Adinda Kesayangan

Semua mahkluk, yang hidup-mati, baru-lama, mereka memanggilnya Sonyior. Dia akan marah bila tidak dipanggil Sonyior. Tapi kadangkala orang berbicara sendiri dalam hatinya, “kalau dia marah dipanggil lain, sekalian saja kita panggil dia Tuhan.”

Diwaktu mudanya, Sonyior pernah tergabung dalam organisasi kemahasiswaan politik dan organisasi pemberitaan. Oh, tentu dimasa itu dia masuk dalam deretan tokoh-tokoh mahasiswa paling gacor di kampusnya.

Berbekal dengan pengalaman yang dia dapatkan, Sonyior menjadi piawai untuk mengakrabkan diri pada perempuan. Kelincahannya dalam menguasai lorong-lorong asrama putri, membuat dirinya dinobatkan sebagai bapak kos pemberdayaan perempuan.

Karena kehebatannya itu, Sonyior beruntung menikah dengan seorang janda muda, anak satu, usia anaknya berusia 5 Tahun.

“Lihat! Sonyior diberkati Tuhan, beli satu gratis satu,” ucap teman-teman Sonyior yang sedang seru menonton video meme, salah seorang kandidat kepala kampung yang mengatakan akan mempercepat kemiskinan ketika terpilih menjadi pemimpin.

Menjelang 21 Tahun umur pernikahan Sonyior, istrinya pulang terlebih dahulu menghadap sang Illahi. Waktu yang cukup panjang diantara mereka berdua dalam memadu kasih.

Tapi dalam benak Sonyior, berusaha menguatkan dirinya, “Tuhan lebih sayang istrinya. Kepergiannya tidak kemudian membuat harapan Sonyior hilang. Dia tahu bahwa hidup harus tetap dijalani ke depan.”

Kemudian dalam hatinya bergumam, “bahwa kehilangan istri dengan seluk beluk kisahnya selama 21 Tahun tidak terlalu sakit, ketika dibandingkan dengan usia 21 Tahun reformasi yang disabotase oleh pejabat publik, dengan cara melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baik dari dalam internal struktural maupun secara moralitas kelembagaan.”

Sejak kepergian istrinya, perhatiannya kini tertuju pada anak satu-satunya, yang secara gratis dia peroleh sewaktu meminang istrinya dahulu.

Saat anaknya itu berusia 5 Tahun, dia belum mempunyai nama. Sonyior waktu itu sempat berpikir ingin menamainya Binahong, nama seorang Raja pada dinasti Teataru, yang bertahta sejak 586-465 Masehi.

Namun dirinya khawatir nama itu akan disalahgunakan oleh anaknya. Sonyior sadar betul, bahwa di Negerinya, setiap orang yang memakai nama-nama Raja dan tidak berperilaku baik maka akan membuat kegaduhan, dengan tuduhan yang bersifat diskriminasi.

Katanya, di Negeri Sonyior, mereka yang melabeli dirinya dengan nama-nama Raja tidak boleh merusak marwah baik yang ada pada nama-nama itu. Jika pengguna nama-nama Raja berbuat tidak baik maka itu dia anggap sebagai penghinaan suku terhadap keturunan para Raja.

Dengan kerisauan itu, akhirnya Sonyior batal mengenakan nama Raja pada anaknya. Karena itu batal, digantinya nama anaknya menjadi Mulyono, yang dia dapati dalam mimpinya sewaktu berziarah ke kubur istrinya. Pikirnya, nama itu cocok untuk anaknya, sepertinya itu pemberian dari istrinya.

“Tapi, di masa yang silam nama itu bagaikan momok yang menakutkan. Pernah terjadi pada seorang anak, saat dinamai Mulyono, dia sering sakit-sakit. Apa kau tak takut jika anakmu menggunakan nama itu?” Ucap ketua perdukunan di kampung Sonyior.

