Pengaruh Perang Timur Tengah Terhadap Pasokan Minyak Indonesia

Objektif.id – Warga Indonesia diminta untuk lebih hemat dalam menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) menyusul situasi geopolitik yang semakin memanas di Timur Tengah. Perang yang terus menggila di kawasan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian pasokan minyak dunia, yang berdampak langsung pada ketersediaan dan harga BBM di dalam negeri.

Pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengingatkan masyarakat agar bijak dalam konsumsi BBM demi menjaga stok yang ada tetap aman dan mencukupi kebutuhan nasional. Per 16 Juni 2025, stok Pertalite tercatat cukup untuk 21 hari, Pertamax untuk 29 hari, dan Solar untuk 19 hari, angka yang masih tergolong aman namun mengindikasikan perlunya penghematan.

Kondisi ini menjadi peringatan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengurangi penggunaan BBM secara tidak perlu. Analis dari Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menegaskan bahwa potensi gangguan pasokan minyak akibat konflik di Selat Hormuz dapat memicu kenaikan harga BBM dan LPG di Indonesia. Oleh karena itu, langkah penghematan menjadi sangat krusial agar beban subsidi pemerintah tidak semakin membengkak dan berdampak negatif pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini menekankan pentingnya percepatan program elektrifikasi kendaraan sebagai solusi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada BBM.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor minyak dan gas bumi (Migas) sebesar US$ 36,27 miliar pada 2024, naik dari US$ 35,83 miliar pada 2023. Kenaikan impor ini menambah tekanan pada APBN, terutama dalam hal subsidi BBM dan LPG yang terus membengkak.

Analis Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna, memperingatkan risiko pembengkakan subsidi yang dapat membebani keuangan negara dan masyarakat. “Resiko peningkatan subsidi semakin membengkak dan lagi-lagi mengingatkan pentingnya Indonesia bergeser menuju kendaraan listrik. Biaya yang membengkak tersebut akan membebani kantong masyarakat ataupun APBN,” ujarnya.

Pemerintah sendiri tengah melakukan reformasi subsidi BBM yang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi dan memperbaiki distribusi subsidi agar lebih tepat sasaran. Dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2025 menyebutkan bahwa pengendalian kategori konsumen BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar dapat mengurangi konsumsi hingga 17,8 juta kiloliter per tahun.

Kebijakan ini diharapkan mampu menghemat anggaran subsidi hingga Rp67,1 triliun per tahun, sekaligus mengurangi beban APBN yang selama ini harus menanggung kompensasi besar akibat harga jual BBM yang masih di bawah harga keekonomian.

Pertamina sebagai perusahaan BUMN yang bergerak di sektor energi juga mencatat kenaikan penjualan BBM sebesar 5,6% pada tahun 2024, yang menunjukkan peningkatan kebutuhan energi masyarakat.

Masyarakat diimbau untuk berperan aktif dalam penghematan BBM dengan cara-cara sederhana namun efektif, seperti mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, memanfaatkan transportasi umum, dan melakukan perawatan kendaraan secara rutin agar lebih efisien dalam konsumsi bahan bakar.

Selain itu, penggunaan teknologi kendaraan listrik yang semakin berkembang juga menjadi alternatif yang menjanjikan untuk masa depan. Kesadaran kolektif ini sangat penting untuk menjaga ketahanan energi nasional di tengah ketidak pastian global.

Putra Adhiguna menambahkan bahwa pentingnya peran pemerintah untuk segera mencari jalan keluar terhadap potensi kenaikan harga BBM dan LPG melalui program elektrifikasi yang dinilai bisa meringankan beban APBN., “Hal seperti ini terus berulang dan memerlukan cara pandang yang lebih jauh dan terus berusaha mengganti peran BBM dan LPG dengan elektrifikasi kendaraan dan dapur serta membuat cadangan BBM yang lebih kuat”, katanya.

Di tengah tantangan global dan kebutuhan domestik yang terus meningkat, penghematan BBM menjadi langkah strategis yang harus dijalankan oleh seluruh warga negara. Langkah ini bukan hanya demi kepentingan ekonomi dan lingkungan, tetapi juga sebagai bentuk solidaritas nasional dalam menghadapi tantangan global yang tidak mudah diprediksi. Penghematan BBM adalah tanggung jawab bersama yang harus dijalankan dengan kesadaran tinggi demi masa depan bangsa yang lebih baik.

