Ego di Ujung Jari: Saat Pengendara Merasa Jalanan Miliknya

Kendari, Objektif.id — Fenomena pengendara yang merokok di jalan raya kini bukan hal asing lagi di berbagai kota besar, termasuk Kendari. Setiap hari, mata kita disuguhi pemandangan pengendara yang menyalakan rokok sambil memegang setir motor, bahkan tanpa memperhatikan sekitar. Asapnya mengepul ke wajah pengguna jalan di belakang, dan puntungnya sering kali dibuang sembarangan ke jalan. Sekilas tampak sepele, namun tindakan itu menunjukkan rendahnya kesadaran sosial dan tingginya sikap egois di ruang publik.

Dampaknya tidak hanya pada polusi udara, tetapi juga pada keselamatan dan kesehatan masyarakat. Asap rokok yang tertiup angin bisa mengenai pengendara di belakang, menyebabkan gangguan pernapasan atau iritasi mata. Puntung rokok yang dibuang sembarangan bisa memicu kebakaran kecil di jalanan. Bahkan, menurut data dari Korlantas Polri tahun 2024, tercatat beberapa kasus kecelakaan disebabkan pengendara kehilangan fokus karena rokok yang terjatuh atau asap yang mengganggu pandangan.

Ironisnya, sebagian besar pelaku adalah laki-laki dewasa yang sudah lama menjadi perokok aktif. Berdasarkan riset dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2023, sekitar 63 persen laki-laki Indonesia adalah perokok aktif, tertinggi di Asia Tenggara. Peneliti dari Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa tingginya ketergantungan ini disebabkan oleh kandungan nikotin yang memengaruhi sistem saraf dan menciptakan efek ketenangan sementara. Itulah sebabnya banyak pria menjadikan rokok sebagai pelarian stres, bahkan di tengah aktivitas berkendara.

Namun, kebiasaan itu justru memperlihatkan lemahnya pengendalian diri. Merokok saat berkendara dianggap sebagian orang sebagai cara “menemani perjalanan” atau “mengusir bosan”, padahal tindakan itu memperbesar risiko bahaya bagi diri sendiri dan orang lain. Seorang psikolog sosial dari Universitas Indonesia, Dr. Sari Anggraeni, menyebut bahwa perilaku semacam ini muncul karena “kebiasaan yang dibenarkan secara sosial”, di mana lingkungan menganggap merokok hal yang wajar, bahkan maskulin. Padahal, di balik itu tersimpan bentuk egoisme yang mengabaikan tanggung jawab sosial.

Selain bahaya fisik, merokok di jalan juga menimbulkan dampak sosial. Banyak pengguna jalan merasa terganggu namun enggan menegur karena takut menimbulkan konflik. Sikap diam inilah yang tanpa sadar membuat perilaku egois terus berkembang. Bila masyarakat tetap membiarkan, bukan tidak mungkin generasi muda meniru kebiasaan ini, menganggapnya bagian dari gaya berkendara yang “normal”.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang lebih tegas dan edukatif. Pemerintah daerah bersama aparat kepolisian seharusnya menegakkan aturan larangan merokok saat berkendara sebagaimana larangan menggunakan ponsel. Di sisi lain, kampanye publik yang menekankan pentingnya empati di jalan raya perlu digalakkan. Menjadi pengendara yang baik bukan hanya soal mematuhi rambu, tetapi juga menghormati hak udara bersih bagi orang lain.

Karena sejatinya, jalan raya adalah ruang bersama, bukan tempat untuk melampiaskan kebiasaan pribadi. Satu hisapan rokok mungkin terasa ringan bagi pelakunya, namun bisa menjadi sumber bahaya bagi orang lain. Kesadaran kecil seperti menahan diri untuk tidak merokok saat berkendara bisa menjadi langkah besar menuju budaya berkendara yang lebih beradab, sehat, dan saling menghargai.

Penulis: Aulia Permata Ashar

Editor: Redaksi

HUT Bhayangkara dengan Tema Pencitraannya

Objektif.id-Tepat hari ini merupakan peringatan monumental institusi kepolisian Republik Indonesia yang ke 79 tahun. Sebuah agenda tahunan yang memang harus mereka rayakan sebagai bentuk penghargaan atas kinerja-kinerja yang telah dilakukan kepada masyarakat, seperti yang menjadi tajuk peringatan hari Bhayangkara—“Polri Untuk Masyarakat.”

Namun, dibalik tajuk yang terkesan ideal dan seolah-olah itu adalah pengabdian yang sesungguhnya, kami berpendapat faktanya tidak demikian. Sebagai masyarakat sipil sekaligus organisasi kemahasiswaan di bidang pers kami tidak ingin berbohong dengan naluri kebatinan yang dirasakan atas tindakan-tindakan ketidakadilan—kerap dilakukan oleh pihak kepolisian yang tidak berorientasi kerakyatan.

Sikap tulisan ini tegas ditujukan kepada kepolisian dalam bentuk kritik dimomen berbahagia peringatan hari Bhayangkara. Tentu di negara demokrasi setiap orang berhak merayakan suatu peristiwa dengan sikap dan cara yang berbeda, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai moralitas yang mengarah pada tubuh individu (bersifat personal) warga negara. Sehingga kritik ini penting dibuat karena kami ingin melaksanakan fungsi kontrol atau pengawasan masyarakat sipil kepada pihak kepolisian yang memiliki otoritas wewenang, serta sebuah upaya refleksi perenungan mendalam agar tidak terjadi lagi penyelewengan kekuasaan secara semena-mena.

Dalam peringatan hari Bhayangkara ini, kami pasti tak luput untuk mengakui bahwa ada pemenuhan tugas kepolisian terhadap masyarakat—hal yang tentunya bagus dan memang harusnya begitu, sebab itu telah menjadi tanggungjawab kepolisian. Tapi narasi yang akan kami sampaikan disini memang bukan untuk memuja atau memuji.

Pendapat yang termuat dalam tulisan tidak tiba-tiba muncul, melainkan timbul atas keresahan tema yang dipilih dihari Bhayangkara tahun ini. Tema yang dipilih terkesan sangat ideal, populis, tapi kenyataannya justru terlihat paradoks. Tema ini bukan hanya sekadar kata belaka, didalamnya seperti terkandung pencitraan yang ditujukan kepada masyarakat, seakan tema itu hadir dalam wujud versi paling baik dari kepolisian.

Dengan lantang kami ingin katakan bahwa sekuat apapun narasi pencitraan yang dibangun, kami tidak akan pernah lupa kekerasan yang dilakoni oleh polisi di ruang sipil. Kejadian itu akan menjadi bara kolektif serta catatan buruk dalam memori bangsa ini. Kata “Polri Untuk Masyarakat” seperti bentuk manipulatif. Mengapa demikian, karena jika kita lihat fakta di lapangan menunjukan marak terjadi sikap arogansi polisi yang berujung kekerasan juga berulang kali terjadi kepada masyarakat.

Jika merujuk pada catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, kekerasan terhadap masyarakat sipil—terutama jurnalis tidak bisa dilepaskan dari peran aparat kepolisian. Dari total 1.200 kasus kekerasan yang terjadi hingga pertengahan 2025, lebih dari 260 di antaranya melibatkan anggota polisi. tentunya ini bukan sekadar angka melainkan potret buram institusi yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi pelaku kekerasan.
AJI juga mengatakan kalau selama ini pun, kasus-kasus yang melibatkan kepolisian cenderung tanpa proses hukum dan berakhir pada impunitas.

Bahkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) turut menegaskan dalam periode Juli 2024 hingga Juni 2025, terdapat 411 insiden penembakan yang dilakukan oleh polisi—menjadikannya sebagai bentuk kekerasan paling sering dilakukan oleh aparat. Ini bukan hanya kesalahan prosedur, tapi manifestasi kekerasan yang sistematis dan berulang.

Tak hanya itu, pada periode yang sama Kontras membeberkan sedikitnya 602 peristiwa kekerasan oleh anggota Polri dengan rincian yang mencengangkan setelah kasus penembakan yang jumlahnya paling tinggi: 81 kasus penganiayaan, 72 kasus penangkapan sewenang-wenang, 43 kasus pembubaran paksa, 38 kasus penyiksaan, 24 kasus intimidasi, sembilan kasus kriminalisasi, tujuh kasus kekerasan seksual, dan empat tindakan tidak manusiawi lainnya.

Merujuk pada data-data di atas, apakah kita ikhlas menganggap tema HUT Bhayangkara sebagai representasi yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan ruang aman bagi masyarakat sipil? Mestinya tema yang dipilih harus menggambarkan bagaimana kepolisian mengakui segala bentuk pelanggaran yang dilakukan terhadap masyarakat sipil.

Kekerasan yang terus berulang hanya menegaskan satu hal yakni kegagalan institusional dalam menegakkan amanat konstitusi untuk melindungi rakyat. Ketika impunitas menjadi norma dan negara telah absen dalam melindungi kepentingan rakyat dari ketidakadilan, maka tidak berlebihan jika kami menyebut negara menjadi bagian dari pendukung impunitas itu.

Selama pembiaran ini terus berlangsung, kultur kekerasan akan tumbuh subur di balik seragam. Yang nantinya akan memperpanjang siklus kekerasan secara terus-menerus—yang perlahan tapi pasti akan menggerus ruang aman masyarakat sipil, kebebasan berekspresi, serta kemerdekaan pers di negeri ini.

Jantan di Mulut Rapuh di Sikap: Kritik untuk Maskulinitas Toksik

Oleh: Nur Saputri Ayu Tia Ningsih

Objektif. Id-Dalam hiruk pikuk pergaulan sosial dan digital, tak jarang kita mendengar sosok laki-laki yang berbicara lantang soal kelaki-lakian yang seolah kejantanan bisa dibuktikan lewat dominasi, suara keras, dan candaan bernada seksis. Namun, di balik keberanian di mulut itu, tersembunyi rapuhnya sikap, rentannya ego, dan dangkalnya kesadaran akan nilai kesetaraan. Inilah wajah maskulinitas tipis berisik dalam stereotip, tetapi kosong dalam tanggung jawab moral.

Perilaku meremehkan perempuan bukan sekadar masalah etika. Ia adalah produk dari konstruksi sosial usang yang terus direproduksi baik lewat media, pendidikan, maupun pergaulan sehari-hari. Ketika laki-laki merasa keberadaan perempuan yang cerdas dan vokal adalah ancaman, itu bukan tanda kekuatan, tapi cerminan ketakutan. Ketakutan bahwa dominasi tak lagi relevan, bahwa kejantanan palsu akhirnya terbongkar sebagai tameng dari ketidakdewasaan emosional.

Laki-laki yang kerap “melecehkan” perempuan dengan dalih “cuma bercanda” sesungguhnya sedang memamerkan ketidakmampuannya untuk berempati. Mereka yang gemar memotong pendapat perempuan dalam diskusi hanyalah menunjukkan bahwa daya pikirnya tak cukup kuat untuk menghadapi argumen logis. Dan mereka yang merasa terhina ketika perempuan setara dalam prestasi, justru sedang berteriak bahwa harga diri mereka dibangun di atas puing dominasi semu.

Sudah saatnya kita berhenti memelihara narasi basi bahwa laki-laki harus selalu lebih. Dunia tak butuh jantan yang rapuh, tetapi manusia yang matang. Laki-laki tak kehilangan kehormatannya dengan menghormati perempuan, ia justru meraih kemuliaan. Karena keberanian sejati bukan terletak pada nada tinggi saat bicara, tapi pada kerendahan hati untuk mendengar dan belajar.

Masyarakat sering memaafkan atau bahkan membenarkan perilaku maskulin yang toksik sebagai bagian dari “sifat laki-laki”. Ungkapan seperti “namanya juga cowok” atau “wajar dong, dia kan laki-laki” menjadi tameng yang menormalisasi ketidaksetaraan. Padahal, yang kita butuhkan bukan pembenaran, tetapi pembelajaran. Laki-laki tidak dilahirkan dengan hak istimewa untuk merendahkan. Hak itu jika pernah dianggap adaseharusnya sudah lama kedaluwarsa.

Maskulinitas yang sehat tidak takut disandingkan dengan kelembutan. Ia tidak merasa ancaman ketika perempuan bersuara. Ia tumbuh dari kedewasaan, dari kesediaan untuk merasa tidak tahu, lalu belajar. Laki-laki yang kuat bukan yang tak bisa dikalahkan, tapi yang tahu kapan harus berhenti mendominasi dan mulai mendengarkan. Dan mendengarkan perempuan bukan berarti memberi ruang sejenak.

Bukan sekadar menjadi sekutu dalam narasi media sosial, lalu abai di kehidupan nyata. Itu berarti hadir penuh mengoreksi sikap diri, membongkar asumsi lama, dan berani menantang teman sendiri saat mereka melecehkan perempuan, walau hanya dalam bentuk candaan. Karena ketidakadilan jarang hadir dalam teriakan ia lebih sering tumbuh dalam tawa yang tak kita pertanyakan.

Kita tidak sedang mencari laki-laki sempurna. Tapi kita butuh laki-laki yang mau belajar, yang berani melihat dirinya bukan sebagai pusat semesta, dan yang tahu bahwa menghormati perempuan bukan pencitraan, tapi pondasi dari masyarakat yang adil. Dunia bergerak maju, dan maskulinitas toksik tak punya tempat di dalamnya karena kejantanan yang tak disertai tanggung jawab hanyalah gema dari masa lalu yang gagal.

Pengaruh Perang Timur Tengah Terhadap Pasokan Minyak Indonesia

Objektif.id – Warga Indonesia diminta untuk lebih hemat dalam menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) menyusul situasi geopolitik yang semakin memanas di Timur Tengah. Perang yang terus menggila di kawasan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian pasokan minyak dunia, yang berdampak langsung pada ketersediaan dan harga BBM di dalam negeri.

Pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengingatkan masyarakat agar bijak dalam konsumsi BBM demi menjaga stok yang ada tetap aman dan mencukupi kebutuhan nasional. Per 16 Juni 2025, stok Pertalite tercatat cukup untuk 21 hari, Pertamax untuk 29 hari, dan Solar untuk 19 hari, angka yang masih tergolong aman namun mengindikasikan perlunya penghematan.

Kondisi ini menjadi peringatan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengurangi penggunaan BBM secara tidak perlu. Analis dari Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menegaskan bahwa potensi gangguan pasokan minyak akibat konflik di Selat Hormuz dapat memicu kenaikan harga BBM dan LPG di Indonesia. Oleh karena itu, langkah penghematan menjadi sangat krusial agar beban subsidi pemerintah tidak semakin membengkak dan berdampak negatif pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini menekankan pentingnya percepatan program elektrifikasi kendaraan sebagai solusi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada BBM.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor minyak dan gas bumi (Migas) sebesar US$ 36,27 miliar pada 2024, naik dari US$ 35,83 miliar pada 2023. Kenaikan impor ini menambah tekanan pada APBN, terutama dalam hal subsidi BBM dan LPG yang terus membengkak.

Analis Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna, memperingatkan risiko pembengkakan subsidi yang dapat membebani keuangan negara dan masyarakat. “Resiko peningkatan subsidi semakin membengkak dan lagi-lagi mengingatkan pentingnya Indonesia bergeser menuju kendaraan listrik. Biaya yang membengkak tersebut akan membebani kantong masyarakat ataupun APBN,” ujarnya.

Pemerintah sendiri tengah melakukan reformasi subsidi BBM yang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi dan memperbaiki distribusi subsidi agar lebih tepat sasaran. Dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2025 menyebutkan bahwa pengendalian kategori konsumen BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar dapat mengurangi konsumsi hingga 17,8 juta kiloliter per tahun.

Kebijakan ini diharapkan mampu menghemat anggaran subsidi hingga Rp67,1 triliun per tahun, sekaligus mengurangi beban APBN yang selama ini harus menanggung kompensasi besar akibat harga jual BBM yang masih di bawah harga keekonomian.

Pertamina sebagai perusahaan BUMN yang bergerak di sektor energi juga mencatat kenaikan penjualan BBM sebesar 5,6% pada tahun 2024, yang menunjukkan peningkatan kebutuhan energi masyarakat.

Masyarakat diimbau untuk berperan aktif dalam penghematan BBM dengan cara-cara sederhana namun efektif, seperti mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, memanfaatkan transportasi umum, dan melakukan perawatan kendaraan secara rutin agar lebih efisien dalam konsumsi bahan bakar.

Selain itu, penggunaan teknologi kendaraan listrik yang semakin berkembang juga menjadi alternatif yang menjanjikan untuk masa depan. Kesadaran kolektif ini sangat penting untuk menjaga ketahanan energi nasional di tengah ketidak pastian global.

Putra Adhiguna menambahkan bahwa pentingnya peran pemerintah untuk segera mencari jalan keluar terhadap potensi kenaikan harga BBM dan LPG melalui program elektrifikasi yang dinilai bisa meringankan beban APBN., “Hal seperti ini terus berulang dan memerlukan cara pandang yang lebih jauh dan terus berusaha mengganti peran BBM dan LPG dengan elektrifikasi kendaraan dan dapur serta membuat cadangan BBM yang lebih kuat”, katanya.

Di tengah tantangan global dan kebutuhan domestik yang terus meningkat, penghematan BBM menjadi langkah strategis yang harus dijalankan oleh seluruh warga negara. Langkah ini bukan hanya demi kepentingan ekonomi dan lingkungan, tetapi juga sebagai bentuk solidaritas nasional dalam menghadapi tantangan global yang tidak mudah diprediksi. Penghematan BBM adalah tanggung jawab bersama yang harus dijalankan dengan kesadaran tinggi demi masa depan bangsa yang lebih baik.

Belajar dari Ambang Kehancuran: Menakar Posisi Indonesia Melalui Lensa Collapse Karya Jared Diamond

Penulis: Rizal Saputra H. Sembaga (Mahasiswa Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo)

Dalam karyanya yang monumental Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed, Jared Diamond, menggugah kesadaran kita bahwa keruntuhan suatu peradaban tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari akumulasi keputusan sosial, kebijakan politik, dan respons terhadap tekanan lingkungan. Lewat pendekatan multidisipliner, Diamond membedah penyebab runtuhnya berbagai masyarakat — dari Pulau Paskah hingga Kekaisaran Khmer — dengan membandingkannya pada masyarakat modern yang menghadapi krisis yang sama. Dua studi kasus penting, yakni perbandingan Republik Dominika vs Haiti, serta Montana di Amerika Serikat, menjadi cermin reflektif yang sangat relevan bagi Indonesia saat ini.

Republik Dominika vs Haiti: Satu Pulau, Dua Takdir

Pulau Hispaniola di Karibia menjadi laboratorium sosial yang unik. Ia dihuni oleh dua negara: Haiti dan Republik Dominika. Meskipun berbagi ekosistem yang sama, kedua negara memiliki nasib yang sangat berbeda.

  • Haiti: Gambaran Keruntuhan Ekologis Haiti adalah contoh nyata dari masyarakat yang runtuh karena eksploitasi alam yang tak terkendali. Sekitar 98% hutan di Haiti telah hilang akibat penebangan untuk kayu bakar dan perluasan lahan pertanian. Negara ini juga menghadapi kemiskinan ekstrem, pemerintahan yang korup, dan lemahnya penegakan hukum. Tanpa sumber daya alam yang cukup, Haiti terperosok dalam siklus bencana ekologis dan kemanusiaan yang tiada akhir.
  • Republik Dominika: Jalan Menuju Pemulihan Sebaliknya, Republik Dominika, di bawah kepemimpinan Presiden Joaquín Balaguer pada 1960–1990, berhasil menghindari keruntuhan. Ia menerapkan kebijakan konservasi hutan yang agresif, melarang penebangan liar, dan memperkuat lembaga perlindungan lingkungan. Meski rezimnya otoriter, hasilnya nyata: tutupan hutan tetap terjaga, banjir dapat dikendalikan, dan ketahanan ekologis masyarakat meningkat.

Montana: Potret Dilema dalam Negara Maju

Montana, negara bagian di Amerika Serikat yang kaya akan sumber daya alam dan dikenal akan keindahan alamnya, justru menghadapi degradasi ekologis yang serius. Penebangan liar, tambang logam berat yang mencemari tanah dan air, serta peternakan yang merusak padang rumput telah memperlihatkan paradoks negara maju: modernitas dan teknologi tak menjamin keberlanjutan jika tidak ada kesadaran dan regulasi yang tepat. Ironisnya, banyak penduduk Montana menolak campur tangan pemerintah dalam masalah lingkungan, meskipun mereka sangat bergantung pada subsidi federal untuk bertahan. Ini menunjukkan bahwa ideologi politik bisa menjadi penghalang dalam upaya penyelamatan lingkungan.