“Karena sering sakit-sakit, anak itu diberi nama baru, yaitu kodowi. Ampuh! Selain sakitnya hilang nama itu juga yang akan menguasai Negerinya selama 1 dekade, dengan ragam dinamika sosialnya,” ungkap dukun itu, berusaha meyakinkan Sonyior untuk tidak memakai nama Mulyono pada anaknya.

Setelah merasa bahwa nama yang dia pikirkan nantinya akan berdampak buruk pada anaknya. Dia memutuskan untuk ke pasar bunga. Barang kali muncul inspirasi dalam kepalanya untuk memberikan nama yang tepat kepada anaknya.

Sesampainya di pasar bunga, dan memasuki salah satu toko bunga kembang. Di dalam toko itu, Sonyior memperhatikan semua karyawan yang ada. Yang masing-masing dibaju karyawan tertera nama mereka. Diantaranya, Nira, Makus, Marah, Vano, Memoy, Kenni, Hidawa, Haris, dan terakhir Adede. Dari sekian nama-nama itu, Sonyior hanya tertarik pada sosok Adede, yang sejak Sonyior memasuki toko bunga sampai bergegas meninggalkan toko itu hanya Adede yang begitu aktif merapikan bunga-bunga yang berserakan sekaligus menyiapkan semua orderan yang akan diantar kepada konsumen.

Akibat dari keseriusan serta tanggung jawabnya dalam bekerja, Sonyior merasa terpana dengan Sikap Adede. Sebelum meninggalkan toko bunga, Sonyior menghampiri Adede yang masih sibuk menyusun bunga, kemudian bertanya kepada Adede, “kamu kenapa semangat sekali bekerja? Semua dikerjakan oleh kamu, padahal disini karyawannya bukan cuma kamu,” kata Sonyior dengan tatapan mengagumkan pada Adede.

“Dari dulu, orang tua saya keras mengajarkan untuk tidak lupa diri terhadap tanggung jawab yang diberikan,” ujar Adede sambil senyum.

“Karyawan disini memang bukan cuma saya. Tapi, kalau mau tunggu rasa malas teman-teman hilang, dan sementara dilain sisi mereka tidak berusaha keras merubah diri, kalau seperti itu maka toko ini tidak akan berkembang. Olehnya itu saya bergerak sendiri. Selain dari orang tua, saya juga belajar pada literatur yang ada. Pengembaraan terhadap literatur, membawa saya pada kalimat Tan Malaka, yang mengatakan begini: Disiplin itu nyawanya gerakan, Hanya mengaku setuju pada program itu bukan disiplin. Apalagi hanya hapal program. Program itu dijalankan dengan aksi, aksi, dan aksi,” kata Adede sembari mengeraskan suara agar didengar oleh teman-temannya.

“Semuanya menawan, tapi buat apa kalau hanya sekadar tampan dan cantik diparas? Teman-teman Adede, Pemalas! Apa itu yang mau dibanggakan, yang katanya sebagai generasi emas? Dasar Tolol,” desis Sonyior saat melangkah keluar dari toko bunga.

Dengan hati yang mantap, Sonyior menjadikan sikap Adede sebagai sosok yang kelak bisa terpatri pada anaknya. Sebenarnya dia ingin menamai anaknya Adede, tapi Sonyior berpikir kalau nama Adede terlalu kampungan untuk anaknya yang nanti akan ke Kota melanjutkan Jenjang Pendidikannya di perguruan tinggi. Akhirnya Sonyior merevisi nama Adede menjadi Adinda. Ya, Adinda untuk nama anaknya.

Merawat Adinda dengan penuh kasih sayang, Sonyior menunggu dengan hati yang cukup sabar. Kelak angan-angannya pasti menjadi kenyataannya. Sonyior yakin dengan nama itu, semoga Adinda bisa mengadopsi sikap yang ada pada Adede, dan pada diri Sonyior, yang dulunya pernah aktif sebagai aktivis jurnalis mahasiswa yang tajam dan kritis.

