengapa kamu peduli? hm… bukannya kamu tak pernah peduli sedikit pun kepadaku ya, ohh apa perlu kuingatkan lagi segala perlakuanmu kepadaku dulu? dimana Al itu hanya melihat saja adiknya diperlakukan layaknya sampah oleh keluarganya sendiri, sosok Al itu dimana saat adiknya diusir malah memilih pergi bersenang-senang bersama teman-temannya… Sebenarnya apa sih arti diriku untuk kalian? kenapa kalian memperlakukan seperti itu? apakah jika aku mati akan membuat kalian puas? itukan yang sebenarnya kalian inginkan, maka baiklah aku akan mewujudkannya”, Tukasnya dingin.

Jika memang kematian adalah jalan memutus rantai derita ini maka Ayana akan dengan senang hati melakukannya. Ia pun memperlihatkan benda yang ia ambil dari dalam tasnya sebelumnya yang ternyata adalah pisau.

Tanpa babibu Ayana langsung menyayat lehernya sendiri dengan pisau itu. Sedang, Al yang melihatnya hanya bisa menatap kosong tubuh adiknya yang telah tergeletak di genangan darah yang dihasilkan oleh Sang adik. Kemudian, tak lama setelah itu, Al dengan rasa penyesalannya akhirnya memutuskan menjatuhkan dirinya dari pohon yang tingginya kurang lebih 20 meter. Menyusul Sang adik.

TAMAT

Penulis: Rose Nere
Editor: Redaksi

Ibuku Sang Malaikat

Penulis : Citra Wahid 

Ibu… Engkau malaikat tak bersayap
Yang Tuhan turunkan untukku
Doamu Mengiringi di setiap langkah kakiku
Dalam meniti ilmu dan pendidikanku.

Ibu… Engkau manusia paling tangguh Sedikitpun tak pernah mengeluh Dalam merawat dan membesarkanku.

Engkau menjadi ibu juga menjadi ayah demi aku
Dalam membesarkan dan mencari nafkah untukku
Dalam kesendirianmu membesarkanku
Tak pernah sedikitpun kedua telinga ini mendengar keluhanmu

Ibu… Engkau malaikat tak bersayap
yang dikirimkan Tuhan untukku.
Jasamu tak dapat kubayar
Meski aku menggendong dirimu dihadapan Ka’bah.

Ibu… Terima kasihku tak pernah cukup untuk menebus kebaikan, kasih sayang, dan ketulusanmu
Tak pernah bisa kubayar dan kugantikan dengan apapun.

Penulis adalah mahasiswa aktif Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari.

 

Lelahku Karena Lelapmu

Menabur canda dan tawa meskipun hariku resah gelisah, kau sungguh tak pernah tau arti ini semua, seakan perjalanan kisah semalam dalam kegelapan melahirkan kebencian untuk kita.

Aku tak bisa menjadi munafik di hadapmu sebab seuntai jiwa masih mereguk indah ikatan kasih sayang mu, mungkin bagimu tak berarti apa-apa, tapi bagiku semua telah terperangkap dalam atma. Tatkala suka duka memaksa ku kembali menuturkan air mata dalam kecewa.

Semestinya aku tak pernah menemui mu, sebab aku tak dapat menuai dekapanmu, tapi seakan semuanya telah nyata dalam hari-hari  redah ku, yang tadi merangkai nada-nada kehidupan bersama hal menyakitkan di perpisahan kita berdua. Sekarang hanya kisah cerita belaka yang tak dapat bermakna apa-apa.

Hai cantik, ku lahirkan satu kisah untuk mengenang peristiwa indah kita bersama, meski tak dapat ku ulang tapi setidaknya kau masih tersimpan rapi dalam memyemai hidup ku ini.

Lelap tidur mu membuat ku meneteskan air mata bahagia, sementara lelah ku untuk mu hanya demi kau yang selalu memberikan kehangatan dalam jiwa.

Ku harap kau dan aku akan terus menjadi kita untuk selamanya, tak peduli seberapa keras benturan ini, setidaknya aku masih melewati masa itu bersamamu. Sebab kaulah alasan ku memanjatkan doa, dan biarkan doa dan takdir itu yang akan terus bertengkar hebat di langit tak lain hanya untuk menyatukan kita  menjadi yang pertama dan terakhir kalinya.

Akan terus ada cerita pertemuan dan perpisahan, begitulah adanya namun aku tak risau dengan masalah itu sebab yang aku tau bersamamu hidup ku ini jauh lebih berarti.

Al Mudassir, Kendari 19 april 2022.

Mimpi yang Besar Bukan Tanpa Sebab

Meminjam kata dari pepata, Izinkan saya mendongeng biarkan teman-teman menghayal.

Teringat saat dimana kau mengenalkanku pada banyak hal, tentang bagaimana merangkai kata menjelma narasi,  tentang bagiamana membingkai kata hingga tak menyayat hati.

Tentang bagaimana mengambil kesempatan pada genggaman kesempitan, tentang bagaimana menyulam kecewa menjadi asik hingga tentang bagaimana negosiasi mencari sebungkus nasi.

Kini, Ia tak lagi muda, bahkan bukan gadis karena sudah memiliki suami dan empat orang anak.

Dahulu mereka mengajarkanku mengayung kaki, langkah demi langka hingga berlari.

Dahulu mereka yang pertama kali mengenalkan kata perkata hingga lancar mengucap kalimat.