Kontekstualisasi terhadap Indonesia: Menelusuri Benang Merahnya

Ketika kita mencermati tiga kasus di atas, kita menemukan bahwa Indonesia memiliki sumbu keterkaitan yang kuat dengan semua elemen permasalahan yang dibedah Diamond. Berikut ini telaahnya:

Kerusakan Lingkungan yang Kian Sistemik

Seperti Haiti, Indonesia menghadapi deforestasi dalam skala besar. Data KLHK menunjukkan bahwa sejak 2000, jutaan hektar hutan Indonesia hilang karena pembalakan liar, ekspansi sawit, dan tambang. Contoh paling nyata adalah degradasi hutan di Kalimantan dan Papua, serta ancaman terhadap Raja Ampat akibat rencana pertambangan nikel. Ini sangat mirip dengan Haiti: eksploitasi alam menjadi jalan keluar jangka pendek dari masalah ekonomi, namun menjadi bumerang dalam jangka panjang.

Ketimpangan Sosial dan Ketergantungan Ekonomi

Seperti masyarakat Haiti dan petani Montana, banyak kelompok masyarakat di Indonesia masih bergantung pada sumber daya alam dalam kondisi ketidakpastian ekonomi. Kemiskinan struktural dan ketimpangan distribusi kekayaan mendorong masyarakat untuk menebang hutan, membakar lahan, dan menambang secara ilegal. Hal ini diperparah oleh lemahnya alternatif ekonomi berkelanjutan yang ditawarkan pemerintah.

Kepemimpinan dan Visi Politik yang Lemah dalam Perlindungan Lingkungan

Jika Republik Dominika bisa selamat karena visi ekologis seorang pemimpin, maka Indonesia hari ini menghadapi tantangan besar dari lemahnya kehendak politik untuk menjaga lingkungan. Pembangunan yang berorientasi infrastruktur dan investasi asing seringkali dilakukan dengan mengorbankan kawasan ekosistem esensial. Kasus alih fungsi hutan di Kalimantan untuk IKN atau pembiaran terhadap tambang di wilayah adat menunjukkan bahwa keberpihakan negara masih condong ke ekonomi ekstraktif.

Penegakan Hukum dan Tata Kelola yang Rapuh

Sama seperti Haiti yang gagal menegakkan aturan konservasi, Indonesia juga menghadapi persoalan serius dalam penegakan hukum lingkungan. Banyak perusahaan yang melakukan perusakan hutan tetap lolos dari jerat hukum. Sementara itu, masyarakat adat dan aktivis lingkungan yang mempertahankan tanahnya justru dikriminalisasi. Ini menunjukkan lemahnya tata kelola yang berpihak pada keberlanjutan.

Potensi dan Harapan: Belajar dari Republik Dominika dan Kesadaran Rakyat Montana

Namun Indonesia belum terlambat. Seperti Dominika, Indonesia memiliki potensi besar dalam sumber daya manusia dan biodiversitas. Di banyak daerah, masyarakat adat masih menjaga hutan dengan kearifan lokal mereka. Gerakan masyarakat sipil dan kesadaran publik terhadap isu iklim juga meningkat. Indonesia bisa mengambil jalur pemulihan seperti Dominika-jika didukung oleh kebijakan politik yang berani, investasi dalam energi hijau, dan pendidikan lingkungan yang masif.

Kesimpulan: Jalan Menuju Kelestarian atau Kehancuran

Jared Diamond menunjukkan bahwa peradaban runtuh bukan karena takdir, tetapi karena pilihan. Republik Dominika memilih untuk bertahan. Haiti memilih untuk membiarkan dirinya runtuh. Montana berada di tengah dilema ideologi dan pragmatisme. Indonesia kini berada di titik kritis: apakah akan menjadi Haiti berikutnya-negara yang tersandera eksploitasi alam dan ketimpangan sosial-atau memilih menjadi seperti Republik Dominika-negara yang menyelamatkan masa depannya dengan menyelamatkan lingkungan hari ini? Pilihan itu ada di tangan kita. Dalam kebijakan. Dalam kesadaran kolektif. Dan dalam tindakan nyata.

Penutup : Catatan Pribadi dan Seruan Moral

Sebagai warga negara yang tumbuh ditanah yang subur dan kaya akan sumber daya alam, saya tudak bisa diam dan berpangku tangan melihat arah pembangunan yang kerap kali mengabaikan keberlanjutan. Kasus Haiti bukan hanya kisah negeri yang jauh di karibia tapi ini menjadi cerminan untuk indonesia sebagai refleksi atas pengambilan kebijakan dalam menangani permasalahan lingkungan. Itu adalah cermin yang bisa memantulkan bayangan masa depan Indonesia jika kita terus membiarkan tambang menggantikan hutan, sawit menggantikan rawa gambut, dan beton menggantikan sungai.

Kita tidak kekurangan data, tidak kekurangan hukum, tidak kekurangan sumber daya. Yang kurang pada kita adalah kemauan politik dan kesadaran moral kolektif. Kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya berpikir tentang lima tahun ke depan, tetapi tentang keberlangsungan hidup anak cucu kita. Kita juga membutuhkan rakyat yang berani bersuara ketika hutan ditebang, ketika air tercemar, ketika tanah leluhur dijual atas nama “pembangunan”. Belajar dari kisah Republik Dominika, kita tahu bahwa perubahan itu mungkin. Ia tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi diperjuangkan—oleh pemimpin yang berani, oleh masyarakat yang sadar, oleh hukum yang ditegakkan tanpa pandang bulu. Maka, ketika kita ditanya: “Apakah Indonesia akan selamat?”, jawabannya tergantung pada apa yang kita lakukan hari ini. Diam adalah pilihan. Melawan perusakan juga pilihan. Dan masa depan adalah akibat dari pilihan-pilihan itu.

Raja Ampat Bukan untuk Ditambang: Seruan Keadilan Ekologis dan Perlindungan Warisan Alam Dunia.

5 Juni 2025 merupakan Hari Besar Lingkungan Hidup Sedunia (HBLH), pada hari yang baik ini saya mengajak seluruh elemen masyarakat untuk merefleksi kembali permasalahan lingkungan hidup yang ada di daerah masing-masing dalam skala regional dan dalam skala nasional untuk kemudian melihat serta menelisik dan mengkaji permasalahan yang ada di Raja Ampat. Mari sama-sama kita menolak Raja Ampat yang dijadikan lokasi pertambangan nikel.

Jangan biarkan hari lingkungan hidup hanya sebagai hari seremonial semata, suaramu bisa jadi pelindung bagi kehidupan ini karena kita butuh laut yang tetap biru dan hutan yang tetap hijau. Raja Ampat, permata biodiversitas dunia yang terletak di jantung segitiga terumbu karang, kini menghadapi ancaman serius akibat ekspansi pertambangan nikel.

Sebagai warga negara sekaligus mahasiswa yang berfokus pada kajian-kajian ekologi yang peduli terhadap kelestarian lingkungan dan masa depan generasi mendatang, saya menyuarakan penolakan tegas terhadap proyek ini. Kemudian mengajak kepada seluruh teman-teman mahasiswa, akademisi, aktivis lingkungan dan seluruh  elemen masyarakat untuk mengkampanyekan secara masif penolakan terhadap pertambangan di Raja Ampat.

1. Raja Ampat : Mahakarya Ekologis Nusantara
Raja Ampat adalah rumah bagi lebih dari 1.800 spesies ikan, 550 spesies karang (75% dari total dunia), serta berbagai megafauna laut seperti Pari Manta, Paus, dan Penyu. Keanekaragaman hayati ini menjadikan Raja Ampat sebagai salah satu ekosistem laut terkaya di planet ini, yang berperan penting dalam stabilitas ekosistem global dan sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat lokal melalui pariwisata berkelanjutan.

Perairan Kepulauan Raja Ampat dan sekitarnya telah ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor Kep.64/Men/2009 yang selanjutnya menetapkan perairan Kepulauan Raja Ampat dan laut sekitarnya sebagai Suaka Alam Perairan (SAP). Keberadaan tiga ekosistem seperti Karang, Lamun dan Manggrove seperti juga yang di temukan di perairan Kepulauan Raja Ampat mempunyai peran dan fungsi saling melengkapi dalam kestabilan ekosistem laut.

Supriyadi (2017) dalam Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, berpendapat bahwa Walaupun peran dan Fungsi tiga Ekosistem tersebut sangat besar dalam sistem perairan Kepulauan Raja Ampat, namun keberadaan tiga ekosistem tersebut rentan terhadap pengaruh dan tekanan perubahan lingkungan terlebih dalam tekanan aktivitas manusia seperti pembukaan lahan pertambangan yang saat ini terjadi di Raja Ampat.

2. Ancaman Nyata dari Alih Fungsi Lahan
Ekspansi pertambangan nikel di Raja Ampat membawa dampak ekologis yang signifikan:
Kerusakan Ekosistem Laut: Limbah tambang dan sedimentasi dapat merusak terumbu karang dan habitat laut lainnya.
Deforestasi dan Erosi Tanah: Pembukaan lahan untuk pertambangan menyebabkan hilangnya tutupan hutan dan meningkatkan risiko erosi.
Pencemaran Air dan Udara: Penggunaan bahan kimia dalam proses penambangan dapat mencemari sumber air dan udara, membahayakan kesehatan masyarakat dan kehidupan laut.

3. Perspektif Hukum dan Etika
Dari sudut pandang keadilan lingkungan, proyek ini melanggar prinsip-prinsip dasar:
Keadilan Distribusi: Masyarakat lokal menanggung dampak negatif lingkungan tanpa
mendapatkan manfaat yang setara.
Keadilan Prosedural: Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
terkait proyek ini menunjukkan ketidakadilan dalam proses.
Keadilan Pengakuan: Mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan nilai-nilai budaya mereka
terkait dengan tanah dan laut.

4. Suara Masyarakat dan Solidaritas Nasional
Masyarakat lokal, bersama dengan organisasi lingkungan seperti Greenpeace, telah menyuarakan penolakan terhadap pertambangan nikel di Raja Ampat. Dukungan dari berbagai elemen masyarakat di seluruh Indonesia menunjukkan solidaritas nasional dalam upaya melindungi warisan alam kita.

Maka lewat tulisan ini saya mengajak seluruh teman-teman mahasiswa, aktivis lingkungan Gorontalo dan seluruh elemen masyarakat Gorontalo untuk sama-sama mengkampanyekan bentuk penolakan terhadap proyek pertambangan nikel di Kepulauan Raja Ampat. Atas nama Warga Negara Saya menyerukan kepada pemerintah untuk menghentikan
proyek pertambangan nikel di Raja Ampat dan meninjau kembali kebijakan yang mengancam kelestarian lingkungan. Mari bersama-sama menjaga Raja Ampat sebagai warisan alam dunia yang tak ternilai harganya.

Penulis : Rizal Saputra H. Sembaga (Mahasiswa Jurusan Biologi,Fakultas MIPA, Universitas
Negeri Gorontalo.

Politik Dinasti Dari Rahim Kolusi Tiga Pilar Demokrasi

Objektif.Id-Indonesia merupakan negara hukum yang menganut sistem demokrasi dengan prinsip trias politica. Sebagai bentuknya, membagi lembaga atau memisahkan kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk memastikan adanya sistem pengawasan dan keseimbangan (chack and belens). Ketiga pilar ini harus saling mengawasi dan menyeimbangkan demi terwujudnya pemerintahan yang baik dan akuntabel.

Namun disisi lain, dalil demokrasi yang ideal itu bisa di robohkan dengan penyelenggaraan praktik-praktik politik dinasti. Hal ini, bukannya saling menyeimbangkan tapi melainkan adanya potensi saling mendukung dan bahkan memperkuat cengraman kekuasaan dalam satu keluarga atau kelompok.

Dalam fenomena politik dinasti, menjadikan jabatan publik sebagai instrumen strategis yang di dominasi oleh anggota-angota keluarga dengan tujuan untuk memperkokoh wilayah kekuasaan. Akar kekuasaan ini, biasanya bersumber dari kekuasaan finansial dan relasi yang kuat. Ketika pengaruh dinasti ini berkembang dan masuk di organ kekuasaan, maka akan menimbulkan problematika.

Misalnya dalam ranah eksekutif, anggota dinasti dapat menduduki kursi kepala daerah, Mentri, atau bahkan presiden. Sehingga dengan kekuatan ini, mereka memiliki kendali langsung atas kebijakan, anggaran, dan birokrasi. Kebijakan yang dibuat bukan semata-mata untuk kemaslahatan publik, akan tetapi bisa jadi diarahkan untuk kepentingan memperkuat
Posisi dinasti.

Kemudian cengraman ini bisa masuk dan meluas ke legislatif. Anggota kerabat dan keluarga dekat berhasil menduduki kursi di parlemen, baik itu di tingkat pusat maupun di daerah. Dengan skema ini mereka dapat memengaruhi proses legislasi, pengawasan, dan pengesahan anggaran. Coba di bayangkan, bagaimana pengawasan terhadap eksekutif akan efektif jikalau legislatifnya di isi oleh kerabat atau keluarga yang memiliki kepentingan yang sama?

Tak berhenti di situ, tantangan terbesar muncul ketika pengaruh dinasti mencoba menyentuh ranah yudikatif. Lembaga peradilan adalah benteng terakhir keadilan dan penegakan hukum. Intervensi atau tekanan politik dari kekuatan dinasti, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mengancam independensi hakim dan jaksa.

Keputusan hukum yang seharusnya didasarkan pada kebenaran dan keadilan bisa terdistorsi demi melindungi kepentingan dinasti, atau sebaliknya, menjatuhkan lawan politik dinasti tersebut. Jika peradilan tidak lagi independen, maka mekanisme checks and balances akan lumpuh, dan keadilan menjadi barang mahal bagi rakyat biasa.

Ketika ketiga pilar ini (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) saling terkoneksi dalam jejaring dinasti, yang terjadi adalah konsolidasi kekuasaan yang berlebihan. Batas-batas antara kekuasaan menjadi kabur, dan potensi penyalahgunaan wewenang meningkat drastis. Akibatnya, ruang bagi oposisi mengecil, partisipasi publik terbatas, dan praktik korupsi bisa tumbuh subur karena minimnya pengawasan eksternal dan internal yang efektif.

Maka dari itu, untuk menjaga demokrasi tetap sehat, kita perlu terus memperkuat independensi masing-masing pilar. Peran masyarakat sipil, media yang kritis, dan sistem hukum yang kuat menjadi krusial. Memastikan bahwa setiap pengisian jabatan didasarkan pada kompetensi dan integritas, bukan karena ikatan darah atau kedekatan, adalah prasyusrat mutlak. Sebab, checks and bales hanya akan berfungsi jika setiap pilar benar-benar independen dan berani menjalankan fungsinya, tanpa terjerat dalam lilitan kepentingan dinasti.

Penulis : Mr. Yonex

Editor: Redaksi

Pendidikan Sebagai Komoditas

”Pendidikan bermutu itu mahal,” kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Oleh karena itu tidak asing lagi bahwa dewasa ini kita telah diperhadapkan masalah biaya pendidikan yang semakin mahal, bukan hal baru yang baru saja terjadi, problem ini telah menjadi topik perdebatan hangat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orang tua dan mahasiswa yang mengeluhkan biaya pendidikan yang tidak terjangkau harganya, merasa bahwa biaya pendidikan yang tinggi tidak sebanding dengan kualitas pendidikan yang diberikan, Pertanyaan yang muncul “apakah sebab pendidikan mahal saat ini karena mengutamakan kualitas atau bisnis ?” karena pada realitasnya dari hasil penelitian, program for international student assessment (PISA) 2022, menyatakan bahwa kualitas pendidikan kita saat ini masih tertinggal di banding dengan Negara lain.

Di satu sisi, biaya pendidikan yang mahal dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti biaya operasional sekolah, gaji guru atau dosen, dan fasilitas yang disediakan. Namun, apakah biaya yang tinggi tersebut selalu berarti bahwa kualitas pendidikan juga tinggi? Banyak sekolah dan universitas yang menawarkan biaya yang mahal, namun tidak memiliki fasilitas yang memadai atau tenaga pengajar yang berkualitas, seperti pada sebuah kasus yang belum lama terjadi yaitu aksi protes mahasiswa, Universitas Sumatera Utara yang menolak kenaian Uang Kuliah Tunggal (UKT), dan mengkritik fasilitas belajar yang buruk seperti ruang kuliah tanpa kipas dan AC, media belajar rusak dan toilet yang tidak bersih, tidak hanya itu mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman juga melakukan protes karena kenaikan UKT yang signifikan, hal ini tidak menutup realitas tentunya masih banyak lembaga-lembaga pendidikan yang merasakan hal yang sama namun belum terekspos.

Oleh karena itu perlu di pertanyaakan biaya pendidikan yang setinggi langit itu berdampak pada siapa? jika hal seperti ini terus berlangsung akan menimbulkan ketimpangan sosial antara masyarakat kelas atas dan menengah dengan masyarakat kelas bawah, karena untuk memperoleh akses pendidikan yang berkualitas harus dengan merogoh biaya yang besar maka akan sulit bagi masyarakat kelas bawah, karena pendapatan yang tidak sama antara pendapatan masyarakat kelas atas dan menengah yang lebih besar akan menjadi penghalang, tentunya keinginan setiap orang tua untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka akan sulit direalisasikan karena biaya pendidikan yang mahal dapat menjadi hambatan bagi banyak orang untuk mengakses pendidikan yang lebih baik.

Dari berbagai uraian di atas sudah hampir masuk untuk menjawab pertanyaan pendidikan mahal, apakah kualitas atau bisnis ? namun merujuk pada problematika pendidikan kita saat ini belum ada jawaban signifikan yang mengarah pada kualitas, karena sejauh ini permasalahan pendidikan sampai saat ini masih sama, yaitu rendanya mutu dan kualitas pendidikan, oleh karena itu besar kemungkinan jawaban tersebut mengarah pada mahalnya pendidikan di karenakan bisnis, karena memang tidak menutup kemungkinan yang ada bahwa lembaga-lembaga pendidikan kita saat ini sudah termarjinalkan oleh kapitalisme barat, persepsi saya mengatakan bahwa memang hal ini memiliki korelasi yang sejalan, bisa di lihat dari tujuan kurikulum pendidikan yang berbasis pada kompetensi (KBK) tahun 2005 dimana peserta didik di rancang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Dugaan ini bukan tanpa alasan, dari investigasi jurnalistik menyatakan bahwa sistem pendidikan modern kita saat ini tidak lepas dari sistem pendidikan dunia yang di bangun oleh pengusaha terkemuka dari Amerika Serikat yakni Jhon D. Rockfeller, pendiri Standard Oil Company sebuah perusahaan minyak terbesar di dunia, dikenal sebagai tokoh besar dalam sejarah bisnis, namun sedikit yang mengetahui bahwa dia juga berperan penting dalam membentuk sistem pendidikan modern yang kita jalani hingga hari ini, apa peranya dalam membentuk sistem pendidikan modern saat ini? 1. yaitu mendanai riban sekolah melalui Rockfeller foundation, 2. Mengembangkan kurikulum yang terstruktur demi mendukung perkembangan industri, 3. Menciptakan sistem pendidikan yang menjadi standar global sampi hari ini.

Apa sebenarnya tujuan dibalik ambisi tersebut? Tujuan sistem pendidikan modern ini awalnya dirancang untuk menciptakan pekerja yang terampil demi memenuhi kebutuhan industri di era 1900-an. Hal ini sejalan dengan pernyataan diatas terkait tujuan dari KBK 2005 dimana peserta didik dirancang untuk dapat sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Oleh karena itu di lembaga pendidikan seperti sekolah kita diajarkan untuk mengikuti aturan, dan menghafal bukan untuk berpikir kritis, seperti yang dikatakan Rockefeller, “saya tidak mau bangsa ini memikirkan hal-hal besar, saya ingin bangsa ini menjadi pekerja.” Bukankah pernyataan seperti ini telah membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan kita saat ini?.

Dalam opini saya, pendidikan mahal saat ini lebih mengutamakan bisnis daripada kualitas. Banyak lembaga pendidikan yang lebih memikirkan keuntungan finansial daripada memberikan pendidikan yang berkualitas kepada peserta didiknya. Dimana pendidikan sekarang terlalu transaksional dan tidak tranparansi, mungkin pernyataan ini akan sulit untuk di terima sebagian orang, namun realitasnya seperti itu privatisasi pendidikan oleh pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar.

Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial antara yang kaya dan miskin. Oleh karena itu, perlu ada pengawasan yang lebih ketat terhadap lembaga pendidikan
untuk memastikan bahwa mereka memprioritaskan kualitas pendidikan, bukan hanya keuntungan bisnis.

Seperti yang baru saja terjadi, di mana lembaga pendidikan tinggi keagamaan islam Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar yang seharusnya menjadi tempat mencetak generasi emas pemikir masa depan bangsa, dan insan kamil justru menjadi tempat mencetak pundi-pundi uang palsu, hal-hal seperti ini akan membangun stigma negatif di masyarakat, dimana masyarakat secara alami akan tidak begitu percaya lagi dengan lembaga-lembaga pendidikan saat ini karena terlalu komersial dan lebih mengutamakan keuntungan daripada kualitas pendidikan. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membiayai?

Dalam hal ini Pemerintah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu namun disayangkan bahwa mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah terkait Rancangan Uundang-Undang (RUU) tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum, jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas.

Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dan ini dapat menjadi faktor masuk dan berkembangnya kapitalisme di dunia pendidikan yang ditandai dengan memberlakukan perilaku pasar bebas dan dunia bisnis di dunia pendidikan (sekolah). Maraknya pasar bebas didunia pendidikan, dilandasi pada suatu ideologi yang berangkat dari kepercayaan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dapat dicapai sebagai hasil normal dari “kompetisi bebas.” Kompetisi pasar bebas merupakan suatu kompetisi yang agresif akibat dari terjaganya mekanisme pasar bebas. Kesemua keyakinan ini berangkat dari suatu pendirian bahwa “pasar bebas” itu efisien, dan pasar bebas diyakini sebagai cara yang tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam yang langka, demi untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Pasar bebas dan bisnis yang berlaku di sekolah-sekolah semakin berkembang pesat, dengan banyaknya program baru yangsemakin menekan dan melumpuhkan orang tua sebagai wali murid dalam membiayai sekolah anaknya. Program sekolah itu berupa seperti adanya pengadaan kaos olah raga, study tour, daftar ulang, perubahan warna baju seragam sekolah setiap tahunnya, gantinya terbitan buku pelajaran setiap semester dan lain sebagainya, yang semua itu dikoordinir oleh pihak sekolah. Program tersebut dilandasi atas alasan untuk meningkatkan kualitas anak didik dan untuk mempermudah jalannya sistem pendidikan di sekolah, tapi dibalik itu semua terdapat adanya dunia bisnis, dimana seorang guru dan lembaga berfungsi sebagai birokrasi perusahaan dengan mendapatkan keuntungan yang besar.

Semua praktisi bisnis di sekolah itu berjalan lancar karena kolusi antara pengusaha (industri wisata, penerbitan, tekstil, asuransi, sepatu dan lain sebaginya) dengan penguasa maupun pelaksana pendidikan, yang mana pastinya mereka mendapatkeuntungan yang sangat besar dari praktisi bisnis tersebut. Lain halnya dengan masyarakat yang menjadi korban, dengan adanya program-program tersebut, mereka semakin terlumpuhkan dan tertekan dengan biaya sekolah. Sehingga mereka selalu dihantui rasa takut dengan biaya sekolah yang mahal dan keputusasaan dalam menuntut ilmu.

Dalam kesimpulan, pendidikan mahal saat ini lebih mengutamakan bisnis daripada kualitas. Oleh karena itu, perlu ada perubahan dalam sistem pendidikan untuk memastikan bahwa kualitas pendidikan menjadi prioritas utama, bukan keuntungan finansial. Karena jika Jika pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak sekolah yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Oleh karena itu Pemerintah dan lembaga pendidikan seharusnya bekerja sama untuk memberikan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau bagi semua orang.

Derita Rakyat Dihadapan Negara Hukum

Dalam sejarah peradaban manusia, dinamika hubungan rakyat dengan negara sering mengalami ketegangan. Negara, seperti banyak dalam teori negara klasik, justru memperoleh predikat sebagai negara manakala memiliki kekuasaan penuh (kedaulatan) atas suatu wilayah tertentu termasuk terhadap setiap orang atau entitas manusia yang ada dalam wilayah itu. Negara memiliki kuasa untuk memaksa dan rakyat harus patuh dan tunduk pada kuasa negara. Walaupun harus diakui, kedaulatan negara adalah suatu yang lazim sebagai ciri adanya negara, tetapi dalam kondisi hanya  negara yang berdaulat dan berkuasa, rakyat seringkali tidak berdaya terhadap kuasa negara.

oleh karena itu, pada titik tertentu ketika kuasa negara melalui para penguasa, raja melalui aparatnya yang menindas, terjadilah perlawanan rakyat terhadap negara melalui berbagai pemberontakan, perlawanan, ketidakpatuhan sosial yang melahirkan banyak revolusi sosial dalam hubungan antara rakyat dengan negara. Dalam banyak kitab suci agama, banyak sekali diceritakan penguasa negara yang lalim, sewenang-wenang, tidak adil dan melampui batas, sehingga Tuhan harus mengutus para Nabi dan Rasul untuk memperbaiki keadaan dan menegakkan keadilan itu.

Hukum menjadi sebuah payung yang teduh  untuk berlindung dari segala bentuk ketidak pastian namun dilain sisi dapat menjadi rimba belantara yang membingungkan bagi mereka yang tidak memahaminya. Dinamika perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang demikian cepat mendorong lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan baru maupun perubahannya yang sering kali tidak diimbangi dengan pengetahuan masyarakat, baik faktor keterbatasan informasi maupun karena sebagian masyarakat masih memandang hukum merupakan bidang pengetahuan yang penuh dengan kompleksitas dan seluk beluk sehingga sulit untuk dipelajari  padahal dalam hukum berlaku fictie bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum dan ketidaktahuan seseorang akan aturan yang berlaku tidak dapat dijadkan alasan untuk membebaskan orang tersebut dari tuntutan hukum atau dikenal dengan istilah Ignorantia Iuris Neminem excucat.

Sebagai mahasiswa menggunakan pendekatan 5 in 1 (fife in one)  karena tidak hanya menjelaskan; ke satu, suatu pengetahuan hukum yang biasa di hadapi masyarakat; ke dua, ketentuan murmatif suatu hukum tertentu; ke tiga, kerangka dan praktik problem hukum; ke empat abstraksi dari suatu proses pembelajaran hukum; dan ke lima, ditunjukan untuk membuka akses sekaligus dapat dimaknai sebagai alat pembebasan bagi para pihak yang selama ini menjadi korban ketidakadilan dan pihak yang akan memperjuangkan kepentingan hajat hidup dihadapan hukum dan proses penegakan hukum.

Berpijak dari fakta dan respon suatu kesadaran atas pengalaman dan proses panjang para entrepeneur bantuan hukum melawan rezim ketidakadilan yang menyebabkan korban yang tidak sedikit dengan kondisi yang mengenaskan. Untuk itu perlu direkontruksi suatu sosiologis, legal dan politis yang pada akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa ini relevan, material dan penting hadir  dalam situasi seperti sekarang ini.

Indonesia adalah Negara Hukum dan hingga kini masih terus memperjuangkan aktualisasinya. Di sisi lainya, ada juga banyak fakta dimana rakyat tidak sepenuhnya mendapatkan perlindungan yang tidak optimal di dalam suatu Negara hukum Indonesia yang kita cintai ini. Lebih dari itu, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan korupsi masih mempunyai dampak serius bagi Humand and social capital.

Pada situasi seperti ini, salah satu pilihan yang dapat dilakukan rakyat dan masyarakat sipil harus berupaya sendiri dengan segenap sumber daya yang dimilikinya untuk melindungi kepentingan dan memperjuangkan hak-haknya, Ada begitu banyak pengalaman dan pembelajaran yang berasal dari berbagai masalah yang pernah dihadapi masyarakat yang di jadikan dan digunakan  untuk memahami dan mengatasi masalah yang dihadapi rakyat.

Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi rakyat dan masyarakat sipil untuk membangun tafsir dan memaknai suatu Negara hukum dan bahkan merekonstuksikanya agar mengabdi pada kepentingan rakyat, melindungi HAM dan mensejahterakan rakyat. Dalam tingkat praktis, berbagai pengalaman memperjuangkan hak-hak rakyat dan pengetahuan dalam menangani begitu banyak kasus-kasus yang di hadapi masyarakat, seyogyanya dapat diabtraksi menjadi “center of excellece” yang kelak dapat digunakan rakyat itu sendiri maupun para pekerja bantuan hukum itu sendiri serta masyarakat luas lainya.

Ada paradoks dalam suatu Negara hukum. Konstitusi secara tegas di dalam pasal 1 ayat(3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Bila negara dikaitkan dengan teori kedaulatan hukum, maka supremasi dari suatu negara tidak terletak pada negara itu sendiri tetapi justru pada hukumnya. Ada hal lain yang juga perlu diperhatikan, Konstitusi indonesia menyatakan secara eksplisit bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan melalui Undang undang Dasar. Bila demikian siapakah yang berdaulat hukum ataukah rakyat dan bagaimana pola relasi antara daulat hukum dan daulat rakyat. Apakah daulat rakyat harus tunduk pada daulat hukum, atau sebaliknya, daulat hukum harus mengabdi di hadapan daulat rakyat.

Untuk sampai pada suatu kesimpulan maka perlu dipahami makna substantif tersebut pada alinea ke IV Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) Tahun 1945 yang telah secara tegas mengemukakan “…perjuangan kemerdekaan Indonesia… mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekan Negara Indonesia …”; dan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dimaksudkan untuk “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”.

Uraian tersebut di atas ternyata mengemukakan suatu cita dan tujuan dibentuk-nya suatu Negara Republik Indonesia. pembentukan itu ditunjukan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, untuk melindungi dan dan mensejahterakan rakyat dan sekaligus untuk kepentingan daulat rakyat. Ini artinya, kedaulatan hukum seyongyanya berpenjak untuk sepenuhnya pada kepentingan dari rakyat hukum tidak dapat mengingkari dan bertindak sewenang-wenang  dihadapan rakyat.

Negara  yang berpijak diatas hukum harus menjamin keadilan, kemanan, kebebasan, persamaan, demokrasi, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemanusian, kehormatan dan nasionalisme walaupun bersifat abstrak serta sandang, pangan, papan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan sarana perhubungan dan komunikasi, dan rekreasi pada seluruh rakyatnya karena  menjadi prasyarat bagi tercapainya kebahagian. Pada konteks ini, suatu peraturan atau ketentuan hukum yang otentik bila dalam hukum itu mengatur, mencerminkan dan memberikan keadilan dalam pola relasi tata kehidupan bagi rakyat atau warganya. Karena itu, ide dasar hukum Gustav Raburch yang diaborsi bahwa dalam wujud suatu negara hukum harus senantiasa memuat keadilan , kemanfaatan dan kepastian hukum.

Pada kenyataanya, pada pengalaman Indonesia terjadi paradoks. Kendati konstitusi telah secara eksplisit menyebutkan Indonesia sebagai Negara hukum dan pembukaan konstitusi mengemukakan bahwa pembentukan pemerintahan ditunjukan untuk kepentingan perlindungan rakyat, tetapi sejumlah fakta memperlihatkan dengan sangat tegas dan jelas, ada banyak begitu kasus ketidakadilan dalam cakupan yang masif dengan kualitas pelanggaran yang sebagainya tak terperikan dan sangat merugikan rakyat.

yang juga sangat menyesakkan, sikap dan tindakan yang mencerminkan ketidakadilan itu berlangsung dan bermetamorfosa dalam berbagai bentuknya. Salah satu dampak dari diingkarinya prinsip keadilan sebagai salah satu pilar penting bagi Negara hukum, sedari dulu hingga kini rakyat sang pemilik kedaulatan sejati, justru terus menerus terpasung kemiskinan dan bahkan dimiskinkan. Selain itu, hukum tak sepenuhnya ditunjukan untuk melindungi rakyat.

Celakanya, prinsip keadilan yang seyogyanya tersublimasi dari semua peraturan perundang-undangan yang diproduksi legislatif dalam kapasitas sebagai wakilnya rakyat, justru sebagianya juga berpihak dan berpijak pada kepentingan rakyat. Prinsip penting tentang keadilan, kemanfaatan, selain kepastian hukum yang menjadi elan spritualitas justru kehilangan dasar legitimasinya. karena itu ada berbagai peraturan, kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang dibuat ternyata, justrus tidak melindungi kepentingan rakyat dan kesemuanya itu acapkali mendekonstruksi makna Indonesia sebagai suatu Negara hukum yang demokratis.

Hal ini dapat dimaknai bahwa, rakyat sang pemilik kedaulatan ternyata belum sepenuhnya berdaulat atas keadilan dan kesejahteraannya, pemegang tampuk kekuasaan, baik pemerintah  maupun legislatif yang mempunyai kewenangan untuk  merumuskan hukum dan kebijakan, belum sepunuhnya berpijak dan berpujuk pada daulat rakyat saja tetapi bahkan mengingkari hak rakyat sehingga sebagian rakyat menjadi korban dan menerima dampak terbesar ketidakadilan. lebih jauh dari itu, rakyat justru membiayai penghasilan mereka dengan sangat baik kendati sebagian rakyat sendiri harus menanggung beban kemiskinan.

Independensi Abadi Bara Api Perlawanan Pers Mahasiswa

Judul : Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia
Penulis. : MOH. FATHONI, DKK
Penerbit : Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia
Tahun : 2012
Tebal : 221 Halaman

Dengan segala kerendahan hati, harus diakui bahwa buku ini belum mencapai kesempurnaan, sebagaimana sejarah yang selalu bergerak dan tak pernah tuntas ditulis. Namun, di tengah segala keterbatasan yang ada, buku ini hadir sebagai bentuk kontribusi dan ikhtiar bagi para pembaca. Ia muncul dari rahim tradisi gerakan pers mahasiswa, terutama dalam konteks Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang memiliki tiga pilar utama dalam membangun identitas gerakannya.

Pertama adalah kesadaran historis. Sebuah pemahaman bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan sumber refleksi yang penting dalam menyusun langkah ke depan. Kedua, kesadaran akan konteks: bahwa pola dan bentuk gerakan pers mahasiswa harus senantiasa relevan dengan ruang dan waktu di mana mereka berada. Dan yang ketiga, kesadaran praktis—yakni semangat untuk terus membesarkan PPMI sebagai bagian dari gerakan mahasiswa Indonesia yang hidup, progresif, dan bermakna.

Buku ini sendiri lahir dari upaya untuk menangkap berbagai perspektif yang berkembang di kalangan pers mahasiswa. Salah satu yang disorot adalah pergeseran ideologi dan orientasi yang terjadi saat ini. Sebagai entitas yang mengusung nama “pers mahasiswa”, sudah seharusnya ia memikul tanggung jawab besar dalam membela nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan menyuarakan mereka yang terpinggirkan. Dalam nama itu terkandung semangat intelektualitas yang kritis, keberpihakan pada moral dan etika, solidaritas terhadap rakyat kecil, semangat kebangsaan, serta independensi sebagai insan pers yang merdeka.

Namun demikian, terdapat juga kekhawatiran yang tak kalah penting: gejala pragmatisme dan elitisme di tubuh pers mahasiswa. Hal ini telah lama menjadi bahan refleksi internal para pegiatnya. Banyak yang kemudian terjebak dalam rutinitas dan formalitas yang menggerus daya kritis. Pers mahasiswa tak lagi menjadi milik pembacanya, melainkan menjelma menara gading yang jauh dari denyut kehidupan kampus dan masyarakat. Maka dari itu, semangat untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual yang militan menjadi kebutuhan yang mendesak.

Selain itu, tantangan besar lainnya datang dari munculnya generasi yang semakin jauh dari akar sejarahnya. Dalam tubuh PPMI sendiri, tak jarang aktivisnya merasa asing terhadap dirinya. Ketidaktahuan atas jati diri ini melahirkan kebingungan kolektif: keinginan melakukan gerakan massa terasa berat, dan sikap politik pun diambil dengan penuh keraguan. Padahal, dalam sejarah gerakan ini, terdapat nilai-nilai yang sudah menjadi ciri khas yang melekat. Bahkan, bila perlu, generasi hari ini bisa menciptakan antitesis dari tradisi lama agar sesuai dengan konteks zaman sekarang. Namun, semua itu mustahil tercapai jika para pelakunya masih asing dengan pertanyaan paling dasar: siapa pers mahasiswa?

Bayangkan sejenak sebuah panggung sejarah yang luas—di sana, sorot lampu lebih sering tertuju pada orasi massa, aksi jalanan, dan para pemimpin organisasi besar mahasiswa yang gagah berani. Tapi ada satu sudut yang remang-remang, nyaris tak tersorot: tempat di mana para penulis muda duduk membungkuk, mencoret-coret kata di lembar-lembar naskah, merangkai kalimat dengan harapan dan kemarahan. Di situlah kisah ini bermula—kisah tentang pers mahasiswa Indonesia, yang lama terpinggirkan dari catatan utama gerakan mahasiswa nasional.

Awal Perjalanan

Hadir layaknya secuil cahaya di sudut remang itu. Ia mengisahkan jalan sunyi namun kokoh dari para pegiat pers mahasiswa yang tak mencari gemuruh tepuk tangan, melainkan mengandalkan ketajaman pena. Sebuah kisah yang jarang diceritakan, tetapi tak kalah penting dibanding aksi-aksi massa yang menggetarkan.

Kita diajak kembali ke masa-masa penuh ketegangan: tahun 1958, saat Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) berdiri sebagai cermin semangat zaman. Di tengah derasnya arus politik Demokrasi Terpimpin, IPMI memilih berdiri di jalan independen. Namun idealisme itu diuji berkali-kali—terutama ketika IPMI mulai dilebur ke dalam struktur birokrasi dan politik Orde Baru, hingga akhirnya layu dan kehilangan bentuknya sebagai organisasi.

Namun, seperti bara dalam abu, semangat itu belum padam. Tahun-tahun penuh ketakpastian di era 1980-an menjadi ladang subur lahirnya keresahan baru. Para aktivis muda mulai merapatkan barisan, saling menyapa dari kampus ke kampus, menyelenggarakan pelatihan, pendidikan, dan diskusi yang diam-diam menyulut api. Hingga akhirnya, pada 1985 di Cibubur, keresahan itu membuncah. Pendidikan Pers Mahasiswa Tingkat Nasional menjadi titik balik lahirnya kesadaran kolektif. Gerakan baru sedang dijahit, perlahan tapi pasti.

Kisah ini tak sekadar mencatat kelahiran organisasi baru, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang mulai dirintis di akhir dekade 80-an sebagai antitesis dari kemunduran IPMI. Buku ini menyoroti bagaimana PPMI lahir bukan sebagai kelanjutan, melainkan sebagai perlawanan atas represi, sebagai suara lain dari sejarah. Ia bukan hasil keputusan formal, melainkan hasil gelisah yang menggumpal dan berubah menjadi tindakan.

Melalui narasi yang kaya akan data sejarah, catatan pertemuan, dan kisah-kisah personal para pelaku, buku ini memberikan sesuatu yang jarang ditemukan dalam buku sejarah formal. Kita tidak hanya disuguhi tanggal dan nama, tapi juga perasaan cemas, marah, harap, bahkan kelelahan yang tak jarang menyelimuti para pejuang sunyi itu. Mereka yang tak turun ke jalan dengan bendera, tetapi hadir lewat artikel tajam dan laporan mendalam, menjadi penjaga akal sehat gerakan mahasiswa.

Namun, buku ini pun tidak bebas cela. Ada titik-titik di mana alur terasa padat dengan rentetan fakta sehingga nyaris seperti laporan kronologis. Tapi itulah konsekuensi dari upaya menggali sejarah yang selama ini nyaris tak tersentuh. Justru di situlah letak pentingnya, mengingatkan kita bahwa sejarah tidak hanya milik mereka yang terdengar lantang, tapi juga mereka yang menulis dalam diam.

Episode Akhir IPMI dan Bara Perjuangan yang Tak Padam

Kala itu, di tengah suasana represif Orde Baru yang membungkam segala kritik, suara pers mahasiswa nyaris tak terdengar. Kongres VI IPMI yang seharusnya menjadi momentum kebangkitan justru membeku, tak pernah terjadi. Organisasi yang dulu dibangun dengan idealisme tinggi itu tersandung oleh ketidakpastian, tekanan penguasa, dan kebuntuan arah.

Namun di balik kebekuan itu, ada kegelisahan yang tumbuh pelan-pelan—di ruang-ruang diskusi, di balik lembar naskah yang terus diketik, dan di hati para mahasiswa yang menolak tunduk. Mereka tahu jika suara tak bisa lantang, maka tulisan harus tajam. Maka mereka memilih jalan baru—jalan yang sunyi, namun teguh jurnalisme kritis, sebagai bentuk perjuangan.

Gugusan keresahan itu akhirnya menemukan bentuk. Di sebuah kawasan pelatihan di Cibubur, pada 21–28 Oktober 1985, 125 mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul dalam Pendidikan Pers Mahasiswa Tingkat Nasional. Dari Sumatra hingga Sulawesi, mereka datang membawa semangat yang sama, menyelamatkan marwah pers mahasiswa. Cibubur menjadi titik awal kebangkitan.

Tahun 1986 menjadi panggung kecil tempat bara itu dijaga. Dimulai dari Pekan Orientasi Jurnalistik Mahasiswa se-Jakarta, lahirlah kelompok studi jurnalistik bernama RELATA. Kemudian, ketika pelatihan diadakan oleh Ditjen Dikti dan FISIP UI pada Oktober, para peserta justru menjadikan forum itu sebagai ruang konsolidasi, menyusun gagasan tentang lahirnya wadah nasional pers mahasiswa. Tak berhenti di sana, mereka menyelenggarakan studi banding ke kampus-kampus di Yogyakarta dan Surakarta. Dalam perjalanan itu, benih kolaborasi terus tumbuh.

