Kejahatan Negara Dibalik Kebijakan Transisi Energi

Kendari, Objtektif.IdKehadiran tambang nikel di Sulawesi Tenggara telah menjadi momok menakutkan bagi rakyat. Bagaimana tidak, aktivitas eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan kian memprihatinkan—melahirkan banyak derita berkepanjangan yang berorientasi pada kerusakan lingkungan, ekonomi, kesehatan, dan perampasan hak masyarakat lokal untuk hidup layak.

Seolah-olah keselamatan rakyat dianggap tidak kalah penting daripada ambisi besar negara dibalik narasi kepentingan nasional melalui kebijakan yang sedang dipamerkan pada dunia bahwa Indonesia adalah pemain kunci dalam rantai pasok energi bersih terhadap pembangunan kendaraan listrik global.

Padahal di negara demokrasi keselamatan rakyat diletakan pada posisi tertinggi dalam sebuah kebijakan (Salus populi suprema lex esto)—prinsip yang menekankan bahwa kesejahteraan dan keamanan rakyat harus menjadi prioritas utama saat pengambilan keputusan, terutama dalam konteks pemerintahan dan perundang-undangan. Namun faktanya, dibalik narasi transisi energi dan hilirisasi, wilayah-wilayah penghasil nikel justru disarangi petaka krisis sosial-ekologis yang semakin akut.

Secara umum, aktivitas pertambangan memberikan dampak terhadap lingkungan berupa menurunnya tingkat kesuburan lahan, meningkatnya kepadatan tanah, terjadinya erosi serta proses sedimentasi, munculnya gerakan tanah atau longsor, terganggunya ekosistem flora dan fauna, menurunnya kualitas kesehatan masyarakat, serta berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Menurut hasil riset Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra, yang dipaparkan pada Sabtu, 28 Juni 2025, melalui seminar diseminasi bertajuk “Menata Ulang Tata Kelola Industri Nikel: Jalan Pemulihan Krisis Sosial-Ekologis di Sulawesi,” dilaporkan jika selama dua dekade terakhir, Sultra telah menjadi pusat ledakan industri nikel nasional yang mengubah daratan dan pesisir sulawesi menjadi tak layak huni.

Narasumber peluncuran hasil riset Walhi Sultra di Aula Unusra

Walhi Sultra menganggap keberadaan smelter dan tambang skala besar yang diberi label oleh negara sebagai Proyek Strategi Nasional (PSN), seringkali proses perizinan dilakukan secara terburu-buru dengan minim partisipasi publik, bahkan cenderung mengabaikan daya dukung lingkungan serta keberlanjutan ruang hidup masyarakat.

Sehingga tidak berlebihan jika Walhi Sultra menyebut bahwa aktivitas pertambangan yang meninggalkan kedurjanaan terhadap masyarakat merupakan cerminan nyata dari tata kelola industri yang ugal-ugalan. Perusahaan tambang ini menjadi simbol dari pembangunan yang mengabaikan prinsip keadilan sosial dan ekologis demi kepentingan investasi semata.

Operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive berbahan bakar batu bara yang digunakan untuk menyuplai energi ke smelter telah berkontribusi besar terhadap peningkatan polusi udara dan lonjakan emisi karbon. Hal ini tentu menjadi ironi di tengah komitmen nasional dan global untuk menekan laju perubahan iklim.

Selain itu keberadaan industri ini memicu ekspansi pertambangan yang semakin masif di wilayah sekitar—memperluas jejak kerusakan ekologis terhadap kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS), sungai-sungai terancam tercemar, dan sistem penghidupan masyarakat lokal baik petani maupun nelayan, kian terdesak oleh kepungan dampak buruk atas aktivitas industri yang tak terkendali.

“Industri nikel menjadi primadona Indonesia sebagai salah satu komoditas yang diburu negara-negara lain,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Andi Rahman dalam peluncuran hasil riset Walhi di Aula Universitas Nahdatul Ulama Sultra (Unusra).

Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Andi Rahman.

Ia menyatakan bila merujuk pada data Walhi Nasional, Sultra menjadi Provinsi yang menyimpan kandungan nikel tertinggi di Indonesia. Namun, menurutnya hasil sumber daya alam yang melimpah berbanding terbalik dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, “jadi ternyata pasca kami diskusi dengan masyarakat terkait kesejahteraan, bagi masyarakat itu menjadi terbalik, justru krisis ekonomi, lingkungan, dan kesehatan menjadi masalah di Wilayah-wilayah pertambagan, ujar Andi.

