Adinda Kesayangan

Semua mahkluk, yang hidup-mati, baru-lama, mereka memanggilnya Sonyior. Dia akan marah bila tidak dipanggil Sonyior. Tapi kadangkala orang berbicara sendiri dalam hatinya, “kalau dia marah dipanggil lain, sekalian saja kita panggil dia Tuhan.”

Diwaktu mudanya, Sonyior pernah tergabung dalam organisasi kemahasiswaan politik dan organisasi pemberitaan. Oh, tentu dimasa itu dia masuk dalam deretan tokoh-tokoh mahasiswa paling gacor di kampusnya.

Berbekal dengan pengalaman yang dia dapatkan, Sonyior menjadi piawai untuk mengakrabkan diri pada perempuan. Kelincahannya dalam menguasai lorong-lorong asrama putri, membuat dirinya dinobatkan sebagai bapak kos pemberdayaan perempuan.

Karena kehebatannya itu, Sonyior beruntung menikah dengan seorang janda muda, anak satu, usia anaknya berusia 5 Tahun.

“Lihat! Sonyior diberkati Tuhan, beli satu gratis satu,” ucap teman-teman Sonyior yang sedang seru menonton video meme, salah seorang kandidat kepala kampung yang mengatakan akan mempercepat kemiskinan ketika terpilih menjadi pemimpin.

Menjelang 21 Tahun umur pernikahan Sonyior, istrinya pulang terlebih dahulu menghadap sang Illahi. Waktu yang cukup panjang diantara mereka berdua dalam memadu kasih.

Tapi dalam benak Sonyior, berusaha menguatkan dirinya, “Tuhan lebih sayang istrinya. Kepergiannya tidak kemudian membuat harapan Sonyior hilang. Dia tahu bahwa hidup harus tetap dijalani ke depan.”

Kemudian dalam hatinya bergumam, “bahwa kehilangan istri dengan seluk beluk kisahnya selama 21 Tahun tidak terlalu sakit, ketika dibandingkan dengan usia 21 Tahun reformasi yang disabotase oleh pejabat publik, dengan cara melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baik dari dalam internal struktural maupun secara moralitas kelembagaan.”

Sejak kepergian istrinya, perhatiannya kini tertuju pada anak satu-satunya, yang secara gratis dia peroleh sewaktu meminang istrinya dahulu.

Saat anaknya itu berusia 5 Tahun, dia belum mempunyai nama. Sonyior waktu itu sempat berpikir ingin menamainya Binahong, nama seorang Raja pada dinasti Teataru, yang bertahta sejak 586-465 Masehi.

Namun dirinya khawatir nama itu akan disalahgunakan oleh anaknya. Sonyior sadar betul, bahwa di Negerinya, setiap orang yang memakai nama-nama Raja dan tidak berperilaku baik maka akan membuat kegaduhan, dengan tuduhan yang bersifat diskriminasi.

Katanya, di Negeri Sonyior, mereka yang melabeli dirinya dengan nama-nama Raja tidak boleh merusak marwah baik yang ada pada nama-nama itu. Jika pengguna nama-nama Raja berbuat tidak baik maka itu dia anggap sebagai penghinaan suku terhadap keturunan para Raja.

Dengan kerisauan itu, akhirnya Sonyior batal mengenakan nama Raja pada anaknya. Karena itu batal, digantinya nama anaknya menjadi Mulyono, yang dia dapati dalam mimpinya sewaktu berziarah ke kubur istrinya. Pikirnya, nama itu cocok untuk anaknya, sepertinya itu pemberian dari istrinya.

“Tapi, di masa yang silam nama itu bagaikan momok yang menakutkan. Pernah terjadi pada seorang anak, saat dinamai Mulyono, dia sering sakit-sakit. Apa kau tak takut jika anakmu menggunakan nama itu?” Ucap ketua perdukunan di kampung Sonyior.

“Karena sering sakit-sakit, anak itu diberi nama baru, yaitu kodowi. Ampuh! Selain sakitnya hilang nama itu juga yang akan menguasai Negerinya selama 1 dekade, dengan ragam dinamika sosialnya,” ungkap dukun itu, berusaha meyakinkan Sonyior untuk tidak memakai nama Mulyono pada anaknya.

Setelah merasa bahwa nama yang dia pikirkan nantinya akan berdampak buruk pada anaknya. Dia memutuskan untuk ke pasar bunga. Barang kali muncul inspirasi dalam kepalanya untuk memberikan nama yang tepat kepada anaknya.

Sesampainya di pasar bunga, dan memasuki salah satu toko bunga kembang. Di dalam toko itu, Sonyior memperhatikan semua karyawan yang ada. Yang masing-masing dibaju karyawan tertera nama mereka. Diantaranya, Nira, Makus, Marah, Vano, Memoy, Kenni, Hidawa, Haris, dan terakhir Adede. Dari sekian nama-nama itu, Sonyior hanya tertarik pada sosok Adede, yang sejak Sonyior memasuki toko bunga sampai bergegas meninggalkan toko itu hanya Adede yang begitu aktif merapikan bunga-bunga yang berserakan sekaligus menyiapkan semua orderan yang akan diantar kepada konsumen.

Akibat dari keseriusan serta tanggung jawabnya dalam bekerja, Sonyior merasa terpana dengan Sikap Adede. Sebelum meninggalkan toko bunga, Sonyior menghampiri Adede yang masih sibuk menyusun bunga, kemudian bertanya kepada Adede, “kamu kenapa semangat sekali bekerja? Semua dikerjakan oleh kamu, padahal disini karyawannya bukan cuma kamu,” kata Sonyior dengan tatapan mengagumkan pada Adede.

“Dari dulu, orang tua saya keras mengajarkan untuk tidak lupa diri terhadap tanggung jawab yang diberikan,” ujar Adede sambil senyum.

“Karyawan disini memang bukan cuma saya. Tapi, kalau mau tunggu rasa malas teman-teman hilang, dan sementara dilain sisi mereka tidak berusaha keras merubah diri, kalau seperti itu maka toko ini tidak akan berkembang. Olehnya itu saya bergerak sendiri. Selain dari orang tua, saya juga belajar pada literatur yang ada. Pengembaraan terhadap literatur, membawa saya pada kalimat Tan Malaka, yang mengatakan begini: Disiplin itu nyawanya gerakan, Hanya mengaku setuju pada program itu bukan disiplin. Apalagi hanya hapal program. Program itu dijalankan dengan aksi, aksi, dan aksi,” kata Adede sembari mengeraskan suara agar didengar oleh teman-temannya.

“Semuanya menawan, tapi buat apa kalau hanya sekadar tampan dan cantik diparas? Teman-teman Adede, Pemalas! Apa itu yang mau dibanggakan, yang katanya sebagai generasi emas? Dasar Tolol,” desis Sonyior saat melangkah keluar dari toko bunga.

Dengan hati yang mantap, Sonyior menjadikan sikap Adede sebagai sosok yang kelak bisa terpatri pada anaknya. Sebenarnya dia ingin menamai anaknya Adede, tapi Sonyior berpikir kalau nama Adede terlalu kampungan untuk anaknya yang nanti akan ke Kota melanjutkan Jenjang Pendidikannya di perguruan tinggi. Akhirnya Sonyior merevisi nama Adede menjadi Adinda. Ya, Adinda untuk nama anaknya.

Merawat Adinda dengan penuh kasih sayang, Sonyior menunggu dengan hati yang cukup sabar. Kelak angan-angannya pasti menjadi kenyataannya. Sonyior yakin dengan nama itu, semoga Adinda bisa mengadopsi sikap yang ada pada Adede, dan pada diri Sonyior, yang dulunya pernah aktif sebagai aktivis jurnalis mahasiswa yang tajam dan kritis.

Sonyior merasa sangat bahagia, dia mengambil selembar kertas menambahkan kata jurnalis dibelakang nama Adinda. Sonyior membayangkan nama anaknya menjadi Adinda Jurnalis.

Sonyior yakinkan cita-citanya pada semua tetangganya, bahwa itu akan tercapai.