Sonyior merasa sangat bahagia, dia mengambil selembar kertas menambahkan kata jurnalis dibelakang nama Adinda. Sonyior membayangkan nama anaknya menjadi Adinda Jurnalis.

Sonyior yakinkan cita-citanya pada semua tetangganya, bahwa itu akan tercapai.

“Aku turut berduka jika kabar kemiskinan kalian tidak terkabarkan kepada masyarakat luas, terkhusus kepada pemerintah. Andai Adinda telah jadi jurnalis, kehidupan miskin kalian pasti akan mendapat perhatian lewat tulisannya,” kata Sonyior bangga.

Dan kalau Sonyior mengetahui telah terjadi kekerasan seksual pada tetangganya kemudian tidak mendapat perhatian publik, dia akan berkata, “sungguh malang nasib mereka, coba kalau Adinda sudah jadi jurnalis, pasti kasus anak itu akan sampai kepada Presiden.”

Sejak Adinda berangkat ke Kota Kunduru, Sonyior bertambah yakin, bahwa dari hari ke hari, bulan ke bulan, hingga tahun ke tahun, Adinda akan meraih apa yang selama ini Sonyior cita-citakan.

Terbukti, bahwa Adinda setiap tahun mengirimkan Sonyior Kartu Hasil Studi (KHS) jurusan jurnalistiknya, dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang baik. Terlebih lagi adinda mengikuti jejak Sonyior memasuki organisasi sewaktu dia mahasiswa dulu.

Waktu Sonyior membaca pesan-pesan Adinda yang menceritakan perkembangannya, Sonyior terharu gembira. “Saya akan bangga padamu, cita-cita yang ku dambakan akan Adinda laksanakan. Memang, kau harus jadi jurnalis. Kau akan rasakan kerja-kerja kemanusiaan itu. Orang akan lebih butuh pertolonganmu. Dan kau akan disegani.”

Semenjak hari itu, Sonyior kurang punya kesabaran oleh waktu yang tak kunjung tiba menjadikan Adinda sebagai seorang jurnalis. Tapi semua orang tahu bahwa cita-cita sonyior hanya menjadi mimpi belaka.

Orang-orang bingung bagaimana harus mengatakan agar Sonyior percaya. Sonyior justru memusuhi orang yang menjelekkan Adinda. Sonyior beranggapan kalau orang-orang itu hanya iri saja dengan kemajuan yang dicapai anaknya.

Tanpa pikir panjang, Sonyior terus-menerus memanjakan Adinda. Segala macam bentuk dia upayakan demi proses belajar Adinda.

“Cepatlah pulang dan bawa pengalaman jurnalismu, biar kau tampar mereka lewat tulisan-tulisan yang kau buat,” tulisnya pada pesan yang akan dia kirimkan.

Dengan begitu, orang-orang kasihan pada Sonyior. Akhirnya semua orang tak berbicara yang sungguh-sungguh benar lagi. Mereka justru memuja-muji Adinda yang katanya serius ingin menjadi jurnalis.

“Anak Sonyior itu, persis seperti bapaknya dulu waktu jadi mahasiswa. Kalau tidak ada kuliah, dia ke kantor jurnalis mahasiswanya. Kata teman-temannya, Adinda masuk divisi Layout, Audiovisual, sekaligus Reporter. Diantara ke tiganya tidak ada yang dia geluti serius,” ungkap seorang warga yang anaknya berteman dengan Adinda.

Sonyior merasa tersinggung mendengar perkataan itu, “kalau kamu tidak liat langsung apa yang dilakukan Adinda, tidak perlu sok tahu.”

Pada warga yang lain terjadi percakapan pelan, “kalau Adinda hanya sekadar masuk organisasi, pasang nama. Itu namanya cuma numpang tenar. Kalau seperti itu, apa bedanya Adinda dengan tehel, debu, dan benda-benda mati yang ada dikantor jurnalistiknya,” ucap mereka menahan tawa, takut didengar Sonyior.