Andi juga menjelaskan dampak lingkungan dan kesehatan dari aktivitas industri atau tambang nikel dirasakan langsung oleh masyarakat Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, sekitar lima ribu masyarakat telah didiagnosa mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang berasal dari debu batu bara PLTU captive milik dua perusahaan raksasa, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS), anak perusahaan dari grup Tsingshan asal Tiongkok.

Tak hanya itu, mayoritas masyarakat Morosi yang bermata pencaharian sebagai petani tambak turut mengalami kerugian ekonomi akibat beroperasinya PLTU captive tersebut. Terjadi pencemaran pada tambak ikan dan udang warga sekitar akibat polusi udara dan limbah industri yang terus bertambah setiap tahun sejak 2018 lalu.

Selain Morosi, aktivitas buruk tambang nikel juga terjadi di Konawe Utara Blok Mandiodo. Staf Walhi Sultra Bidang Advokasi Hutan dan Kebun, Gian Purnamasari, memaparkan situasi lokasi pertambangan yang telah menghilangkan hutan dan berpotensi mengirim bencana kapada masyarakat, “jika kita melihat aktivitas pertambangan di Blok Mandiodo, batas antara bekas pertambangan dan hutan kepada masyrakat itu sudah sangat tipis sehingga ketika hujan bisa saja terjadi longsor yang merembes ke tempat masyarakat pesisir,” ujar Gian.

Staf Walhi Sultra Bidang Advokasi Hutan dan Kebun, Gian Purnamasari.

Gian melihat kehadiran tambang nikel ini merenggut semua ruang penghidupan masyarakat, mulai dari tanah untuk berkebun atau bertani, rusaknya sumber air bersih, serta hak untuk menghirup udara yang sehat, dan itu semua menurutnya tidak hanya dirasakan oleh masyrakat Morosi maupun Blok Mandiodo saja.

Salah satunya dirasakan juga oleh masyarakat Kabupaten Konawe Selatan tepatnya di Desa Torobulu yang turut terdampak dari keaktifan tambang nikel. Gian mengungkapkan, operasi tambang di Torobulu sangat agresif—merubah dua kolam sumber mata air tawar yang bersih menjadi tidak sehat, sebab penambangan PT Wijaya Intan Nusantara (WIN) tepat berada di sebelah bak penampungan.

Bahkan menurut Gian, sebelum tambang datang, Torobulu dijuluki sebagai “Desa Dolar” karena menjadi Desa pengahasil ikan untuk banyak daerah disekitarnya, “Torobulu dulunya adalah penghasil Dolar melalui hasil pertanian dan perikanan. Namun, sekarang menjadi ladang tambang nikel yang membuat dampak pencemaran pada laut memerah akibat lumpur tambang.”

Sayangnya, mudarat yang disebabkan tambang nikel tidak berhenti disitu. Hal serupa seperti yang terjadi di Blok Mandiodo, Morosi, dan Torobulu, harus dirasakan juga masyarakat Pulau Kabaena. Gian mengatakan dampak aktivitas pertambangan nikel di Pulau Kabaena, tak hanya menyisakan kerusakan lingkungan, tapi mengancam kesehatan masyarakat secara nyata.

“Kabaena juga menjadi tempat yang paling parah akibat tambang. Dengan berbagai dampak ekologis yang mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat yang dimana terdapat kandungan nikel di dalam urin masyarakat yang ditenggarai bersumber dari konsumsi kerang-kerangan laut,” ujar Gian.

Sama seperti tiga tempat sebelumnya, Pulau Wawonii terdapat tambang nikel yang dioperasikan oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP), bagian dari Harita Group. Wawonii telah mengalami deforestasi hutan—krisis ekologis serta pembabatan lahan-lahan perkebunan milik warga yang telah ditanami oleh tanaman andalan lokal yang kemudian menurut Gian hal ini telah merusak perekonomian masyarakat setempat.

“Rakyat kehilangan kebun yang mengandalkan komoditas seperti, kelapa, jambu, dan cengkeh. Justru kehadiran tambang malah merenggut pendapatan masyarakat setelah itu meninggalkan kerusakan lingkungan yang juga menciptakan kemiskinan dan pengangguran,” katanya.