Belajar dari Ambang Kehancuran: Menakar Posisi Indonesia Melalui Lensa Collapse Karya Jared Diamond

Penulis: Rizal Saputra H. Sembaga (Mahasiswa Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo)

Dalam karyanya yang monumental Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed, Jared Diamond, menggugah kesadaran kita bahwa keruntuhan suatu peradaban tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari akumulasi keputusan sosial, kebijakan politik, dan respons terhadap tekanan lingkungan. Lewat pendekatan multidisipliner, Diamond membedah penyebab runtuhnya berbagai masyarakat — dari Pulau Paskah hingga Kekaisaran Khmer — dengan membandingkannya pada masyarakat modern yang menghadapi krisis yang sama. Dua studi kasus penting, yakni perbandingan Republik Dominika vs Haiti, serta Montana di Amerika Serikat, menjadi cermin reflektif yang sangat relevan bagi Indonesia saat ini.

Republik Dominika vs Haiti: Satu Pulau, Dua Takdir

Pulau Hispaniola di Karibia menjadi laboratorium sosial yang unik. Ia dihuni oleh dua negara: Haiti dan Republik Dominika. Meskipun berbagi ekosistem yang sama, kedua negara memiliki nasib yang sangat berbeda.

  • Haiti: Gambaran Keruntuhan Ekologis Haiti adalah contoh nyata dari masyarakat yang runtuh karena eksploitasi alam yang tak terkendali. Sekitar 98% hutan di Haiti telah hilang akibat penebangan untuk kayu bakar dan perluasan lahan pertanian. Negara ini juga menghadapi kemiskinan ekstrem, pemerintahan yang korup, dan lemahnya penegakan hukum. Tanpa sumber daya alam yang cukup, Haiti terperosok dalam siklus bencana ekologis dan kemanusiaan yang tiada akhir.
  • Republik Dominika: Jalan Menuju Pemulihan Sebaliknya, Republik Dominika, di bawah kepemimpinan Presiden Joaquín Balaguer pada 1960–1990, berhasil menghindari keruntuhan. Ia menerapkan kebijakan konservasi hutan yang agresif, melarang penebangan liar, dan memperkuat lembaga perlindungan lingkungan. Meski rezimnya otoriter, hasilnya nyata: tutupan hutan tetap terjaga, banjir dapat dikendalikan, dan ketahanan ekologis masyarakat meningkat.

Montana: Potret Dilema dalam Negara Maju

Montana, negara bagian di Amerika Serikat yang kaya akan sumber daya alam dan dikenal akan keindahan alamnya, justru menghadapi degradasi ekologis yang serius. Penebangan liar, tambang logam berat yang mencemari tanah dan air, serta peternakan yang merusak padang rumput telah memperlihatkan paradoks negara maju: modernitas dan teknologi tak menjamin keberlanjutan jika tidak ada kesadaran dan regulasi yang tepat. Ironisnya, banyak penduduk Montana menolak campur tangan pemerintah dalam masalah lingkungan, meskipun mereka sangat bergantung pada subsidi federal untuk bertahan. Ini menunjukkan bahwa ideologi politik bisa menjadi penghalang dalam upaya penyelamatan lingkungan.

Kontekstualisasi terhadap Indonesia: Menelusuri Benang Merahnya

Ketika kita mencermati tiga kasus di atas, kita menemukan bahwa Indonesia memiliki sumbu keterkaitan yang kuat dengan semua elemen permasalahan yang dibedah Diamond. Berikut ini telaahnya:

Kerusakan Lingkungan yang Kian Sistemik

Seperti Haiti, Indonesia menghadapi deforestasi dalam skala besar. Data KLHK menunjukkan bahwa sejak 2000, jutaan hektar hutan Indonesia hilang karena pembalakan liar, ekspansi sawit, dan tambang. Contoh paling nyata adalah degradasi hutan di Kalimantan dan Papua, serta ancaman terhadap Raja Ampat akibat rencana pertambangan nikel. Ini sangat mirip dengan Haiti: eksploitasi alam menjadi jalan keluar jangka pendek dari masalah ekonomi, namun menjadi bumerang dalam jangka panjang.