Lalu pada Maret 1987, Universitas Lampung jadi tuan rumah Sarasehan Pers Mahasiswa Nasional. Dari situ, UGM menggelar Pendidikan Pers Mahasiswa se-Indonesia, dan lahirlah panitia ad hoc—sebuah langkah konkret menuju organisasi baru. Aktivis dari Yogyakarta dan Jakarta mulai menyatukan kekuatan, namun tantangan tak mudah, dana terbatas, izin sulit, dan delegasi dari luar Jawa belum siap.

Meski begitu, semangat tak padam. Waktu terus bergulir, dan IPMI yang secara formal masih ada mulai kehilangan nyawanya. Maka pada 6–7 Agustus 1988, para pegiat pers mahasiswa berkumpul di Purwokerto, dalam sebuah pertemuan informal yang kelak dikenang sebagai Purwokerto Informal Meeting. Dari sana dibentuk Tim Sepuluh—gabungan tokoh muda yang menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan gerakan pers mahasiswa.

Mereka bergerak cepat. Pada 19–22 September 1988, digelarlah Diskusi Panel dan Sarasehan Pers Mahasiswa Indonesia (Pra-Kongres IPMI VI) di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Di sinilah sejarah diputar ulang. Deklarasi Batu Raden lahir, menjadi pernyataan sikap kolektif para aktivis dari 18 kota. AD/ART disusun, konsep organisasi dibentuk. Yang hadir mungkin tak ramai, tapi semangat mereka bergema jauh ke depan.

Inilah cerita tentang bagaimana suara yang nyaris padam justru membakar semangat baru. Cerita tentang kegagalan yang melahirkan harapan. Dan cerita tentang pers mahasiswa yang tak pernah benar-benar mati—karena selama masih ada ketidakadilan, akan selalu ada yang menuliskannya.

Deklarasi Batu Raden

Deklarasi Batu Raden, Purwokerto, membawa satu suara bulat yang mengendap di benak puluhan aktivis muda. Pada 21 September 1988, dalam suasana sederhana namun sarat makna, mereka mendeklarasikan, “Perlu dihidupkan kembali wadah yang bernama Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).”

Bukan sekadar organisasi, IPMI adalah simbol perjuangan. Sebuah mimpi bersama akan demokrasi, keadilan, dan kebenaran hakiki yang tak boleh mati, meski waktu dan rezim terus berganti. Deklarasi Batu Raden bukan hanya catatan sejarah—ia adalah nyala kecil dari idealisme yang menolak padam.

Namun, seperti api kecil yang mudah ditiup angin, Kongres VI IPMI yang direncanakan di Lampung pada Februari 1989 tak berjalan mulus. Gagal, lagi. Kekecewaan menjalar di kalangan aktivis, tapi mereka tidak menyerah. Justru dari kegagalan itu, lahir ruang baru bagi konsolidasi dan perlawanan.

Dua pertemuan penting kemudian digelar. Di Semarang, LPM Hayam Wuruk Undip menginisiasi pertemuan pers mahasiswa se-Jawa dan Bali. Lima puluh aktivis hadir. Tak lama berselang, LPM Himmah UII Yogyakarta mengundang aktivis dari berbagai penjuru Indonesia. Pertemuan kedua ini melahirkan Forum Komunikasi Pers Mahasiswa (FKPM)—bukan hanya forum diskusi, tapi sebuah mekanisme kontrol untuk memastikan akuntabilitas panitia kongres.

Dari Purwokerto, Resyarto Efiawan berkata lantang: “IPMI sudah tidak jelas lagi.” Bayangkan saja, sejak Kongres V tahun 1980, kepemimpinan masih dipegang oleh tokoh lama, Wikrama I Abidin. Sebuah organisasi yang seharusnya dinamis malah membeku dalam formalitas yang tak menyentuh realitas.

Sementara itu, pemerintah tak tinggal diam. Undang-undang dan surat keputusan diterbitkan, seperti UU No. 2/1989 dan SK Dirjen Dikti No. 849/D/T/1989, yang secara halus tapi efektif membatasi ruang gerak pers mahasiswa. Namun kekangan itu justru memantik keberanian. Kasus demi kasus rakyat mulai mencuat ke permukaan, Waduk Kedungombo, KSOB/TSSB, hingga peristiwa Brest. Media arus utama bungkam, tapi pers mahasiswa menolak diam.

Dengan kreativitas dan keberanian, mereka menghidupkan mimbar bebas, memperingati Hari HAM dengan aksi simbolik, menulis laporan investigasi secara diam-diam. Seperti kata Tri Suparyanto, mantan Koordinator Steering Committee IPMI: “UU NKK/BKK memang mematikan IPMI, dan pemerintah memang tidak ingin kongres itu benar-benar hidup.”

Tapi mereka lupa satu hal, ide tidak bisa dibunuh. Sekali suara itu terbit dari mesin ketik mahasiswa, ia akan menjelma menjadi opini, kritik, dan gerakan. IPMI boleh gagal di kongres, tapi tidak pernah benar-benar mati. Karena selama masih ada mahasiswa yang menulis untuk kebenaran, semangat itu akan terus hidup—di balik buletin, di tengah kampus, dan di hati mereka yang percaya bahwa suara sekecil apapun tetap bisa mengguncang dunia.

Menuju PPMI

Pada tahun 1992, halaman kampus IKIP PGRI Semarang terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada tumpukan majalah, tidak ada gelak tawa di ruang redaksi. Vokal, majalah pers mahasiswa mereka, baru saja dibredel. Kesalahan utamanya karena menjadikan isu Golput sebagai berita utama. Dalam logika rezim Orde Baru, itu bukan sekadar tulisan melainkan ancaman.

Tapi tekanan tak membuat suara mahasiswa menghilang. Justru di bawah tekanan, mereka menemukan bentuk baru perjuangan. Di Yogyakarta, para aktivis membangun konsolidasi. Pada Februari 1991, Perhimpunan Pers Mahasiswa Yogyakarta (PPMY) lahir sebagai pelampiasan dari ruang-ruang diskusi yang terlalu sempit. Mereka mengkristalkan keresahan menjadi gerakan kolektif, yang kemudian diresmikan pada 28 Juni tahun yang sama.

Tak lama, getar ini menyebar ke tingkat nasional. Pada 6–9 Februari 1991, sebuah temu akbar digelar di tengah hutan Wanagama, Wonosari. Di sanalah para aktivis dari berbagai penjuru Indonesia menyatukan suara dalam Temu Aktivis Pers Mahasiswa. Mereka menyadari satu hal bahwa suara mahasiswa tidak bisa dibiarkan tercerai-berai.

Hingga akhirnya, sejarah mencatat tanggal 15 Oktober 1992 pukul 16:29 WIB di Universitas Brawijaya, Malang, sebagai momentum lahirnya Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Bukan sekadar nama, tapi sebuah ikrar kolektif bahwa pers mahasiswa harus tetap hidup, meski terus ditekan dan dibungkam.

Namun, penindasan terhadap mahasiswa bukanlah babak baru. Jauh sebelum itu, pemerintah Orde Baru sudah merancang skenario pelunakan. Sejak KNPI dibentuk tahun 1973, ruang-ruang independen anak muda mulai dikebiri. Aktivis-aktivis yang dulu menentang Orde Lama, kini justru menjadi bagian dari sistem yang mereka lawan.

Tiga strategi pembungkaman dijelaskan oleh pengamat politik Arbi Sanit:

  1. KNPI sebagai wadah tunggal pemuda.

  2. Pembekuan Dewan Mahasiswa oleh Kopkamtib pada 1978.

  3. Penerapan NKK/BKK, menjadikan organisasi mahasiswa tunduk pada birokrasi kampus.

Abdulhamid Dipopramono pernah berkata, “Pemerintah melihat pers mahasiswa sebagai pemantik protes mahasiswa sejak 1987.” Bahkan Menteri Pendidikan saat itu, Fuad Hasan, memperingatkan: “Jangan sampai pers mahasiswa menjadi sumber keresahan.” Majalah Himmah UII Yogyakarta menggambarkan kondisi kala itu dengan pahit,Kaum muda mulai mendapat tekanan. Saluran-saluran yang bisa menggugah kesadaran dibungkam. Debat soal negara dan alat kekuasaannya hanya bisa dibisikkan di bilik rumah.”

Semua upaya legal—dan seringkali represif—dilakukan untuk membungkam mereka:

  • SK, PP, UU, dan Instruksi diterbitkan satu demi satu, dari SK NKK/BKK 1978, SK Dirjen Dikti 1989, hingga UU No. 2/1989 tentang Pendidikan Nasional.

  • Bahkan kurikulum dirancang agar padat, sehingga mahasiswa terlalu sibuk mengejar SKS, dan tak sempat berpikir kritis.

Namun pemerintah lupa, bahwa mahasiswa bukan sekadar murid. Mereka adalah agen perubahan. Dan selama ada mesin ketik yang berbunyi, selama ada pena yang menulis, dan selama kampus masih memiliki dinding yang bisa dipasangi buletin, suara itu tidak akan mati.

PPMI lahir dari luka, namun justru karena itu ia kuat. Ia adalah wajah dari perlawanan yang terus belajar, bergerak, dan menyala meski dengan nyala kecil yang tak pernah padam.

Menuju Wadah Baru yang Terjal

Ada masa ketika pers mahasiswa seolah kehilangan napas. Setelah sempat menggeliat di era 1970-an, ia terjerembab dalam kevakuman yang panjang. Orde Baru berhasil membungkamnya melalui kebijakan demi kebijakan yang membatasi ruang gerak mahasiswa—mulai dari pembekuan Dewan Mahasiswa, pemberlakuan NKK/BKK, hingga SK-SK represif yang menjadikan organisasi mahasiswa seperti layang-layang tanpa angin.

Namun, menjelang akhir 1980-an, bara yang tertimbun mulai berpendar kembali. Gerakan kecil mulai tumbuh dari kampus ke kampus, menyusun konsolidasi demi konsolidasi. Titik baliknya adalah hutan Wanagama, Yogyakarta, tempat berkumpulnya para aktivis pers mahasiswa se-Indonesia dalam Temu Aktivis Pers Mahasiswa pada 6–9 Februari 1991. Suara-suara yang selama ini tersebar, untuk pertama kalinya kembali bertemu, saling menyapa, dan merumuskan satu gagasan besar, Pers mahasiswa butuh wadah.

Dari pertemuan itu, dibentuklah Badan Pekerja (BP). Tugasnya sederhana namun berat, menyelenggarakan forum nasional untuk mewujudkan wadah tunggal. Tiga keputusan penting ditetapkan: arah pers mahasiswa ke jalur profesionalisme dan fungsionalisme; perlunya wadah kolektif nasional; dan penunjukan 11 orang dalam panitia ad hoc (SC) dari berbagai wilayah Indonesia—dari Aceh hingga Papua. Tapi jalan menuju rumah baru itu penuh liku. IKIP Bandung disepakati sebagai tempat penyelenggaraan Pra-Kongres pada 8–10 Juli 1991. Harapan tinggi dibawa dari kampus masing-masing. Namun ketika idealisme hendak disusun menjadi struktur, kekuasaan kembali mengangkat palu.

Surat Edaran Dirjen Penerangan dan SK Direktur Kemahasiswaan turun bagaikan petir. Mereka tak mengizinkan sarasehan diselenggarakan, bahkan memaksa penggantian istilah seperti “Pemimpin Redaksi” menjadi “Ketua Penyunting”—sebuah upaya melucuti makna peran jurnalistik mahasiswa. Alasannya klise: kegiatan dianggap tak akademik, tak jelas arah, dan tak sesuai dengan semangat pembinaan.

Namun mereka lupa, mahasiswa tak terbiasa menyerah. Di tengah tekanan itu, sidang tetap digelar di Gedung Garnadi IKIP Bandung. Ketika jam menunjukkan pukul 13.00 WIB dan kampus meminta forum segera ditutup, suasana memanas. Hingga salah satu peserta berdiri, naik ke mimbar, dan menyanyikan Indonesia Raya. Lagu kebangsaan itu bergema, menggugah rasa satu nasib. Tak sedikit yang menangis—bukan karena kalah, tapi karena masih berani berharap.

Forum pun dipindahkan ke tempat yang tak lazim—Kebun Binatang Bandung. Di tengah kicau burung dan tatapan satwa, mereka tetap bersidang. Namun aparat mengepung, forum dibubarkan, dan banyak peserta tercerai-berai, sebagian takut, sebagian tak sempat kembali. Tak kuorum. Di Jakarta, mereka mencoba menyuarakan penolakan terhadap SK represif itu. Tapi jawaban yang datang hanya penolakan dingin: “Saya tidak punya jadwal bertemu kalian,” ujar pejabat yang mereka temui. Aspirasi ditampung, lalu dibuang ke dalam laci sunyi.

Namun bara tak padam. Pada 19–23 November 1991, di Universitas Lampung, digelar pelatihan penerbitan kampus tingkat pembina. Ini dimanfaatkan SC untuk konsolidasi, meski yang hadir adalah utusan muda dari kampus—yang tua-tua enggan datang karena dianggap urusan struktural belaka. Maka pertemuan itu lebih mirip diklat daripada kongres perjuangan.

Barulah di Universitas Gajayana Malang, 20 Desember 1991, angin mulai berembus lagi. Meski hanya dihadiri delegasi se-Jawa, mereka menyusun langkah menuju Lokakarya Nasional. Negosiasi, surat-menyurat, komunikasi personal, hingga akhirnya semua jalan menuju satu tempat, Universitas Brawijaya Malang, 14–18 Oktober 1992.

Di sinilah sejarah baru ditulis. Meski sempat digerogoti ketakutan dan pembubaran, mahasiswa tetap mencari jalannya sendiri. Dan di titik inilah, semua jalan panjang, surat edaran, tekanan, dan air mata akhirnya melahirkan wadah itu, Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Bukan sekadar organisasi. PPMI adalah rumah dari suara-suara yang bertahan. Ia lahir bukan di atas meja kekuasaan, tapi dari tekad di bawah pohon kebun binatang, dari sidang yang nyaris dibubarkan, dari nyanyian Indonesia Raya yang lebih jujur dari retorika penguasa. Ia adalah bukti, mahasiswa bisa dibungkam untuk sementara, tapi tak bisa dipadamkan untuk selamanya.

Mentalitas Perdebatan Nama 

Kadang, satu kata bisa menyalakan api. Di tubuh pers mahasiswa, kata itu adalah “pers”. Tapi di hadapan kekuasaan, kata ini berubah jadi ancaman. Maka muncullah kompromi, diganti menjadi “penerbitan”. Kata yang lebih jinak, lebih bisa diterima di meja birokrasi. Namun kompromi tak datang tanpa luka. Debat panjang itu dimulai dalam senyap, di ruang-ruang diskusi dan sidang-sidang informal. Bagi sebagian aktivis, memilih istilah “penerbitan” adalah strategi bertahan di tengah represi negara. Mereka sadar, Surat Edaran Dikti No. 849/D/T/1989 dan Peraturan Menpen No. 01/1975 tak membuka ruang untuk menyebut diri “pers mahasiswa”. Hanya ada satu pers, pers nasional yang diatur dengan SIUPP. Selebihnya hanyalah “penerbitan khusus”, yang mesti tunduk pada STT.

Bagi negara, penerbitan kampus tidak boleh memuat ide-ide politik, apalagi kritik terhadap kekuasaan. Harus teknis, ilmiah, kejuruan. Maka dari itu, istilah-istilah seperti “Pemimpin Redaksi” diganti menjadi “Ketua Penyunting”, dan “Pemimpin Umum” jadi “Ketua Pengarah”. Ini bukan sekadar permainan kata, tapi pembungkaman fungsi. Tapi sebagian aktivis tidak mau tunduk begitu saja. Mereka bersikeras memakai kata pers, karena bagi mereka, tugas jurnalistik mahasiswa bukan sekadar menulis, tapi mengawasi. Fungsi kontrol sosial tak boleh dihapuskan hanya karena ketakutan terhadap surat edaran.

T. Jacob, mantan Ketua IWMI, menyindir perdebatan itu dengan sinis, “Biar pakai nama setan tidak jadi soal, asal dia jalan!” Bagi Jacob, nama bukan substansi. Yang penting, berjalan, hidup, dan bermanfaat. Namun realitas tak seideal itu. Gara-gara memakai istilah “pers” dalam surat undangan, kunjungan aktivis dari Yogyakarta ke Universitas Brawijaya ditolak. Sebuah pelarangan yang ironis di institusi akademik. Ketika mahasiswa mencoba berdiri sebagai jurnalis kampus, kampus sendiri menutup pintunya.

Dikti pun ambigu. Ketika diajak berdiskusi, mereka tidak menyoal penggunaan istilah “pers” atau “penerbitan”. Tapi mereka juga tak mau mengakui PPMI. Sementara, jika PPMI masuk ke dalam KNPI, akan menimbulkan dua masalah, pertama, orientasi berbeda dan kedua, KNPI kala itu dianggap kepanjangan tangan kekuasaan.

Maka, jalan tengah harus diambil. Rommy Fibri, salah satu tokoh PPMI periode 1993–1995, menjelaskan, “kita tak ingin perpecahan hanya karena penggunaan nama. Kompromi itu bukan karena tekanan luar, tapi untuk menjaga keutuhan dalam.” Ia sadar, dalam tubuh PPMI sendiri terdapat dua kutub, yang lembut dan akrab dengan birokrasi kampus, dan yang radikal serta ingin menabrak batas formalitas. Penggunaan istilah “penerbitan” menjadi jembatan agar kapal tak karam di tengah jalan.

Namun kata memang punya daya. Nama “penerbitan” perlahan memengaruhi orientasi isi. Berita menjadi lebih lunak, lebih teknis, lebih takut. Nyali untuk bersuara semakin menyusut. Fungsi pers sebagai kontrol sosial tergantikan oleh kegiatan jurnalistik yang “aman”.

Tapi dari rahim kompromi ini, tetap lahir sesuatu yang besar, PPMI, sebuah wadah yang menjadi tumpuan dan napas kolektif. Ia mungkin tak diakui oleh negara. Tak dibingkai dalam legalitas formal. Tapi ia hidup dari semangat bersama, dari kesadaran akan pentingnya keberpihakan dan penyadaran. Tri Suparyanto, tokoh penting dalam pembentukan PPMI, memaparkan, “secara internal, lembaga ini berfungsi meningkatkan mutu penerbitan dan sosialisasi nilai. Secara eksternal, memperkuat posisi tawar pers mahasiswa dengan kampus maupun pemerintah.” Sekitar 200 penerbitan mahasiswa tersebar di seluruh Indonesia. Di atas kertas, mungkin mereka hanya “penerbitan khusus”. Tapi secara praksis, mereka adalah pers alternatif. Mereka bukan sekadar mencetak kata, tapi mencetak kesadaran dan di situlah kekuatannya.

Lahir Dari Tekanan yang Menolak Tunduk

Di atas meja redaksi SKM Sketsa, tertulis tebal dan yakin, “PPMI Lahir di Malang.” Bukan sekadar berita, itu adalah pernyataan sejarah. Pada pukul 16.29 WIB, tanggal 15 Oktober 1992, suara ketok palu dari sidang Lokakarya Penerbitan Mahasiswa Indonesia di Malang menandai kelahiran Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia—PPMI.

Tak ada sorotan kamera, tak ada siaran langsung. Tapi di ruang itu, sejarah sedang ditulis oleh tangan-tangan mahasiswa dari 37 perguruan tinggi negeri dan swasta se-Indonesia. Sebanyak 72 peserta hadir bukan sekadar untuk diskusi, melainkan membentuk satu tubuh bersama. Tubuh yang kelak akan menjadi nafas kolektif perjuangan pers mahasiswa, organisasi nasional yang menyatukan Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) dari seluruh penjuru tanah air.

Mereka tak hanya membentuk nama dan struktur. Di sana, lahir AD/ART, program kerja, dan bahkan kurikulum pelatihan jurnalistik mahasiswa, sebuah langkah yang jauh lebih matang dari sekadar seremoni. Namun, hari itu bukan akhir. Itu justru permulaan dari medan panjang yang menanti.

Dalam lokakarya itu, banyak suara mendesak. Suara-suara ini bukan nyaring karena emosi, melainkan karena pengalaman. Pertama, struktur organisasi. Mereka mendiskusikan bagaimana penerbitan kampus di tingkat fakultas yang selama ini diletakkan di bawah Senat Mahasiswa Fakultas (SMF), sesuai SK Mendikbud 0457/U/1990. Masalahnya, jika pers mahasiswa berada di bawah SMF, bagaimana mungkin ia bisa independen?

Kedua, soal pembredelan. Mahasiswa meminta PPMI menjadi garda depan yang bisa memprotes, bahkan melawan ketika ada pembekuan sepihak terhadap penerbitan mahasiswa. Sebab waktu itu, pembredelan bukan cerita fiksi, melainkan fakta bulanan. Ketiga, mereka menggugat pelarangan majalah Vokal dari IKIP PGRI Semarang. Majalah itu dicekal. Mahasiswa menuntut sikap. Bukan diam. Sebab diam saat satu dibungkam, artinya bersiap untuk dibungkam bersama-sama. Dan terakhir, mereka memohon satu hal sederhana yang sebenarnya menyedihkan untuk diminta yakni bantuan agar penerbitan mahasiswa bisa mendapat Surat Izin Terbit (SIT).