Setiap orang yang memuji Adinda, pasti diberi apresiasi yang tinggi oleh Sonyior.

“Anakmu anak yang baik, dia pasti berhasil. Kamu akan bangga Sonyior. Seluruh Kota Kunduru, mengenal dirinya, Semua laki-laki berharap diterima cintanya oleh Adinda,” kata warga yang baru pulang dari Kota.

Sonyior dengan bangga berkata, “bukan main, begitu hebat rupanya putriku. Dia berhasil lebih maju dariku. Haa haha ahee. Dia memang cantik seperti ibunya, siapa yang tidak inginkan dia. Datanglah kau ke rumah, kita potong ayam untuk mosonggi.”

Kemudian kalau Sonyior ketemu pria-pria pengangguran dikampungnya, dia akan mengatakan,”kau kenal Adinda? Nanti aku kenalkan kalian kepada dia, biar masalah pengangguran masuk dalam agenda-agenda peliputannya.”

Para pria itu mukanya merah, merasa marah. Namun bagi Sonyior muka merah itu karena tersipu malu, bangga, akan dikenalkan oleh anaknya.

Ketika Sonyior tahu kalau anak Ketua kampung ingin menikah. Sonyior merasa bahwa Adinda juga sudah harus dia pikirkan pada siapa akan dipasangkan. Tapi Sonyior akan membenci kepada setiap warga yang memiliki anak tampan yang tidak mempedulikan Adinda.

Namun kepada Adinda, Sonyior tak menunjukkan marah. Dia mengatakan manja, “banyak pria yang datang, semua tertolak. Saya yakin pada dirimu Adinda, kau tentu lebih mementingkan proses belajarmu dibanding persoalan laki-laki. Kau akan jadi orang hebat. Pilih saja laki-laki dari Kota. Laki-laki yang sesuai dengan kau,” tutup pesan Sonyior.

Jika dulu Adinda yang berbohong, Sonyior yang percaya. Masa kini, Sonyior yang menipu, Adinda yang percaya.

Untuk membuktikan kebenaran pesannya kepada Adinda, Sonyior kirimkan semua koleksi foto laki-laki yang ada padanya. Sonyior terus menerus mengirim foto, baik yang sudah menikah atau belum. Sonyior berharap semoga anaknya tidak tertarik terhadap foto-foto itu.

Sonyior merasa khawatir kepalsuan sandiwaranya berakhir pada suatu waktu. Adinda, lama-lama pasti tahu, dan tentu itu akan memunculkan masalah baru.

Berkenaan dengan foto terakhir yang Sonyior kirimkan pada Adinda, bertepatan pula kabar dari Adinda tak pernah datang lagi. Lesuh dan gelisah Sonyior menanti kabar anaknya. Tak langsung menyerah Sonyior masih terus mengirimi Adinda pesan. Dikirimnya, ditunggunya. Tak terbalas juga. Bulan datang dan pergi, Sonyior terus menunggu.

Suatu hari yang tidak berpihak pada Sonyior. Datang warga yang baru pulang dari kota dengan membawa kabar bahwa pesan-pesannya tak pernah tersampaikan. Betapa remuk dan hancur perasaan sonyior. Dia tak percaya dengan hal itu. Sonyior berusaha untuk tak menyakini apa yang dia dapati. Dipaksanya dirinya untuk menganggap semua itu hanya mimpi.

Segalanya menjadi tidak baik sejak saat itu. Hanya satu orang yang Sonyior inginkan, kabar dari Adinda. Seakan semuanya telah berakhir. Hidupnya tak bergairah lagi. Tiba-tiba Sonyior ingat asal-usul nama Adinda. Harapannya dulu, bahwa Adinda harus menjadi seperti Adede yang tekun dan bertanggung jawab, dan seperti dirinya yang jadi aktivis mahasiswa yang tajam dan kritis.