“Aku turut berduka jika kabar kemiskinan kalian tidak terkabarkan kepada masyarakat luas, terkhusus kepada pemerintah. Andai Adinda telah jadi jurnalis, kehidupan miskin kalian pasti akan mendapat perhatian lewat tulisannya,” kata Sonyior bangga.

Dan kalau Sonyior mengetahui telah terjadi kekerasan seksual pada tetangganya kemudian tidak mendapat perhatian publik, dia akan berkata, “sungguh malang nasib mereka, coba kalau Adinda sudah jadi jurnalis, pasti kasus anak itu akan sampai kepada Presiden.”

Sejak Adinda berangkat ke Kota Kunduru, Sonyior bertambah yakin, bahwa dari hari ke hari, bulan ke bulan, hingga tahun ke tahun, Adinda akan meraih apa yang selama ini Sonyior cita-citakan.

Terbukti, bahwa Adinda setiap tahun mengirimkan Sonyior Kartu Hasil Studi (KHS) jurusan jurnalistiknya, dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang baik. Terlebih lagi adinda mengikuti jejak Sonyior memasuki organisasi sewaktu dia mahasiswa dulu.

Waktu Sonyior membaca pesan-pesan Adinda yang menceritakan perkembangannya, Sonyior terharu gembira. “Saya akan bangga padamu, cita-cita yang ku dambakan akan Adinda laksanakan. Memang, kau harus jadi jurnalis. Kau akan rasakan kerja-kerja kemanusiaan itu. Orang akan lebih butuh pertolonganmu. Dan kau akan disegani.”

Semenjak hari itu, Sonyior kurang punya kesabaran oleh waktu yang tak kunjung tiba menjadikan Adinda sebagai seorang jurnalis. Tapi semua orang tahu bahwa cita-cita sonyior hanya menjadi mimpi belaka.

Orang-orang bingung bagaimana harus mengatakan agar Sonyior percaya. Sonyior justru memusuhi orang yang menjelekkan Adinda. Sonyior beranggapan kalau orang-orang itu hanya iri saja dengan kemajuan yang dicapai anaknya.

Tanpa pikir panjang, Sonyior terus-menerus memanjakan Adinda. Segala macam bentuk dia upayakan demi proses belajar Adinda.

“Cepatlah pulang dan bawa pengalaman jurnalismu, biar kau tampar mereka lewat tulisan-tulisan yang kau buat,” tulisnya pada pesan yang akan dia kirimkan.

Dengan begitu, orang-orang kasihan pada Sonyior. Akhirnya semua orang tak berbicara yang sungguh-sungguh benar lagi. Mereka justru memuja-muji Adinda yang katanya serius ingin menjadi jurnalis.

“Anak Sonyior itu, persis seperti bapaknya dulu waktu jadi mahasiswa. Kalau tidak ada kuliah, dia ke kantor jurnalis mahasiswanya. Kata teman-temannya, Adinda masuk divisi Layout, Audiovisual, sekaligus Reporter. Diantara ke tiganya tidak ada yang dia geluti serius,” ungkap seorang warga yang anaknya berteman dengan Adinda.

Sonyior merasa tersinggung mendengar perkataan itu, “kalau kamu tidak liat langsung apa yang dilakukan Adinda, tidak perlu sok tahu.”

Pada warga yang lain terjadi percakapan pelan, “kalau Adinda hanya sekadar masuk organisasi, pasang nama. Itu namanya cuma numpang tenar. Kalau seperti itu, apa bedanya Adinda dengan tehel, debu, dan benda-benda mati yang ada dikantor jurnalistiknya,” ucap mereka menahan tawa, takut didengar Sonyior.

Setiap orang yang memuji Adinda, pasti diberi apresiasi yang tinggi oleh Sonyior.

“Anakmu anak yang baik, dia pasti berhasil. Kamu akan bangga Sonyior. Seluruh Kota Kunduru, mengenal dirinya, Semua laki-laki berharap diterima cintanya oleh Adinda,” kata warga yang baru pulang dari Kota.

Sonyior dengan bangga berkata, “bukan main, begitu hebat rupanya putriku. Dia berhasil lebih maju dariku. Haa haha ahee. Dia memang cantik seperti ibunya, siapa yang tidak inginkan dia. Datanglah kau ke rumah, kita potong ayam untuk mosonggi.”

Kemudian kalau Sonyior ketemu pria-pria pengangguran dikampungnya, dia akan mengatakan,”kau kenal Adinda? Nanti aku kenalkan kalian kepada dia, biar masalah pengangguran masuk dalam agenda-agenda peliputannya.”

Para pria itu mukanya merah, merasa marah. Namun bagi Sonyior muka merah itu karena tersipu malu, bangga, akan dikenalkan oleh anaknya.

Ketika Sonyior tahu kalau anak Ketua kampung ingin menikah. Sonyior merasa bahwa Adinda juga sudah harus dia pikirkan pada siapa akan dipasangkan. Tapi Sonyior akan membenci kepada setiap warga yang memiliki anak tampan yang tidak mempedulikan Adinda.

Namun kepada Adinda, Sonyior tak menunjukkan marah. Dia mengatakan manja, “banyak pria yang datang, semua tertolak. Saya yakin pada dirimu Adinda, kau tentu lebih mementingkan proses belajarmu dibanding persoalan laki-laki. Kau akan jadi orang hebat. Pilih saja laki-laki dari Kota. Laki-laki yang sesuai dengan kau,” tutup pesan Sonyior.

Jika dulu Adinda yang berbohong, Sonyior yang percaya. Masa kini, Sonyior yang menipu, Adinda yang percaya.

Untuk membuktikan kebenaran pesannya kepada Adinda, Sonyior kirimkan semua koleksi foto laki-laki yang ada padanya. Sonyior terus menerus mengirim foto, baik yang sudah menikah atau belum. Sonyior berharap semoga anaknya tidak tertarik terhadap foto-foto itu.

Sonyior merasa khawatir kepalsuan sandiwaranya berakhir pada suatu waktu. Adinda, lama-lama pasti tahu, dan tentu itu akan memunculkan masalah baru.

Berkenaan dengan foto terakhir yang Sonyior kirimkan pada Adinda, bertepatan pula kabar dari Adinda tak pernah datang lagi. Lesuh dan gelisah Sonyior menanti kabar anaknya. Tak langsung menyerah Sonyior masih terus mengirimi Adinda pesan. Dikirimnya, ditunggunya. Tak terbalas juga. Bulan datang dan pergi, Sonyior terus menunggu.

Suatu hari yang tidak berpihak pada Sonyior. Datang warga yang baru pulang dari kota dengan membawa kabar bahwa pesan-pesannya tak pernah tersampaikan. Betapa remuk dan hancur perasaan sonyior. Dia tak percaya dengan hal itu. Sonyior berusaha untuk tak menyakini apa yang dia dapati. Dipaksanya dirinya untuk menganggap semua itu hanya mimpi.

Segalanya menjadi tidak baik sejak saat itu. Hanya satu orang yang Sonyior inginkan, kabar dari Adinda. Seakan semuanya telah berakhir. Hidupnya tak bergairah lagi. Tiba-tiba Sonyior ingat asal-usul nama Adinda. Harapannya dulu, bahwa Adinda harus menjadi seperti Adede yang tekun dan bertanggung jawab, dan seperti dirinya yang jadi aktivis mahasiswa yang tajam dan kritis.

Sabar menunggu dari hari ke hari, tiba masa dimana kabar tentang adinda sampai pada Sonyior. Langkah pelan dari seorang warga yang nampak memasuki halaman rumah Sonyior dengan map kuning ditangan.

Sonyior yang lumpuh sejak tak pernah mendapat kabar dari Adinda. Tiba-tiba bangkit mendatangi warga itu. Dengan tubuhnya yang kusut tak berdaya, dia bersandar pada kursi dan menyuruh warga itu membacakan pesan yang dia bawa.