Pertemuan lanjutan direncanakan di Bali, antara April–Juni 1993. Maka dibentuklah Panitia Ad Hoc jilid II, dengan Tri Suparyanto sebagai koordinator. Ia bukan nama asing—dialah yang memimpin sidang pendirian PPMI. Bersama delapan delegasi dari berbagai wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Irian Jaya, mereka menyusun batu bata awal untuk Kongres I PPMI.

PPMI lahir dalam semangat keterdesakan. Tapi justru karena itu ia berani. Tahun 1993, tekanan demi tekanan datang silih berganti. Di awal tahun, majalah Dialoque dibredel. Bulan Mei, giliran Arena dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta diberangus. Pemerintah menilai pers mahasiswa mulai keluar batas, terlalu banyak bertanya, terlalu berani menyuarakan. Namun bukan berarti mereka berhenti. Di tengah tekanan, lahirlah semangat baru.

Hasan Aoni Aziz, Presidium PPMI Jawa Tengah kala itu, menyampaikan dengan gamblang, “sambil menggayung sambut kelahiran PPMI, kita mencoba membuat langkah inisiasi sejauh yang kita mungkinkan, sambil melirik konteks dan situasi.” Mereka tahu, langkah mereka belum kokoh. Tapi mereka juga sadar, diam adalah pilihan yang lebih buruk.

Mengambil Sikap Propaganda Isu

Tahun 1990-an. Di bawah bayang-bayang kebijakan NKK/BKK, pemerintah—melalui Depdikbud—membatasi ruang gerak mahasiswa. Mereka boleh berorganisasi, tapi hanya di tingkat fakultas, bukan universitas. Tujuannya jelas, mencegah konsolidasi. Sebab bila mahasiswa bersatu lintas fakultas, yang terancam bukan hanya kampus, tapi stabilitas kekuasaan.

Namun sejarah mencatat: pembatasan justru melahirkan siasat. Di balik meja redaksi, di ruang-ruang diskusi yang tak terdaftar secara resmi, pers mahasiswa lahir sebagai ruang alternatif. Tak hanya menulis, mereka menyusun strategi. Dana kampus dimanfaatkan, pelatihan jurnalistik dijalankan, dan perlahan, tanpa gembar-gembor, pers mahasiswa menjadi simpul pergerakan.

Mula-mula ada dua arus, gerakan pers dan kelompok studi. Tapi tembok pemisah itu tak bertahan lama. Aktivis pers pun turun ke jalan. Membawa pena di tangan kanan, dan spanduk di tangan kiri. Dari kata-kata mereka lahir demonstrasi. Dari laporan mereka tumbuh kesadaran. Dari isu yang mereka angkat, muncul gerakan. “Tidak ada yang paling berperan besar, dan tidak ada yang boleh mengklaim paling berperan,” tulis seorang aktivis saat itu. Semua adalah bagian dari satu denyut gerakan mahasiswa.

Mereka tahu mereka diawasi. Maka jalan yang mereka tempuh bukan frontal, tapi cerdas. Pelatihan jurnalistik—itulah pintu masuknya. Diselenggarakan atas nama keilmuan. Diikuti secara terbuka. Bahkan Ditjen Dikti pun turut mengadakan. “Kita bisa bergerak seperti itu karena alasan pelatihan pers mahasiswa. Kalau tidak, kita bisa habis,” kenang Rahman Ma’mun. “Selain bergerak ke luar, kita juga masuk ke sistem. Supaya terlindungi.”

Mereka menari di antara celah. Dan setiap tekanan justru mempertegas posisi, semakin ditekan, semakin membara. Pers mahasiswa menyadari, medan tempur mereka bukan hanya di halaman kampus. Birokrasi kampus dan kekuasaan negara adalah dua kutub yang mereka kritisi. Tapi mereka juga tak segan menyentuh realitas masyarakat. Dari wacana di buletin kampus ke aksi nyata di jalanan—pers mahasiswa merangkul semua poros gerakan.

Dan mereka tidak sendirian. Di seluruh Indonesia, aktivis-aktivis pers mahasiswa saling mengenal lewat kata-kata, tulisan, dan semangat yang sama. Merekalah pemasok utama gerakan mahasiswa, meskipun tak semua mengakuinya secara formal. “Pers mahasiswa itu jadi tempat alternatif bagi para aktivis,” ujar Aman, mengenang bagaimana ruang redaksi juga menjadi ruang konsolidasi.

Setelah jalan panjang dan ruang gelap yang penuh tekanan, PPMI lahir di Malang tahun 1992. Bukan sekadar organisasi, PPMI adalah rumah. Sebuah lembaga yang menaungi lembaga-lembaga: LPM-LPM dari seluruh kampus berkumpul, bukan karena kesamaan identitas, tapi kesamaan rahim perjuangan.

Di saat IPMI telah lenyap, PPMI hadir sebagai jawaban rindu. Forum ini bukan hanya soal manajemen dan struktur, tapi tempat di mana idealisme disatukan, dan strategi disusun bersama. Mereka tak sekadar menulis berita, tapi melatih nalar, menyusun analisa, dan memperkuat daya kritis. Namun perjuangan bukan tanpa harga. “Harus berdasarkan fakta yang sesuai dengan kaidah pers. Investigasi dan reportase menjadi tantangan tersendiri,” jelas Dwidjo. “Pilihan berani dan penuh risiko adalah konsekuensi.” Dalam sunyi, mereka menulis. Dalam tekanan, mereka tetap bersuara. Dalam ketakutan, mereka menciptakan keberanian. Dan dari reruntuhan NKK/BKK, pers mahasiswa menyalakan api yang tak pernah padam.

Konsolidasi Perlawanan dan Mengakhiri Kompromi

Di Kota Malang pada Oktober 1992, sekelompok mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia duduk melingkar. Mereka bukan sekadar mahasiswa bias. Mereka adalah para jurnalis muda yang gelisah, muak oleh pembungkaman, dan haus akan kebebasan. Di tengah keterbatasan ruang demokrasi, mereka mendeklarasikan sebuah cita-cita besar, membentuk wadah bersama bernama Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia—PPMI.

Namun, deklarasi hanyalah awalan. Di balik semangat itu, terbentang jalan terjal: bagaimana menyatukan suara-suara dari berbagai daerah yang selama ini terpisah, tersekat jarak, sensor, dan intimidasi. Seiring berjalannya waktu, rencana menggelar Kongres I pun digagas. Semula, niat itu ingin langsung direalisasikan saat Lokakarya di Malang. Tapi, kenyataan berbicara lain: banyak daerah belum hadir, Sumatera Utara dan Selatan absen, dan persiapan teknis belum matang. Maka disepakatilah, Kongres I akan digelar kemudian, dengan lebih matang, lebih inklusif.

Setahun setelah deklarasi, 1–3 September 1993, para pejuang pena itu akhirnya berkumpul di Kaliurang, di sebuah tempat bernama Wisma Puas. Menariknya, Kongres ini “menumpang” pada kegiatan Diklat Jurnalistik Mahasiswa se-Indonesia yang digelar LPM Himmah UII. Ini cara cerdik: berkamuflase agar tetap bisa bergerak di bawah bayang-bayang rezim represif. Sebanyak 56 lembaga pers mahasiswa dari 33 perguruan tinggi hadir. Rapat-rapat berjalan lancar, karena sebelumnya sebagian besar perangkat lunak organisasi telah disiapkan. Forum tinggal mengesahkan—dan bergerak.

Namun, Kongres ini bukan hanya tentang struktur. Ia juga bicara tentang perlawanan. Dibahaslah pembredelan terhadap Focus Equilibrium, media mahasiswa Universitas Udayana, Bali. Dari sinilah keluar SK Kongres yang memberi mandat kepada Presidium untuk mengadvokasi kasus tersebut. Di tengah euforia organisasi baru, muncul satu masalah pelik: legalitas. Pemerintah Orde Baru menuntut semua organisasi mahasiswa harus berada di bawah naungan lembaga resmi. Jika tidak, maka keberadaannya tidak akan diakui. Bahkan ketika Dirjen PPG bersedia menaungi PPMI, Dirjen Dikti justru menghalang-halangi.

Sikap pemerintah yang berbelit-belit membuat banyak pihak kecewa. Namun ada yang lebih lantang: Mochtar Lubis, jurnalis senior itu berujar tegas, “Tidak usah legal-legalan, tidak perlu pengakuan, jalan terus, kalau berani!” Kalimat itu menjadi bahan bakar baru bagi PPMI. Mereka mulai menyadari: legalitas bukan satu-satunya jalan. Bahkan bisa jadi jerat. Setelah Kongres, kerja berat baru dimulai. PPMI sadar, kekuatan mereka ada di daerah. Maka para Presidium pun bergerak. Ketika surat undangan ke Ujung Pandang tak sampai karena disensor, dua kader—Rommy Fibri dan Asep Wahyu—naik kapal, menembus jarak dan curiga, untuk menyelesaikan salah paham dan mengokohkan solidaritas. Di sana, dalam forum kecil namun penuh semangat, para jurnalis muda Ujung Pandang menyatakan diri bergabung dengan PPMI.

Meski dua tahun berjalan, PPMI tak kunjung mendapatkan pengakuan negara. Maka pada Kongres II yang digelar di Desember 1995, sebanyak 77 LPM dari 47 kampus hadir dengan satu semangat: menolak kompromi. Mereka memutuskan bahwa PPMI berdiri tanpa legalitas, dan tak akan pernah tunduk pada syarat izin negara. Kongres itu juga menetapkan istilah “pers” sebagai identitas, menggugurkan kompromi lama dengan kata “penerbitan”. Dari sinilah, PPMI menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia—secara resmi dan penuh kesadaran.

“Berani berkata tidak!”—itulah semangat periode kedua. Mereka menolak SIUPP dan STT, menolak segala bentuk pembatasan atas kebebasan pers. Presidium Pusat pun terbentuk, dengan Dwidjo Utomo Maksum sebagai Sekjen. PPMI kini lebih dari sekadar organisasi—ia menjadi simbol perlawanan, tempat bersandar para jurnalis muda dalam gelapnya malam Orde Baru. Selain itu, Kongres merekomendasikan untuk membuat Kode Etik Pers Mahasiswa sebagai acuan etika pers mahasiswa dan seruan yang tertuang dalam sebuah Deklarasi. Deklarasi itu kemudian disebut Deklarasi Tegalboto. Berikut kutipan isinya:

“Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia [PPMI] merupakan elemen kekuatan alternatif yang lahir dari pers mahasiswa dan atau lembaga pers mahasiswa di Indonesia untuk menghimpun potensi yang dimiliki dengan didasari komitmen moral, kerakyatan dan intelektualitas. PPMI adalah wadah yang berbasis pada pers mahasiswa dan atau lembaga pers mahasiswa di Indonesia menegaskan kembali bahwa PPMI tidak berorientasi kerja elitis dan bersifat mandiri sebagai basis tumbuhnya sikap idealisme dan kepedulian sosial. Dengan keprihatinan bahwa kondisi sosial masyarakat saat ini mengalami degradasi struktural maupun moral maka PPMI meyakini bahwa fenomena sosial yang ada merupakan agenda permasalahan yang integral dalam pers mahasiswa sebagai manifestasi fungsi pers mahasiswa. Untuk itu diperlukan pers mahasiswa yang sanggup mengkonsolidasi kekuatan internal organisasinya, serta mempertegas sikap terhadap kondisi sosial masyarakat yang berkembang. Berkaitan dengan ini maka PPMI menyerukan kepada pers mahasiswa dan lembaga pers mahasiswa untuk berani dan terus menerus menginformasikan persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat secara nyata dan utuh sebagai keberpihakan yang riil terhadap komitmen moral dan kerakyatan. Berkaitan dengan alat kemandiriannya, PPMI bertekad untuk terus memperjuangkan demokrasi, independensi dan kebebasan pers mahasiswa Indonesia dengan tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT. Langkah selanjutnya, PPMI sebagai salah satu bentuk lembaga mahasiswa yang berakar dari kekuatan mahasiswa akan terus memperjuangkan kebebasan akademis dengan tidak mengingkari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam kerangka kemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Tegalboto Jember, 17 Desember 1995, Kongres II Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.

Lebih luas lagi PPMI memberi perhatian serius pada isu-isu kekerasan. Seperti pada kasus insiden aksi mahasiswa 24 April 1996 di Ujung Pandang (Makasar), tragedi 27 Juli 1996 (pengambilalihan kantor PDI), dan kasus pembunuhan terhadap Fuad Mohammad Syafruddin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta. Dalam pernyataan sikapnya, PPMI tegas menolak segala bentuk pendekatan keamanan (security approach) yang dilakukan aparat untuk meredam sikap kritis masyarakat. Pun ketika terjadi kasus penghilangan nyawa wartawan Bernas. Kasus ini jelas sebagai bentuk intimidasi penguasa terhadap keberanian pers Indonesia dalam melakukan pemberitaan yang objektif.
Keputusan Kongres II PPMI ini segera direspon oleh pers mahasiswa dalam Sarasehan Pekan Nasional Penerbitan Mahasiswa (Pena Emas) pada 19-20 September 1996 di Makassar. Tiga dari isi Surat Pernyataan Terbuka Pena Emas 1996 menuntut untuk:
1. Menyerukan kepada segenap pers mahasiswa untuk menggunakan istilah pers mahasiswa, bukan penerbitan mahasiswa
2. Turut memperjuangkan hasil Kongres II PPMI, tentang pengembalian nama Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.
3. Tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT

Untuk melanjutkan langkah PPMI, maka pada 10 Mei 1996 digelar Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPMI di Teknokra, pers mahasiswa Unila Lampung. Salah satu hasil keputusannya adalah membicarakan prospek wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai Mediator PPMI yang akan ditindaklanjuti lewat sosialisasi dan musyawarah oleh wilayah-wilayah yang bersangkutan sesuai dengan kondisi dan potensi pasca Mukernas. Hasil Mukernas juga memutuskan untuk menerbitkan Tabloid Merah Putih sebagai media komunikasi antar pers mahasiswa yang terhimpun di dalam PPMI berskala nasional. Setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh PPMI hampir tidak pernah mengatasnamakan PPMI secara langsung, melainkan nebeng nama pada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) anggotanya. Selain juga sebagai cara untuk berlindung dari pantauan pemerintah, karena sebagai organisasi yang “ilegal”.

Menjaga Independensi dan Kritisisme

Kala kampus masih dibayangi sisa-sisa Orde Baru, pemerintah perlahan mulai menaruh curiga pada geliat kecil yang lahir dari ruang redaksi pers mahasiswa. Kegiatan jurnalistik yang tadinya lugu dan idealis tiba-tiba menjadi terlalu nyaring, terlalu tajam, terlalu mengganggu. Maka lahirlah strategi halus, mendekati, membentuk ulang, lalu mengekang. Lahir kegiatan-kegiatan pelatihan jurnalistik yang mengilap dengan pemateri populer, fasilitas lengkap, dan uang saku menggiurkan. Semua diarahkan untuk mengubah pers mahasiswa menjadi “pers kampus”, yang hanya sekadar fokus pada teknik menulis, tanpa menyentuh substansi.

Namun, sebagian anak muda tidak mudah dininabobokan. Mereka sadar, pemberitaan bukan soal keterampilan semata, tapi keberanian. Dwidjo, Sekjen II PPMI 1995-1997, menyuarakan semangat itu, “Kita tidak boleh menanyakan target. Sebab begitu ada target, akan muncul pragmatisme. Ini bukan tentang hasil, tapi tentang amanat.”

Amanat yang dimaksud Dwidjo adalah menjaga idealisme. Para penggerak PPMI menolak untuk jadi perpanjangan tangan kampus, meski itu berarti mengorbankan waktu, nilai akademik, dan masa depan. Saat ditawari fasilitas—internet, sekretariat, dana—mereka mengembalikannya ke forum, menanyakan dengan serius, “Maukah kita dikompromikan?”

Di lapangan, idealisme ini sering dibayar mahal. Di Semarang tahun 1992, majalah Vokal dibredel hanya karena membahas isu Golput menjelang Pemilu. Ketua yayasan, seorang caleg, merasa terancam. Di Surabaya, Dialoque dari FISIP Unair dicabut hak terbitnya, penanggung jawabnya bahkan nyaris ditahan. Di Yogyakarta, Arena mengalami hal serupa. Di Jember, wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer membuat SAS dibekukan.

Nama-nama terus bertambah, Kanaka, Focus Equilibrium, Aspirasi, Indikator, Invest. Beberapa mahasiswa diskors, beberapa dicoret dari daftar kuliah. Tahun 1993, situasi memuncak. Aksi solidaritas meletus dari berbagai Kota—Yogyakarta, Bandung, Malang, hingga Jember. Mereka tak tinggal diam. Rapat akbar digelar. Kongres Mahasiswa Indonesia, menyuarakan bahwa pers mahasiswa bukan boneka birokrat.

Namun, perjuangan bukan tanpa luka. Setelah 1998, euforia reformasi memecah barisan. Sebagian merasa menang, sebagian masih curiga. PPMI memilih tetap menjadi pengawas yang kritis, bukan penikmat kemenangan. “Apakah masyarakat siap dengan perubahan?” tanya Imun, seorang aktivis PPMI, dengan nada getir. Dalam Kongres PPMI 1997, mereka menolak untuk menyerukan penggulingan Orde Baru secara eksplisit. Tapi semua tahu, sikap mereka sudah cukup subversif. Bagi PPMI, melawan penguasa yang dzalim adalah soal prinsip, bukan kampanye politik.

Idealisme pun diuji waktu. Sekjen terpilih saat itu, Eka, dianggap kurang matang. Ia akhirnya mengundurkan diri, tak kuat menahan beban harapan yang begitu besar. Tapi bukankah memang begitu jalan mereka yang memilih suara sebagai senjata? Tidak mudah, tidak selalu menang, namun selalu bermakna.

Masa Transisi dan Gejolak Orientasi

Pada suatu titik di akhir dekade 90-an, ketika Indonesia mendidih oleh amarah rakyat dan mahasiswa turun ke jalan membawa bara perubahan, ada sekelompok orang yang suaranya tak terdengar, tapi tetap menulis. Mereka adalah para aktivis pers mahasiswa, yang bergerak dalam senyap—di bawah tanah, tanpa bendera, tanpa panggung, namun menyala.

PPMI berdiri sebagai rumah besar bagi mereka, sejak 1992. Namun rumah ini bukan tanpa retak. Di tengah euforia reformasi 1998, ketika seluruh negeri sedang bergolak, PPMI justru diguncang dari dalam. Eka Satialaksmana, Sekretaris Jenderal saat itu, memilih mundur. Ia mengaku tidak sanggup menjalankan amanat organisasi—Rakerwil tak berjalan, Rakernas pun tak sempat disusun. Ia sibuk di jalanan, ikut demonstrasi. Tapi di dalam, perhimpunan lumpuh. Sunyi.

Surat pengunduran diri Eka dikirim lewat pos. Dan lewat pos pula, semangat yang belum mati itu menyulut Kongres Luar Biasa di Jombang. Kongres IV menjadi titik tolak. Di sinilah PPMI menyuarakan satu sikap, “Ingin tetap berada di bawah tanah.” Mereka sadar, organisasi ini bukan milik birokrasi; ia milik hati dan perlawanan. Komisi A pun bersidang, memperdebatkan struktur, menyoal hierarki, dan akhirnya melahirkan Jaringan Kerja Organisasi (JKO) menggantikan Badan Pekerja Harian (BPH). Ini bukan sekadar perubahan teknis, ini soal eksistensi.

Tapi waktu tak selalu bersahabat. Tahun-tahun setelah reformasi justru menjadi masa gelisah. Ketika musuh besar bernama Orde Baru runtuh, mahasiswa kehilangan arah. PPMI pun goyah. Mukernas di Bandung digelar dengan satu misi: bangkit dari mati suri. Namun segala beban masih ditumpu sendiri oleh Sekjen—tanpa dana, tanpa dukungan. Kata Edi Sutopo, Sekjen saat itu, “Daripada menyiksa Sekjen, lebih baik tidak usah terlalu berharap.”

Kritik datang bertubi-tubi. Kongres V di Mataram menjadi panggung gugatan. Format organisasi dianggap mandul. LPJ Sekjen dicerca, PPMI dianggap gagal. Bahkan dicap sebagai “Program Pemiskinan Mahasiswa Indonesia.” Tapi benarkah semua kesalahan hanya ada di pundak satu orang? Lukman Hakim dari Balairung menulis, PPMI adalah kita semua. Maka menggugat PPMI berarti menggugat diri sendiri. Ia tak menolak kritik, tapi mengajak realistis, mari fokus pada hal kecil yang berdampak, bukan terus berandai dalam mimpi besar. Ia menyoroti tiga kelemahan, struktur, dana, dan SDM. Lalu datang Forkom Persma, organisasi baru lahir dari rahim kekecewaan. PPMI tak lagi tunggal. Tapi gerakan tetap mencari arah.

