Kendari, Objtektif.Id – Kehadiran tambang nikel di Sulawesi Tenggara telah menjadi momok menakutkan bagi rakyat. Bagaimana tidak, aktivitas eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan kian memprihatinkan—melahirkan banyak derita berkepanjangan yang berorientasi pada kerusakan lingkungan, ekonomi, kesehatan, dan perampasan hak masyarakat lokal untuk hidup layak.
Seolah-olah keselamatan rakyat dianggap tidak kalah penting daripada ambisi besar negara dibalik narasi kepentingan nasional melalui kebijakan yang sedang dipamerkan pada dunia bahwa Indonesia adalah pemain kunci dalam rantai pasok energi bersih terhadap pembangunan kendaraan listrik global.
Padahal di negara demokrasi keselamatan rakyat diletakan pada posisi tertinggi dalam sebuah kebijakan (Salus populi suprema lex esto)—prinsip yang menekankan bahwa kesejahteraan dan keamanan rakyat harus menjadi prioritas utama saat pengambilan keputusan, terutama dalam konteks pemerintahan dan perundang-undangan. Namun faktanya, dibalik narasi transisi energi dan hilirisasi, wilayah-wilayah penghasil nikel justru disarangi petaka krisis sosial-ekologis yang semakin akut.
Secara umum, aktivitas pertambangan memberikan dampak terhadap lingkungan berupa menurunnya tingkat kesuburan lahan, meningkatnya kepadatan tanah, terjadinya erosi serta proses sedimentasi, munculnya gerakan tanah atau longsor, terganggunya ekosistem flora dan fauna, menurunnya kualitas kesehatan masyarakat, serta berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Menurut hasil riset Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra, yang dipaparkan pada Sabtu, 28 Juni 2025, melalui seminar diseminasi bertajuk “Menata Ulang Tata Kelola Industri Nikel: Jalan Pemulihan Krisis Sosial-Ekologis di Sulawesi,” dilaporkan jika selama dua dekade terakhir, Sultra telah menjadi pusat ledakan industri nikel nasional yang mengubah daratan dan pesisir sulawesi menjadi tak layak huni.
Narasumber peluncuran hasil riset Walhi Sultra di Aula Unusra
Walhi Sultra menganggap keberadaan smelter dan tambang skala besar yang diberi label oleh negara sebagai Proyek Strategi Nasional (PSN), seringkali proses perizinan dilakukan secara terburu-buru dengan minim partisipasi publik, bahkan cenderung mengabaikan daya dukung lingkungan serta keberlanjutan ruang hidup masyarakat.
Sehingga tidak berlebihan jika Walhi Sultra menyebut bahwa aktivitas pertambangan yang meninggalkan kedurjanaan terhadap masyarakat merupakan cerminan nyata dari tata kelola industri yang ugal-ugalan. Perusahaan tambang ini menjadi simbol dari pembangunan yang mengabaikan prinsip keadilan sosial dan ekologis demi kepentingan investasi semata.
Operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive berbahan bakar batu bara yang digunakan untuk menyuplai energi ke smelter telah berkontribusi besar terhadap peningkatan polusi udara dan lonjakan emisi karbon. Hal ini tentu menjadi ironi di tengah komitmen nasional dan global untuk menekan laju perubahan iklim.
Selain itu keberadaan industri ini memicu ekspansi pertambangan yang semakin masif di wilayah sekitar—memperluas jejak kerusakan ekologis terhadap kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS), sungai-sungai terancam tercemar, dan sistem penghidupan masyarakat lokal baik petani maupun nelayan, kian terdesak oleh kepungan dampak buruk atas aktivitas industri yang tak terkendali.
“Industri nikel menjadi primadona Indonesia sebagai salah satu komoditas yang diburu negara-negara lain,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Andi Rahman dalam peluncuran hasil riset Walhi di Aula Universitas Nahdatul Ulama Sultra (Unusra).
Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Andi Rahman.