Sabar menunggu dari hari ke hari, tiba masa dimana kabar tentang adinda sampai pada Sonyior. Langkah pelan dari seorang warga yang nampak memasuki halaman rumah Sonyior dengan map kuning ditangan.

Sonyior yang lumpuh sejak tak pernah mendapat kabar dari Adinda. Tiba-tiba bangkit mendatangi warga itu. Dengan tubuhnya yang kusut tak berdaya, dia bersandar pada kursi dan menyuruh warga itu membacakan pesan yang dia bawa.

Hening sementara, warga itu kemudian membacakan pesan untuk Sonyior: “diawal memasuki kampus sampai bergabung pada organisasi jurnalis kemahasiswaan. Adinda begitu sangat disayangi oleh semua orang, bahkan semua panggung proses diberikan padanya. Semua itu dilakukan dengan maksud, agar Adinda lebih giat lagi menempa dirinya untuk mewujudkan cita-cita Sonyior. Tiba suatu masa, dimana Adinda……,” tak selesai pesan itu dibacakan warga, Sonyior memerintahkan untuk tidak meneruskan pesan itu.

“Tak akan sanggup saya mendengarnya. Saya akan mati lemas oleh kebahagiaan yang ada dalam pesan itu. Tunggu sampai tubuhku sehat, baru kau datang lagi untuk bacakan pesan itu,” ucap Sonyior yang suaranya kembali membara seperti waktu awal dia membangga-banggakan Adinda.

Sepanjang jalan, saat warga itu pulang. Dia tetap melanjutkan membaca isi pesan. Isi pesan itu sebagai berikut: “tiba suatu masa, dimana Adinda selalu merasa bisa, tapi sejatinya dia tidak pernah bisa merasa. Semua tanggung jawab yang diberikan tidak pernah serius dia kerjakan. Memang tetap ada yang menormalisasi sikapnya, muncul sebagai pahlawan. Tapi dengan sikap Adinda yang seperti itu, ternyata dia tidak ada bedanya dengan teman-teman Adede yang dulu pernah diberi umpatan buruk oleh Sonyior. Kalau Adinda merasa belajar seharusnya ada progres. Tapi itulah dia, selalu merasa bisa, tapi tidak bisa merasa. Meskipun demikian, secara otomatis seleksi alam akan berlaku, disetiap zaman, pada setiap orang. Adinda tidak cukup sabar menangkap maksud dari pesan belajar yang diberikan. Terlalu manja, apalagi ketika ada yang muncul sebagai pahlawannya. Dengan sadar, tidak akan ada penyesalan dengan kepergian. Waktu terlalu singkat untuk memikirkan itu. Jika Adinda hanya menginginkan kenyamanan saja, lebih baik Adinda tidak usah hidup. Untuk Sonyior yang terhormat, tolong jangan takut kehilang Adinda. Kalau kehilangan Adinda, kita masih dapat Adinda-Adinda yang lain. Justru takutlah kalau kehilangan ide, karena kalau itu yang hilang kita akan punah sebagai sebuah peradaban. Atau…..”

Tidak selesai pesan itu dibacakan, si warga menutupnya dan mengatakan, “nanti saja saya lanjutkan. Nanti kalau Sonyior sudah sehat. Padahal masih ada bagian cerita-cerita Adinda tentang kelupaannya pada suatu hal,” ucap warga sembari membuang ludah, Kemudian melanjutkan perjalanan pulangnya.

Kendari, Minggu 03 November 2024

Penulis: Hajar
Editor: Tim redaksi

Si Busuk Mulut

Terhitung 10 tahun, Arga Sanda Uyung, sapaan akrabnya Asyu, menjadi pengabdi di dalam perkumpulan pemuda yang bergerak dibidang distributor data publik. Sejak namanya tercatat secara resmi sebagai pengabdi, selama itu juga dia mulai atur sana-atur sini.