Ketimpangan Sosial dan Ketergantungan Ekonomi

Seperti masyarakat Haiti dan petani Montana, banyak kelompok masyarakat di Indonesia masih bergantung pada sumber daya alam dalam kondisi ketidakpastian ekonomi. Kemiskinan struktural dan ketimpangan distribusi kekayaan mendorong masyarakat untuk menebang hutan, membakar lahan, dan menambang secara ilegal. Hal ini diperparah oleh lemahnya alternatif ekonomi berkelanjutan yang ditawarkan pemerintah.

Kepemimpinan dan Visi Politik yang Lemah dalam Perlindungan Lingkungan

Jika Republik Dominika bisa selamat karena visi ekologis seorang pemimpin, maka Indonesia hari ini menghadapi tantangan besar dari lemahnya kehendak politik untuk menjaga lingkungan. Pembangunan yang berorientasi infrastruktur dan investasi asing seringkali dilakukan dengan mengorbankan kawasan ekosistem esensial. Kasus alih fungsi hutan di Kalimantan untuk IKN atau pembiaran terhadap tambang di wilayah adat menunjukkan bahwa keberpihakan negara masih condong ke ekonomi ekstraktif.

Penegakan Hukum dan Tata Kelola yang Rapuh

Sama seperti Haiti yang gagal menegakkan aturan konservasi, Indonesia juga menghadapi persoalan serius dalam penegakan hukum lingkungan. Banyak perusahaan yang melakukan perusakan hutan tetap lolos dari jerat hukum. Sementara itu, masyarakat adat dan aktivis lingkungan yang mempertahankan tanahnya justru dikriminalisasi. Ini menunjukkan lemahnya tata kelola yang berpihak pada keberlanjutan.

Potensi dan Harapan: Belajar dari Republik Dominika dan Kesadaran Rakyat Montana

Namun Indonesia belum terlambat. Seperti Dominika, Indonesia memiliki potensi besar dalam sumber daya manusia dan biodiversitas. Di banyak daerah, masyarakat adat masih menjaga hutan dengan kearifan lokal mereka. Gerakan masyarakat sipil dan kesadaran publik terhadap isu iklim juga meningkat. Indonesia bisa mengambil jalur pemulihan seperti Dominika-jika didukung oleh kebijakan politik yang berani, investasi dalam energi hijau, dan pendidikan lingkungan yang masif.

Kesimpulan: Jalan Menuju Kelestarian atau Kehancuran

Jared Diamond menunjukkan bahwa peradaban runtuh bukan karena takdir, tetapi karena pilihan. Republik Dominika memilih untuk bertahan. Haiti memilih untuk membiarkan dirinya runtuh. Montana berada di tengah dilema ideologi dan pragmatisme. Indonesia kini berada di titik kritis: apakah akan menjadi Haiti berikutnya-negara yang tersandera eksploitasi alam dan ketimpangan sosial-atau memilih menjadi seperti Republik Dominika-negara yang menyelamatkan masa depannya dengan menyelamatkan lingkungan hari ini? Pilihan itu ada di tangan kita. Dalam kebijakan. Dalam kesadaran kolektif. Dan dalam tindakan nyata.

Penutup : Catatan Pribadi dan Seruan Moral

Sebagai warga negara yang tumbuh ditanah yang subur dan kaya akan sumber daya alam, saya tudak bisa diam dan berpangku tangan melihat arah pembangunan yang kerap kali mengabaikan keberlanjutan. Kasus Haiti bukan hanya kisah negeri yang jauh di karibia tapi ini menjadi cerminan untuk indonesia sebagai refleksi atas pengambilan kebijakan dalam menangani permasalahan lingkungan. Itu adalah cermin yang bisa memantulkan bayangan masa depan Indonesia jika kita terus membiarkan tambang menggantikan hutan, sawit menggantikan rawa gambut, dan beton menggantikan sungai.

Kita tidak kekurangan data, tidak kekurangan hukum, tidak kekurangan sumber daya. Yang kurang pada kita adalah kemauan politik dan kesadaran moral kolektif. Kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya berpikir tentang lima tahun ke depan, tetapi tentang keberlangsungan hidup anak cucu kita. Kita juga membutuhkan rakyat yang berani bersuara ketika hutan ditebang, ketika air tercemar, ketika tanah leluhur dijual atas nama “pembangunan”. Belajar dari kisah Republik Dominika, kita tahu bahwa perubahan itu mungkin. Ia tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi diperjuangkan—oleh pemimpin yang berani, oleh masyarakat yang sadar, oleh hukum yang ditegakkan tanpa pandang bulu. Maka, ketika kita ditanya: “Apakah Indonesia akan selamat?”, jawabannya tergantung pada apa yang kita lakukan hari ini. Diam adalah pilihan. Melawan perusakan juga pilihan. Dan masa depan adalah akibat dari pilihan-pilihan itu.

