Semua mahkluk, yang hidup-mati, baru-lama, mereka memanggilnya Sonyior. Dia akan marah bila tidak dipanggil Sonyior. Tapi kadangkala orang berbicara sendiri dalam hatinya, “kalau dia marah dipanggil lain, sekalian saja kita panggil dia Tuhan.”
Diwaktu mudanya, Sonyior pernah tergabung dalam organisasi kemahasiswaan politik dan organisasi pemberitaan. Oh, tentu dimasa itu dia masuk dalam deretan tokoh-tokoh mahasiswa paling gacor di kampusnya.
Berbekal dengan pengalaman yang dia dapatkan, Sonyior menjadi piawai untuk mengakrabkan diri pada perempuan. Kelincahannya dalam menguasai lorong-lorong asrama putri, membuat dirinya dinobatkan sebagai bapak kos pemberdayaan perempuan.
Karena kehebatannya itu, Sonyior beruntung menikah dengan seorang janda muda, anak satu, usia anaknya berusia 5 Tahun.
“Lihat! Sonyior diberkati Tuhan, beli satu gratis satu,” ucap teman-teman Sonyior yang sedang seru menonton video meme, salah seorang kandidat kepala kampung yang mengatakan akan mempercepat kemiskinan ketika terpilih menjadi pemimpin.
Menjelang 21 Tahun umur pernikahan Sonyior, istrinya pulang terlebih dahulu menghadap sang Illahi. Waktu yang cukup panjang diantara mereka berdua dalam memadu kasih.
Tapi dalam benak Sonyior, berusaha menguatkan dirinya, “Tuhan lebih sayang istrinya. Kepergiannya tidak kemudian membuat harapan Sonyior hilang. Dia tahu bahwa hidup harus tetap dijalani ke depan.”
Kemudian dalam hatinya bergumam, “bahwa kehilangan istri dengan seluk beluk kisahnya selama 21 Tahun tidak terlalu sakit, ketika dibandingkan dengan usia 21 Tahun reformasi yang disabotase oleh pejabat publik, dengan cara melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baik dari dalam internal struktural maupun secara moralitas kelembagaan.”
Sejak kepergian istrinya, perhatiannya kini tertuju pada anak satu-satunya, yang secara gratis dia peroleh sewaktu meminang istrinya dahulu.
Saat anaknya itu berusia 5 Tahun, dia belum mempunyai nama. Sonyior waktu itu sempat berpikir ingin menamainya Binahong, nama seorang Raja pada dinasti Teataru, yang bertahta sejak 586-465 Masehi.
Namun dirinya khawatir nama itu akan disalahgunakan oleh anaknya. Sonyior sadar betul, bahwa di Negerinya, setiap orang yang memakai nama-nama Raja dan tidak berperilaku baik maka akan membuat kegaduhan, dengan tuduhan yang bersifat diskriminasi.
Katanya, di Negeri Sonyior, mereka yang melabeli dirinya dengan nama-nama Raja tidak boleh merusak marwah baik yang ada pada nama-nama itu. Jika pengguna nama-nama Raja berbuat tidak baik maka itu dia anggap sebagai penghinaan suku terhadap keturunan para Raja.
Dengan kerisauan itu, akhirnya Sonyior batal mengenakan nama Raja pada anaknya. Karena itu batal, digantinya nama anaknya menjadi Mulyono, yang dia dapati dalam mimpinya sewaktu berziarah ke kubur istrinya. Pikirnya, nama itu cocok untuk anaknya, sepertinya itu pemberian dari istrinya.
“Tapi, di masa yang silam nama itu bagaikan momok yang menakutkan. Pernah terjadi pada seorang anak, saat dinamai Mulyono, dia sering sakit-sakit. Apa kau tak takut jika anakmu menggunakan nama itu?” Ucap ketua perdukunan di kampung Sonyior.
“Karena sering sakit-sakit, anak itu diberi nama baru, yaitu kodowi. Ampuh! Selain sakitnya hilang nama itu juga yang akan menguasai Negerinya selama 1 dekade, dengan ragam dinamika sosialnya,” ungkap dukun itu, berusaha meyakinkan Sonyior untuk tidak memakai nama Mulyono pada anaknya.
Setelah merasa bahwa nama yang dia pikirkan nantinya akan berdampak buruk pada anaknya. Dia memutuskan untuk ke pasar bunga. Barang kali muncul inspirasi dalam kepalanya untuk memberikan nama yang tepat kepada anaknya.