Awalnya, Asyu masih sering merasa bersalah. “Inalillahi, kenapa mesti saya atur mana data yang boleh keluar dan mana yang tidak boleh. Padahal semua itu sifatnya penyampaian kepada publik,” pikirnya waktu otaknya masih berfungsi dengan benar. Namun ditempat tongkrongannya yang lain, katanya kalau tidak pandai tekan sana-tekan sini itu dianggap aneh.

“Membatasinya harus lebih kuat lagi Syu,” ujar kawan-kawannya.

“Kamu harus bisa atur data yang akan keluar, apa lagi kalau itu data yang akan merusak citra anggota kita. Tidak apa-apa, kontrol saja narasi yang dibuat disitu. Kan proyek-proyek yang ada kamu kebagian juga. Jangan sok suci. Bahkan kerabatmu yang mau masuk ngajar kita bantu luluskan. Apalah artinya jika keberadaanmu didalam sana tidak bermanfaat buat geng. Apa kamu mau lupakan jasa yang diberikan kepada kamu?”

Karena pada dasarnya Asyu predator pragmatis, maka campur tangan makin lancar tanpa gentar. Asyu merasa sudah sepantasnya dia melakukan itu. Seperti tidak melakukan kesalahan apapun.

Kecanduan berbuat seperti itu, Asyu semakin lincah dan licin. Kemampuannya dalam mengendus informasi yang berpotensi merugikan kepentingan gengnya semakin meningkat. Penciuman Asyu, lebih tajam dari anjing.

Setiap agenda pengumpulan data dia bisa tahu, baik yang sementara didiskusikan ataupun yang sedang direncanakan. Dalam kerja-kerja inteligennya, sedalam apapun isu yang merugikan gengnya disembunyikan, dia pasti akan tahu. Ditambah koneksi mata-mata lain selain Asyu, yang dititipkan gengnya untuk membantu dirinya. Asyu cukup pandai berpura-pura, sekadar nimbrung di bengkel pengolahan data untuk mendapatkan informasi. Menunjukkan perhatian palsunya.

Dengan pengalamannya selama 5 tahun menjadi bagian dari distributor data publik, sekaligus penghambaannya pada geng begundalnya selama 15 tahun, Asyu jadi mahir betul menghentikan arus informasi yang akan merugikan gengnya.

Tentu saja Asyu mulai terkenal sebagai manusia dengan skil tingkat dewa melalui indera penciumannya yang begitu tajam melebihi seekor anjing. Selain itu, hartanya bertambah dari hasil bagi-bagi proyek.

Saban waktu, Asyu pernah ditanya oleh penjual buku keliling, “apakah harta bapak ini hasil dari usaha sampingan, selain dari gaji pekerjaan bapak? Dan bagaimana bapak menjamin bahwa tidak terjadi pembajakan data ketika itu akan dikeluarkan kepada publik?”

“Kalau harta ini hasil upaya-upaya mandiri, mas,” ungkapnya sambil mengorek upil. “Kemudian untuk distribusi datanya, saya selalu menyampaikan itu secara terbuka kepada publik karena itu hak mereka untuk mendapatkannya. Saya ini takut Tuhan mas, takut buat salah. Apakah mas masih ragu? Kalau dilihat dari penampilan, kurang religius apa lagi saya? Saya pakai peci pemberian Kiai, sarung yang saya pakai dibeli di Mekkah waktu berangkat Haji yang kesepuluh kali, bahkan baju saya bertulis besar, hamba Tuhan yang berani jujur itu hebat,” ujarnya sambil mengipas tubuhnya dengan Majalah Harian Tusuk yang bersampul siluet hidung panjang Presiden Jokrori.

Sejak saat itu, nafas mulutnya bertambah busuk. Walaupun Asyu belum merasakan apa-apa. Dia tidak merasakan sakit di mulutnya, lidahnya tidak gatal-gatal.

