Penulis : Syafira Damayanti
Objektif.id, Kendari – Self-love atau mencintai diri sendiri adalah aspek penting dari kesehatan mental. Dengan mencintai dan menerima segala kelebihan serta kekurangan yang ada pada diri sendiri, maka akan lebih mudah bagi seseorang untuk mengelola emosi yang muncul, termasuk ketika merasa sedih, kecewa dan marah.
Frustasi, depresi atau bahkan trauma seakan menjadi hal yang wajar bahkan lumrah untuk kita temui saat ini. Boleh dikatakan 7 dari 10 orang akan mengalami gejala-gejala depresi dan trauma. Disadri atau tidak, frustasi, depresi dan trauma bisa menjadi hal yang mematikan, bukan hanya pada mental yang tersiksa tetapi juga bagian fisiknya.
Dilansir dari data Kemenkes RI, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi akibat tidak mencintai dirinya. Dalam hal ini melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri seperti, memakai narkoba, mengkonsumsi minuman keras dan lain sebagainya.
Selain itu, berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016, diperoleh data bunuh diri pertahun sebanyak 1.800 orang atau setiap hari ada 5 orang melakukan bunuh diri, serta 47,7% korban bunuh diri adalah pada usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Dr. Celestinus Eigya Munthe menjelaskan masalah kesehatan jiwa di Indonesia terkait dengan masalah tingginya prevalensi orang dengan gangguan jiwa. Untuk saat ini Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk, artinya sekitar 20% populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa.
Namun demikian, masih banyak masyarakat kita belum sadar betapa pentingnya perawatan mental untuk tetap dalam keadaan yang prima. Banyak yang sering menganggap remeh hal-hal semacam ini.
Mindset mengenai pengobatan dan pemulihan jiwa hanya untuk orang-orang gila, masih begitu melekat di masyarakat kita. Labeling negatif semacam ini memebuat masyarakat lebih memilih untuk diam dan memendam penderitaan mereka daripada harus mendapat label ‘gila’ dari lingkungan disekitarnya.
Di titik ini, masyarakat harusnya sadar bahwa setiap jiwa dan mental suatu saat pasti membutuhkan servis. Kita harus menyadari juga bahwa track yang dilalui dalam hidup tak selalunya mulus, banyak terjalan yang membuat jiwa merasa payah dan terkuras sehingga perlu untuk diservis. Kadang bukan hanya payah, dalam perjalanan jiwa kita juga sering tekena toxin shingga membutuhkan yang namnya detox.
Fakta ini disadari oleh imam ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, beliau mengakui bahwa tidak ada satupun jiwa yang tidak terserang oleh toxin. Dari sini, harusnya kita sadar bahwa detoksifikasi penyakit mental bukanlah hal yang boleh kita abaikan.
Pertanyaan-pertanyaan yang sering kita dengar, bagaimana mungkin kita bisa merasa bahagia jika rasa nyaman saja belum ada? Bagaimana kita bisa meraskan kedamaian jiwa kita jika terus saja kita masih merasa terganggu? Jika memang terganggu, apa yang mengganggu? Lantas bagaimana cara kita mengatasinya?
Semua pertanyaan ini bermuara pada satu hal, bahwa kita mau bahagia, Kita semua menginginknnya. Anda mau bahagia, dia mau bahagia, mereka mau bahagia, begitupun diri saya, saya juga mau bahagia.
Filsuf Yunani kuno, Aristoteles mengakui hal serupa. Menurut faham yang dianutnya, juga dua pendahulunya yakni Plato dan Socrates, mereka mengatakan bahwa kebahagiaan merupakan cita-cita dan hal paling mendasar yang memotifasi setiap tindakan manusia. Jadi, diakui atau tidak, segala hal yang kita lakukan sebenarnya bermuara pada keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan.
Lantas mengapa tindakan setiap orang berbeda bahkan kadang bertolak belakang satu sama lain? Karena nilai yang diyakini setiap orang sebagai indikator kebahagiaan itu berbeda-beda.