Hening sementara, warga itu kemudian membacakan pesan untuk Sonyior: “diawal memasuki kampus sampai bergabung pada organisasi jurnalis kemahasiswaan. Adinda begitu sangat disayangi oleh semua orang, bahkan semua panggung proses diberikan padanya. Semua itu dilakukan dengan maksud, agar Adinda lebih giat lagi menempa dirinya untuk mewujudkan cita-cita Sonyior. Tiba suatu masa, dimana Adinda……,” tak selesai pesan itu dibacakan warga, Sonyior memerintahkan untuk tidak meneruskan pesan itu.

“Tak akan sanggup saya mendengarnya. Saya akan mati lemas oleh kebahagiaan yang ada dalam pesan itu. Tunggu sampai tubuhku sehat, baru kau datang lagi untuk bacakan pesan itu,” ucap Sonyior yang suaranya kembali membara seperti waktu awal dia membangga-banggakan Adinda.

Sepanjang jalan, saat warga itu pulang. Dia tetap melanjutkan membaca isi pesan. Isi pesan itu sebagai berikut: “tiba suatu masa, dimana Adinda selalu merasa bisa, tapi sejatinya dia tidak pernah bisa merasa. Semua tanggung jawab yang diberikan tidak pernah serius dia kerjakan. Memang tetap ada yang menormalisasi sikapnya, muncul sebagai pahlawan. Tapi dengan sikap Adinda yang seperti itu, ternyata dia tidak ada bedanya dengan teman-teman Adede yang dulu pernah diberi umpatan buruk oleh Sonyior. Kalau Adinda merasa belajar seharusnya ada progres. Tapi itulah dia, selalu merasa bisa, tapi tidak bisa merasa. Meskipun demikian, secara otomatis seleksi alam akan berlaku, disetiap zaman, pada setiap orang. Adinda tidak cukup sabar menangkap maksud dari pesan belajar yang diberikan. Terlalu manja, apalagi ketika ada yang muncul sebagai pahlawannya. Dengan sadar, tidak akan ada penyesalan dengan kepergian. Waktu terlalu singkat untuk memikirkan itu. Jika Adinda hanya menginginkan kenyamanan saja, lebih baik Adinda tidak usah hidup. Untuk Sonyior yang terhormat, tolong jangan takut kehilang Adinda. Kalau kehilangan Adinda, kita masih dapat Adinda-Adinda yang lain. Justru takutlah kalau kehilangan ide, karena kalau itu yang hilang kita akan punah sebagai sebuah peradaban. Atau…..”

Tidak selesai pesan itu dibacakan, si warga menutupnya dan mengatakan, “nanti saja saya lanjutkan. Nanti kalau Sonyior sudah sehat. Padahal masih ada bagian cerita-cerita Adinda tentang kelupaannya pada suatu hal,” ucap warga sembari membuang ludah, Kemudian melanjutkan perjalanan pulangnya.

Kendari, Minggu 03 November 2024

Penulis: Hajar
Editor: Tim redaksi

Si Busuk Mulut

Terhitung 10 tahun, Arga Sanda Uyung, sapaan akrabnya Asyu, menjadi pengabdi di dalam perkumpulan pemuda yang bergerak dibidang distributor data publik. Sejak namanya tercatat secara resmi sebagai pengabdi, selama itu juga dia mulai atur sana-atur sini.

Awalnya, Asyu masih sering merasa bersalah. “Inalillahi, kenapa mesti saya atur mana data yang boleh keluar dan mana yang tidak boleh. Padahal semua itu sifatnya penyampaian kepada publik,” pikirnya waktu otaknya masih berfungsi dengan benar. Namun ditempat tongkrongannya yang lain, katanya kalau tidak pandai tekan sana-tekan sini itu dianggap aneh.

“Membatasinya harus lebih kuat lagi Syu,” ujar kawan-kawannya.

“Kamu harus bisa atur data yang akan keluar, apa lagi kalau itu data yang akan merusak citra anggota kita. Tidak apa-apa, kontrol saja narasi yang dibuat disitu. Kan proyek-proyek yang ada kamu kebagian juga. Jangan sok suci. Bahkan kerabatmu yang mau masuk ngajar kita bantu luluskan. Apalah artinya jika keberadaanmu didalam sana tidak bermanfaat buat geng. Apa kamu mau lupakan jasa yang diberikan kepada kamu?”

Karena pada dasarnya Asyu predator pragmatis, maka campur tangan makin lancar tanpa gentar. Asyu merasa sudah sepantasnya dia melakukan itu. Seperti tidak melakukan kesalahan apapun.

Kecanduan berbuat seperti itu, Asyu semakin lincah dan licin. Kemampuannya dalam mengendus informasi yang berpotensi merugikan kepentingan gengnya semakin meningkat. Penciuman Asyu, lebih tajam dari anjing.

Setiap agenda pengumpulan data dia bisa tahu, baik yang sementara didiskusikan ataupun yang sedang direncanakan. Dalam kerja-kerja inteligennya, sedalam apapun isu yang merugikan gengnya disembunyikan, dia pasti akan tahu. Ditambah koneksi mata-mata lain selain Asyu, yang dititipkan gengnya untuk membantu dirinya. Asyu cukup pandai berpura-pura, sekadar nimbrung di bengkel pengolahan data untuk mendapatkan informasi. Menunjukkan perhatian palsunya.

Dengan pengalamannya selama 5 tahun menjadi bagian dari distributor data publik, sekaligus penghambaannya pada geng begundalnya selama 15 tahun, Asyu jadi mahir betul menghentikan arus informasi yang akan merugikan gengnya.

Tentu saja Asyu mulai terkenal sebagai manusia dengan skil tingkat dewa melalui indera penciumannya yang begitu tajam melebihi seekor anjing. Selain itu, hartanya bertambah dari hasil bagi-bagi proyek.

Saban waktu, Asyu pernah ditanya oleh penjual buku keliling, “apakah harta bapak ini hasil dari usaha sampingan, selain dari gaji pekerjaan bapak? Dan bagaimana bapak menjamin bahwa tidak terjadi pembajakan data ketika itu akan dikeluarkan kepada publik?”

“Kalau harta ini hasil upaya-upaya mandiri, mas,” ungkapnya sambil mengorek upil. “Kemudian untuk distribusi datanya, saya selalu menyampaikan itu secara terbuka kepada publik karena itu hak mereka untuk mendapatkannya. Saya ini takut Tuhan mas, takut buat salah. Apakah mas masih ragu? Kalau dilihat dari penampilan, kurang religius apa lagi saya? Saya pakai peci pemberian Kiai, sarung yang saya pakai dibeli di Mekkah waktu berangkat Haji yang kesepuluh kali, bahkan baju saya bertulis besar, hamba Tuhan yang berani jujur itu hebat,” ujarnya sambil mengipas tubuhnya dengan Majalah Harian Tusuk yang bersampul siluet hidung panjang Presiden Jokrori.

Sejak saat itu, nafas mulutnya bertambah busuk. Walaupun Asyu belum merasakan apa-apa. Dia tidak merasakan sakit di mulutnya, lidahnya tidak gatal-gatal.

Dia baru tahu bau mulutnya dari perempuan yang sering dia kencani dan ajak telponan berjam-jam sebelum akhirnya malam membungkus mereka dalam gelap gulita yang menunggu fajar.

Bau mulut itu kemudian terungkap saat malam selanjutnya mereka bertemu untuk tidur di ranjang yang sama. Sebelum tidur, terjadi percakapan romantis. Sampai tiba pada pertemuan silahturahim dua bibir atas dan bawa diantara mereka berdua.

Tiba-tiba seperti ada bau dari alam lain yang menghantam hidung perempuan itu, lalu dia bertanya “Mulutmu kenapa busuk sekali, Asyu?”

Sambil menghembuskan nafasnya, Asyu bertanya.
“Mulutku? Ada apa dengan mulutku?”

“Baunya busuk, kamu habis ciuman dengan siapa Asyu?”

Sontak Asyu berdiri mengarah ke cermin. Sambil mengeluarkan uap mulutnya, dia membuka mulutnya untuk mengecek apakah ada sesuatu didalamnya. Memang seperti ada yang aneh tapi dia tidak tahu apa yang terjadi.