Diketahui aktivitas tambang di kedua  pulau itu, Kabaena dan Wawonii, seharusnya dilarang sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil yang tidak mengamini kegiatan pertambangan di pulau kecil. Regulasi ini juga turut dikuatkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-XXI/2023.

Sementara Akademisi lingkungan, Agusrinal, menyatakan keprihatinan yang mendalam akibat krisis pencemaran lingkungan aktivitas pertambangan, khususnya hilirisasi nikel, serta berbagai temuan dampak negatif dari kegiatan tambang yang menurutnya telah menyimpang jauh dari prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

“Kita sebagai bagian dari komunitas ilmiah harus melihat bahwa praktik pertambangan saat ini, terutama di sektor hilirisasi nikel, sudah tidak sejalan lagi dengan nilai-nilai keberlanjutan lingkungan. Saya prihatin atas berbagai temuan dampak lingkungan yang terjadi di lapangan,” ujarnya.

Agusrinal juga menyoroti kondisi masyarakat di daerah terdampak, yang kini mendesak agar kegiatan pertambangan di wilayah mereka segera dihentikan, “masyarakat di sana merasakan langsung dampak buruk dari tambang dan mereka berharap aktivitas ini ditutup,” tuturnya.

Sementara itu, Wahyu Prianto, Dekan Fakultas Hukum Universitas Nahdatul Ulama Sultra (Unusra), menegaskan pentingnya peran ilmu pengetahuan dalam menentukan arah kebijakan. Ia menilai, penghormatan terhadap hasil riset merupakan cerminan kemajuan suatu masyarakat, “masyarakat yang maju bisa dilihat dari bagaimana mereka menghargai ilmu pengetahuan. Apa yang ditemukan melalui riset Walhi adalah langkah penting yang harus dijadikan acuan ke depan,” katanya.

Wahyu juga mengkritik tajam kebijakan yang menurutnya merusak lingkungan dan bertentangan dengan hasil kajian ilmiah. “Kebijakan yang merusak, termasuk pernyataan pejabat yang menyamakan pohon dengan sawit, adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan,” ucapnya.

Oleh sebab itu, melihat situasi yang semakin mengkhawatirkan, Walhi Sultra melalui risetnya mendorong negara untuk mengambil langkah-langkah tegas dan strategis demi menyelamatkan lingkungan dan masyarakat. Ada enam agenda utama yang direkomendasikan untuk segera diwujudkan.

Pertama, menghentikan operasional PLTU captive yang menjadi sumber utama emisi dan kerusakan lingkungan. Kedua, melakukan penertiban dan moratorium terhadap izin-izin industri yang selama ini lepas dari kontrol. Ketiga, memastikan perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat serta kawasan lindung yang rentan terancam oleh ekspansi industri ekstraktif.

Kemudian yang keempat, mereformasi sistem penegakan hukum agar lebih adil dan berpihak pada kepentingan ekologis. Kelima, mendorong demokratisasi dalam tata kelola pertambangan agar masyarakat memiliki ruang kontrol yang lebih luas. Terakhir, negara juga dituntut untuk melakukan pemulihan dan rehabilitasi menyeluruh terhadap wilayah-wilayah yang telah terdampak aktivitas industri.

Mudarat Tambang Nikel Milik Purnawirawan Jenderal Polisi dan Pejabat di Kabaena

Kendari, Objektif.Id – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara dan Satya Bumi merilis riset kerusakan lingkungan di Pulau Kabaena yang melibatkan perusahaan tambang nikel aparat hingga pejabat, pada Senin, 23 Juni 2025. Laporan Walhi dan Satya Bumi berhasil menjumpai jejaring relasi antara pemilik usaha, aparat non aktif, dan pejabat dalam tambang nikel di pulau itu. Hal ini kemudian dianggap bagian dari pelanggengan impunitas terhadap pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diduga disponsori secara gamblang oleh pemerintah.

Dalam laporan riset yang bertajuk “Kabaena Jilid II: Menelusuri Pintu Awal Kerusakan dari Jejaring Politically Exposed Person, Walhi dan Satya Bumi mengungkap keikutsertaan elit purnawirawan kepolisian sampai istri Gubernur Sultra dalam tambang nikel di Kabaena, “di Sulawesi Tenggara sendiri kami duga ada keterlibatan salah satu istri politikus dan mantan Pangdam juga di Sulawesi Tenggara dan sekarang sudah menjadi Gubernur, terlibat dengan urusan perusahaan yang ada di Kabaena,” ujar Andi Rahman, sebagai Direktur Eksekutif Walhi Sultra.