Derita Rakyat Dihadapan Negara Hukum

Dalam sejarah peradaban manusia, dinamika hubungan rakyat dengan negara sering mengalami ketegangan. Negara, seperti banyak dalam teori negara klasik, justru memperoleh predikat sebagai negara manakala memiliki kekuasaan penuh (kedaulatan) atas suatu wilayah tertentu termasuk terhadap setiap orang atau entitas manusia yang ada dalam wilayah itu. Negara memiliki kuasa untuk memaksa dan rakyat harus patuh dan tunduk pada kuasa negara. Walaupun harus diakui, kedaulatan negara adalah suatu yang lazim sebagai ciri adanya negara, tetapi dalam kondisi hanya  negara yang berdaulat dan berkuasa, rakyat seringkali tidak berdaya terhadap kuasa negara.

oleh karena itu, pada titik tertentu ketika kuasa negara melalui para penguasa, raja melalui aparatnya yang menindas, terjadilah perlawanan rakyat terhadap negara melalui berbagai pemberontakan, perlawanan, ketidakpatuhan sosial yang melahirkan banyak revolusi sosial dalam hubungan antara rakyat dengan negara. Dalam banyak kitab suci agama, banyak sekali diceritakan penguasa negara yang lalim, sewenang-wenang, tidak adil dan melampui batas, sehingga Tuhan harus mengutus para Nabi dan Rasul untuk memperbaiki keadaan dan menegakkan keadilan itu.

Hukum menjadi sebuah payung yang teduh  untuk berlindung dari segala bentuk ketidak pastian namun dilain sisi dapat menjadi rimba belantara yang membingungkan bagi mereka yang tidak memahaminya. Dinamika perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang demikian cepat mendorong lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan baru maupun perubahannya yang sering kali tidak diimbangi dengan pengetahuan masyarakat, baik faktor keterbatasan informasi maupun karena sebagian masyarakat masih memandang hukum merupakan bidang pengetahuan yang penuh dengan kompleksitas dan seluk beluk sehingga sulit untuk dipelajari  padahal dalam hukum berlaku fictie bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum dan ketidaktahuan seseorang akan aturan yang berlaku tidak dapat dijadkan alasan untuk membebaskan orang tersebut dari tuntutan hukum atau dikenal dengan istilah Ignorantia Iuris Neminem excucat.

Sebagai mahasiswa menggunakan pendekatan 5 in 1 (fife in one)  karena tidak hanya menjelaskan; ke satu, suatu pengetahuan hukum yang biasa di hadapi masyarakat; ke dua, ketentuan murmatif suatu hukum tertentu; ke tiga, kerangka dan praktik problem hukum; ke empat abstraksi dari suatu proses pembelajaran hukum; dan ke lima, ditunjukan untuk membuka akses sekaligus dapat dimaknai sebagai alat pembebasan bagi para pihak yang selama ini menjadi korban ketidakadilan dan pihak yang akan memperjuangkan kepentingan hajat hidup dihadapan hukum dan proses penegakan hukum.

Berpijak dari fakta dan respon suatu kesadaran atas pengalaman dan proses panjang para entrepeneur bantuan hukum melawan rezim ketidakadilan yang menyebabkan korban yang tidak sedikit dengan kondisi yang mengenaskan. Untuk itu perlu direkontruksi suatu sosiologis, legal dan politis yang pada akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa ini relevan, material dan penting hadir  dalam situasi seperti sekarang ini.

Indonesia adalah Negara Hukum dan hingga kini masih terus memperjuangkan aktualisasinya. Di sisi lainya, ada juga banyak fakta dimana rakyat tidak sepenuhnya mendapatkan perlindungan yang tidak optimal di dalam suatu Negara hukum Indonesia yang kita cintai ini. Lebih dari itu, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan korupsi masih mempunyai dampak serius bagi Humand and social capital.