Di tahun-tahun awal 2000-an, pers mahasiswa kehilangan aura heroiknya. Euforia kebebasan pers melahirkan media-media umum yang lebih berani, lebih cepat, lebih besar. Pers mahasiswa pun terpinggirkan. Tak lagi menulis untuk rakyat, mereka sibuk di kampus, mengkritik BEM, rebutan kekuasaan di senat, dan lupa siapa yang harus dibela. Pers mahasiswa menjadi profesi, bukan lagi perjuangan.

Ironis, ketika dulu Soeharto takut pada pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa yang bersatu, kini mereka saling mencurigai. Rebutan kader, rebutan ruang, bahkan menjadikan LPM sebagai alat kekuasaan. Maka tak heran jika banyak pers mahasiswa yang mati bukan karena dibungkam negara, tapi karena diabaikan oleh sesama mahasiswa. Kongres V PPMI mencoba menyatukan kembali identitas: “Pers mahasiswa sebagai kontrol sosial dan agen perubahan.” Tapi bagaimana bisa mengontrol kalau tak berdaya? Bagaimana bisa mengubah, jika lupa tujuan? PPMI adalah cermin kita semua. Seperti retak, tapi belum pecah. Ia bukan sekadar organisasi, tapi ruang kesadaran bersama. Bahwa menulis adalah melawan. Dan melawan, tak harus dengan teriak. Kadang cukup dengan kata yang menyala-nyala.

Upaya Menemukan Solusi Kemunduran Orientasi

Di tengah euforia reformasi dan tumbangnya rezim Orde Baru, ada sebuah organisasi mahasiswa pers yang berdiri sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan represif: PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Namun, ironi sejarah membawa PPMI ke dalam kisah pelik yang justru lahir dari dalam rumahnya sendiri. Setelah dua periode awal yang penuh semangat konsolidasi dan perlawanan terhadap regulasi pers yang mengekang, PPMI mulai goyah. Bukannya menatap ke luar menghadapi lawan bersama, organisasi ini justru lebih sibuk dengan persoalan internal: tarik-menarik kekuasaan, krisis komunikasi, hingga keretakan antar anggota.

Lengsernya Soeharto bukanlah jawaban bagi PPMI. Justru, kebebasan yang diperoleh tak lantas membebaskannya dari kebingungan arah. Seperti kapal besar tanpa kompas, PPMI mulai kehilangan tujuan. Kongres V di Mataram menjadi puncak dari badai itu. Beberapa anggotanya memutuskan untuk keluar, membentuk organisasi baru karena kecewa. Rumah PPMI nyaris runtuh. Namun dari puing-puing kehancuran itu, beberapa orang bertahan. Mereka mulai menambal atap yang bocor, merapikan dinding yang miring, dan membenahi tiang penyangga organisasi yang nyaris rubuh.

Dari reruntuhan itu, muncul kebutuhan untuk mempertegas identitas: sebuah kode etik. Sesungguhnya, wacana kode etik sudah lahir sejak Kongres II tahun 1995, namun nyaris selalu gagal rampung akibat prioritas organisasi yang lebih fokus pada konsolidasi dan advokasi insidental. Pasca Kongres III, PPMI terjebak dalam stagnasi. Hingga akhirnya, pada 1999, Lokakarya Kode Etik digelar di Palembang. Dari sana, lahir sebuah rancangan matang. Namun, sekali lagi, rumah besar PPMI punya prosedur, hanya Kongres yang bisa mengesahkan. Butuh tiga tahun sampai Kongres VI di Malang tahun 2002 akhirnya menyematkan palu pengesahan pada Kode Etik PPMI. Di sanalah pula lahir Dewan Etik Nasional (DEN), sang penjaga etika dan penyeimbang kekuasaan Sekjen.

Meski secara struktural organisasi membaik, konflik internal tak juga reda. Dari persoalan surat undangan yang disensor hingga konflik besar di Yogyakarta yang berujung keluarnya Arena dari keanggotaan, luka-luka lama terus membekas. Satu demi satu pengurus PPMI dari tingkat nasional hingga kota mundur atau ditarik dari jabatan. Kode etik yang telah disahkan, ironisnya, tak bisa langsung menyembuhkan konflik yang terjadi—karena DEN belum diberi mandat menyelesaikan persoalan organisasi saat itu.

Konflik Yogyakarta menjadi titik balik. Ketika Sekjen PPMI saat itu, Agung Sedayu, gagal mendamaikan, organisasi pun mulai sadar: dibutuhkan pihak ketiga yang benar-benar netral. Maka pada Kongres VIII di Makassar tahun 2006, DEN diberi mandat baru: tak hanya sebagai pengawas etika jurnalistik, tetapi juga sebagai mediator dan pengawas kerja organisasi. Perjalanan panjang PPMI memperlihatkan bahwa kebebasan bukan hanya soal bisa bicara, tapi juga tentang kemampuan mendengarkan dan menyelesaikan konflik. Bahwa rumah yang kuat bukanlah rumah yang tak pernah retak, tapi rumah yang selalu bisa diperbaiki bersama.

Kini, DEN telah memiliki tiga peran utama: mengawasi etika jurnalistik, mengawasi jalannya organisasi, dan menjadi penengah konflik internal. Struktur PPMI juga berubah-ubah—dari sistem presidium kolektif ke Badan Pekerja Nasional, dari penghapusan Koordinator Wilayah hingga pengembaliannya. Semua itu adalah bagian dari upaya panjang mencari bentuk yang pas bagi rumah bernama PPMI. PPMI bukanlah organisasi yang sempurna. Tapi justru dari ketidaksempurnaan itulah, ia bertahan. Ia hidup dari konflik, dibentuk oleh kegagalan, dan tumbuh lewat proses pembelajaran yang panjang. Karena PPMI adalah cerita tentang harapan yang tak mati, meski berkali-kali dihantam badai dari luar—dan terlebih, dari dalam.

Pers Mahasiswa Kembali Pada Fitrahnya—Melawan

Penegasan orientasi persma pada isu-isu kerakyatan, periode 2002 – 2006 (periode VI – VII) merupakan bentuk konsistensi mengawal perubahan yang tetap berada di dekat garis massa. PPMI tetap memilih jalan sunyi sebagai bagian gerakan mahasiswa, yang berarti tetap hidup di bawah tanah. Tanpa perangkat organisasi yang lengkap dan mapan, sebagaimana lembaga gerakan mahasiswa yang disebut layak. Tanpa sekretariat yang tetap, tanpa legalisasi formal, dan dana yang berlimpah.

Hal ini berdampak pada dua konsekuensi logis. Pertama, karena dilakukan untuk menjaga independensi dan semangat idealisme pers mahasiswa, serta keberpihakan kepada rakyat, maka akan lebih terjaga. Kedua, dengan segala konsekuensinya PPMI tetap seperti ini; minim fasilitas dan belum berkembangnya program-program nyata dalam ukuran praktis. Sehingga banyak yang menganggap PPMI tidak berhasil dalam melaksanakan program kerjanya, bahkan dipandang tidak jelas dan tidak menyentuh persma anggotanya. Pun sebaliknya, jika tawaran-tawaran yang berorientasi praktis pencapaian target program kerja material tanpa tujuan substansial maka nilai independensi dan idealisme pers mahasiswa akan sulit diterapkan. Dilema pandangan yang sama-sama memiliki titik lemah dan keunggulan.

Namun PPMI akhirnya mengambil sikap tegas dan menawarkan jurnalisme kerakyatan dengan analisis kritis tanpa orientasi karir yang praktis. Perdebatan tentang orientasi gerak dan isu yang diusung pasca euforia 1998 menjadi perhatian khusus.
Orientasi PPMI mulai mengarah pada sinergitas gerakan massa rakyat. Karena sebagai sebuah wadah alternatif pemupuk orientasi gerakan pers mahasiswa Indonesia sudah seharusnya PPMI mengarahkan untuk lebih dekat dengan garis massa rakyat. Pemberitaan dan isu yang diusung media persma harus mampu menyentuh persoalan-persoalan kerakyatan, bahkan lebih jauh harus mampu melakukan pembelaan.
Ada pemahaman orientasi dalam pers mahasiswa setelah kran kebebasan dibuka, khususnya pasca 1999.

Dengan ditetapkannya UU Pers No. 40 Tahun 1999 secara de jure memulai masa libertarian. Pers umum menggejala dan mewabah. Pemberitaan yang sebelumnya ‘tabu’ diangkat pers umum karena terbentur oleh pemerintah kini bebas diangkat. Banyak media bermunculan sehingga media yang bermodal besar dan punya relasi kuat akan menggilas media-media kecil. Persaingan semakin ketat seiring dengan industrialisasi media. Terlepas dari itu semua, kemajuan teknologi membantu akses informasi dengan cepat. Sehingga media harus dituntut aktualitasnya. Berbagai media elektronik, termasuk online, merebak dan pers mahasiswa dianggap sudah ditinggalkan publik.

Kala itu, di dekade 1980-an, kampus-kampus menjadi ruang sunyi. Suara mahasiswa yang biasanya lantang menyuarakan keadilan tiba-tiba lenyap ditelan kebijakan NKK/BKK. Pers mahasiswa, yang dulunya garang, terpaksa menyuarakan isi pikirannya dalam senyap, hanya menggema di balik dinding-dinding institusi. Maka lahirlah gagasan back to campus, sebuah strategi bertahan yang menjadikan kampus sebagai satu-satunya panggung berekspresi. Gagasan ini bukan sekadar pilihan, tapi bentuk perlawanan sunyi dalam keterbatasan.

Lompatan waktu membawa kita ke masa pasca-reformasi. Tahun-tahun setelah 1998 adalah masa transisi yang penuh harap sekaligus pertanyaan. Ketika euforia reformasi menguar, PPMI kembali menghidupkan semangat lama, menyapa mahasiswa, berbicara dari dan untuk kampus. Namun, sebagaimana dekade sebelumnya, pilihan kembali ke kampus kembali menuai kritik. Pers mahasiswa dituduh menjauh dari rakyat, bersembunyi di balik menara gading akademik.

Franditya Utomo dan tim Litbang PPMI (2002–2004) sempat membaca kecenderungan ini. Meski riset mereka tak sempat rampung, arah orientasi media pers mahasiswa 1999–2003 terlihat jelas: kembali ke kampus. Format jurnal, buletin, bahkan media daring dipilih untuk menyuarakan kegelisahan, walau suara itu masih terperangkap dalam bingkai akademis. Namun, semangat tak pernah benar-benar padam. Ketika masa rekonsiliasi internal PPMI dimulai antara 2000–2002, semangat untuk kembali mengawal isu-isu rakyat kembali menyala. Konsistensi menjadi alternatif, menjadi suara bagi yang tak bersuara, menjadi misi yang tak bisa ditawar. PPMI memilih jalannya sendiri: menjadi oposisi atas kekuasaan yang abai.

Reformasi yang diimpikan tak banyak membawa perubahan bagi rakyat kecil. Angka kemiskinan tetap tinggi, pengangguran merebak, dan korupsi seperti tak tersentuh. PPMI membaca ini sebagai kegagalan. Maka, suara mahasiswa harus kembali lantang. Bukan untuk kepentingan karier, tapi untuk menyuarakan yang terpinggirkan. Jurnalisme investigasi dan advokasi dipilih menjadi senjata. Bukan hanya menulis, tetapi turun ke lapangan, menggali, mendengar, dan berpihak. Kebangkitan itu mulai terasa di tahun 2003, ketika Dies Natalis ke-10 di Makassar menjadi titik balik. Dari pertemuan itu, isu-isu lokal dari berbagai daerah mulai diangkat. Pelatihan Jurnalisme Investigasi di Surabaya menjadi langkah konkret untuk memperkuat kerja praksis. Dari Aceh hingga Ambon, dari Jakarta hingga Makassar, isu-isu kerakyatan mulai dirajut jadi kesadaran kolektif.

Buletin Merah Putih pun dihidupkan kembali. Namun kali ini tampil beda. Tak hanya pengurus nasional yang bertanggung jawab, tapi juga kota-kota anggota. Dua kanal disepakati, 8 halaman isu nasional, 4 halaman isu lokal. Setiap daerah punya ruang menyuarakan persoalannya sendiri. Sebuah langkah kecil yang bermakna besar dalam membangun jurnalisme yang kontekstual dan membumi. Ketua PPMI Surabaya saat itu, menyebut pertemuan Makassar sebagai tonggak sejarah baru. PPMI akhirnya bergerak keluar dari pusaran konflik internal yang menguras energi, menuju orientasi yang lebih jelas yaitu isu rakyat.

Namun, jalan tak selalu lurus. Ketika Kongres VIII di Makassar 2006 menelurkan struktur baru, Korwil atau Koordinator Wilayah harapannya adalah memperkuat konektivitas. Tapi realitas berkata lain. Rakornas di Madura terseok. Banyak Korwil belum terbentuk. Hubungan antara pengurus nasional dan kota mulai renggang. Di Semarang, April 2007, PPMI mencoba kembali menyatukan arah. Isu ekonomi kerakyatan diangkat sebagai fokus, dengan catatan, setiap kota menyesuaikan dengan kondisi lokalnya. Namun, tantangan internal terus menghantui. Pergantian pengurus yang cepat, minimnya proses regenerasi, hingga komunikasi yang terputus membuat beberapa kota “hilang kontak”.

semua gejolak peristiwa ini bukan tentang kegagalan, melainkan tentang perjalanan panjang. Tentang bagaimana pers mahasiswa terus mencari bentuk terbaiknya, jatuh dan bangkit, mencoba tetap relevan dalam pusaran perubahan zaman. Back to campus bukan sekadar kembali ke ruang akademik, tapi kembali pada akar bahwa mahasiswa sebagai bagian dari rakyat.

Catatan Penting Refleksi

Semangat yang tak pernah padam, ruh yang tak akan menyerah, meski redup oleh waktu yang berubah. Persma tenggelam dalam perubahan, karena hanya sibuk bergelut melawan kediriannya. Memang, perjuangan melawan diri sendiri lebih sulit. Ingat, persma tidak sekedar bertaruh dengan kemungkinan apalagi hanyut dalam abu-abu realitas. Sekali lagi, persma mesti beranjak. Perhimpunan perlu bukti positioning yang nyata dan menawarkan sisi strategis dirinya.

Menghimpun diri dan kesadaran atas potensi posisi strategis persma, itu yang masih. Spirit menjaga agar bara itu tidak padam. Perlawanan, perubahan, dan tawaran persma bukanlah angan-angan. Perlu sedikit sentuhan yang berkelanjutan dan pemantik agar bara itu terbakar. Membakar dan memihak. Sedangkan bagi persma, media adalah ujung tombaknya. Bukti independensi pemilihan berita. Pada dekade 1980, persma bergelut dengan birokratisasi atau ideologi terstruktur, maupun hegemoni wacana pembangunan. Awal dekade 1990, persma melawan diskursus ‘pers’ dan ‘penerbitan’. Setelah runtuhnya era otoritarian (1998) persma berseteru dengan hal-hal amatir dan sporadis gerakan. Berdebat soal pergeseran nilai gerakan dan perlawanan. Redup, tak jauh berbeda dengan awal dekade 1980.

Tapi yakin spirit kritisisme terus bergejolak meski masa telah berganti. Hanya keteguhan dan keaslian gerakan dalam entitas yang majemuk mampu meneruskan yang belum usai, orisinalitas keberpihakan persma. Tanpa intervensi apa dan siapapun. Tapi ingat dengan tubuh (wadah) persma yang punya sifat diri dan keberpihakan yang jelas, terang dari pengkhianatan moral, intelektual, kemanusiaan, rakyat, dan nurani.

Gen Z Dalam Pusaran Dinamika Perkembangannya

Generasi Z yang lahir antara tahun 1997 sampai 2012, merupakan kelompok yang khas karena dibesarkan dalam lingkungan dimana internet dan media sosial adalah bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Keberadaan teknologi ini membuat mereka terbiasa untuk berbagai informasi pribadi secara terbuka dan pada saat  yang sama lebih terpengaruh oleh berbagai konten yang mereka temukan di media sosial. Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya generasi Z cenderung memiliki sifat yang lebih koservatif serta menunjukan rasa skeptis terhadap individu lain. Mereka menunjukan tanggung jawab sosial yang lebih besar, sehingga lebih aktif untuk terlibat dalam proyek-proyek yang berfokus pada pelayanan masyarakat.

Generasi Z memegang kekuatan yang signifikan di pasar saat ini, karena mereka merupakan kelompok yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan proses globalisasi. Dalam konteks ini mereka dikenal sebagai generasi yang tidak hanya memahami teknologi, tetapi juga beradaptasi dengan baik terhadap perubahan yang dihasilkanya.

Generasi Z memanfaatkan akses luar mereka terhadap teknologi dan media sosial untuk berkontribusi sebagai agen perubahan. Platform sebagai Instagram, facebok, Twiter, dan TikTok menjadi alat yang kuat bagi mereka untuk berinteraksi, menyampaikan pemikiran, serta memperjuangkan isu-isu sosial yang dianggappenting. Contohnya mereka memiliki potensi untuk menciptakan aplikasi yang di rancang khusus untuk memberikan bantuan kepada individu yang mengalami kesulitan finansial, seperti biaya pengobatan, sembari menawarkan layanan yang berkaitan dengan kesehatan.

Di sisi lain, inovasi dan kreatitas juga merupakan bagian dari karekteristik Generasi Z. Mereka tidak hanyaa puas dengan penggunaan teknologi yang ada. Generasi ini menunjukan keinginan untuk menciptakan teknologi baru dan menjalin peluang bisnis yang baru. Dengan memanfaatkan keterampilan yang dimiliki dalam bidang teknologi serta pengetahuan digital yang mendalam mereka memiliki kemampuan untuk memulai Star-up atau ikut serta dalam inovasi yang di usung oleh perusahaan yang ada.

Pentingnya membangun Generasi Z yang tangguh adalah menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab yang penting  bagi seluruh masyarakat, pendidik dan orang tua, Sebagai generasi yang lahir di era digital, mereka dihadapkan pada berbagai perubahan dan tantangan unik. Generasi Z tumbuh ditengah isu-isu global yang kompleks, seperti perubahan iklim, ketidakadilan sosial dan ketidak pastian ekonomi, sehingga mereka memerlukan keterampilan serta mentalitas yang kokoh untuk menghadapinya serta  ketangguhan memberikan kemampuan kepada mereka untuk tetap optimis dan proaktif dalam mencari solusi, tidak hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar.

Salah satu tantangan utama adalah derasnya arus informasi yang sering kali tidak terkendali. Sebagai mahasiswa, kita juga mengalami situasi dimana informasi yang bertentangan dengan ajaran Islam sangat mudah diakses melalui media sosial, paltform digital,dan internet secara umum. Generasi Z dengan rasa ingin tahu yang tinggi, seringkali terpapar pada informasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan etika. Jika mereka tidak mampu menyaring informasi ini, maka terjadinya krisis identitas agama akan semakin besar.

Tantangan lainya adalah perubahan pola komunikasi. Generasi Z cenderung menolak gaya komunikasi yang bersifat otoriter. Mereka lebih menyukai dialog yang terbuka, dimana pendapat mereka didengar dan dihargai. Hal ini, berarti orang tua tidak cukup hanya memberikan perintah atau nasihat, tetapi juga harus mampu menjelaskan alasan dibalik alasan tersebut. Sebagai contoh, jika seorang anak bertanya kepada mengapa mereka berpuasa, orang tua perlu memberikan penjelasan yang koprehensif tentang manfaat puasa, baik dari spirtual, kesehatan, maupun disiplin diri. Dengan cara ini, anak-anak akan lebih mudah menerima ajaran agama karena mereka memahami esensinya, bukan sekedar kewajibanya. Selain itu problem sosial juga tidak kalah penting,  menghadapi banyaknya paham dalam kehidupan sosial misalnya budaya kebarat-baratan yang condong berlebih matrealisme, hedonisme dan kebebasan yang bertentangan dengan nilai dan etika.

Di era digital, tekanan sosial dan ekspektasi yang tinggi sering kali berdampak pada kesehatan mental mereka. Dengan membangun ketangguhan, Generasi Z dapat lebih efektif dalam mengelola stres dan menghadapi tekanan emosional. Ketangguhan mental sangat penting untuk membantu mereka beradaptasi dengan perubahan dan bangkit dari kegagalan, yang pada giliranya menjadi kesehatan mental mereka.

Salah satu cara untuk mendukung generasi z dalam menemukan jati diri mereka adalah melalui pendidikan yang kontekstual tidak boleh hanya terpaku pada teori, tetapi harus mengajarkan  bagaimana nilai-nilai dan etika dapat diterapkam dalam kehidupan modern, dukungan dari lingkungan masyarakat memiliki kontribusi penting bagi generasi z. Lingkungan sosial dapat memiliki pengeruh yang besar untuk perkembangan seeseorang. Oleh karenanya, kerja sama antara lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lembaga pendidikan menjadi landasan utama untuk  menghadapi tantangan yang ada.