Terbukti dari tiga perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Kabaena, terutama di sisi administratif Kabupaten Buton Tengah, dua di antaranya, yakni PT Arga Morini Indah (AMI) dan PT Arga Morini Indotama (Amindo), berada di bawah kepemimpinan Achmad Fachruz Zaman, mantan Direktur Direktorat Samapta Kepolisian Republik Indonesia.

Selain keterkaitan dengan purnawirawan jenderal polisi, aktivitas tambang yang dilakukan oleh PT AMI dan PT Amindo berkelindan dengan PT Rowan Sukses Investama, perusahaan milik Arif Kurniawan. Arif Kurniawan diketahui memiliki kedekatan dengan Arinta Nila Hapsari, istri Gubernur Sultra, Andi Sumangerukka. Hubungan kedekatan ini tampak dari posisi Arif sebagai Direktur Utama PT Tribhuwana Sukses Mandiri, sementara Arinta menjadi salah satu pemegang saham perusahaan tersebut.

Tak berhenti disitu, Arif juga tercatat sebagai pemilik manfaat PT Dua Delapan Resources, perusahaan yang terhubung dengan pembelian saham PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) milik Gubernur Sultra Andi Sumangerukka—ia mengakui kepemilikan tambang ini saat debat kandidat Calon Gubernur Sultra 2024 lalu. TMS juga menjadi salah satu tambang nikel yang bertanggung jawab atas dugaan deforestasi kawasan hutan lindung di Kabaena.

Dengan demikian, keterlibatan lingkaran kekuasaan dan mantan aparat keamanan dalam ekspansi tambang di Pulau Kabaena menimbulkan kekhawatiran publik atas potensi konflik kepentingan, terutama dalam proses perizinan, pengawasan, hingga penindakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan serta hak masyarakat yang terampas. Keadaan itu secara nyata dirasakan masyarakat lokal yang terdampak krisis lingkungan sampai absennya penegakan supremasi hukum di Pulau Kabaena. Situasi semacam ini seperti yang dimaksud pepatah, “sudah jatuh, tertimpa tangga pula.”

Bagaimana tidak, hasil penelitian Walhi dan Satya Bumi menjelaskan bahwa aktivitas eksplorasi pertambangan di empat desa utama yang menjadi fokus kajian penelitian mereka, yaitu Desa Liwu Lompona, Desa Talaga Besar, Desa Kokoe, dan Desa Wulu, telah terjadi pencemaran air laut yang menyebabkan hilangnya mata pencaharian masyarakat yang telah lama menggantungkan hidup pada sumber daya alam pesisir.

Selain efek lingkungan dan ekonomi yang menjadi sasaran empuk atas kegiatan pertambangan yang sementara berlangsung, hasil riset juga menemukan terjadi pelemahan hukum yang tidak melindungi masyarakat, termasuk Pulau Kabaena itu sendiri. Luas Pulau ini hanya 891 km², kemudian disarangi oleh 15 perusahaan yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total konsesi mencapai 37.894,05 ha, dan ketiga perusahaan di antaranya; PT AHB, PT AMI, PT Amindo, ditemukan memiliki konsesi yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, termasuk konsesi di hutan lindung seluas 19,59 milik PT AHB.

Pulau Kabaena juga mengalami peningkatan deforestasi yang cukup signifikan. Data Hansen menunjukkan adanya kehilangan tutupan hutan di area konsesi tambang PT Arga Morini Indah (AMI) seluas 506,55 hektare sejak 2001 hingga 2024. Sementara itu, PT Arga Morini Indotama (Amindo) juga tercatat melakukan pembukaan lahan hutan seluas 194,51 hektare sejak 2002 hingga 2024.

Oleh sebab itu, Walhi dan Satya Bumi menganggap tambang nikel yang melibatkan purnawirawan aparat dan pejabat di Kabaena merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Seharusnya, IUP tidak berfungsi di pulau ini, lantaran Kabaena terbilang sebagai pulau kecil sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil yang tidak mengamini kegiatan pertambangan di pulau kecil. Regulasi ini juga turut dikuatkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-XXI/2023.