Pada situasi seperti ini, salah satu pilihan yang dapat dilakukan rakyat dan masyarakat sipil harus berupaya sendiri dengan segenap sumber daya yang dimilikinya untuk melindungi kepentingan dan memperjuangkan hak-haknya, Ada begitu banyak pengalaman dan pembelajaran yang berasal dari berbagai masalah yang pernah dihadapi masyarakat yang di jadikan dan digunakan  untuk memahami dan mengatasi masalah yang dihadapi rakyat.

Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi rakyat dan masyarakat sipil untuk membangun tafsir dan memaknai suatu Negara hukum dan bahkan merekonstuksikanya agar mengabdi pada kepentingan rakyat, melindungi HAM dan mensejahterakan rakyat. Dalam tingkat praktis, berbagai pengalaman memperjuangkan hak-hak rakyat dan pengetahuan dalam menangani begitu banyak kasus-kasus yang di hadapi masyarakat, seyogyanya dapat diabtraksi menjadi “center of excellece” yang kelak dapat digunakan rakyat itu sendiri maupun para pekerja bantuan hukum itu sendiri serta masyarakat luas lainya.

Ada paradoks dalam suatu Negara hukum. Konstitusi secara tegas di dalam pasal 1 ayat(3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Bila negara dikaitkan dengan teori kedaulatan hukum, maka supremasi dari suatu negara tidak terletak pada negara itu sendiri tetapi justru pada hukumnya. Ada hal lain yang juga perlu diperhatikan, Konstitusi indonesia menyatakan secara eksplisit bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan melalui Undang undang Dasar. Bila demikian siapakah yang berdaulat hukum ataukah rakyat dan bagaimana pola relasi antara daulat hukum dan daulat rakyat. Apakah daulat rakyat harus tunduk pada daulat hukum, atau sebaliknya, daulat hukum harus mengabdi di hadapan daulat rakyat.

Untuk sampai pada suatu kesimpulan maka perlu dipahami makna substantif tersebut pada alinea ke IV Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) Tahun 1945 yang telah secara tegas mengemukakan “…perjuangan kemerdekaan Indonesia… mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekan Negara Indonesia …”; dan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dimaksudkan untuk “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”.

Uraian tersebut di atas ternyata mengemukakan suatu cita dan tujuan dibentuk-nya suatu Negara Republik Indonesia. pembentukan itu ditunjukan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, untuk melindungi dan dan mensejahterakan rakyat dan sekaligus untuk kepentingan daulat rakyat. Ini artinya, kedaulatan hukum seyongyanya berpenjak untuk sepenuhnya pada kepentingan dari rakyat hukum tidak dapat mengingkari dan bertindak sewenang-wenang  dihadapan rakyat.

Negara  yang berpijak diatas hukum harus menjamin keadilan, kemanan, kebebasan, persamaan, demokrasi, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemanusian, kehormatan dan nasionalisme walaupun bersifat abstrak serta sandang, pangan, papan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan sarana perhubungan dan komunikasi, dan rekreasi pada seluruh rakyatnya karena  menjadi prasyarat bagi tercapainya kebahagian. Pada konteks ini, suatu peraturan atau ketentuan hukum yang otentik bila dalam hukum itu mengatur, mencerminkan dan memberikan keadilan dalam pola relasi tata kehidupan bagi rakyat atau warganya. Karena itu, ide dasar hukum Gustav Raburch yang diaborsi bahwa dalam wujud suatu negara hukum harus senantiasa memuat keadilan , kemanfaatan dan kepastian hukum.

Pada kenyataanya, pada pengalaman Indonesia terjadi paradoks. Kendati konstitusi telah secara eksplisit menyebutkan Indonesia sebagai Negara hukum dan pembukaan konstitusi mengemukakan bahwa pembentukan pemerintahan ditunjukan untuk kepentingan perlindungan rakyat, tetapi sejumlah fakta memperlihatkan dengan sangat tegas dan jelas, ada banyak begitu kasus ketidakadilan dalam cakupan yang masif dengan kualitas pelanggaran yang sebagainya tak terperikan dan sangat merugikan rakyat.

yang juga sangat menyesakkan, sikap dan tindakan yang mencerminkan ketidakadilan itu berlangsung dan bermetamorfosa dalam berbagai bentuknya. Salah satu dampak dari diingkarinya prinsip keadilan sebagai salah satu pilar penting bagi Negara hukum, sedari dulu hingga kini rakyat sang pemilik kedaulatan sejati, justru terus menerus terpasung kemiskinan dan bahkan dimiskinkan. Selain itu, hukum tak sepenuhnya ditunjukan untuk melindungi rakyat.

