Tangkap Lima Jurnalis Pers Mahasiswa Unhas Makassar: Sikap Arogansi Polisi Bungkam Demokrasi dan Kebebasan Pers

Objektif .id, Makassar — Sebuah insiden mencengangkan terjadi di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Lima jurnalis dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Catatan Kaki (Caka), mereka adalah Nisa, Erik, Fajar, Unding, dan Hanan. ditangkap aparat kepolisian usai meliput demonstrasi menuntut pemecatan dosen pelaku pelecehan seksual.

Aksi damai tersebut berlangsung pada Kamis sore (28/11/2024), dengan tajuk besar keadilan bagi korban pelecehan seksual. Massa mendesak pihak Universitas segera memecat Firman Saleh, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang terbukti melakukan pelecehan terhadap seorang mahasiswi bimbingannya. Dalam situasi yang mestinya jadi panggung untuk memperjuangkan kebenaran, kekerasan justru datang dari arah yang tak terduga.

Menurut Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Makassar, Kifli, kelima jurnalis tersebut berada di lokasi aksi sejak sore hingga petang, menjalankan tugas jurnalistik mereka. “Sejak kasus ini mencuat, mereka konsisten meliputnya. Bahkan setelah aksi selesai, mereka tidak langsung pulang. Mereka menyusun bahan berita sambil menunggu hujan reda,” jelasnya.

Namun, situasi berubah drastis ketika sekelompok orang tak dikenal (OTK) mendatangi area aksi, melempari kaca-kaca gedung Fakultas hingga pecah. Tak lama berselang, lusinan aparat kepolisian menyerbu lokasi. Dalam kekacauan itu, bukan pelaku perusakan yang menjadi sasaran, melainkan para mahasiswa, termasuk kelima jurnalis tersebut. “Mereka yang ada di sekitar koridor langsung ditangkap, bahkan beberapa mahasiswa yang berada di sekretariat juga ikut diamankan,” tambah Kifli.

Tidak kurang dari 30 mahasiswa dibawa ke Gedung Rektorat, sebelum akhirnya digiring ke Polrestabes Makassar. Sementara sebagian besar mahasiswa telah dibebaskan pada Jumat malam (29/11/2024), namun dua anggota Caka, Nisa dan Erik masih ditahan tanpa kejelasan. Informasi yang diterima pihak PPMI menyebutkan, bahwa alasan penahanan mereka tak lepas dari aktivitas mereka sebagai jurnalis pers mahasiswa.

“Kami mengecam tindakan ini. Penangkapan mereka adalah bentuk nyata penghalangan kerja-kerja jurnalistik,” tegas Kifli.

Oleh karena itu, tindakan represif ini menambah daftar buruk tindakan aparat penegak hukum dalam upaya pembungkaman nalar kritisisme masyarakat sipil serta kerja-kerja jurnalistik. Fakta bahwa jurnalis mahasiswa, yang jelas menjalankan tugasnya sebagai pilar demokrasi, justru menjadi target tindakan represif aparat penegak hukum. Yang hal tersebut menjadi sinyal berbahaya bagi demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.

Pers mahasiswa, meskipun sering dianggap kecil dan tidak signifikan, namun memiliki peran besar dalam membangun kesadaran publik di ruang akademik. Ketika suara-suara kritis mereka dibungkam melalui intimidasi dan penangkapan, itu bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga tamparan keras bagi nadi demokrasi yang sehat.

Dengan demikian, kasus ini justru menunjukkan sisi gelap dari upaya menuntut keadilan di Indonesia. Alih-alih mendukung tuntutan terhadap pelaku pelecehan seksual, pihak-pihak tertentu justru tampak berupaya melindungi pelaku dengan mengalihkan perhatian publik melalui kekerasan dan kriminalisasi mahasiswa.

Kini, perhatian tertuju pada kelanjutan kasus penangkapan jurnalis mahasiswa. Akankah dua jurnalis yang masih ditahan mendapatkan keadilan? Atau justru ini menjadi awal dari intimidasi yang lebih besar terhadap pers mahasiswa?

Masyarakat sipil, organisasi pers, dan institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk bersuara. Kebebasan pers bukanlah kemewahan, melainkan hak yang harus dilindungi. Penangkapan Nisa, Erik, dan teman-teman mereka adalah ancaman yang harus dijawab dengan solidaritas. Jika suara kebenaran dibungkam hari ini, siapa lagi yang akan berbicara untuk kebenaran esok hari?

Penulis: Hajar
Editor: Tim redaksi