Menurut Gian Purnamasari, selaku staf di Walhi Sultra Bidang Advokasi Hutan dan Kebun, menjelaskan, akibat krisis pencemaran lingkungan yang disebabkan pertambangan telah berkontribusi besar terhadap menurunnya pendapatan masyarakat secara signifikan.

“Kondisi Sultra berkaitan pertambangan, Sultra ini merupakan Provinsi yang terbesar menyimpan cadangan nikel. Bukan hanya nasional tapi juga skala internasional. Tapi kalau kita lihat peningkatan pendapatan bukan berada disektor pertambangan. Sementara ketika kita melihat, sektor perikanan dan pertanian adalah penyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tertinggi untuk Sultra. Tapi bagaimana masyarakat ingin bertani atau melaut jika airnya sudah tercemar dan pulaunya dikepung oleh IUP perusahaan” ujarnya.

Gian turut menyuarakan kekhawatirannya terhadap revisi peraturan daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulawesi Tenggara yang dinilai berpotensi melegalkan industri tambang di pulau-pulau kecil seperti Wawonii dan Kabaena. Menurutnya, hal itu tampak jelas dalam peta revisi RTRW terbaru. Ia menilai revisi tersebut sebagai bentuk legalisasi kerusakan lingkungan demi kepentingan pemilik modal.

Tak hanya itu, Gian menyampaikan aspirasi masyarakat terkait dampak aktivitas pertambangan yang merusak ekosistem di Kabaena, “tuntutan masyarakat ditutup atau dicabut IUP-nya. Karena kalaupun dilakukan reboisasi tapi hal dasarnya tidak berubah maka itu percuma. Karena dasarnya adalah pencemaran yang disebabkan adanya IUP,” ucap Gian.

Juru kampanye Satya Bumi, Salma Inaz Firdaus, mengatakan dampak aktivitas pertambangan nikel di Pulau Kabaena, tak hanya menyisakan kerusakan lingkungan, tapi juga mulai mengancam kesehatan masyarakat secara nyata, “berdasarkan hasil uji laboratorium, terdapat kandungan nikel dalam urin penduduk Kabaena yang berkisar antara 4,77 hingga 36,07 µg/L, dengan rata-rata 16,65 µg/L. Artinya konsentrasi nikel dalam urin masyarakat Kabaena tercatat 5 hingga 30 kali lebih tinggi dibanding populasi umum,” ujar Inaz.

Sebagai perbandingan, data dari NHANES 2017–2018 di Amerika Serikat menunjukkan rata-rata kadar nikel dalam urin masyarakat umum hanya 1,11 µg/L. Bahkan di kota-kota besar dengan tingkat polusi tinggi seperti Beijing dan Shanghai, nilai median kadar nikel berada di 3,63 µg/L, dan di komunitas dekat fasilitas smelter nikel di Norwegia, tercatat hanya 3,4 µg/L.

Namun, paparan nikel di Kabaena justru mencapai tingkat 1,5 hingga 10 kali lebih tinggi dibanding masyarakat yang hidup berdampingan langsung dengan industri nikel aktif. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa operasi tambang nikel yang melibatkan aparat dan pejabat di Kabaena, tidak hanya berisiko secara ekologis, tetapi juga menjadi ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat.

Bahaya paparan nikel dalam tubuh dapat memicu stres oksidatif dengan meningkatkan radikal bebas yang merusak sel dan DNA. Nikel juga menstimulasi pelepasan sitokin atau zat pemicu peradangan yang menyebabkan inflamasi sistemik berkepanjangan dan mengganggu fungsi sel β pankreas yang memproduksi insulin. Kombinasi ketiga proses ini—stres oksidatif, inflamasi, dan disfungsi sel β—mengganggu metabolisme tubuh dan meningkatkan risiko diabetes tipe 2 serta berbagai jenis kanker.

Merespon riset Walhi dan Satya Bumi terkait proses reboisasi yang tidak dilakukan perusahaan tambang sejak eksplorasi sampai pada produksi, Kepala Bidang Minerba Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra, Muhammad Hisbullah Idris, mengaku bahwa Dinas ESDM provinsi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan, “sekarang kalau ada laporan terkait dengan itu tidak melalui Dinas lagi, langsung di Jakarta,” katanya.