Dia baru tahu bau mulutnya dari perempuan yang sering dia kencani dan ajak telponan berjam-jam sebelum akhirnya malam membungkus mereka dalam gelap gulita yang menunggu fajar.

Bau mulut itu kemudian terungkap saat malam selanjutnya mereka bertemu untuk tidur di ranjang yang sama. Sebelum tidur, terjadi percakapan romantis. Sampai tiba pada pertemuan silahturahim dua bibir atas dan bawa diantara mereka berdua.

Tiba-tiba seperti ada bau dari alam lain yang menghantam hidung perempuan itu, lalu dia bertanya “Mulutmu kenapa busuk sekali, Asyu?”

Sambil menghembuskan nafasnya, Asyu bertanya.
“Mulutku? Ada apa dengan mulutku?”

“Baunya busuk, kamu habis ciuman dengan siapa Asyu?”

Sontak Asyu berdiri mengarah ke cermin. Sambil mengeluarkan uap mulutnya, dia membuka mulutnya untuk mengecek apakah ada sesuatu didalamnya. Memang seperti ada yang aneh tapi dia tidak tahu apa yang terjadi.

“Hubungi Dokter sekarang,” perintahnya.

Tanpa butuh waktu lama Dokter Sabluk datang dengan perlengkapan medisnya, secara serius dan sangat detail memperhatikan mulut pasiennya. Rupanya tidak terjadi apa-apa. “Dalamnya kelihatan normal Pak, paling bangun tidur nanti baunya sudah hilang. Mungkin Bapak terlalu banyak bicara. Nanti minum saja obat yang saya beri,” kata Sabluk sembari menutup hidungnya menahan bau mulut Asyu.

Selepas meminum obat, Asyu tertidur pulas. Sementara itu, saat Dokter Sabluk meninggalkan rumah, dengan nada menjengkelkan dia mengatakan “sumpah mulutnya busuk sekali,” geramnya.

Keesokan harinya begitu Asyu bangun dari tidurnya, dia merasa baunya semakin parah. Dia semakin panik. Dia cepat-cepat menuju ke kamar mandi untuk membasuh mulutnya, kemudian kembali menghembuskan nafasnya. Dia seakan tidak percaya. Tubuhnya gemetar. Gelisah dengan keadaan mulutnya yang baunya semakin busuk.

Begitu perempuan yang dia kencani juga terbangun, Asyu menutup rapat mulutnya. “Jangan dekati saya,” serunya, “Kamu yang buat mulutku bau, kamu yang sering mencium dan menggigit-gigit bibirku. Enyahlah perempuan jalang,” ucapnya sambil menjauhkan diri.

Dengan ratapan sedih, seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan Asyu. “Jangan berkata seperti itu Asyu, aku selalu menuruti semua permintaanmu.” pelan-pelan Asyu membuka mulutnya. Dan perempuan itu merasa bahwa mulut Asyu semakin parah.

Tunggu, nanti aku panggil lagi Dokter Sabluk,” kata perempuan itu. Tidak perlu! Dia hanya membohongiku. Omongan dan obat-obatnya hanya sekadar penenang belaka. Dasar pembohong. Panggil dokter yang lebih sakti!”

Di salah satu kampung yang agak jauh dari Kota, dijemputlah seorang Dokter sakti, ketika Dokter itu menemui Asyu di dalam kamar dia kaget mencium aroma tidak sedap yang menusuk tajam ke hidungnya.

“Tolong saya Pak, saya bingung dengan yang terjadi pada mulut saya. Padahal semua makanan yang masuk di dalamnya halal, saya selalu berkata jujur, melaksanakan pekerjaan dengan benar, apa yang terjadi dengan saya pak?” ucapnya dengan penuh belas kasih. Tidak lama setelah dia bicara seekor lalat telah mendarat di bibirnya.