Sesampainya di pasar bunga, dan memasuki salah satu toko bunga kembang. Di dalam toko itu, Sonyior memperhatikan semua karyawan yang ada. Yang masing-masing dibaju karyawan tertera nama mereka. Diantaranya, Nira, Makus, Marah, Vano, Memoy, Kenni, Hidawa, Haris, dan terakhir Adede. Dari sekian nama-nama itu, Sonyior hanya tertarik pada sosok Adede, yang sejak Sonyior memasuki toko bunga sampai bergegas meninggalkan toko itu hanya Adede yang begitu aktif merapikan bunga-bunga yang berserakan sekaligus menyiapkan semua orderan yang akan diantar kepada konsumen.
Akibat dari keseriusan serta tanggung jawabnya dalam bekerja, Sonyior merasa terpana dengan Sikap Adede. Sebelum meninggalkan toko bunga, Sonyior menghampiri Adede yang masih sibuk menyusun bunga, kemudian bertanya kepada Adede, “kamu kenapa semangat sekali bekerja? Semua dikerjakan oleh kamu, padahal disini karyawannya bukan cuma kamu,” kata Sonyior dengan tatapan mengagumkan pada Adede.
“Dari dulu, orang tua saya keras mengajarkan untuk tidak lupa diri terhadap tanggung jawab yang diberikan,” ujar Adede sambil senyum.
“Karyawan disini memang bukan cuma saya. Tapi, kalau mau tunggu rasa malas teman-teman hilang, dan sementara dilain sisi mereka tidak berusaha keras merubah diri, kalau seperti itu maka toko ini tidak akan berkembang. Olehnya itu saya bergerak sendiri. Selain dari orang tua, saya juga belajar pada literatur yang ada. Pengembaraan terhadap literatur, membawa saya pada kalimat Tan Malaka, yang mengatakan begini: Disiplin itu nyawanya gerakan, Hanya mengaku setuju pada program itu bukan disiplin. Apalagi hanya hapal program. Program itu dijalankan dengan aksi, aksi, dan aksi,” kata Adede sembari mengeraskan suara agar didengar oleh teman-temannya.
“Semuanya menawan, tapi buat apa kalau hanya sekadar tampan dan cantik diparas? Teman-teman Adede, Pemalas! Apa itu yang mau dibanggakan, yang katanya sebagai generasi emas? Dasar Tolol,” desis Sonyior saat melangkah keluar dari toko bunga.
Dengan hati yang mantap, Sonyior menjadikan sikap Adede sebagai sosok yang kelak bisa terpatri pada anaknya. Sebenarnya dia ingin menamai anaknya Adede, tapi Sonyior berpikir kalau nama Adede terlalu kampungan untuk anaknya yang nanti akan ke Kota melanjutkan Jenjang Pendidikannya di perguruan tinggi. Akhirnya Sonyior merevisi nama Adede menjadi Adinda. Ya, Adinda untuk nama anaknya.
Merawat Adinda dengan penuh kasih sayang, Sonyior menunggu dengan hati yang cukup sabar. Kelak angan-angannya pasti menjadi kenyataannya. Sonyior yakin dengan nama itu, semoga Adinda bisa mengadopsi sikap yang ada pada Adede, dan pada diri Sonyior, yang dulunya pernah aktif sebagai aktivis jurnalis mahasiswa yang tajam dan kritis.
Sonyior merasa sangat bahagia, dia mengambil selembar kertas menambahkan kata jurnalis dibelakang nama Adinda. Sonyior membayangkan nama anaknya menjadi Adinda Jurnalis.
Sonyior yakinkan cita-citanya pada semua tetangganya, bahwa itu akan tercapai.
“Aku turut berduka jika kabar kemiskinan kalian tidak terkabarkan kepada masyarakat luas, terkhusus kepada pemerintah. Andai Adinda telah jadi jurnalis, kehidupan miskin kalian pasti akan mendapat perhatian lewat tulisannya,” kata Sonyior bangga.
Dan kalau Sonyior mengetahui telah terjadi kekerasan seksual pada tetangganya kemudian tidak mendapat perhatian publik, dia akan berkata, “sungguh malang nasib mereka, coba kalau Adinda sudah jadi jurnalis, pasti kasus anak itu akan sampai kepada Presiden.”
Sejak Adinda berangkat ke Kota Kunduru, Sonyior bertambah yakin, bahwa dari hari ke hari, bulan ke bulan, hingga tahun ke tahun, Adinda akan meraih apa yang selama ini Sonyior cita-citakan.
Terbukti, bahwa Adinda setiap tahun mengirimkan Sonyior Kartu Hasil Studi (KHS) jurusan jurnalistiknya, dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang baik. Terlebih lagi adinda mengikuti jejak Sonyior memasuki organisasi sewaktu dia mahasiswa dulu.
Waktu Sonyior membaca pesan-pesan Adinda yang menceritakan perkembangannya, Sonyior terharu gembira. “Saya akan bangga padamu, cita-cita yang ku dambakan akan Adinda laksanakan. Memang, kau harus jadi jurnalis. Kau akan rasakan kerja-kerja kemanusiaan itu. Orang akan lebih butuh pertolonganmu. Dan kau akan disegani.”