Sementara, Kabid Penataan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sultra, Ibnu Hendro Prasetianto, menjelaskan terkait peran pusat di Kabaena sudah ada dengan memberikan sanksi administrasi, “rekomendasinya memang sebelumnyakan pengawasan itu pusat dengan pemerintah kabupaten. Terkait temuan dari pusat itu sudah ditindaklanjuti oleh kabupaten dan sudah diberikan sanksi,” ucapnya. Adapun perusahaan apa saja yang mendapatkan sanksi, ia tidak merincikan lebih jelas.

Meski telah ada sanksi administrasi dari pemerintah pusat, Walhi dan Satya Bumi menganggap itu tidak menyentuh akar persoalan sehingga penting dilakukan evaluasi menyeluruh atas tata kelola tambang nikel di pulau-pulau kecil, terutama di Pulau Kabaena yang rentan secara ekologis dan sosial. Untuk itu, ada beberapa rekomendasi untuk pemerintah, sebagai berikut:

  • Melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin usaha pertambangan (IUP) di Pulau Kabaena, termasuk yang tumpang tindih dengan hutan lindung;
  • Mencabut izin usaha pertambangan milik tiga perusahaan di Kabaena, yaitu PT AMI, PT AMINDO, dan PT AHB, serta seluruh izin pertambangan lainnya yang beroperasi di Pulau Kabaena;
  • Meninjau kembali Pasal 162 Undang-Undang Minerba Tahun 2020 yang memungkinkan kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan berkelanjutan, sebagaimana dijamin oleh Resolusi PBB A/RES/76/300;
  • Membuka secara terbuka pembahasan revisi RTRW Provinsi Sultra kepada publik sebagai bentuk prinsip transparansi dari pemerintah dalam menjalankan asas pemerintahan yang baik (good governances).

Raja Ampat Bukan untuk Ditambang: Seruan Keadilan Ekologis dan Perlindungan Warisan Alam Dunia.

5 Juni 2025 merupakan Hari Besar Lingkungan Hidup Sedunia (HBLH), pada hari yang baik ini saya mengajak seluruh elemen masyarakat untuk merefleksi kembali permasalahan lingkungan hidup yang ada di daerah masing-masing dalam skala regional dan dalam skala nasional untuk kemudian melihat serta menelisik dan mengkaji permasalahan yang ada di Raja Ampat. Mari sama-sama kita menolak Raja Ampat yang dijadikan lokasi pertambangan nikel.

Jangan biarkan hari lingkungan hidup hanya sebagai hari seremonial semata, suaramu bisa jadi pelindung bagi kehidupan ini karena kita butuh laut yang tetap biru dan hutan yang tetap hijau. Raja Ampat, permata biodiversitas dunia yang terletak di jantung segitiga terumbu karang, kini menghadapi ancaman serius akibat ekspansi pertambangan nikel.

Sebagai warga negara sekaligus mahasiswa yang berfokus pada kajian-kajian ekologi yang peduli terhadap kelestarian lingkungan dan masa depan generasi mendatang, saya menyuarakan penolakan tegas terhadap proyek ini. Kemudian mengajak kepada seluruh teman-teman mahasiswa, akademisi, aktivis lingkungan dan seluruh  elemen masyarakat untuk mengkampanyekan secara masif penolakan terhadap pertambangan di Raja Ampat.

1. Raja Ampat : Mahakarya Ekologis Nusantara
Raja Ampat adalah rumah bagi lebih dari 1.800 spesies ikan, 550 spesies karang (75% dari total dunia), serta berbagai megafauna laut seperti Pari Manta, Paus, dan Penyu. Keanekaragaman hayati ini menjadikan Raja Ampat sebagai salah satu ekosistem laut terkaya di planet ini, yang berperan penting dalam stabilitas ekosistem global dan sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat lokal melalui pariwisata berkelanjutan.

Perairan Kepulauan Raja Ampat dan sekitarnya telah ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor Kep.64/Men/2009 yang selanjutnya menetapkan perairan Kepulauan Raja Ampat dan laut sekitarnya sebagai Suaka Alam Perairan (SAP). Keberadaan tiga ekosistem seperti Karang, Lamun dan Manggrove seperti juga yang di temukan di perairan Kepulauan Raja Ampat mempunyai peran dan fungsi saling melengkapi dalam kestabilan ekosistem laut.

Supriyadi (2017) dalam Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, berpendapat bahwa Walaupun peran dan Fungsi tiga Ekosistem tersebut sangat besar dalam sistem perairan Kepulauan Raja Ampat, namun keberadaan tiga ekosistem tersebut rentan terhadap pengaruh dan tekanan perubahan lingkungan terlebih dalam tekanan aktivitas manusia seperti pembukaan lahan pertambangan yang saat ini terjadi di Raja Ampat.