“Hubungi Dokter sekarang,” perintahnya.

Tanpa butuh waktu lama Dokter Sabluk datang dengan perlengkapan medisnya, secara serius dan sangat detail memperhatikan mulut pasiennya. Rupanya tidak terjadi apa-apa. “Dalamnya kelihatan normal Pak, paling bangun tidur nanti baunya sudah hilang. Mungkin Bapak terlalu banyak bicara. Nanti minum saja obat yang saya beri,” kata Sabluk sembari menutup hidungnya menahan bau mulut Asyu.

Selepas meminum obat, Asyu tertidur pulas. Sementara itu, saat Dokter Sabluk meninggalkan rumah, dengan nada menjengkelkan dia mengatakan “sumpah mulutnya busuk sekali,” geramnya.

Keesokan harinya begitu Asyu bangun dari tidurnya, dia merasa baunya semakin parah. Dia semakin panik. Dia cepat-cepat menuju ke kamar mandi untuk membasuh mulutnya, kemudian kembali menghembuskan nafasnya. Dia seakan tidak percaya. Tubuhnya gemetar. Gelisah dengan keadaan mulutnya yang baunya semakin busuk.

Begitu perempuan yang dia kencani juga terbangun, Asyu menutup rapat mulutnya. “Jangan dekati saya,” serunya, “Kamu yang buat mulutku bau, kamu yang sering mencium dan menggigit-gigit bibirku. Enyahlah perempuan jalang,” ucapnya sambil menjauhkan diri.

Dengan ratapan sedih, seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan Asyu. “Jangan berkata seperti itu Asyu, aku selalu menuruti semua permintaanmu.” pelan-pelan Asyu membuka mulutnya. Dan perempuan itu merasa bahwa mulut Asyu semakin parah.

Tunggu, nanti aku panggil lagi Dokter Sabluk,” kata perempuan itu. Tidak perlu! Dia hanya membohongiku. Omongan dan obat-obatnya hanya sekadar penenang belaka. Dasar pembohong. Panggil dokter yang lebih sakti!”

Di salah satu kampung yang agak jauh dari Kota, dijemputlah seorang Dokter sakti, ketika Dokter itu menemui Asyu di dalam kamar dia kaget mencium aroma tidak sedap yang menusuk tajam ke hidungnya.

“Tolong saya Pak, saya bingung dengan yang terjadi pada mulut saya. Padahal semua makanan yang masuk di dalamnya halal, saya selalu berkata jujur, melaksanakan pekerjaan dengan benar, apa yang terjadi dengan saya pak?” ucapnya dengan penuh belas kasih. Tidak lama setelah dia bicara seekor lalat telah mendarat di bibirnya.

“Lihat Pak! perhatikan mulut saya, sudah ada lalat yang hinggap di mulut saya, parah! jangan-jangan ada jin yang mengganggu saya,” teriaknya kalang kabut.

Setelah berteriak histeris, Dokter sakti itu kemudian mulai memeriksa dan memperlihatkan apa yang terjadi pada mulut Asyu.

“Bagaimana, Pak, apa yang terjadi?”

Dokter itu masih tajam memperhatikan

“Apakah bisa sembuh, Pak?

Diam sejenak, Dokter itu dengan dingin mulai menjawab.

“Pernah dengar tentang salah seorang warga PKM yang bau mulutnya?”

“Tidak, kenapa dengan itu Pak?”

“Masa biar cerita itu tidak tahu! Percuma banyak uang kalau miskin pengetahuan.”

“Apa hubungannya dengan pengetahuan? Kalau mau kaya harus sibuk bekerja cari uang, apa gunanya membaca atau mencari tahu sesuatu? Lebih baik saya cari uang Pak.”

“Kalau kamu pernah baca cerita rakyat itu, Pasti kamu akan mendapat pelajaran berharga dari cerita tersebut. Dalam cerita itu, sangat jelas diceritakan bahwa yang ucapannya tidak selaras dengan tindakannya, mulutnya akan memunculkan aroma busuk. Semakin munafik ucapannya, maka semakin busuk mulutnya.”

“Terus hubungannya dengan saya, sama cerita itu apa?”

“Coba dipikir ulang, kamu pernah bohong atau tidak?

Asyu terpaku membisu. Mukanya pucat. Dan masih asyik, seekor lalat tadi nimbrung di bibirnya.

“Itu cuma cerita rakyat, Pak.”

“Tapi itu justru terbukti terjadi kepada kamu, Asyu.”

“Padahal saya tidak pernah bohong, saya selalu turuti arahan yang diberikan. Bahkan…..” Tidak sempat selesai bicaranya, satu lalat datang lagi menempel. Ikonik! Dua lalat bercengkrama mesra di bibir Asyu.

Karena Dokter sakti itu tidak bisa menyembuhkan bau mulut Asyu. Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan perawatan dengan mengonsumsi ramuan dari alam, sebagaimana yang dia dapatkan melalui mimpinya.

Setelah perawatan yang panjang, Asyu kembali beraktivitas seperti biasa. Apa lagi dia akan menjadi narasumber pada kegiatan seminar penyampaian informasi publik secara jujur.

Saat dia memasuki ruangan tempat kegiatan diselenggarakan, para peserta seminar menatapnya tajam ketika dia mulai menyapa hadirin yang ada pada kegiatan itu.

“Nafasnya sudah tidak bau.” Salah seorang peserta berbicara pelan.

Asyu pun, mulai menyampaikan materinya dengan kata-kata yang begitu indah terangkai rapi. Semua bicaranya adalah kalimat panjang basa basi busuknya. Kata-kata mutiaranya berhamburan dimana-mana. Sampai-sampai yang mendengarnya mabuk dibuatnya.

“Sodara-sodari seperjuangan, upaya panjang dalam mengawal penyampaian informasi publik akan terus menggelora berpihak pada kebenaran. Tidak ada pembajakan informasi, bahwa jika salah tentu mesti lantang kita ucapkan kalau itu salah, dan jika itu sebuah kebenaran maka sampaikan sebagaimana mestinya.” Orasinya yang sangat membara.

Asyu mengepalkan tangan kemudian berteriak, “hidup Asyu, panjang umur untuk perjuangan kita semua.” Dia merasa apa yang dia lakukan semua adalah benar, orang hanya sentimen saja kepada dirinya. Ditengah teriakan pujian para peserta yang berhasil termakan racun rayuan Asyu, terlihat seorang jurnalis yang sedang mengambil dokumentasi, kaget melihat apa yang ada pada mulut Asyu.

Setelah dia selesai menutup penyampaian materinya yang menggelegar. Ya, mulut Asyu tiba-tiba dikelilingi oleh kerumunan lalat rakus yang senang dengan bau busuk.

Luar biasa! Itulah Asyu, dengan kelunturan mulutnya yang mampu menyembunyikan baunya dari manusia, tapi tidak terhadap alam. Lihatlah! Asyu, selalu paling merasa bisa, tapi tidak bisa merasa.

Kendari, 28 Oktober 2024.

Penulis: Hajar86
Editor: Tim redaksi

Persahabatan Si Miskin dan Si Kaya

Objektif.id – Alkisah terdapat seorang sahabat yang telah bersama-sama sejak kecil. Kedua sahabat ini bernama Rayyan dan Andi. Rayyan yang merupakan seorang anak saudagar kaya, namun memiliki keterbatasan fisik yaitu ia tidak bisa melihat. Sedangkan, Andi hanyalah seorang anak petani yang rajin dan tekun.

Di suatu pagi yang cerah diselingi kicauan burung, Andi terlihat berlari menghampiri sebuah rumah mewah dipertengahan desa. Rumah tersebut tak lain dan tak bukan adalah rumah sahabat kecilnya Rayyan. Tujuan Andi ke rumah berniat mengajak Rayyan belajar bersama dikarenakan keterbatasannya ia diharuskan homeschooling oleh orangtuanya.

“Assalamualaikum, Rayyan ada mang?” Tanya Andi kepada satpam yang berjaga di pos depan rumah Rayyan.