Semenjak hari itu, Sonyior kurang punya kesabaran oleh waktu yang tak kunjung tiba menjadikan Adinda sebagai seorang jurnalis. Tapi semua orang tahu bahwa cita-cita sonyior hanya menjadi mimpi belaka.
Orang-orang bingung bagaimana harus mengatakan agar Sonyior percaya. Sonyior justru memusuhi orang yang menjelekkan Adinda. Sonyior beranggapan kalau orang-orang itu hanya iri saja dengan kemajuan yang dicapai anaknya.
Tanpa pikir panjang, Sonyior terus-menerus memanjakan Adinda. Segala macam bentuk dia upayakan demi proses belajar Adinda.
“Cepatlah pulang dan bawa pengalaman jurnalismu, biar kau tampar mereka lewat tulisan-tulisan yang kau buat,” tulisnya pada pesan yang akan dia kirimkan.
Dengan begitu, orang-orang kasihan pada Sonyior. Akhirnya semua orang tak berbicara yang sungguh-sungguh benar lagi. Mereka justru memuja-muji Adinda yang katanya serius ingin menjadi jurnalis.
“Anak Sonyior itu, persis seperti bapaknya dulu waktu jadi mahasiswa. Kalau tidak ada kuliah, dia ke kantor jurnalis mahasiswanya. Kata teman-temannya, Adinda masuk divisi Layout, Audiovisual, sekaligus Reporter. Diantara ke tiganya tidak ada yang dia geluti serius,” ungkap seorang warga yang anaknya berteman dengan Adinda.
Sonyior merasa tersinggung mendengar perkataan itu, “kalau kamu tidak liat langsung apa yang dilakukan Adinda, tidak perlu sok tahu.”
Pada warga yang lain terjadi percakapan pelan, “kalau Adinda hanya sekadar masuk organisasi, pasang nama. Itu namanya cuma numpang tenar. Kalau seperti itu, apa bedanya Adinda dengan tehel, debu, dan benda-benda mati yang ada dikantor jurnalistiknya,” ucap mereka menahan tawa, takut didengar Sonyior.
Setiap orang yang memuji Adinda, pasti diberi apresiasi yang tinggi oleh Sonyior.
“Anakmu anak yang baik, dia pasti berhasil. Kamu akan bangga Sonyior. Seluruh Kota Kunduru, mengenal dirinya, Semua laki-laki berharap diterima cintanya oleh Adinda,” kata warga yang baru pulang dari Kota.
Sonyior dengan bangga berkata, “bukan main, begitu hebat rupanya putriku. Dia berhasil lebih maju dariku. Haa haha ahee. Dia memang cantik seperti ibunya, siapa yang tidak inginkan dia. Datanglah kau ke rumah, kita potong ayam untuk mosonggi.”
Kemudian kalau Sonyior ketemu pria-pria pengangguran dikampungnya, dia akan mengatakan,”kau kenal Adinda? Nanti aku kenalkan kalian kepada dia, biar masalah pengangguran masuk dalam agenda-agenda peliputannya.”
Para pria itu mukanya merah, merasa marah. Namun bagi Sonyior muka merah itu karena tersipu malu, bangga, akan dikenalkan oleh anaknya.
Ketika Sonyior tahu kalau anak Ketua kampung ingin menikah. Sonyior merasa bahwa Adinda juga sudah harus dia pikirkan pada siapa akan dipasangkan. Tapi Sonyior akan membenci kepada setiap warga yang memiliki anak tampan yang tidak mempedulikan Adinda.
Namun kepada Adinda, Sonyior tak menunjukkan marah. Dia mengatakan manja, “banyak pria yang datang, semua tertolak. Saya yakin pada dirimu Adinda, kau tentu lebih mementingkan proses belajarmu dibanding persoalan laki-laki. Kau akan jadi orang hebat. Pilih saja laki-laki dari Kota. Laki-laki yang sesuai dengan kau,” tutup pesan Sonyior.
Jika dulu Adinda yang berbohong, Sonyior yang percaya. Masa kini, Sonyior yang menipu, Adinda yang percaya.
Untuk membuktikan kebenaran pesannya kepada Adinda, Sonyior kirimkan semua koleksi foto laki-laki yang ada padanya. Sonyior terus menerus mengirim foto, baik yang sudah menikah atau belum. Sonyior berharap semoga anaknya tidak tertarik terhadap foto-foto itu.
Sonyior merasa khawatir kepalsuan sandiwaranya berakhir pada suatu waktu. Adinda, lama-lama pasti tahu, dan tentu itu akan memunculkan masalah baru.