2. Ancaman Nyata dari Alih Fungsi Lahan
Ekspansi pertambangan nikel di Raja Ampat membawa dampak ekologis yang signifikan:
Kerusakan Ekosistem Laut: Limbah tambang dan sedimentasi dapat merusak terumbu karang dan habitat laut lainnya.
Deforestasi dan Erosi Tanah: Pembukaan lahan untuk pertambangan menyebabkan hilangnya tutupan hutan dan meningkatkan risiko erosi.
Pencemaran Air dan Udara: Penggunaan bahan kimia dalam proses penambangan dapat mencemari sumber air dan udara, membahayakan kesehatan masyarakat dan kehidupan laut.

3. Perspektif Hukum dan Etika
Dari sudut pandang keadilan lingkungan, proyek ini melanggar prinsip-prinsip dasar:
Keadilan Distribusi: Masyarakat lokal menanggung dampak negatif lingkungan tanpa
mendapatkan manfaat yang setara.
Keadilan Prosedural: Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
terkait proyek ini menunjukkan ketidakadilan dalam proses.
Keadilan Pengakuan: Mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan nilai-nilai budaya mereka
terkait dengan tanah dan laut.

4. Suara Masyarakat dan Solidaritas Nasional
Masyarakat lokal, bersama dengan organisasi lingkungan seperti Greenpeace, telah menyuarakan penolakan terhadap pertambangan nikel di Raja Ampat. Dukungan dari berbagai elemen masyarakat di seluruh Indonesia menunjukkan solidaritas nasional dalam upaya melindungi warisan alam kita.

Maka lewat tulisan ini saya mengajak seluruh teman-teman mahasiswa, aktivis lingkungan Gorontalo dan seluruh elemen masyarakat Gorontalo untuk sama-sama mengkampanyekan bentuk penolakan terhadap proyek pertambangan nikel di Kepulauan Raja Ampat. Atas nama Warga Negara Saya menyerukan kepada pemerintah untuk menghentikan
proyek pertambangan nikel di Raja Ampat dan meninjau kembali kebijakan yang mengancam kelestarian lingkungan. Mari bersama-sama menjaga Raja Ampat sebagai warisan alam dunia yang tak ternilai harganya.

Penulis : Rizal Saputra H. Sembaga (Mahasiswa Jurusan Biologi,Fakultas MIPA, Universitas
Negeri Gorontalo.

Presma IAIN Kendari Tantang Anis Cakap Pengelolaan SDA di Sultra

Kendari, Objektif.id – Menjelang 2 hari kedatangan Anis Baswedan selaku Calon Presiden RI nomor urut 1 telah menjadi topik panas di masyarakat Sultra saat ini, terutama di kalangan mahasiswa kita, salah satunya Presiden Mahasiswa (Presma) IAIN Kendari yang menyoroti kunjungan capres tersebut, (07/01/2024).

Presma IAIN Kendari, Ashabul Akram, menantang Anis Baswedan untuk mengambil sikap akan permasalahan terkait pengelolaan Sumber daya alam Sultra yang dinilai merugikan masyarakat lokal.

“Sebagai mantan ketua senat mahasiswa UGM sekaligus orang yang menjadi salah satu capres pemilu 2024, saya mendesak beliau untuk menyikapi persoalan pengelolaan SDA, salah satunya pada industri pertambangan Sultra, kami anggap hari ini tidak sejalan dengan apa yang masyarakat lokal inginkan,” tuturnya.

Akram juga mengungkapkan, terdapat tiga masalah dalam pengelolaan SDA tersebut, pertama, hasil dari smelter pertambangan di bawa ke negara China. Kedua, orang lokal tidak diberikan ruang untuk bekerja dan ketiga, upah yang minimum.

“Kita bagaikan sarang lebah yang madunya diperas lalu ampasnya disimpan, sungguh menyedihkan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia berharap kunjungan capres RI nomor urut 1 tersebut dapat menjadi solusi terbaik bagi masyarakat Sulawesi Tenggara.

“Saya kira dengan kemantapan Anis sebagai capres dapat memberikan solusi yang terbaik bagi masyarakat Sulawesi tenggara,” pungkasnya.

Penulis: Tesa Ayu Sri Natari

Editor: Melvi Widya