“Iya den, mari silahkan masuk.” Jawab satpam.

Andi bersama dengan satpam melangkah menyusuri rumah yang mewah tersebut menuju kamar sang putra tunggal keluarga itu. Setelah sampai di depan kamar, sang satpam pamit undur diri kemudian Andi pun mengetuk pintu yang berukiran rumit tersebut. Pintu terbuka memunculkan seorang pria yang memegang tongkat untuk menunjang penglihatannya.

“Ray, yuk ikut aku belajar bersama anak-anak!” Seru Andi. Mendengar hal tersebut Rayyan pun menganggukkan kepalanya tanda bahwa ia setuju untuk ikut.

Singkat cerita,,, mereka berdua pun telah sampai ke tempat tujuan. Tempat tersebut ialah sebuah gubuk di pinggir ladang yang memang biasa digunakan oleh anak-anak sekitar untuk belajar maupun mengaji.

“Assalamualaikum adik-adik!” Seru Andi dan Rayyan.

“Waalaikumsalam kak Andi dan kak Rayyan.” Balas anak-anak tersebut.

Tempat itu pun seketika di isi oleh seruan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak-anak kepada Andi dan Rayyan terkait materi yang disampaikan dan masih banyak lagi yang mereka lakukan. Andi pun melihat sahabatnya Rayyan yang sedang bercanda-gurau bersama anak-anak, dalam hati ia berjanji bahwa akan selalu mengukir senyuman digaris wajah sahabatnya itu.

Itulah kisah persahabatan sederhana antara Andi dan Rayyan yang menjadi bahwa status sosial itu tidak penting dalam persahabatan.

TAMAT

Penulis: Tesa Ayu Sri Natari

Editor: Melvi Widya

Aku Merindukanmu Ibu

Objektif.id – Kurang lebih tiga bulan sudah kita tidak bertemu. Rasa hati ini sangat merindukanmu, ingin rasanya aku memelukmu dengan erat. Aku sangat merindukan kasih sayangmu ibu, semoga engkau selalu dalam keadaan sehat walafiat Aamiin.

Ibu, jadilah support system versi terbaik untuk anak perempuan pertamamu, karena rasa kesepian, kesendirian, dan kerinduan adalah hal yang akrab di rasakan oleh anak perempuan yang berada di tanah rantau yang jauh dari orang tua. Saat jauh darimu anakmu ini menyimpan kerinduan yang mendalam tanpa harus bicara langsung kepadamu ibu.

Merantau bukanlah perkara sederhana, jauh dari orang tua adalah hal yang paling sulit dijalani di mana suasana sangat berbeda. Namun, percayalah anak perempuanmu ini yang sedang berjuang di tanah rantau, semakin jauh diriku maka akan semakin dekat dengan ridho mu, namun percayalah kelak anakmu ini akan membahagiakan mu ibu.

Selain ibu yang melahirkan, ibu juga punya frekuensi batin yang kuat dengan anaknya, ibu bisa merasakan apa yang anaknya rasakan. Tiada kesuksesan yang dicapai tanpa pengorbanan, karena aku yakin tidak ada hasil yang menghianati proses. Mandiri adalah pilihan!

Teruntuk ibuku, terimakasih telah mengizinkan anakmu menjadi seorang yang kuat menghadapi dunia. Hanya ibu yang hebat yang merelakan anak perempuannya pergi merantau. Ibuku tahu bahwa sangat berat melepaskan anaknya pergi ke tanah orang. Tapi, disitulah kehebatan ibuku melepas anaknya untuk mendapatkan pengalaman yang lebih banyak guna untuk masa depan anaknya. Aku menyadari bahwa ibuku yang hebat memberi sebuah kepercayaan yang besar kepadaku untuk meraih kesuksesan diluar zona nyaman.

Untuk anak perempuan yang sedang ditanah rantau segala sesuatu yang runtuh mungkin bisa ditata kembali, tapi tidak dengan kepercayaan. Jadi, selama ibu masih ada tolong jangan sia siakan!

Penulis: Nurhawati
Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Untukmu yang Abadi

“Jika kamu membuat seorang seniman jatuh hati, maka saat itu juga kamu dinyatakan abadi dalam karyanya”…

Objektif.id – “Krieeettt”, Suara pintu terbuka.

Aroma lilin terapi dipadu dengan semerbak bau cat dan kanvas di sebuah ruangan yang dibuka oleh seorang wanita. ia pun mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan yang dipenuhi lukisan wajah seorang wanita dengan berbagai macam ekspresi. Satu yang menarik perhatian wanita itu adalah dimana di tengah ruangan bertengger kursi dan kanvas di depannya yang tertutup oleh kain merah.

Si wanita pun berjalan menuju ke arah kursi itu berada. Setelahnya, ia melihat sebuah buku tergeletak begitu saja di kursi itu yang dililit dengan benang merah. Ia pun kemudian duduk sambil membuka lilitan di buku itu dan mulai membuka lembaran pertama…

3 Januari 1998
Seperti biasa aku menjajakan lukisanku kepada orang-orang di pinggir kota. Saat itu juga aku melihatmu. Senyuman yang selalu kamu berikan kepada para pelanggan tak henti-hentinya selalu membuatku tersihir. Hingga saat aku sedang melukis, tanpa kusadari aku malah melukis wajahmu. Rasanya sangat malu sekaligus lucu. Mungkin ini yang dinamakan orang-orang cinta. Aku harus akui itu bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu.

3 Februari 1998
Setiap kali aku melihatmu bahagia jantung ini selalu berdebar tak karuan. Suatu hari aku mendapatkanmu tiba-tiba menangis dan murung hatiku ikut sakit melihatnya. Aku sangat ingin menghampiri dan bertanya apa yang telah membuatmu bersedih sedemikian rupa, sekaligus menghapus butiran air mata yang mengalir di pipimu. Namun, aku terlalu takut dan pengecut yang dapat kulakukan hanyalah memandangmu dari kejauhan.

5 Februari 1998
Hari ini aku terbangun dengan badan yang lemas dan kepala yang pusing. Aku pun memeriksakan diri ke dokter. Namun, bukannya mendapatkan solusi atas sakit yang kuderita yang ada malah hanyalah sebuah kabar buruk yang membuat kepalaku bertambah sakit saat mendengarnya. Dimana, ternyata aku mengidap kanker darah stadium akhir. Ya sebuah penyakit yang bisa kapan saja merenggut nyawaku. Tuhan apakah harus secepat ini? Apakah aku tidak akan diberi kesempatan lagi untuk merasakan setitik kebahagian?.

6 Februari 1998
Kejadian kemarin bagaikan mimpi buruk bagiku. Setiap kali mengingat dirimu, bayang-bayang akan penyakit itu juga ikut melintas dalam pikiranku. Tuhan, ku mohon cukup sebentar saja biarkan aku setidaknya dapat bersamanya. Setelah itu terserah padamu Tuhan aku pasrahkan diri ini.

8 Februari 1998
Hari ini, tidak ada angin atau hujan kamu tiba-tiba saja datang menghampiriku dan mengajakku berbincang sambil memakan roti di trotoar tempat biasa aku menjajakan lukisanku. Tentunya aku senang sekali, karena semalam doaku seakan di ijabah oleh Tuhan. Terima kasih Tuhan, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kudapat ini.

3 Oktober 1998
Semenjak peristiwa makan roti bersama hari itu, kami jadi lebih sering berbincang tentang kehidupan kita masing-masing. dan pada malam ini kami akan pergi dinner serta aku akan mengutarakan isi hatiku untuk melamarnya. Aku tak henti-hentinya berdoa semoga Tuhan memperlancarkan niatku ini.