Beberapa orang menafsiri bahagia adalah kaya raya. Dan jika kita mau jujur, sebenarnya tafsir semacam ini merupakan tafsir yang keliru. Pasalnya orang yang memiliki mindset semacam ini tentu saja akan berusaha mati-matian untuk mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Padahal, setelah kaya apakah dia serta merta menemukan kebahagiaan? Belum tentu. Kebanyakan justru tidak, Ada kebanyakan yang malah semakin bingung bagaimana harus menjaga hatanya, merasa hidupnya tidak nyaman, merasa apa yang dimiliki belum cukup dan memuaskan.
Kita tidak bisa lagi mengingkari bahwa penafsiran yang keliru tentang kebahagiaan hanya akan membawa kita pada perasaan yang lebih carut-marut. Bukannya damai, kita justru merasa lebih tertekan.
Yang jadi pertanyaan, jika semua yang kita yakini tentang kebahagiaan selama ini merupakan hal yang salah, lalu apa sebenarnya kebahagiaan itu?
Bahagia adalah pilihan tinggal kita mau menganggapinya atau tidak, Tinggal kita mau mengusahakannya atau tidak. Hasil yang membahagiakan ada pada pilihan dan tindakan kita.
Disisi lain, meski kebahagiaan adalah jenis dari keadaan dan aktifitas batin serta jiwa, yang muncul secara implusif dan diluar kendali. Namun kebahagiaan adalah sebuah aktifitas batin yang bisa kita pelajari untuk dikendalikan. Kita bisa mengajari hati dan jiwa kita untuk bahagia.
Cara mencintai diri sendiri :
1. Belajar memahami diri
Tahap pertama menerapkan self-love adalah belajar mengenal diri sendiri. Cobalah berkomunikasi dan berdamai dengan diri. Temukan berbagai jawaban yang mengganjal, seperti apa yang ingin dicapai, apa ketakutan terbesar, dan apa kekuatan yang dimiliki.
2. Tidak membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Setiap individu itu unik, memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kita tidak perlu bersifat kompetitif dan membandingkan diri dengan orang lain, apalagi dalam hal bersosialisasi. Jangan lupakan satu hal, bahwa tidak ada satu manusia pun yang sempurna.
3. Mengenali rasa takut
Setiap orang pasti memiliki ketakutan. Alih-alih menghindarinya, sebaiknya kita mencoba berdamai dengan rasa takut tersebut. Untuk mengatasinya, kita bisa mulai mengevaluasi penyebabnya, dan kemudian carilah solusi agar ketakutan tidak menjadi beban dalam hidup.
4. berani mengambil keputusan.
Pernah merasa ragu saat dihadapkan dengan kondisi harus mengambil keputusan? Saat kita mencintai diri sendiri, tentu akan lebih paham mengenai apa yang terbaik untuk diri. Hal ini akan mendorong kita lebih berani mengambil keputusan apa pun resikonya.
Kelima, ingatlah bahwa tidak ada manusia sempurna. Saat berbuat kesalahan, kita tidak perlu merasa insecure dan menyalahkan diri sendiri terus-menerus. Ingat bahwa kesempurnaan hanya milik Tuhan. Kesalahan yang dilakukan bisa dijadikan pengalaman dan pelajaran untuk tumbuh menjadi individu yang lebih baik lagi.
6. Pergaulan
Bergaul dengan orang-orang berpikiran positif. Akan sulit bagi kebanyakan orang menerapkan self-love kalau berada di antara orang-orang toxic. Oleh sebab itu, carilah lingkungan pergaulan yang dipenuhi orang-orang berpikiran positif. Ingat, lingkungan memiliki pengaruh besar dalam membangun kepribadian seseorang.
Bahagia adalah pilihan, tinggal kita mau menganggapinya atau tidak. Tinggal kita mau mengusahakannya atau tidak. Hasil yang membahagiakan ada pada pilihan dan tindakan kita. Disisi lain, meski kebahagiaan adalah jenis dari keadaan dan aktifitas batin serta jiwa, yang muncul secara implusif dan diluar kendali. Namun kebahagiaan adalah sebuah aktifitas batin yang bisa kita pelajari untuk dikendalikan. Kita bisa mengajari hati dan jiwa kita untuk bahagia.
Penulis adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari, Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (Fatik), anggota aktif UKM-Pers IAIN Kendari dan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Ibnu Rusyd.