Celakanya, prinsip keadilan yang seyogyanya tersublimasi dari semua peraturan perundang-undangan yang diproduksi legislatif dalam kapasitas sebagai wakilnya rakyat, justru sebagianya juga berpihak dan berpijak pada kepentingan rakyat. Prinsip penting tentang keadilan, kemanfaatan, selain kepastian hukum yang menjadi elan spritualitas justru kehilangan dasar legitimasinya. karena itu ada berbagai peraturan, kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang dibuat ternyata, justrus tidak melindungi kepentingan rakyat dan kesemuanya itu acapkali mendekonstruksi makna Indonesia sebagai suatu Negara hukum yang demokratis.

Hal ini dapat dimaknai bahwa, rakyat sang pemilik kedaulatan ternyata belum sepenuhnya berdaulat atas keadilan dan kesejahteraannya, pemegang tampuk kekuasaan, baik pemerintah  maupun legislatif yang mempunyai kewenangan untuk  merumuskan hukum dan kebijakan, belum sepunuhnya berpijak dan berpujuk pada daulat rakyat saja tetapi bahkan mengingkari hak rakyat sehingga sebagian rakyat menjadi korban dan menerima dampak terbesar ketidakadilan. lebih jauh dari itu, rakyat justru membiayai penghasilan mereka dengan sangat baik kendati sebagian rakyat sendiri harus menanggung beban kemiskinan.

Kronik Otoritarianisme Indonesia: 80 Tahun Ketatanegaraan Indonesia

Profil Penulis
Zainal Arifin Mochtar, dilahirkan di Makassar pada 8 Desember 1978. Pernah menjadi peneliti di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2003-2005) dan sejak 2005 hingga sekarang menjadi pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia menyelesaikan studi strata satu ilmu hukum di almamaternya, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada 2003. Lalu melanjutkan studi strata dua dengan beasiswa Fullbright di Northwestern University, Chicago USA, dan tamat pada 2006. Di sana ia menyelesaikannya dengan mendapatkan gelar LLM with Honour. Pendidikan strata tiga ia selesaikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Telah menuliskan beberapa buku; di antaranya Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan dan Urgensi Penataan Kembali Pasca Amandemen, Parlemen Dua Kamar: Analisis Perbandingan Menuju Sistem Bikameral Efektif (ditulis Bersama Saldi Isra), dan Kekuasaan Kehakiman. Ia pernah dianugerahi Anugerah Konstitusi Muhammad Yamin (AKMY) kategori Pemikir Muda Hukum Tata Negara Tahun 2016, serta menjadi salah seorang penerima Anugerah Penulis Opini Konstitusi Terbaik oleh Mahkamah Konstitusi 2018. Ia menggawangi Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM Yogyakarta 2008-2018 dan menjadi penasihat di lembaga tersebut. Penyuka baca, lari dan sepak bola, sekaligus milanisti sejati.

Muhidin M. Dahlan lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, pada tahun 1978. Sempat beberapa waktu mengampuh ilmu di Teknik Bangunan Insitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jogjakarta dan Sejarah Peradaban Islam IAIN Kalijaga Jogjakarta. Keduanya tak selesai. Mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-MPO), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Menulis novel dan buku-buku kronik, salah satunya Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998, terlibat sebagai tim editor buku-buku Pramoedya Ananta Toer di lentera Dipantara sejak 2003. Salah satu pendiri Radio Buku dan Warung Arsip.

 

Sinopsis
Jenis kediktatoran yang mencolok dalam bentuk fasisme, komunisme, atau kekuasaan militer telah hilang dari sebagian besar negara di dunia. Kudeta militer dan perebutan kekuasaan dengan kekerasan juga lebih jarang terjadi. Selain itu, sebagian besar negara di dunia juga telah mengadakan pemilu secara berkala.

Namun tetap saja, demokrasi masih bertumbangan melalui berbagai cara yang berbeda. Kemunduran demokrasi menuju otoritarianisme merupakan hal yang patut dikhawatirkan. Sepertinya otoritarianisme tidak pernah lenyap. Ia bisa hidup serta beradaptasi dalam demokrasi dengan cara meniru praktik-praktik demokrasi.