Ia menyatakan bila merujuk pada data Walhi Nasional, Sultra menjadi Provinsi yang menyimpan kandungan nikel tertinggi di Indonesia. Namun, menurutnya hasil sumber daya alam yang melimpah berbanding terbalik dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, “jadi ternyata pasca kami diskusi dengan masyarakat terkait kesejahteraan, bagi masyarakat itu menjadi terbalik, justru krisis ekonomi, lingkungan, dan kesehatan menjadi masalah di Wilayah-wilayah pertambagan, ujar Andi.
Andi juga menjelaskan dampak lingkungan dan kesehatan dari aktivitas industri atau tambang nikel dirasakan langsung oleh masyarakat Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, sekitar lima ribu masyarakat telah didiagnosa mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang berasal dari debu batu bara PLTU captive milik dua perusahaan raksasa, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS), anak perusahaan dari grup Tsingshan asal Tiongkok.
Tak hanya itu, mayoritas masyarakat Morosi yang bermata pencaharian sebagai petani tambak turut mengalami kerugian ekonomi akibat beroperasinya PLTU captive tersebut. Terjadi pencemaran pada tambak ikan dan udang warga sekitar akibat polusi udara dan limbah industri yang terus bertambah setiap tahun sejak 2018 lalu.
Selain Morosi, aktivitas buruk tambang nikel juga terjadi di Konawe Utara Blok Mandiodo. Staf Walhi Sultra Bidang Advokasi Hutan dan Kebun, Gian Purnamasari, memaparkan situasi lokasi pertambangan yang telah menghilangkan hutan dan berpotensi mengirim bencana kapada masyarakat, “jika kita melihat aktivitas pertambangan di Blok Mandiodo, batas antara bekas pertambangan dan hutan kepada masyrakat itu sudah sangat tipis sehingga ketika hujan bisa saja terjadi longsor yang merembes ke tempat masyarakat pesisir,” ujar Gian.
Staf Walhi Sultra Bidang Advokasi Hutan dan Kebun, Gian Purnamasari.
Gian melihat kehadiran tambang nikel ini merenggut semua ruang penghidupan masyarakat, mulai dari tanah untuk berkebun atau bertani, rusaknya sumber air bersih, serta hak untuk menghirup udara yang sehat, dan itu semua menurutnya tidak hanya dirasakan oleh masyrakat Morosi maupun Blok Mandiodo saja.
Salah satunya dirasakan juga oleh masyarakat Kabupaten Konawe Selatan tepatnya di Desa Torobulu yang turut terdampak dari keaktifan tambang nikel. Gian mengungkapkan, operasi tambang di Torobulu sangat agresif—merubah dua kolam sumber mata air tawar yang bersih menjadi tidak sehat, sebab penambangan PT Wijaya Intan Nusantara (WIN) tepat berada di sebelah bak penampungan.
Bahkan menurut Gian, sebelum tambang datang, Torobulu dijuluki sebagai “Desa Dolar” karena menjadi Desa pengahasil ikan untuk banyak daerah disekitarnya, “Torobulu dulunya adalah penghasil Dolar melalui hasil pertanian dan perikanan. Namun, sekarang menjadi ladang tambang nikel yang membuat dampak pencemaran pada laut memerah akibat lumpur tambang.”
Sayangnya, mudarat yang disebabkan tambang nikel tidak berhenti disitu. Hal serupa seperti yang terjadi di Blok Mandiodo, Morosi, dan Torobulu, harus dirasakan juga masyarakat Pulau Kabaena. Gian mengatakan dampak aktivitas pertambangan nikel di Pulau Kabaena, tak hanya menyisakan kerusakan lingkungan, tapi mengancam kesehatan masyarakat secara nyata.
“Kabaena juga menjadi tempat yang paling parah akibat tambang. Dengan berbagai dampak ekologis yang mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat yang dimana terdapat kandungan nikel di dalam urin masyarakat yang ditenggarai bersumber dari konsumsi kerang-kerangan laut,” ujar Gian.