Dengan perubahan yang terbangun mereka akan lebih siap  menghadapi berbagai tantangan, menjaga kesehatan mental, dan berkontibusi secara positif dalam masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak antara lain pendidik, orang tua dan masyarakat secara keseluruhan untuk mendukung dan membimbing generasi ini agar dapat tumbuh menjadi individu yang kuat, mandiri dan relegius.

Keterlibatan mereka dalam isu-isu sosial dan lingkungan sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik dan berkelanjutan. membangun ketangguhan dalam Generasi Z juga mengintegrasikan nilai-nilai positif, seperti empati, kejujuran dan kepedulian terhadap sesama. Dengan menanamkan nilai-nilai ini, mereka tidak hanya akan tumbuh sebagai individu yang kuat, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebigh harmonis dan berkeadilan.

Kesadaran Generasi Z terhadap etika dan isu sosial yang berkaitan dengan penggunaan teknologi sangat tinggi. Mereka cenderung kritis dan mempertanyakan prisip-prinsip etika dibalik penggunaan data pribadi, perlindungan privasi, serta dampak sosial, dari teknologi yang terus berkembang. kesadaran ini juga terlihat dalam pola konsumsi mereka, di mana mereka lebih memilih  untuk mendukung merek, aplikasi dan produk yang menujukan komitmen terhadap nilai-nilai sosial dan kelestarian lingkungan.

Partisipasi aktif dalam forum publik menjadi salah satu cara Generasi Z menunjukan nilai-nilai kebangsaan serta semangat bela negara. Mereka memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan motif serta membangun komunitas yang peduli terhadap masa depan negara mereka. Untuk meningkatkan peran Generasi Z sebagai agen perubahan, pendidikan yang berkualitas harus menjadi fokus utama. Pendekatan  pembelajaran  yang inovatif dapat membantu generasi ini menjadi lebih positif, kreatif dan inovatif dalam merespons perubahan sosial yang terjadi di era digital.

Pendidikan memainkan peran penting dalam mengembangkan keterampilan teknologi serta kemampuan sosial yang diperlukan untuk  menciptakan perubahan sosial yang positif. Diharapkan bahwa melalui pendidikan, Gemerasi Z dapat lebih memahami pentingnya etika digital dan belajar bagaimana menggunakan teknologi dengan bijak. Dengan kemudahan akses informasi dan media sosial, mendidik keterampilan kritis menjadi suatu keharusan yang harus dilakukan di kalangan generasi Z agar mereka dapat membedakan antara informasi yang dapat di percaya dan tidak percaya atau tidak benar.

Dalan konteks dunia kerja, Generasi Z menunjukan minat yang besar terhadap kewirausahaan, Mereka menggali berbagai peluang untuk menciptakan usaha baru dan dengan kemampuan mereka beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan teknologi, Mereka siap berkomtribusi dalam inovasi diberbagai perusahaan. Kecepatan adaptasi mereka terhadap trasformasi teknologi yang menjadikan mereka aset yang berharga dalam lingkungan kerja yang terus berkembang.

Sangat penting bagi generasi Z untuk memastikan bahwa etika dientegrasikan dalam penggunaan teknologi, pendidikan yang bertujuan untuk mencapai literasi digital yang lebih baik dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang etika dalam penggunaan teknologi dan membantu menghindari potensi risiko yang muncul. Dengan demikian, Generasi Z memiliki potensi yang besar untuk menjadi agen perubahan yang positif di era digital ini . Namun, mereka juga perlu menghadapi berbagai tantangan yang ada dan terus berkembang bersama teknologi untuk mewujudkan masa depan yang lebih inklusif, inovatif dan berkelanjutan.

Sebagai mahasiswa, apabila dengan pendidikan yang baik dan pendekatan yang tepat, Generasi Z dapat mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi agen perubahan yang positif. Namun, mereka harus tetap menghadapi tantangan yang ada dan terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan. Mereka dapat memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan kebaikan, memberikan edukasi, dan memperjuangkan keadilan.

Kita Tidak Butuh Banyak

Persma selamanya. Ya, pers mahasiswa Objektif akan tetap abadi bahkan ketika gerakannya hanya dimotori oleh segelintir orang. Aku mungkin tidak selama para senior yang lebih dulu masuk dalam organisasi yang bekerja pada ruang-ruang jurnalistik ini. Aku sendiri bergabung sejak tahun 2021, dengan usia semester yang masih belia. Memang bukan pilihan yang lazim selayaknya kebanyakan mahasiswa untuk masuk ke dunia organisasi. Untungnya aku tidak sepengecut mereka, yang tersandera oleh stigma masyarakat bahwa organisasi itu merupakan tempat yang kumuh tak bermanfaat dan penuh kekerasan. Ironisnya, perbuatan durjana oknum dianggap sebagai kesimpulan utuh atas kondisi dari sebuah organisasi.

Berproses di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Objektif adalah sesuatu yang awalnya tak aku seriusi. Berbagai metode pembentukan karakter dan jalan intelektualnya adalah sesuatu yang baru kudapatkan, tentu hal itu yang membuat anak kampungan seperti aku yang jauh dari kultur aktivisme mahasiswa seperti membaca, menulis dan diskusi, merasa tak sanggup untuk mudah beradaptasi.

Sekali lagi, bahwa itu memang bukan sesuatu yang mudah. Tapi dengan cara-cara keras (bukan kasar dan tidak bersifat komando) itulah yang menciptakan manusia-manusia tangguh, yang tidak manja, tolol dan feodal. Andai kata pedang, ia harus ditempa dengan sekuat dan sekeras-kerasnya agar menghasilkan ketajaman yang optimal. Bahwa hasil dari proses keras itu tidak menjadikan aku sebagai mahasiswa berprestasi bukan sebuah masalah bagiku, justru aku sangat bangga dengan kesibukan yang menuntunku jatuh cinta pada demonstrasi, kajian isu, hingga liputan yang mengusik kepentingan-kepentingan manusia lainnya atas segala kemudaratan perbuatannya.

Dengan berbagai aktivitas kemahasiswaan seperti itu yang tidak banyak ditempuh oleh orang lain, aku kemudian membuat kesimpulan yang mungkin terkesan subjektif, “bahwa dalam kampus kita bukan hanya sekadar mengejar juara apalagi gelar sarjana semata lebih daripada itu kita harus menjadi manusia.” Manusia yang peka terhadap persoalan masyarakat arus bawah, yang lantang bersuara pada ketidakadilan, serta memutus rantai perbudakan dari kebijakan-kebijakan politik yang bangsat.

Menjadi kader UKM Pers merupakan ketidaksengajaan yang tidak akan aku sesali. Bahwa perlawanan dan keragu-raguan yang menjadi dasar kerja-kerja jurnalistiknya harus betul-betul diresapi oleh setiap anggotanya. UKM Pers tidak boleh hanya sekadar menjadi organisasi penampung manusia yang tak punya keberanian apalagi kehilangan perspektif. Dalam banyak momentum penerimaan anggota, aku melihat standar perekrutan yang dipakai masih cenderung memakai tolak ukur kekerabatan relasi yang tidak berbasis pada kompetensi. Akibatnya, organisasi hanya melahirkan kuantitas secara berlebihan yang jauh dari ideologi pers mahasiswa.

Tidak berlebihan kiranya jika aku menyampaikan kegalauan pada organisasi yang telah berhasil melahirkan kader-kader keder yang masuk karena ingin numpang tenar atau menjadikan UKM Pers sebagai batu loncatan untuk mencapai sisi-sisi yang lain dalam menunjang karir dan kepentingan pribadi mereka. Hari ini aku ingin menyampaikan secara gamblang, sudah cukup sekian lamanya organisasi tidak menyiapkan kader yang sigap dan kuat melanjutkan kerja-kerja pers mahasiswa yang sesungguhnya. Harus diakui jujur, mayoritas kader dan alumni UKM Pers tidak paham sejarah perjuangan pers mahasiswa sebagaimana yang telah diulas dalam buku putih Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Padahal sejatinya gerakan pers mahasiswa dipandu pada tiga pokok kultur, yang pertama adalah kesadaran historis yang menempatkan sejarah perjuangan pers mahasiswa sebagai penguatan organisasi melalui karya jurnalisitknya yang menjadi bagian penting dalam laku hidup pergerakannya yang berorientasi kerakyatan. Kedua, adalah memahami pola gerakan pers mahasiswa disesuaikan dengan kebutuhan zaman yang tidak terlepas dari kesulitan-kesulitan yang harus siap diterima oleh mereka yang berkecimpung di organisasi pers mahasiswa. Ketiga, kesadaran praktis dalam melihat kondisi organisasi yang terbengkalai karena kemunduran wawasan dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.

Sebagai pimpinan redaksi di periode kepengurusan tahun ini aku prihatin dan khawatir. Prihatin ketika pengurus masih menerapkan standar perekrutan kader baru berbasis kuantitas, sekaligus khawatir secara keorganisasian jika masih memperpanjang ruang keistimewahan pada mereka yang tak bisa dan tak mau menulis. Bukankah itu sebuah aib nyata yang sedang dipelihara. Haruskah kita menormalisasi anomali itu? Aku pikir tidak, mengamini itu sama halnya menghianati nilai-nilai dari ideologi pers mahasiswa itu sendiri.

Model kader surplus gaya minim karya selalu lebih banyak daripada mereka yang tulus berbuat mempersembahkan produk jurnalistiknya pada publik. Dari puluhan manusia yang direkrut disetiap angkatan pada akhirnya hanya menjadi tumpukan “kotoran” yang tidak bisa diberdayakan selain dibersihkan. UKM Pers Objektif IAIN Kendari tidak lahir dari ruang kosong dan hampa. Ia lahir dari rahim perjuangan yang panjang. Jejak perlawanannya tercatat disetiap lembar liputannya. Sudah saatnya membersihkan kader yang tak cakap dalam menulis dan tak punya keberanian untuk melawan demi kepentingan publik termasuk melawan intervensi alumni dalam agenda liputan dan penerbitan.

Secara kolektif kita harus sepakat saat dinamika kampus dan problem kebangsaan yang terus bergejolak, pers mahasiswa hadir sebagai salah satu ruang yang meramu ide-ide visioner, berteriak dengan lantang, mempertaruhkan jiwa raganya dalam memperjuangkan kebenaran dan kepentingan publik. Akan tetapi, seiring waktu, wajah dari kader pers mahasiswa kita malah jauh bergeser dari arah garis membela mereka yang tertindas, menjadi corong bagi suara yang dibungkam, serta menghidupi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kebenaran. Begitu sangat nampak bagaimana kegugupan untuk kritis serta menghasilkan produk jurnalistik telah disarangi oleh kemalasan. Banyak dari anggota tidak lagi mengetahui atau merasakan ruh perjuangan pers mahasiswa. Mereka lebih sibuk dengan algoritma media sosialnya yang membuat apatis ketimbang mengimplementasikan apa yang menjadi perannya sebagai jurnalis media alternatif.

Disinilah pentingnya menata ulang arah. Bahwa regenerasi yang sehat membutuhkan sistem kaderisasi yang kuat, tidak memanjakan kader, membentuk kualitas bukan sekadar militansi. Jika definisi dari nama pers dan mahasiswa itu berat dan mulia karena didalamnya terkandung spirit intelektualitas (kritis), kemanusiaan
(keberpihakan pada moral dan etika), kerakyatan (keberpihakan
dan kepedulian pada rakyat bawah), kebangsaan (demokratisasi
dan kemartabatan negeri), dan pers mahasiswa yang
independen. Maka dengan demikian buat apa secara keorganisasian kita masih mempertahankan kader yang tak tahu berbuat apa saat tergabung dalam pers mahasiswa.
Lagi-lagi di dalam nama “pers mahasiswa”, terkandung beban sejarah dan semangat perjuangan. Ia adalah wujud dari keberpihakan. Berpihak kepada rakyat kecil, pada etika dan nurani, pada proses demokratisasi, serta pada martabat bangsa. Maka tak berlebihan bila menempatkan pers mahasiswa sebagai kekuatan independen yang kritis terhadap segala bentuk penyimpangan.

Dalam kegusaranku menulis di ruang redaksi yang hening, disaksikan tembok yang kusam dan tumpukan buku di rak, aku sadar satu hal—bahwa perubahan tidak datang dari langit. Ia harus mulai dari yang kecil; membongkar masalah lebih jujur, menyusun ulang pola kaderisasi, kemudian mewariskannya dalam bahasa generasi kini dan selanjutya. Aku tahu berat, tapi siapapun itu tak ingin menjadi manusia yang menyerah dalam diam. bahwa yang paling penting kita tidak butuh banyak, kita butuh yang tidak gagap untuk berbuat. Mereka yang tidak aktif tidak perlu dilibatkan. yang tidak serius buat apa dikasih ruang. Pengurus organisasi harus tahu batas dan tahu diri, jika anggota tidak menganggap penting pers mahasiswa maka secara kelembagaan harus memperlakukan hal yang sama.

Kronik Otoritarianisme Indonesia: 80 Tahun Ketatanegaraan Indonesia

Profil Penulis
Zainal Arifin Mochtar, dilahirkan di Makassar pada 8 Desember 1978. Pernah menjadi peneliti di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2003-2005) dan sejak 2005 hingga sekarang menjadi pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia menyelesaikan studi strata satu ilmu hukum di almamaternya, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada 2003. Lalu melanjutkan studi strata dua dengan beasiswa Fullbright di Northwestern University, Chicago USA, dan tamat pada 2006. Di sana ia menyelesaikannya dengan mendapatkan gelar LLM with Honour. Pendidikan strata tiga ia selesaikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Telah menuliskan beberapa buku; di antaranya Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan dan Urgensi Penataan Kembali Pasca Amandemen, Parlemen Dua Kamar: Analisis Perbandingan Menuju Sistem Bikameral Efektif (ditulis Bersama Saldi Isra), dan Kekuasaan Kehakiman. Ia pernah dianugerahi Anugerah Konstitusi Muhammad Yamin (AKMY) kategori Pemikir Muda Hukum Tata Negara Tahun 2016, serta menjadi salah seorang penerima Anugerah Penulis Opini Konstitusi Terbaik oleh Mahkamah Konstitusi 2018. Ia menggawangi Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM Yogyakarta 2008-2018 dan menjadi penasihat di lembaga tersebut. Penyuka baca, lari dan sepak bola, sekaligus milanisti sejati.

Muhidin M. Dahlan lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, pada tahun 1978. Sempat beberapa waktu mengampuh ilmu di Teknik Bangunan Insitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jogjakarta dan Sejarah Peradaban Islam IAIN Kalijaga Jogjakarta. Keduanya tak selesai. Mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-MPO), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Menulis novel dan buku-buku kronik, salah satunya Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998, terlibat sebagai tim editor buku-buku Pramoedya Ananta Toer di lentera Dipantara sejak 2003. Salah satu pendiri Radio Buku dan Warung Arsip.

 

Sinopsis
Jenis kediktatoran yang mencolok dalam bentuk fasisme, komunisme, atau kekuasaan militer telah hilang dari sebagian besar negara di dunia. Kudeta militer dan perebutan kekuasaan dengan kekerasan juga lebih jarang terjadi. Selain itu, sebagian besar negara di dunia juga telah mengadakan pemilu secara berkala.

Namun tetap saja, demokrasi masih bertumbangan melalui berbagai cara yang berbeda. Kemunduran demokrasi menuju otoritarianisme merupakan hal yang patut dikhawatirkan. Sepertinya otoritarianisme tidak pernah lenyap. Ia bisa hidup serta beradaptasi dalam demokrasi dengan cara meniru praktik-praktik demokrasi.

Buku ini menunjukkan rupa otoritarianisme di Indonesia sepanjang 80 tahun usianya. Dari semua peristiwa penting yang menjadi patahan sejarah Indonesia. Dari sudut ketatanegaraan yang ditulis Zainal Arifin Mochtar, yang diperkuat melalui kurasi kliping-kliping bersejarah oleh Muhidin M. Dahlan.

 

Ulasan

Setelah satu tahun dalam proses pengerjaan, akhirnya buku Kronik Otoritarianisme Negara terbit bulan ini. Buku ini merupakan kolaborasi Zainal Arifin Mochtar, seorang dosen hukum ketatanegaraan di UGM, dan Muhidin M Dahlan, seorang kirani sejarah dan arsiparis di Warung Arsip. Keduanya mengulik rupa otoritarianisme dalam sejarah 80 tahun Indonesia.

Penulisan buku ini bermula dari kegelisahan Zainal Arifin Mochtar terhadap kondisi demokrasi Indonesia kini. Paling tidak sejak 2024 ia kerap mengemukakan bahwa otoritarianisme kini telah berubah bentuk, sanggup beradaptasi dalam negara demokrasi, dan telah menjadi salah satu karakteristik Indonesia. Otoritarianisme kini tidak lagi harus berupa junta militer atau fasisme. Ia juga tidak muncul melalui kudeta terang-terangan atau aksi massa superbesar. Otoritarianisme kini muncul perlahan dengan penggerogotan konsitusi dan pelemahan lembaga-lembaga penegak demokrasi.

Kegelisahan tersebut lalu ia tuliskan dalam buku setebal 706 halaman ini. Sebuah proyek penulisan yang ambisius dari segi ketebalan buku begitu juga kontennya. Buku ini terdiri dari enam bab yang ditulis berurutan dari sejak Indonesia merdeka sampai masa terakhir kepresidenan Jokowi. Dari sejarah sepanjang itu, ia mengambil momen-momen penting yang berhubungan dengan sejarah konstitusi Indonesia, seperti Maklumat Hatta tentang pembentukan partai, Demokrasi Terpimpin yang dalam bingkai konstitusi merupakan sebuah langkah otoriter, fusi partai di masa Orde Baru, amandemen UUD pascareformasi, sampai momen keputusan MK tentang pada Pemilu 2024 lalu.

Dibanyak momen penting seperti itu, dalam kacamata Zainal Arifin Mochtar, kerap menyiratkan ciri otoritarianisme yang membajak hakikat demokrasi. Konstitusi pun berulang kali dibajak. Dengan analisis konstitusi, Zainal menawarkan cara pandang terhadap sejarah Indonesia dengan cara yang baru. Tidak sampai sana, Muhidin M Dahlan dalam buku ini memperkuat uraian Zainal dengan rangkaian kronik dari kliping berita lama. Ada ribuan file berita lama dari berbagai koran yang ia digitalisasi, kurasi, lalu rangkai menjadi catatan sejarah. Peristiwa penting tentang atau efek konstitusi ia cantumkan satu per satu.

Mulai dari krisis militer yang berulang kali terjadi sampai tragedi Tanjung Priok atau Talangsari sebagai efek penerapan Asas Tunggal di masa Orde Baru. Tentu, sampai pada masa kartelisasi politik pascareformasi. Pendeknya, Muhidin membuktikan semua itu bukan omong kosong karena demikian tertulis di berita. Pendekatan sejarah ini tentu saja sangat menarik karena pembaca dapat menilai sendiri apa yang terjadi tepat di hari ketika peristiwa bersejarah terjadi. Dengan kemampuannya, Muhidin telah menghidupkan berita-berita lama dan menyusunnya serupa cerita.

Kolaborasi Zainal dan Muhidin ini merupakan yang pertama. Sebuah kolaborasi tidak terduga karena menggabungkan dua latar belakang berbeda, seorang ahli hukum dan pengkaji sejarah, seorang akademisi UGM dan intelektual yang memilih jalanan ketimbang kampus. Kronik otoritarianisme Indonesia merupakan kajian demokrasi yang penting bagi Indonesia. Zainal dan Muhidin menyuguhkan kenyataan bahwa demokrasi Indonesia selalu diuji sepanjang waktu oleh berbagai aktor politik yang ingin memanfaatkan kekuasaan. Oleh sebab itu ketaatan pada konstitusi sangat penting agar kekuasaan tidak bergerak semaunya, mencederai demokrasi dengan karakter otoritarian. Sebuah buku yang relevan dan sangat penting bagi demokrasi Indonesia kini.

Mudarat Hukum Kolonialisme Indonesia di Papua

Syukur bagimu Tuhan Allah Maha Kudus, Alam Semesta, dan Leluhur Bangsa Papua yang senantiasa memberikan kehidupan bagi saya agar terus berjuang menegakan keadilan, kebenaran, kejujuran, di hadapan Hukum Kolonialisme Indonesia. Namun keadlian tak lagi kunjung, kebenaran dijual belikan, kejujuran menjadi sampah kehidupan bagi parasit- parasit oligarki yang memegang kendali kekuasaan.

Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan kejujuran dan kebenaran fakta kejadian atas penggusuran paksa yang di lakukan oleh Militerisme TNI/POLRI, panitia Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021, dan Lembaga Universitas Cenderawasih (Uncen). Mereka adalah aktor kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, terlebih khusus terhadap mahasiswa Papua, pada 2021 yang digusur paksa dengan kekuatan Militer TNI/POLRI mengunakan dalil untuk penempatan atlet PON dan renovasi asrama.