Buku ini menunjukkan rupa otoritarianisme di Indonesia sepanjang 80 tahun usianya. Dari semua peristiwa penting yang menjadi patahan sejarah Indonesia. Dari sudut ketatanegaraan yang ditulis Zainal Arifin Mochtar, yang diperkuat melalui kurasi kliping-kliping bersejarah oleh Muhidin M. Dahlan.

 

Ulasan

Setelah satu tahun dalam proses pengerjaan, akhirnya buku Kronik Otoritarianisme Negara terbit bulan ini. Buku ini merupakan kolaborasi Zainal Arifin Mochtar, seorang dosen hukum ketatanegaraan di UGM, dan Muhidin M Dahlan, seorang kirani sejarah dan arsiparis di Warung Arsip. Keduanya mengulik rupa otoritarianisme dalam sejarah 80 tahun Indonesia.

Penulisan buku ini bermula dari kegelisahan Zainal Arifin Mochtar terhadap kondisi demokrasi Indonesia kini. Paling tidak sejak 2024 ia kerap mengemukakan bahwa otoritarianisme kini telah berubah bentuk, sanggup beradaptasi dalam negara demokrasi, dan telah menjadi salah satu karakteristik Indonesia. Otoritarianisme kini tidak lagi harus berupa junta militer atau fasisme. Ia juga tidak muncul melalui kudeta terang-terangan atau aksi massa superbesar. Otoritarianisme kini muncul perlahan dengan penggerogotan konsitusi dan pelemahan lembaga-lembaga penegak demokrasi.

Kegelisahan tersebut lalu ia tuliskan dalam buku setebal 706 halaman ini. Sebuah proyek penulisan yang ambisius dari segi ketebalan buku begitu juga kontennya. Buku ini terdiri dari enam bab yang ditulis berurutan dari sejak Indonesia merdeka sampai masa terakhir kepresidenan Jokowi. Dari sejarah sepanjang itu, ia mengambil momen-momen penting yang berhubungan dengan sejarah konstitusi Indonesia, seperti Maklumat Hatta tentang pembentukan partai, Demokrasi Terpimpin yang dalam bingkai konstitusi merupakan sebuah langkah otoriter, fusi partai di masa Orde Baru, amandemen UUD pascareformasi, sampai momen keputusan MK tentang pada Pemilu 2024 lalu.

Dibanyak momen penting seperti itu, dalam kacamata Zainal Arifin Mochtar, kerap menyiratkan ciri otoritarianisme yang membajak hakikat demokrasi. Konstitusi pun berulang kali dibajak. Dengan analisis konstitusi, Zainal menawarkan cara pandang terhadap sejarah Indonesia dengan cara yang baru. Tidak sampai sana, Muhidin M Dahlan dalam buku ini memperkuat uraian Zainal dengan rangkaian kronik dari kliping berita lama. Ada ribuan file berita lama dari berbagai koran yang ia digitalisasi, kurasi, lalu rangkai menjadi catatan sejarah. Peristiwa penting tentang atau efek konstitusi ia cantumkan satu per satu.

Mulai dari krisis militer yang berulang kali terjadi sampai tragedi Tanjung Priok atau Talangsari sebagai efek penerapan Asas Tunggal di masa Orde Baru. Tentu, sampai pada masa kartelisasi politik pascareformasi. Pendeknya, Muhidin membuktikan semua itu bukan omong kosong karena demikian tertulis di berita. Pendekatan sejarah ini tentu saja sangat menarik karena pembaca dapat menilai sendiri apa yang terjadi tepat di hari ketika peristiwa bersejarah terjadi. Dengan kemampuannya, Muhidin telah menghidupkan berita-berita lama dan menyusunnya serupa cerita.

Kolaborasi Zainal dan Muhidin ini merupakan yang pertama. Sebuah kolaborasi tidak terduga karena menggabungkan dua latar belakang berbeda, seorang ahli hukum dan pengkaji sejarah, seorang akademisi UGM dan intelektual yang memilih jalanan ketimbang kampus. Kronik otoritarianisme Indonesia merupakan kajian demokrasi yang penting bagi Indonesia. Zainal dan Muhidin menyuguhkan kenyataan bahwa demokrasi Indonesia selalu diuji sepanjang waktu oleh berbagai aktor politik yang ingin memanfaatkan kekuasaan. Oleh sebab itu ketaatan pada konstitusi sangat penting agar kekuasaan tidak bergerak semaunya, mencederai demokrasi dengan karakter otoritarian. Sebuah buku yang relevan dan sangat penting bagi demokrasi Indonesia kini.