Dahulu mereka yang mengajarkanku perjuangan hidup, dinamika hidup hingga paham arti kehidupan.

Berbekal pengalaman menempuh pendidikan di bangku pendidikan yang hanya sampai pada Sekolah Menengah Atas, yang punya niat besar ingin melanjutkan pendidikan di bangku kuliah namun terhalang karna keterbatasan ekonomi sehingga memutuskan mengurung niat.

Tidak mau hal serupa dirasakan sang anak, hingga memutuskan apapun peran akan ia jalani.

Dari dagang kue, jual sayur, buruh tani, sampai buru bangunan ia lalui, semua itu bukan tanpa sebab.

Mungkin misi suci yang sempat terhenti, mungkin derita hidup yang sudah dilalui tak mau dirasakan anak-anaknya ataukah ada misi lain, entahlah tapi yang pasti ia menginginkan yang terbaik.

Tangan yang kasar, kulit kaki yang tebal, pinggang yang sering sakit, raut wajah yang keriput,  keringat yang melekat pada pakayannya adalah bukti perjuangan mereka.

Sebagai anak, aku harus memikirkan nasib keluarga kami, berpikir keras bagaimana cara mendapatkan uang, sedangkan sekolahku saja belum selesai.

Didalam kebingungan yang terus menghantuiku, seorang teman mengajakku untuk bergabung dengannya di satu perusahaan media.

Walaupun belum bisa mengirimkan uang untuk mereka, tapi dengan menggeluti profesi ini aku bisa meringankan beban ayah dan ibu sebagai tulang punggung keluarga.

Diruang bersegi empat berukuran dua kali tiga, beralaskan tikar di bawa sinar lampu, hanya bisa menahan tangis melihat perjuangannya.

Tetesan air mata para penyapa menaru harapan disetiap sapaan, tangan-tangan suci titipan tuhan selalu mengawal menaru harapan. Oh tuhan lindungi mereka.

Entahlah untuk saat ini hanya bisa menahan rindu, hanha bisa mengirim mantra-mantra suci disela-selah keheningan mengharapkan sapaan sang ILAHI.

Rizal Saputra, Kendari 21 April 2022.

Goresan Aksaraku

Penulis: Elsa Alfionita

Aku teringat saat-saat dimana kau megingatkanku pada banyak hal. Tentang perjuangan, tentang kebersamaan, tentang menahan amarah bahkan tentang asmara. Namun semua itu tinggallah kenangan.

Jika bisa! aku ingin memohon pada pemilik waktu agar memperpanjang waktu kebersamaan kita.

Tapi itu tidak mungkin, hal itu hanya sekedar khayalan bodohku yang takkan pernah terwujudkan.

Karna nyatanya waktu itu akan segera tiba, masa kita akan segera mengambil jalan kehidupan masing-masing.

Namanya Prisil, dia adalah sahabat bahkan sudah ku anggap sebagai keluarga dekat sewaktu merantau ilmu di Kota orang.

Kami sama-sama tinggal di satu kontrakan namun berbeda kamar. kurun waktu kurang lebih 2 tahun.

Hidup sebagai perantau bukanlah hal yang mudah apa lagi status kami sebagai mahasiswi.

Prisil yang kukenal bukanlah sosok yang lemah. Disela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa kadang-kadang meluangkan waktunya menyamar jadi babu saat jam kuliah usai disalah satu rumah makan yang tidak jauh dari kampus. Dan saya sendiri menyibukakan diri dengan pencetakan gelas mugg.

Perjuangannya selama diperantauan cukup panjang, hingga Tuhan mempertemukannya dengan sosok laki-laki yang saat ini menjadi pendamping hidupnya.

Ia diberikan kesempatan untuk lebih dulu dari saya menjadi ratu sehari dipanggung pelaminan.

Tapi tak apalah kata orang Jodoh itu bukan perkara cepat atau lambat, tapi perkara siap dan sudah sesuai ketetapan Allah SWT.

Minggu dua puluh enam Desember adalah momen resmi ia melepas masa lajangnya dan juga momen ucapan selamat tinggal buat para mantannya.

Saat setelah menyelesaikan rukun nikah, sang calon suami menerima tantangan terakhir dari sang penghulu untuk membacakan surah pilihan, mulai dari surah Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas dan disimpulkan langsung dari pendengar “Ohh iman toude” yang artinya “Ternyata seorang imam”.

Beda halnya saat ijab qobul, yang sedikit tersendak-sendak yang ditambah dengan suara dari tamu undangan, “jangan gerogi santai saja” dan di dooble dengan lirik yang lebih keras “saaaaaaahhhhhhhhhhhh”

Tapi sebenarnya ada yang lebih mengunggah hati saya ketika mendengar kata “Sah” yaitu kata perpisahan yang spontan terbesit di pikiranku, mungkin disini tidak akan sama lagi hari-hari yang akan kami lewati seperti sedia kala. fikir saya.

Untuk semua kebersamaan, untuk hubungan persahabatan yang engkau tawarkan kepadaku.

Aku berharap suatu saat waktu akan berbaik hati lagi untuk mempertemukan kita.

Yang terakhir saya ucapkan baarakallahu laka wa baarakaa alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir.

Dan semoga menjadi keluarga yang sakinah, warahma dan mawaddah. amin allahuma amin.

Penulis adalah mahasiswi aktif Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, juga anggota aktif Unit Kegiatan Mahasiswa Pers (UKM-Pers).