Dilema Pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membawa perubahan penting dalam lanskap pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu perubahan krusial adalah dimungkinkannya perampasan aset tanpa harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Langkah ini, meski bertujuan memperkuat upaya pemberantasan korupsi, menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Di satu sisi, perampasan aset secara cepat dianggap sebagai instrumen efektif dalam memerangi korupsi. Melalui mekanisme ini, negara dapat segera mengamankan aset hasil tindak pidana sebelum digunakan atau disamarkan oleh pelaku kejahatan. Selain itu, langkah ini diharapkan mampu memberikan efek jera kepada para koruptor, yang tidak lagi bisa merasa aman dengan hasil kejahatannya.

Kecepatan dalam proses perampasan aset juga mendukung efisiensi penegakan hukum. Proses hukum yang panjang seringkali menjadi hambatan dalam upaya pengembalian kerugian negara. Dengan mempercepat penyitaan aset, negara dapat mempercepat pemulihan keuangan dan memperlihatkan ketegasan dalam menindak kejahatan luar biasa seperti korupsi.

Namun, di balik potensi positif tersebut, muncul kekhawatiran serius mengenai pelanggaran hak asasi manusia. Perampasan aset tanpa melalui proses peradilan yang lengkap dan berkekuatan hukum tetap membuka celah terjadinya ketidakadilan, terutama bagi individu yang belum tentu terbukti bersalah. Prinsip praduga tak bersalah menjadi terancam dalam pelaksanaan kebijakan ini.

Risiko lain yang perlu diwaspadai adalah potensi penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum. Dengan kewenangan perampasan aset yang besar, aparat dapat saja menggunakannya sebagai alat untuk menekan atau mengintimidasi pihak tertentu, khususnya mereka yang memiliki pengaruh politik atau kekayaan yang besar. Tanpa pengawasan yang ketat, tindakan ini bisa berubah menjadi bentuk kriminalisasi baru.

Oleh karena itu, implementasi UU ini harus disertai dengan pengawasan ketat dan mekanisme pertanggungjawaban yang kuat. Setiap tindakan perampasan aset harus transparan, akuntabel, dan dapat diaudit oleh lembaga pengawas independen. Ini penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.

Selain itu, sangat penting untuk menjamin perlindungan hak hukum bagi pihak-pihak yang asetnya dirampas. Setiap individu harus memiliki akses yang adil kepada proses hukum, termasuk kesempatan untuk membela diri di pengadilan dan mengajukan banding terhadap keputusan perampasan. Ini merupakan wujud nyata dari penghormatan terhadap prinsip hak asasi manusia.

Upaya menyeimbangkan efektivitas pemberantasan korupsi dengan perlindungan hak asasi manusia bukanlah tugas mudah. Diperlukan regulasi turunan yang jelas, pedoman teknis yang rinci, serta peningkatan kapasitas aparat penegak hukum agar tindakan perampasan aset benar-benar dilakukan secara adil dan profesional.

Ke depan, reformasi hukum harus terus diarahkan untuk memperbaiki mekanisme perampasan aset yang berpihak pada keadilan substantif. Negara tidak hanya berkepentingan untuk memberantas korupsi, tetapi juga wajib memastikan bahwa dalam setiap langkahnya, prinsip keadilan dan hak asasi manusia tetap menjadi fondasi utama.

Dengan pengawasan yang ketat, akuntabilitas yang tinggi, serta perlindungan hak hukum yang jelas, Undang-Undang Perampasan Aset dapat menjadi alat yang efektif untuk memerangi korupsi tanpa mengorbankan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.

Wakil Ketua II SEMA IAIN Kendari Soroti Dugaan Penyimpangan Dana Desa di Tinakin Laut

Kendari, Objektif.id – Wakil Ketua II Senat Mahasiswa IAIN Kendari, Muh. Alhafizh, menyoroti tindakan masyarakat yang melakukan penyegelan terhadap kantor desa Tinakin Laut, kecamatan Banggai, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah.

Menurutnya, tindakan penyegelan ini dilakukan sebagai bentuk kritik masyarakat atas dugaan penyalahgunaan dana desa yang dilakukan oleh aparatur desa.

“Penyalahgunaan dana desa bertentangan dengan hukum karena melanggar Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2014, apabila terbukti adanya penyalahgunaan dana desa, pihak yang bertanggung jawab dikenai sanksi sesuai hukum yang berlaku,” Kata Alhafizh. Selasa, (10/7/2024)

Ia juga menekankan kepada pemerintah desa untuk transparansi dan akuntabilitas terkait penggunaan dana desa kepada masyarakat untuk mencegah penyalahgunaan. Sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.

“Kepercayaan bagaikan perekat yang mengikat pemerintah dan masyarakat untuk menjaga efektivitas hukum dan ketertiban sosial, oleh karena itu, Pemerintah desa perlu membuka saluran komunikasi yang efektif kepada masyarakat,” ungkapnya

Lanjut, Alhafizh meminta kepada Pemda Banggai Laut untuk tidak hanya fokus pada pembangunan fisik, tetapi juga memperhatikan aspek pengelolaan keuangan desa.

“Bupati Banggai Laut harus mengevaluasi kinerja pemerintah desa untuk memastikan bahwa dana desa digunakan dengan tepat sasaran buat kepentingan masyarakat,” tegasnya

Selain itu, ia juga berharap pemerintah daerah dan desa harus menjunjung tinggi supremasi hukum demi terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang sejahtera.

“Dengan adanya kerjasama dan transparansi, serta akuntabilitas oleh para aparatur daerah dan desa maka, kabupaten Banggai Laut dapat membangun desa-desa yang maju dan sejahtera,” pungkasnya

Sebagi informasi, dikutip dari cyber-nasional.com bahwa masyarakat desa Tinakin Laut telah melakukan aksi unjuk rasa sebanyak lima kali berturut-turut sejak 2013-sekarang terkait dugaan penyelewengan anggaran DD dan ADD sebesar Rp420 juta yang dilakukan oleh kepala desa Tinakin Laut.

 

Penulis: Tesa Ayu Sri Natari 
Editor: Redaksi