Berkenaan dengan foto terakhir yang Sonyior kirimkan pada Adinda, bertepatan pula kabar dari Adinda tak pernah datang lagi. Lesuh dan gelisah Sonyior menanti kabar anaknya. Tak langsung menyerah Sonyior masih terus mengirimi Adinda pesan. Dikirimnya, ditunggunya. Tak terbalas juga. Bulan datang dan pergi, Sonyior terus menunggu.
Suatu hari yang tidak berpihak pada Sonyior. Datang warga yang baru pulang dari kota dengan membawa kabar bahwa pesan-pesannya tak pernah tersampaikan. Betapa remuk dan hancur perasaan sonyior. Dia tak percaya dengan hal itu. Sonyior berusaha untuk tak menyakini apa yang dia dapati. Dipaksanya dirinya untuk menganggap semua itu hanya mimpi.
Segalanya menjadi tidak baik sejak saat itu. Hanya satu orang yang Sonyior inginkan, kabar dari Adinda. Seakan semuanya telah berakhir. Hidupnya tak bergairah lagi. Tiba-tiba Sonyior ingat asal-usul nama Adinda. Harapannya dulu, bahwa Adinda harus menjadi seperti Adede yang tekun dan bertanggung jawab, dan seperti dirinya yang jadi aktivis mahasiswa yang tajam dan kritis.
Sabar menunggu dari hari ke hari, tiba masa dimana kabar tentang adinda sampai pada Sonyior. Langkah pelan dari seorang warga yang nampak memasuki halaman rumah Sonyior dengan map kuning ditangan.
Sonyior yang lumpuh sejak tak pernah mendapat kabar dari Adinda. Tiba-tiba bangkit mendatangi warga itu. Dengan tubuhnya yang kusut tak berdaya, dia bersandar pada kursi dan menyuruh warga itu membacakan pesan yang dia bawa.
Hening sementara, warga itu kemudian membacakan pesan untuk Sonyior: “diawal memasuki kampus sampai bergabung pada organisasi jurnalis kemahasiswaan. Adinda begitu sangat disayangi oleh semua orang, bahkan semua panggung proses diberikan padanya. Semua itu dilakukan dengan maksud, agar Adinda lebih giat lagi menempa dirinya untuk mewujudkan cita-cita Sonyior. Tiba suatu masa, dimana Adinda……,” tak selesai pesan itu dibacakan warga, Sonyior memerintahkan untuk tidak meneruskan pesan itu.
“Tak akan sanggup saya mendengarnya. Saya akan mati lemas oleh kebahagiaan yang ada dalam pesan itu. Tunggu sampai tubuhku sehat, baru kau datang lagi untuk bacakan pesan itu,” ucap Sonyior yang suaranya kembali membara seperti waktu awal dia membangga-banggakan Adinda.
Sepanjang jalan, saat warga itu pulang. Dia tetap melanjutkan membaca isi pesan. Isi pesan itu sebagai berikut: “tiba suatu masa, dimana Adinda selalu merasa bisa, tapi sejatinya dia tidak pernah bisa merasa. Semua tanggung jawab yang diberikan tidak pernah serius dia kerjakan. Memang tetap ada yang menormalisasi sikapnya, muncul sebagai pahlawan. Tapi dengan sikap Adinda yang seperti itu, ternyata dia tidak ada bedanya dengan teman-teman Adede yang dulu pernah diberi umpatan buruk oleh Sonyior. Kalau Adinda merasa belajar seharusnya ada progres. Tapi itulah dia, selalu merasa bisa, tapi tidak bisa merasa. Meskipun demikian, secara otomatis seleksi alam akan berlaku, disetiap zaman, pada setiap orang. Adinda tidak cukup sabar menangkap maksud dari pesan belajar yang diberikan. Terlalu manja, apalagi ketika ada yang muncul sebagai pahlawannya. Dengan sadar, tidak akan ada penyesalan dengan kepergian. Waktu terlalu singkat untuk memikirkan itu. Jika Adinda hanya menginginkan kenyamanan saja, lebih baik Adinda tidak usah hidup. Untuk Sonyior yang terhormat, tolong jangan takut kehilang Adinda. Kalau kehilangan Adinda, kita masih dapat Adinda-Adinda yang lain. Justru takutlah kalau kehilangan ide, karena kalau itu yang hilang kita akan punah sebagai sebuah peradaban. Atau…..”
Tidak selesai pesan itu dibacakan, si warga menutupnya dan mengatakan, “nanti saja saya lanjutkan. Nanti kalau Sonyior sudah sehat. Padahal masih ada bagian cerita-cerita Adinda tentang kelupaannya pada suatu hal,” ucap warga sembari membuang ludah, Kemudian melanjutkan perjalanan pulangnya.
Kendari, Minggu 03 November 2024
Penulis: Hajar
Editor: Tim redaksi