Indonesia dan Segudang Masalah Yang Datang Silih Berganti

Objektif.id – Indonesia adalah sebuah negara kepulauan di Asia Tenggara. Berbicara tentang bencana alam, negara Indonesia yang secara geografis diapit oleh empat lempeng tektonik, yakni lempeng benua Asia, benua Australia, Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik, yang dengan adanya kondisi tersebut dapat menimbulkan bencana alam berupa gempa bumi dan Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kegempaan yang tertinggi di dunia.

Dilansir dari situs resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),
berdasarkan hasil survei Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan pertama dari 265 negara di dunia yang berpotensi terancam tsunami akibat gempa bumi.

Selain itu, data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis data kejadian gempa bumi dalam kurun waktu Januari – Februari 2023 telah terdapat sebanyak 30 kota di Indonesia mengalami guncangan gempa bumi dengan magnitudo > 5.0 skala richter.

Selain itu, penyebab Indonesia rawan bencana alam adalah karena Indonesia terletak di garis khatulistiwa hingga mengakibatkan indonesia memiliki curah hujan yang tinggi atau biasa disebut dengan iklim hutan hujan tropis. Jadi, tidak heran jika tiap setiap tahunnya selalu ada berita terkait banjir dan cuaca ekstrem terkhususnya di wilayah Jawa Barat, Jawa Timur, Bekasi, Jawa Tengah, dan daerah di sekitarnya.

Dilansir dari Katadata.co.id, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan sepanjang tahun 2022 tercatat sekiranya ada 3.531 peristiwa bencana alam di Indonesia. Bencana yang sering terjadi adalah banjir dengan 1.524 peristiwa dan cuaca ekstrem dengan 1.064 peristiwa. Masing-masing dari peristiwa tersebut telah memakan korban jiwa baik meninggal, hilang, maupun luka-luka sebanyak 9.623 orang, dengan kerusakan fasilitas rumah sebanyak 95.051 bangunan, dan fasilitas umum sebanyak 1.980 bangunan.

Banyaknya gunung api di indonesia, menjadikan Indonesia dijuluki negara Ring Of Fire dan hal itu setara dengan Jepang, Filipina, Malaysia dan negara kepulauan lainnya.

Potensi ancaman bahaya dari gunung api yang masih aktif salah satunya ialah Gunung Merapi Indonesia, adapun kota Magelang dan Yogyakarta merupakan kota terdekat dari Gunung Merapi tersebut. Jadi, sekalinya gunung ini meletus maka akan menimbulkan kekacauan yang besar meskipun letusannya kecil.

Dilansir dari Liputan6.com, berdasar catatan dari pusat pengendalian operasi penanggulangan bencana BNPB, selama periode November 2010 Gunung Merapi meletus dahsyat dan berakibat sebanyak 277 orang meninggal di wilayah Yogyakarta dan 109 orang meninggal di wilayah Jawa Tengah. Gunung Merapi terakhir erupsi pada 10 Maret 2022, dan akan bererupsi di setiap 2-5 tahun sekali.

Bencana alam selain terjadi secara alamiah, juga dapat dipicu oleh perilaku manusia. Banyaknya plastik, polusi, limbah deterjen, limbah pabrik dan lain-lain, yang bertebaran dimana-mana, sehingga dapat menyebabkan alam menjadi rusak.

Adapun tentang peran, tidak akan terlaksana jika masyarakat dan pemerintah tidak saling bersinergi satu sama lain. Bahkan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah saja masih saling bertolak belakang pemikiran, yang satu ingin Indonesia seperti ini dan satunya lagi ingin Indonesia seperti itu, yang satu memberi dan satunya mengorupsi.

Jika masih tetap seperti ini terus apakah yakin Indonesia akan berada di tingkat keemasannya di tahun 2045 nanti, atau malah justru sebaliknya? well, semua berada pada kesadaran diri kita masing-masing dengan menginginkan Indonesia maju atau menginginkan Indonesia punah.

Penulis: Melvi Widya
Editor: Redaksi