10 Oktober 1998
Hari ini adalah hari pernikahanku. Semuanya bagaikan mimpi bagiku yang dimana semula aku hanya dapat memandangmu dari jauh, sekarang aku dapat melihatmu sedekat ini berdiri tepat di sampingku. Di tengah menyalami para tamu undangan kepalaku tiba-tiba terasa sangat sakit dan semuanya gelap. Saat aku terbangun, aku sudah berada di rumah sakit kemudian aku melihatmu dengan masih balutan gaun pengantin tertidur di kursi samping brankar rumah sakit. Hatiku serasa teriris belati yang tajam saat melihat bagaimana aku melihatmu dengan keadaan seperti ini. Maafkan diriku yang tidak berdaya ini. Karena, keinginanku untuk merasakan kebahagiaan sebelum malaikat menjemputku aku harus bersikap egois dan pengecut hanya untuk bersamamu.

30 Desember 1998
Sudah seminggu, sejak kita bertengkar. Dikarenakan aku tidak ikut pergi menghabiskan malam tahun baru bersama, dan berakhir kamu pergi meninggalkanku sendiri di rumah ini. Kurasa sudah seharusnya seperti itu. Karena, jika kamu tetap di rumah ini hingga pergantian tahun nanti maka itu artinya kamu harus melihatku untuk pergi selama-lamanya. Sungguh aku tidak sanggup jika harus melihatmu bersedih…
Untukmu, saat kamu menemukan buku ini mungkin aku sudah tiada. Sebagai permintaan maafku karena telah menutupi penyakit yang kuderita darimu, aku hanya dapat memberikan sebuah lukisan ini kepadamu Semoga kamu suka ya. Satu lagi entahlah ini sekedar firasat atau bukan tapi aku yakin bahwa anak kita nantinya akan terlahir kembar, berikanlah mereka nama Amaranggana yang artinya bidadari dan Narendra yang berarti raja. Maaf ya, aku tidak bisa menemanimu melewati masa-masa kehamilan hingga melahirkan. Namun, percayalah bahwa aku akan tetap mengawasimu dari atas nanti. Berbahagialah, selamat tinggal, Ti Amo.

Kembali ke masa sekarang…

Setelah menutup lembaran terakhir, sambil menangis tersedu-sedu Si wanita bangkit dari kursi yang didudukinya dan mulai melangkah secara perlahan-lahan ke depan mendekati sebuah kanvas yang tertutupi kain merah. Ia pun membuka kain itu, dan alangkah terkejutnya dia melihat sebuah lukisan yang menggambarkan seorang wanita diapit oleh dua orang anak kecil. ia semakin menangis lirih. Dadanya kian sesak disertakan berbagai kalimat penyesalan yang tak luput terucap dari mulutnya karena ketidakpekaan-nyalah suaminya harus menanggung semuanya sendirian.

TAMAT

Penulis: Tesa ASN
Reporter: Melvi Widya

Saatnya Introspeksi

Begini ya dek, susah dan senang itu akan selalu berdampingan jadi apapun yang kamu kerjakan jalani dengan ikhlas. Syukuri apa yang ada di hidupmu, sembari perbaiki yang masih kurang. Semua itu akan terasa ringan jika kita bersyukur, insya Allah dengan sendirinya Konsisten itu akan muncul.

 

Selalu saja terulang hal yang sama saat ingin produktif. Namun, sayang seribu sayang nyatanya hanya menjadi wacana. Ketika melihat jam dinding dipagi hari ternyata sudah pukul 07.20 menit dan itu menandakan kuliah sisa 10 menit lagi dimulai. Seketika aku langsung beranjak dari atas kasur sekret yang penuh dengan air liur senior -senior, kemudian aku bersiap-siap untuk mandi dan tanpa sarapan berangkat ke kampus. Saat tiba di kampus aku langsung bergegas menuju kelas dan seperti biasa, terlambat lagi.

“Permisi Pak boleh masuk?” ucapku kepada dosen.

“Silahkan masuk, tapi kamu sudah dinyatakan alpa pada mata kuliah bapak pagi ini.” Jawab dosen dengan raut wajah kusut seperti tisu bekas menyeka ingus.

Mendengar jawaban seperti itu aku hanya bisa terdiam dengan wajah muram. Bahkan sepanjang kelas berlangsung hingga berakhir aku hanya merenung menyesali perbuatan yang selalu saja buang waktu dan tidak konsisten terhadap apa yang sedang dijalani.

Selesai mata kuliah aku kemudian menuju ruang tunggu fakultas merenung sampai tersadar bahwa salah satu faktor kebiasaan buruk itu terjadi ialah selama ini lingkungan pergaulanku dikelilingi dengan orang-orang yang tidak menghargai waktu sehingga hal tersebut membawa aku terjerumus kedalam ruang inkonsisten.

“Aaa,,,,kenapa sih hidup tuh bisa secape ini,”
Teriakku penuh kesal.

Mendengar teriakanku seketika seorang senior yang hendak masuk ruang kelas menghampiriku lalu bertanya, “Kamu kenapa apakah ada masalah?” ucapnya dengan penuh keheranan.

“Ngga papa kak, saya hanya bersedih.” Kataku dengan wajah lesu.

Masih penasaran dengan jawaban yang diberikan, ia terus memaksa agar aku menceritakan apa yang sedang terjadi pada diriku.

“Ayo dek cerita saja sama kakak masalah apa yang kamu alami.”

Dengan nada yang menekan dan penuh paksaan, akhirnya aku menceritakan kepadanya tentang masalah yang menimpaku. Setelah menyimak detail yang kujelaskan ia kemudian menyemangati sekaligus memberikan motivasi kepadaku.

“Begini ya dek, susah dan senang itu akan selalu berdampingan jadi apapun yang kamu kerjakan jalani dengan ikhlas. Syukuri apa yang ada di hidupmu, sembari perbaiki yang masih kurang. Semua itu akan terasa ringan jika kita bersyukur, insya Allah dengan sendirinya Konsisten itu akan muncul.”

Setelah dialog singkat tersebut aku meniatkan dalam hati dan akan serius belajar disiplin menata waktu dengan baik agar bisa konsisten disetiap hari dan selamanya. Sebab selain kata senior tadi John C.Maxwell juga mengatakan, disiplin kecil yang di ulang dengan konsisten setiap hari mengarah pada pencapaian besar yang diperoleh secara perlahan seiring berjalannya waktu.

Dengan demikian, poinnya adalah jadikan semua kesalahan sebagai pembelajaran untuk kedepannya agar supaya tidak ada lagi kesalahan yang sama terjadi secara berulang-ulang.

Sekian dari penulis, semoga ada hikmah yang bisa dipetik oleh para pembaca melalui kesederhanaan cerpen ini.

Penulis : Novasari
Editor : Hajar

Keindahan Pantai Surga

Suara ombak yang menghantam karang membuat suasana pantai semakin hidup. Matahari pagi yang terbit bersamaan dengan kedatangan kami di Pantai Surga memberikan kehangatan yang menyenangkan. Pepohonan rindang di sekitar pantai memberi keteduhan dari teriknya sinar matahari.

Kami, keluarga besar, sudah lama memendam rasa penasaran untuk mengunjungi keindahan pantai ini. Kabar tentang keindahan alam yang luar biasa dan pemandangan yang menakjubkan sudah menarik perhatian kami sejak lama.

Setibanya kami di pantai, kami langsung terpesona dengan keindahannya. Pasir putih yang lembut, air laut yang bening, serta latar belakang perbukitan hijau yang memukau menjadi pemandangan yang mempesona. Tak berapa jauh dari tepi pantai, alam yang menarik perhatian kami adalah karang-karang indah yang tersebar di sekitar pantai. Karang-karang tersebut terlihat indah sekali dengan warna-warna cerahnya dan dipercantik dengan berbagai ikan yang berenang di sekitarnya.

Kami melihat banyak wisatawan yang sibuk beraktivitas di pantai. Beberapa di antaranya bermain bola di atas pasir, sementara yang lain asyik berjemur di bawah sinar matahari. Anak-anak berlarian sambil mencari kerang-kerang cantik yang tersembunyi di dalam pasir.

Dalam perjalanan kami menuju pantai, mata kami dihiasi dengan warna-warni layang-layang yang berterbangan di langit biru. Selain itu, kami juga melihat orang-orang yang naik selancar di atas ombak yang tinggi. Rasanya ingin ikut bermain di pantai ini.