Sama seperti tiga tempat sebelumnya, Pulau Wawonii terdapat tambang nikel yang dioperasikan oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP), bagian dari Harita Group. Wawonii telah mengalami deforestasi hutan—krisis ekologis serta pembabatan lahan-lahan perkebunan milik warga yang telah ditanami oleh tanaman andalan lokal yang kemudian menurut Gian hal ini telah merusak perekonomian masyarakat setempat.
“Rakyat kehilangan kebun yang mengandalkan komoditas seperti, kelapa, jambu, dan cengkeh. Justru kehadiran tambang malah merenggut pendapatan masyarakat setelah itu meninggalkan kerusakan lingkungan yang juga menciptakan kemiskinan dan pengangguran,” katanya.
Diketahui aktivitas tambang di kedua pulau itu, Kabaena dan Wawonii, seharusnya dilarang sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil yang tidak mengamini kegiatan pertambangan di pulau kecil. Regulasi ini juga turut dikuatkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-XXI/2023.
Sementara Akademisi lingkungan, Agusrinal, menyatakan keprihatinan yang mendalam akibat krisis pencemaran lingkungan aktivitas pertambangan, khususnya hilirisasi nikel, serta berbagai temuan dampak negatif dari kegiatan tambang yang menurutnya telah menyimpang jauh dari prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
“Kita sebagai bagian dari komunitas ilmiah harus melihat bahwa praktik pertambangan saat ini, terutama di sektor hilirisasi nikel, sudah tidak sejalan lagi dengan nilai-nilai keberlanjutan lingkungan. Saya prihatin atas berbagai temuan dampak lingkungan yang terjadi di lapangan,” ujarnya.
Agusrinal juga menyoroti kondisi masyarakat di daerah terdampak, yang kini mendesak agar kegiatan pertambangan di wilayah mereka segera dihentikan, “masyarakat di sana merasakan langsung dampak buruk dari tambang dan mereka berharap aktivitas ini ditutup,” tuturnya.
Sementara itu, Wahyu Prianto, Dekan Fakultas Hukum Universitas Nahdatul Ulama Sultra (Unusra), menegaskan pentingnya peran ilmu pengetahuan dalam menentukan arah kebijakan. Ia menilai, penghormatan terhadap hasil riset merupakan cerminan kemajuan suatu masyarakat, “masyarakat yang maju bisa dilihat dari bagaimana mereka menghargai ilmu pengetahuan. Apa yang ditemukan melalui riset Walhi adalah langkah penting yang harus dijadikan acuan ke depan,” katanya.
Wahyu juga mengkritik tajam kebijakan yang menurutnya merusak lingkungan dan bertentangan dengan hasil kajian ilmiah. “Kebijakan yang merusak, termasuk pernyataan pejabat yang menyamakan pohon dengan sawit, adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan,” ucapnya.
Oleh sebab itu, melihat situasi yang semakin mengkhawatirkan, Walhi Sultra melalui risetnya mendorong negara untuk mengambil langkah-langkah tegas dan strategis demi menyelamatkan lingkungan dan masyarakat. Ada enam agenda utama yang direkomendasikan untuk segera diwujudkan.
Pertama, menghentikan operasional PLTU captive yang menjadi sumber utama emisi dan kerusakan lingkungan. Kedua, melakukan penertiban dan moratorium terhadap izin-izin industri yang selama ini lepas dari kontrol. Ketiga, memastikan perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat serta kawasan lindung yang rentan terancam oleh ekspansi industri ekstraktif.
Kemudian yang keempat, mereformasi sistem penegakan hukum agar lebih adil dan berpihak pada kepentingan ekologis. Kelima, mendorong demokratisasi dalam tata kelola pertambangan agar masyarakat memiliki ruang kontrol yang lebih luas. Terakhir, negara juga dituntut untuk melakukan pemulihan dan rehabilitasi menyeluruh terhadap wilayah-wilayah yang telah terdampak aktivitas industri.