Pada faktanya di Tanah Papua, kebenaran selalu di jual belikan antara Hakim dan Pemodal demi melanggengkan kepentingan akumulasi modal tetapi saya salah satu dari sekian ribu orang Papua tidak pantang menyerah atas segala bentuk kejahatan HAM yang terus terjadi di Tanah Papua. Pelanggaran HAM yang terjadi pada tanggal 21 Mei 2021 lalu adalah luka yang tidak akan pernah sembuh, karena saya sebagai salah satu korban penggusuran paksa yang tidak pernah mendapatkan keadilan, kebenaran, dan kejujuran di hadapan Hukum pengadilan Abepura Kota Jayapura Papua. Dalam persoalan pelanggaran HAM, kami nilai terjadi pelanggaran hak atas pendidikan, pelanggaran hak atas tempat tinggal yang layak dilakukan oleh Kampus UNCEN merupakan bentuk pelanggaran ganda. Mahasiswa selama 5 tahun telah ditelantarkan tanpa kepedulian pihak kampus hak atas pendidikan dan hak atas tempat tinggal yang layak.

Saya masih ingat sekali, pada tanggal 21 Mei 2021 pukul 09.00 WIT. Yang mengepung duluan di Asrama Universitas Cenderawasih (UNCEN) Rusunawa itu ribuan Militer gabung TNI/POLRI, yang mengunakan peralatan perang dengan lengkap. Militer TNI/POLRI kepung membuat seluruh penghuni asrama mahasiswa kaget, dan mereka begitu tiba bicara mengunakan megaphone bersifat himbauan darurat dengan menyampaikan “kepada seluruh penghuni asrama agar segera tinggalkan tempat dan keluar dari lingkungan asrama Rusunawa dan asrama Unit 1 – Unit 6 dengan alasan, ini perintah Rektor Apolos Safanpo.”

Mereka memberikan waktu untuk menyimpan barang–barang mahasiswa hanya satu jam, setelah waktu satu jam berakhir TNI/POLRI masuk menggrebek asrama mengunakan senjata membongkar pintu–pintu kamar mahasiswa. Setelah itu tidak lama kemudian eskafator tiba dan langsung memutuskan tangga–tangga gedung asrama, dan seluruh penghuni di kumpulkan di depan halaman Bola Volly dan Bola Futsal. Beberapa pengurus asrama dan saya selaku penghuni yang memimpin massa mahasiswa ingin bernegosiasi tetapi kami dipukul babak belur oleh TNI/POlRI, mereka beralasan bahwa “sekarang bukan waktunya kita negosiasi tetapi sekarang waktunya untuk kalian keluar meninggalkan Asrama”.

Pada saat itu juga beberapa penggurus asrama ditarik paksa kasih keluar dari lingkaran massa mahasiswa ke jalan besar karena dengan alasan memprovokasi massa mahasiswa, termasuk Lembaga Bantun Hukum (LBH) Papua tidak diberikan izin untuk masuk kedalam lingkungan asrama. Saya masih ingat sekali pada waktu itu Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobai, ditarik oleh Polisi untuk dikeluarkan dari lingkungan asrama tetapi pada waktu itu karena masa ribut akhirnya Polisi biarkan Emanuel masuk bicara dengan mahasiswa korban penggusuran paksa.

Militer TNI/POLRI menjadi dalang pelanggaran HAM berat dalam kasus ini, pada saat proses penggusuran paksa asrama mahasiswa Uncen, dengan watak arogansinya waktu itu membungkam seluruh ruang gerak dan ruang untuk berpendapat kami sebagai penghuni asrama mahasiswa. Waktu itu situasi kami di bawah kendali militerisme TNI/POLRI karena seluruh ruang gerak dan ruang untuk menyampaikan pendapat penghuni di bungkam habis dengan alasan mereka bahwa sekarang bukan waktunya kami bicara tetapi sekarang waktunya kalian menyimpan barang dan keluar dari asrama. Pada saat situasi pengusuran berlangsung, hampir seluruh penghuni menangis, dan hal itu membuat saya dan beberapa penggurus asrama mulai membawah keluar seluruh massa mahasiswa dengan satu sikap kita secara spontan bahwa “Mogok Pendidikan di Uncen.”

Setelah kami di keluarkan dari asrama kami seluruh penghuni Asrama, malamnya duduk diskusi di punggir jalan raya, ada beberapa kesimpulan yang kami dapat dari diskusi yaitu sebagai berikut:
1. Kami sepakati membentuk posko umum di depan Asrama Rusunawa Uncen dan beberapa sektor posko.
2. Kami malam itu juga membentuk struktur posko yang diketuai Fredi Kogoya dan Sekretaris saya sendiri Varra Iyaba, dan penanggung Jawab Devanus Siep dan David Wilil selaku Badan Pengurus asrama.
3. Kami malam itu sepakati secara kolektif untuk menempu jalur hukum agar kita buktikan di pengadilan.
4. Kami juga mengumpulkan data korban alat–alat mahasiswa dan mengambil data seluruh mahasiswa yang mengalami korban pengusuran paksa.

Kemudian setelah itu persoalan penggusuran paksa asrama mahasiswa, kami secara resmi memberikan kuasa penuh kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua sebagai pendamping hukum kami. Proses hukum tentang kasus penggusuran di pengadilan semakin tidak jelas, terkesan hakim dan pihak Uncen berselingku di atas mimbar pengadilan serta mempelacurkan hukum kolonialisme. Kami korban penggusuran menunggu kepastian hukum tentang keadilan, kebenaran, dan kejujuran dari sejak 2021 hingga kini 2025 belum ada tanda kemenangan, dan kebenaran menjadi buram di pengadilan.

Setiap persoalan baik itu persoalan politik, Sosial, ekonomi, dan budaya yang dialami boleh umat manusia di dunia memiliki kerinduan yang sama tentang kedamaian, keadila, kebenaran, dan kejujuran di hadapan hukum baik itu hukum negara maupun hukum adat. Kami mahasiswa korban penggusuran paksa asrama Uncen memiliki keinginan tentang keadilan, kebenaran, dan kejujuran oleh hakim yang mulia di pengadilan, namun keadilan tidak lagi mengharumkan bagi korban.

Kami sebagai mahasiswa korban penggusuran paksa merasakan dan menyatakan dengan jujur bahwa hukum di Indonesia berlaku untuk pemodal atau orang yang memiliki uang, hakim berselingku dengan pelaku dan memberikan perlindungan hukum terhadapnya.Walaupun keadilan, kebenaran, dan kejujuran terlihat buram di pengadilan tetapi semangat kami akan terus berkobar sepanjang massa di jalan pemberontakan.

Setiap orang memiliki kerinduan untuk mendapatkan keadilan maka dengan itu mahasiswa korban penggusuran paksa asrama Uncen melimpahkan kasus dengan harapan yang sama yaitu menuntut keadilan. Kami juga menuntut agar Pengadilan Negeri Abepura memberikan efek jerah terhadap pihak kampus Uncen yang telah melakukan praktik – praktek yang melanggar HAM, dan melanggar hak atas pendidikan, dan juga melanggar hak atas tempat tinggal mahasiswa yang layak.

Oleh karena itu kami menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Kami mendesak kepada pihak Uncen agar segera bertanggung jawab atas segala bentuk kerugian mahasiswa yang mengalami korban penggusuran paksa, pada 21 Mei 2021 lalu di Rusunawan Kamwolker Perumnas lll Waena Kota Jayapura Papua.
2. Kami mendesak kepada Pengadilan Negeri Abepura Kota Jayapura agar segera mempercepat proses hukum dan juga harus memberikan kepastian hukum kepada mahasiswa korban penggusuran paksa asrama Uncen.
3. Kami mendesak kepada panitia PON 2021 dan Pemerintah Provinsi Papua agar segera bertanggung jawab atas penggusuran paksa asrama mahasiswa Uncen.
4. Kami meminta kepada Negara Indonesia agar segera tangkap dan adili mantan Rektor Uncen Apolos Sanfapo selaku pelaku yang memerintahkan penggusuran paksa asrama mahasiswa.

Kami sebagai manusia yang mengalami korban penggusuran paksa asrama mahasiswa Uncen, merindukan kemenangan, keadilan, kebenaran, dan kejujuran. Kami juga memiliki kerinduan untuk di hargai atas suara teriakan kami dari waktu – kewaktu dan kini sudah 5 tahun lamanya. Walaupun suara kami tak lagi didengar, dan tetesan air mata kami tak diperdulikan, tetapi kami akan eksis menanam beni pahit ini di setiap lahan baru agar api pemberontakan tetap menyala di setiap waktu.

Rusunawa 21 Mei 2021 – 21 Mei 2025

penulis: Varra Iyaba

Memoar Filep Karma : Seakan Kitorang Setengah Binatang

 

Buku : Seakan Kitorang Setengah Binatang; Rasialisme Indonesia di Tanah Papua, Penulis : Filep Karma Penerbit: Deiyai, Tahun: 2014, Tebal: xvi + 137 Halaman

Buku ini berisikan hasil wawancara dengan Filep Karma yang saat itu menjadi tahanan politik di Lapas Kelas IIA Abepura. Filep mengisahkan kehidupan masa kecilnya dalam bayang-bayang militrisme, tindakan rasis pernah dialaminya, latar belakang perjuangan damai yang berujung represif aparat, konsep nasionalisme Papua serta kritiknya terhadap perjuangan Papua dalam penentuan nasib (self-determination). Melalui buku ini, pembaca akan memahami secara utuh dan berimbang mengenai rentetan permasalahan yang terjadi di Papua, seperti diskriminasi rasial hingga pelanggaran HAM —yang hingga kini belum diusut tuntas.

Filep Karma berasal dari keluarga yang terpandang. Ayahnya, Andreas Karma, pernah menjabat sebagai wakil bupati Jayapura periode 1968-1971, bupati Wamena sekitar 1970-an dan bupati Serui 1980-an. Menyelesaikan sekolah menengah di Jayapura, lanjut berkuliah di Universitas Sebelas Maret mengambil Jurusan Ilmu Politik. Usai lulus pada 1987, kemudian bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pernikahannya Ratu Karel Lina, seorang perempuan Melayu-Jawa dikaruniai dua anak, Audryne Karma dan Andrefina Karma.

Kilas Balik Perjuangan

Pada 1997, Filep mendapat kesempatan kuliah di Asian Institute of Management, Manila, Filipina. Selama di Filipina, diskriminasi tidak pernah didapat ketika berinteraksi dengan masyarakat, jauh berbeda seperti yang dialami di Papua maupun di Jawa. […] “Selama sekolah di Jawa, kitorang yang dari Papua, sering dianggap setengah binatang. Kitorang dianggap seakan-akan evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia. Itu saya rasakan dari teman-teman yang kuliah di Solo. Jadi mereka bukan dari masyarakat yang tidak berpendidikan saja, tapi juga dari kalangan berpendidikan. Mereka memperlakukan kami begitu. Seringkali orang Papua dikata-katai, “Monyet! Ketek!. […] Di sana juga saya menemui kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan berbicara, dan penghargaan terhadap pendapat yang saya kemukakan. Ini motivasi saya. Setelah saya kembali ke Papua, saya lebih berani dalam berbicara, tidak seperti sebelum saya kuliah ke Filipina” [hlm. 8-9].

Melalui pendidikan serta pengalaman, inilah yang membentuk cara pandang dan tumbuh kesadaran untuk merespon penindasan di Papua. Filep awalnya mengira, perjuangan kemerdekaan Papua hanya melalui senjata dan bergerilya di hutan. Ternyata ada cara lain yang dapat ditempuh, dengan menyampaikan aspirasi secara damai, berdialog secara inklusif, tanpa menindas kelompok lainnya. […] “Waktu remaja saya berpikir kalau saya berjuang Papua Merdeka berarti saya harus berjuang dengan kekerasan. Saya harus mempersenjatai diri dan berjuang di hutan-hutan. Tidak mungkin tinggal di kota. Namun itu berarti siap mempertahankan nyawa. Pada umumnya orang Papua semua berpikir demikian” [hlm. 7].

Setelah menyelesaikan pendidikan di Manila, pada 1998 dalam perjalanan pulang ke Jayapura, transit di Jakarta dua hari. Melihat aksi demonstrasi mahasiswa yang menuntut agar Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden. Pasca lengsernya Soeharto, aksi menuntut kemerdekaan Papua terjadi dibeberapa daerah seperti Jayapura, Sorong, Wamena, Biak, dan Manokwari.

Aksi Damai & Peristiwa Biak Berdarah

Pada 2 Juli 1998, Filep memimpin aksi di Biak, bendera bintang kejora berkibar di Tower Air setinggi 35 meter di belakang Puskesmas. Banyak masyarakat yang bergabung mempersenjatai diri dengan tombak, parang dan bom molotov. Filep lalu menyuruh adiknya mengumpulkan senjata tersebut dan dibuang di pelabuhan, lalu berkata: Maaf ini perjuangan damai. […] “Jadi kitorang tak boleh pakai kekerasan, tak boleh pakai senjata yang bisa membahayakan orang lain. […] Kalau kita tak bersenjata, tak ada alasan polisi memperlakukan kita semena-mena atau menembak kita. Tapi kalau kita bersenjata ada alasan polisi untuk menembak” [hlm. 15].

Aksi berlanjut sampai 6 Juli 1998 dan berujung tindakan represif aparat. Peristiwa ini yang kemudian dikenal dengan “Biak Berdarah” (Pusara Tanpa Nama, Nama Tanpa Pusara). Human Rights Watch melaporkan, penyebab bentrokan dikarenakan seorang sersan polisi masuk ke barisan massa aksi, dipukul hingga beberapa gigi patah saat hendak melakukan provokasi.[1] Jumlah korban dari laporan Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua, terdapat 150 orang ditahan secara sewenang-wenang, 37 orang mengalami luka-luka, 8 orang meninggal, 3 orang dinyatakan hilang dan terdapat pula 32 mayat yang mengambang di perairan Biak.[2]

Imbas dari aksi damai di Biak, 19 orang harus diadili dengan jeratan pasal makar, termasuk dirinya. Filep sendiri ditendang kepalanya, lalu dipopor dengan gagang senjata hingga pingsan sampai sadar kembali dan kedua kakinya ditembak peluru karet. Pada 25 Januari 1999, Pengadilan Negeri Biak memberi hukuman penjara 6,5 tahun. Setelah diajukan banding, pada bulan November di tahun yang sama dinyatakan bebas demi hukum.

Penjara Kecil ke Penjara Besar

Penjara tidak membuatnya gentar, pada 1 Desember 2004 —memperingati deklarasi kemerdekaan Papua 1 Desember 1961. Bersama ratusan warga di Lapangan Trikora, Abepura, orasinya sangat berapi-api, “[…] Di Jawa, ada orang rambut lurus, orang Jawa asli, dia juga peduli pada kitorang. Suatu saat kalau Indonesia kejar dan bunuh orang ini, Sobat kau datang. Orang Jawa, orang Manado, siapa pun yang rasa memiliki di Papua adalah bagian dari bangsa Papua. Sebaliknya, banyak orang asli Papua, kulit hitam, rambut keriting, makan lebih banyak, hatinya lebih Indonesia” [hlm. 25].

Inilah yang membuatnya harus ditangkap lagi, didakwa dengan Pasal 106 dan 110 KUHP tentang perbuatan “makar”. Kemudian Pengadilan Negeri Abepura menjatuhi hukuman 15 tahun penjara. Sedangkan rekannya, Yusak Pakage yang ikut merancang aksi, diberi hukuman 10 tahun penjara. Menjalani masa tahanan di Lapas Kelas IIA Abepura, Filep bersikukuh dengan perjuangannya dan menolak remisi tiap tahun. “[…] Ia berpendapat menerima remisi berarti tersirat mengakui dia bersalah” [hlm. 66].

Dukungan maupun simpati kemanusiaan didapatkan melalui kiriman surat yang berjumlah ribuan. Tidak hanya Indonesia, dukungan Amensty International dari berbagai negara seperti, Malaysia, Filipina, Myanmar, Thailand, Australia, Selandia Baru, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Kanada, dan Amerika Serikat mengajukan petisi agar segera membebaskannya tanpa syarat, dan juga tahanan lainnya.[3] Ketika kesehatannya memburuk dan harus berobat, Kementrian Hukum dan Ham enggan memberikan bantuan sedikit pun dengan dalih tak memiliki uang untuk pengobatannya. Hasil penggalangan dana dari pelbagai pihak mencapai sekitar Rp115 Juta.[4]

Selama kurang lebih 11 tahun mendekam di penjara, Filep akhirnya dibebaskan pada 19 November 2015. Dalam wawancaranya, ia mengatakan sangat kaget saat diberi tahu bahwa ia akan dibebaskan dua tahun lebih awal. […] “Saya tahunya akan dibebaskan pada 2019. Saya bebas dari penjara sekarang ini, sebetulnya saya masih dalam penjara, yaitu penjara besar Indonesia. Artinya saya masih terkurung dalam negara Indonesia dengan aturan-aturannya yang diskriminatif dan rasialis”.[5]

Kritik Langkah Perjuangan

Papua sudah diterima sebagai bagian dari wilayah negara Indonesia dalam Sidang Umum United Nations pada November 1969. Melalui voting, 84 negara setuju dengan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), 30 negara abstain, dan tidak ada satu negara pun yang tidak setuju Papua masuk Indonesia. Adapun jumlah anggota United Nations terdiri dari 193 negara, apabila Papua hendak menjadi negara berdaulat. Tentunya Papua membutuhkan dukungan dari negara-negara anggota United Nations.

Alih-alih berdiplomasi, beberapa elite Papua justru saling sikut berebut kekuasaan. […] “elite Papua suka sekali klaim sebagai “presiden Papua Barat” walau negara Papua, ironisnya, belum merdeka, belum pernah ada. Mereka suka dengan teori bahwa negara akan ada bila ada pemerintah. Maka mereka berebut jadi ‘presiden’ atau ‘perdana menteri’. Mereka lupa bahwa kedaulatan negara adalah persoalan dunia internasional” [hlm. 81].

Inilah yang sangat memprihatinkan baginya beberapa elite Papua yang perjuangannya masih dilandasi ego sektoral. […]“Perjuangan Papua masih bersifat kedaerahan. Hanya melibatkan orang Papua. Tidak perlu dengan komunitas lain. Jadi orang Papua hanya sibuk mengurus kepentingannya sendiri. Dia meneriakkan penderitaannya. Dia mengekspresikan itu dengan cara-cara yang masih mengangkat tarian daerah, budaya tradisional, sehingga menutup akses teman-teman dari komunitas lain untuk bergabung” [hlm. 37]. Hal inilah yang tentunya dapat melemahkan perjuangan dan karena mudah untuk terpecah-belah (divide at empera).

Pembenahan organ-organ perjuangan, pendidikan politik pada masyarakat dan penyatuan persepsi merupakan suatu alternatif yang ditawarkannya. Keberhasilan Timor Leste menentukan nasib sendiri (self-determination) menjadi sebuah refleksi baginya,  […] “Saya melihat Timor Leste juga bisa merdeka karena mereka punya bahasa nasional: Tetun. Organ-organ perjuangannya lebih solid. Mereka cepat menyadari kesalahan dan memperbaiki diri. Tadinya mereka punya faksi-faksi tapi menyadari bahwa berbenturan sendiri membuat mereka lemah. Akhirnya mereka mau duduk bersama dan menyatukan persepsi perjuangan” [hlm. 35].

Penutup

Sampai pada 1 November 2022 silam, Filep Karma dikabarkan meninggal dunia dan jasadnya ditemukan di pantai Base G, Jayapura.[6] Pemakamannya dihadiri oleh puluhan ribu orang dan bendera Bintang Kejora dikibarkan sebagai penghormatan terakhir padanya.[7] Jika saja memilih hidup seperti kebanyakan orang, kemungkinan besar, dia dapat menjadi seorang kepala daerah, karena latarbelakang keluarganya.

Buku ini bukan untuk menyebarkan paham separatis. Namun, pembaca dapat mengkontekskan pada situasi Papua hari ini, dan memberi jawaban atas pertanyaan: “Mengapa sampai hari ini, Papua ingin merdeka dari Indonesia?”. Olehnya itu, untuk mengurai kembali akar permasalahan di Papua, seharusnya ada ruang dialog secara inklusif dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan dan keadilan agar tercapai sebuah kesepakatan. Karena mengingat, negara Indonesia sendiri telah meratifikasi International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1998, UU No. 11 Tahun 2012 & UU No. 12 Tahun 2012.

Daftar Pustaka

  1. https://www.hrw.org/report/1998/12/01/indonesia-human-rights-and-pro-independence-actions-irian-jaya
  2. https://www.biak-tribunal.org/wp-content/uploads/2013/07/ELSHAM-biak-report_19981.pdf
  3. https://www.amnesty.org/en/wp-content/uploads/2021/05/ASA2117222015INDONESIAN.pdf
  4. https://anugerahperkasa.wordpress.com/2013/07/21/menemui-filep-karma
  5. https://bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/11/151119_indonesia_papua_filep_karma_bebas
  6. https://jubi.id/polhukam/2022/filep-karma-ditemukan-tak-bernyawa-di-pantai-base-g/

7. https://youtu.be/4cHxQI1-1fM?si=kUwoEPLLgGsb9X-j

Biodata Penulis

Anan Mujahid adalah aktif Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sorong juga sebagai Anggota LPM Honai