Kami pun segera menyusuri pantai dan menikmati berbagai wahana yang ada. Rasanya sangat menyenangkan saat ombak menerjang. Sensasi adrenalin yang kami dapatkan saat berselancar menerobos ombak membawa kami semakin dekat ke tengah laut.

Makan siang kami habiskan di sebuah warung makan yang terletak di tepi pantai. Sambil menikmati hidangan laut segar, kami juga menikmati suara ombak yang semakin lama semakin keras. Suasana yang tenang dan damai membuat makan siang kami semakin nikmat.

Pada sore hari, kami memutuskan untuk menaiki kapal tradisional untuk menikmati keindahan pantai dari sudut yang berbeda. Sensasi menyusuri pantai sambil menikmati hembusan angin sore membuat kami semakin jatuh cinta dengan Pantai Surga ini. Sambil berlayar, kami juga melihat indahnya sunset yang terlihat semakin merah dan semakin memantulkan warna indah di langit.

Setelah satu hari penuh berpetualangan dan melihat keindahan pantai, kami pulang dengan hati yang riang dan pikiran yang penuh dengan kenangan indah tentang keindahan Pantai Surga ini. Keindahan alamnya masih menghiasi mimpi kami dan membuat kami ingin kembali ke pantai ini. Kami menyadari bahwa alam ini harus dijaga agar generasi mendatang masih bisa menikmati keindahan alam ini.

Dalam perjalanan pulang, kami berjanji untuk kembali lagi suatu hari nanti. Keindahan Pantai Surga ini sungguh tak terlupakan dan tetap membekas di hati kami.

Penulis: Muh. Aidul Saputra
Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan

Yang Tak Terlihat 

Namaku Tiara Anastasya. Ibuku telah lama meninggal saat melahirkanku, dan karena depresi ayahku pun menyusul ibu. Aku tinggal bersama nenek, namun seminggu yang lalu ia berpulang menyisakan diriku seorang.

Saat ini aku telah sampai di sekolah, tapi ada yang berbeda hari ini suasananya sangat ramai dimana para senior sedang membagi-bagikan brosur. Langsung saja aku mengunjungi salah satu senior disana lalu kemudian mengambil brosurnya yang bertuliskan “Pendaftaran Terbuka Ekskul Musik”.

Sekilas tentang Ekskul Musik. Ekskul ini merupakan salah satu ekskul yang banyak diminati karena, ekskul ini telah banyak melahirkan generasi yang berbakat dan selalu menjadi pemenang di setiap kompetisi musik yang ada hingga ke ajang internasional.

Singkat cerita, aku pun mendaftar. Setelah itu, kami digiring untuk uji keterampilan bermain musik. Kebetulan aku cukup lihai bermain gitar jadi tentunya aku lolos uji seleksi ini. Rasanya sangat senang sekali apalagi aku dapat berkenalan dengan banyak teman-teman baru yang sama-sama menyukai musik sepertiku.

Pada suatu hari, sepulang sekolah aku berniat untuk mengasah kemampuan gitarku menjadi lebih baik. Jadi, aku memutuskan ke ruang musik sebentar. Saat membuka pintu ruangan alangkah terkejutnya diriku menemukan banyaknya puntung rokok serta botol minuman yang bertebaran, ditambah salah satu seniorku yang bernama kak Aldi yang hanya selonjoran kaki di sofa yang ada di ruang musik tersebut.

“ Bersihkan, saat aku bangun aku tidak ingin melihat satupun kotoran atau tau sendiri akibatnya ”, Kata kak Aldi. Kemudian ia lanjut tidur.

Karena aku menghormatinya sebagai seniorku jadi, aku membersihkan sampah-sampah yang ada di ruangan ini. Dan setelah bersih, aku pun melanjutkan niatku datang ke tempat ini. Saking fokusnya aku tidak sadar bahwa sudah ada sepasang kaki menjulang. Dan saat aku menengok ke atas, ternyata itu adalah kak Aldi.

“ Kenapa ya kak? ”, Tanyaku heran.

“ Ritme dan tempo untuk lagu yang kau mainkan salah ”, Tegur Kak Aldi.

“ Sini aku ajarkan cara yang tepat itu gini ”, Lanjutnya. Mengambil gitar itu kemudian duduk di sampingku dan mempraktekkannya.

Di dalam kamar, saat mengerjakan tugas sekolah terlintas di pikiranku tentang kejadian tadi. Dan tiba-tiba aku teringat salah satu aturan tata-tertib yang mengatakan siswa dilarang membawa atau mengonsumsi rokok apalagi minuman keras bahkan aturan itu dibacakan dengan lantang setiap upacara bendera.

“Apa sebaiknya ku laporkan saja yang kulihat tadi? tapi aduh…aku tidak punya sesuatu untuk dijadikan barang bukti dan pasti puntung rokok dan botol minuman itu sudah diangkut oleh tukang bersih-bersih sekolah”, Ucapku bermonolog.

Di suatu hari saat berniat pulang sekolah, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Jadi, sambil menunggu hujan reda aku pun mampir ke ruang musik. Saat baru saja ingin membuka pintu aku mendengar suara-suara aneh di dalam. Karena penasaran, aku kemudian mengintip di sela-sela pintu dan apa yang kutemukan adalah sebuah pemandangan menjijikan seniorku Kak Rian dan Kak Rani. Tanpa babibu aku langsung beranjak dari tempat yang sudah ternodai itu.

Sudah berulang kali aku dapatkan kejadian seperti itu selama 3 bulan sejak aku masuk dalam Ekskul Musik ini, entah antar sesama senior maupun antar senior dan junior. Karena sudah muak, aku pun diam-diam memotret kelakuan mereka dan melaporkannya kepada pihak sekolah. Namun, yang kudapatkan sebaliknya adalah teguran bahkan mereka tidak segan-segan mengancamku jika aku melaporkan hal ini kepada pihak berwajib.

Sebenarnya ada apa dengan orang-orang di sekolah ini? mereka seakan-akan menutup-nutupi. Setelah kutelusuri alasan pihak sekolah berbuat demikian, ternyata tak bukan karena orang tua para senior Ekskul Musik ini adalah orang penting dalam pemerintahan. Semuanya menjadi masuk akal sekarang yaitu karena uang dan kekuasaan.

Semenjak kejadian itu, sudah terhitung sebulan aku tak pernah datang lagi ke ruang musik. Hari ini, aku sedang bersantai di halaman rumah sambil menikmati cemilan dan minuman dingin yang telah aku buat.

“ kriiing ”, sebuah notifikasi muncul. Tak ayal bunyinya mengejutkanku.

Aku pun meraih ponselku, dan membukanya ternyata pesan dari grup ekskul yang mengatakan untuk datang rapat persiapan tampil di pentas seni. Tapi, yang membuatku heran disini adalah kenapa tempat rapatnya di tempat karaoke, kan sungguh tidak masuk akal. Namun, karena aku berniat mengundurkan diri secara terbuka, jadi, aku pun memutuskan untuk datang ke tempat tersebut.

Saat sampai ke tempat tujuan aku langsung masuk di salah satu ruangan seperti yang tertera dalam grup sebelumnya. Di dalam ruangan tersebut yang kudapatkan hanyalah para senior laki-laki. Melihat hal itu aku memutuskan menunggu yang lain di luar ruangan saja. Saat hendak berbalik tiba-tiba aku ditarik dan kedua tanganku ditahan. Aku panik, mereka mau apakan diriku? apalagi dihadapanku sudah berdiri kak Aldi yang menatapku tajam.

“ Kak apa-apaan ini? ”, Tanyaku. Sambil berusaha melepaskan diri.

“ Pakai bertanya lagi, guys sikat dia ”, Ujar kak Aldi. Tanpa menghiraukan pertanyaanku.

Hari itu sungguh kejadian mengerikan sekaligus menjijikan yang aku alami dalam hidup ini. Kejadian dimana, harga diriku dan tubuhku rusak serta hancur berkeping-keping.

“Inilah akibatnya jika coba melawan kami”, Ujar kak Aldi. Sambil menamparku 3 kali. Lalu pergi begitu saja meninggalkanku.

Beberapa saat kemudian, dengan langkah tertatih menahan perih dan sakit akupun mulai berjalan keluar. Orang-orang sekitar hanya memandangku bahkan terkesan mengabaikan.

“Ibu, aku sudah tak sanggup lagi mereka jahat bu, mereka semua gila, bawa aku pergi dari sini bu”, Ucapku. Sambil terisak.

Saat melihat truk dari kejauhan, tanpa pikir panjang langsung saja kutabrakkan diri ini pada truk yang sedang melaju itu, dan Sebelum benar-benar menutup mata, akhirnya setelah selama 16 tahun hidup aku dapat melihat ibuku sedang tersenyum kepadaku.

“Ibu, aku datang…”, Ucapku. Sambil membalas senyumannya.

TAMAT

Penulis : Rose Nere
Editor: Redaksi

Arti Keluarga

Objektif.id – Semilir angin, kicauan burung serta cahaya senja bersinar menerpa wajah sesosok gadis yang berada dalam sebuah rumah pohon sambil tersenyum dengan sorot mata teduhnya.

Tiba-tiba terdengar seruan pemuda dari bawah pohon meneriakkan nama gadis itu.

“Ayana, Ayana, Ayanaa!”, Teriak pemuda itu.
“iyaa!, Naiklah kak Al”, Jawab Ayana.

si pemuda tadi atau biasa dipanggil Al tersebut memutuskan untuk naik ke rumah pohon tempat Ayana menikmati sinaran senja.

Setelah Al naik ia pun duduk di samping Ayana. Tanpa banyak kata Ayana memberikan sebuah surat kepada Al. Meski agak ragu, Al akhirnya menerima dan membaca isi yang tertera dalam surat tersebut. Beragam macam ekspresi turut hadir di wajahnya.

“Apa ini Ayana, katakan padaku bahwa semua ini tidak betul… katakan!!!”, Seru Al mengguncang bahu Ayana.

“Kak Al sendiri telah melihatnya kan? apa perlu aku harus jelaskan lagi?” Tanya Ayana. Menatap langsung tepat di mata kakaknya.

Sambil menarik napas dalam-dalam Ayana menjelaskan maksud dari surat tersebut.

“Baiklah, seperti yang tertulis dalam surat bahwa aku sekarang divonis kanker otak dan sudah memasuki stadium akhir… Hahaha sungguh ironi bukan hidupku ini?” Jelasnya diselingi tawa. Yang jika didengar tawa tersebut penuh sarat akan ketidakberdayaan untuk hidup.

Al yang mendengar pengakuan langsung dari adiknya tanpa disadari wajah rupawan itu telah dibanjiri oleh air mata. Ia pun lantas menampar wajahnya sendiri berkali-kali dan mengucap berbagai kata penyesalan kepada adiknya.

Melihat respon yang ditunjukkan Al, sebaliknya Ayana semakin tertawa. Karena, ia tahu bahwa kakaknya ini adalah orang yang tidak pernah peduli sedikitpun kepadanya. Bahkan disaat kedua orangtua mereka memarahi dan memukulinya sekalipun dia hanya duduk bersantai di ruang keluarga sambil bermain dengan ponselnya.


Hujan yang mengguyur bumi secara terus-menerus kala itu tak membuat langkah kaki sesosok gadis berseragam SMA bernametagkan Ayana Putri untuk cepat sampai ke rumah kediamannya.

Tak lama kemudian, Ayana telah sampai ke rumahnya dengan pakaian yang basah kuyup di guyur hujan. Bukannya sambutan hangat yang diterima sebaliknya tamparan keras oleh Sang kepala keluarga mendarat mulus di wajah jelita Ayana hingga meninggalkan bekas.

“Kamu darimana saja Ha? mau jadi apa kamu diluaran sana Ha? jam segini baru pulang”, Teriaknya berapi-api tepat di depan wajah putrinya.

Baru saja Ayana akan menjelaskannya. Namun, ayahnya langsung mengangkat lima jarinya mengisyaratkan untuk diam. Setelah itu, ia pun berlalu pergi meninggalkan Ayana yang terduduk lemas di lantai yang dingin dengan wajah lebam kemerahan akibat tamparan yang bertubi-tubi ia terima.

Ayana melihat sekitar berharap ada yang membantunya. Namun, yang ia dapatkan sungguh membuat dadanya sesak tak tertahankan. Dimana, Sang kakak yang sebagai perisai pelindung malah asik tertawa dengan ponselnya, Sang ibu yang sejatinya adalah seseorang yang tidak pandang bulu dalam hal menyayangi anaknya malah sibuk membaca majalah. Di rumah ini ia tak ayalnya bagaikan setitik debu yang kehadirannya tidak diinginkan sama sekali.

Kejadian seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari Ayana dapatkan dari penghuni rumah tersebut. Bahkan tak jarang tindakan pengusiran Ayana dapatkan yang menyebabkan ia harus menahan lapar dan tidur didepan toko-toko yang telah tutup. Tiada seorangpun yang berniat mencari dirinya.

Berujung Ayana sendirilah berinisiatif pulang dan harus bersujud meminta maaf kepada ayahnya atas kesalahan yang bahkan ia sendiri tak tahu apa. Hal ini terjadi karena, ayahnya langsung pergi begitu saja setelah melampiaskan amarahnya.

Ayana kadang selalu berpikir dalam hati Mengapa orang-orang di rumah itu selalu menebarkan kebencian terhadap dirinya. Apa salah dirinya? hanya ada kata kenapa dan mengapa yang terus berkecamuk dalam benaknya.

Mengingat semua itu, Ayana semakin tertawa kencang. Al yang melihatnya merasa heran akan sikap adiknya. Bukannya merasa sedih mengidap penyakit yang mematikan malah menunjukan ekspresi seakan-akan bahagia akan hal itu.

“Ayana! Hey sadarlah, apa yang lucu dari semua ini kamu divonis penyakit yang mematikan apa kau menyadarinya itu, dan itu artinya hidupmu sudah tak lama lagi Ayana”, Ujar Al lirih.

“Hahaha, menurutku lucu saja melihat reaksi mu itu. Dan aku penasaran gimana reaksi orang tua kita, apakah reaksinya akan sama seperti mu? Aku tak sabar menantikannya”, Balas Ayana menyeringai sinis.

Ayana pun bangkit dari duduknya. Kemudian, berjalan menuju tasnya entah mengambil apa lalu berbalik lagi kepada Al.

“Sekarang, aku tanya mengapa kamu peduli? hm… bukannya kamu tak pernah peduli sedikit pun kepadaku ya, ohh apa perlu kuingatkan lagi segala perlakuanmu kepadaku dulu? dimana Al itu hanya melihat saja adiknya diperlakukan layaknya sampah oleh keluarganya sendiri, sosok Al itu dimana saat adiknya diusir malah memilih pergi bersenang-senang bersama teman-temannya… Sebenarnya apa sih arti diriku untuk kalian? kenapa kalian memperlakukan seperti itu? apakah jika aku mati akan membuat kalian puas? itukan yang sebenarnya kalian inginkan, maka baiklah aku akan mewujudkannya”, Tukasnya dingin.

Jika memang kematian adalah jalan memutus rantai derita ini maka Ayana akan dengan senang hati melakukannya. Ia pun memperlihatkan benda yang ia ambil dari dalam tasnya sebelumnya yang ternyata adalah pisau.

Tanpa babibu Ayana langsung menyayat lehernya sendiri dengan pisau itu. Sedang, Al yang melihatnya hanya bisa menatap kosong tubuh adiknya yang telah tergeletak di genangan darah yang dihasilkan oleh Sang adik. Kemudian, tak lama setelah itu, Al dengan rasa penyesalannya akhirnya memutuskan menjatuhkan dirinya dari pohon yang tingginya kurang lebih 20 meter. Menyusul Sang adik.

TAMAT

Penulis: Rose Nere
Editor: Redaksi