“Lihat Pak! perhatikan mulut saya, sudah ada lalat yang hinggap di mulut saya, parah! jangan-jangan ada jin yang mengganggu saya,” teriaknya kalang kabut.

Setelah berteriak histeris, Dokter sakti itu kemudian mulai memeriksa dan memperlihatkan apa yang terjadi pada mulut Asyu.

“Bagaimana, Pak, apa yang terjadi?”

Dokter itu masih tajam memperhatikan

“Apakah bisa sembuh, Pak?

Diam sejenak, Dokter itu dengan dingin mulai menjawab.

“Pernah dengar tentang salah seorang warga PKM yang bau mulutnya?”

“Tidak, kenapa dengan itu Pak?”

“Masa biar cerita itu tidak tahu! Percuma banyak uang kalau miskin pengetahuan.”

“Apa hubungannya dengan pengetahuan? Kalau mau kaya harus sibuk bekerja cari uang, apa gunanya membaca atau mencari tahu sesuatu? Lebih baik saya cari uang Pak.”

“Kalau kamu pernah baca cerita rakyat itu, Pasti kamu akan mendapat pelajaran berharga dari cerita tersebut. Dalam cerita itu, sangat jelas diceritakan bahwa yang ucapannya tidak selaras dengan tindakannya, mulutnya akan memunculkan aroma busuk. Semakin munafik ucapannya, maka semakin busuk mulutnya.”

“Terus hubungannya dengan saya, sama cerita itu apa?”

“Coba dipikir ulang, kamu pernah bohong atau tidak?

Asyu terpaku membisu. Mukanya pucat. Dan masih asyik, seekor lalat tadi nimbrung di bibirnya.

“Itu cuma cerita rakyat, Pak.”

“Tapi itu justru terbukti terjadi kepada kamu, Asyu.”

“Padahal saya tidak pernah bohong, saya selalu turuti arahan yang diberikan. Bahkan…..” Tidak sempat selesai bicaranya, satu lalat datang lagi menempel. Ikonik! Dua lalat bercengkrama mesra di bibir Asyu.

Karena Dokter sakti itu tidak bisa menyembuhkan bau mulut Asyu. Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan perawatan dengan mengonsumsi ramuan dari alam, sebagaimana yang dia dapatkan melalui mimpinya.

Setelah perawatan yang panjang, Asyu kembali beraktivitas seperti biasa. Apa lagi dia akan menjadi narasumber pada kegiatan seminar penyampaian informasi publik secara jujur.

Saat dia memasuki ruangan tempat kegiatan diselenggarakan, para peserta seminar menatapnya tajam ketika dia mulai menyapa hadirin yang ada pada kegiatan itu.

“Nafasnya sudah tidak bau.” Salah seorang peserta berbicara pelan.

Asyu pun, mulai menyampaikan materinya dengan kata-kata yang begitu indah terangkai rapi. Semua bicaranya adalah kalimat panjang basa basi busuknya. Kata-kata mutiaranya berhamburan dimana-mana. Sampai-sampai yang mendengarnya mabuk dibuatnya.

“Sodara-sodari seperjuangan, upaya panjang dalam mengawal penyampaian informasi publik akan terus menggelora berpihak pada kebenaran. Tidak ada pembajakan informasi, bahwa jika salah tentu mesti lantang kita ucapkan kalau itu salah, dan jika itu sebuah kebenaran maka sampaikan sebagaimana mestinya.” Orasinya yang sangat membara.

Asyu mengepalkan tangan kemudian berteriak, “hidup Asyu, panjang umur untuk perjuangan kita semua.” Dia merasa apa yang dia lakukan semua adalah benar, orang hanya sentimen saja kepada dirinya. Ditengah teriakan pujian para peserta yang berhasil termakan racun rayuan Asyu, terlihat seorang jurnalis yang sedang mengambil dokumentasi, kaget melihat apa yang ada pada mulut Asyu.

Setelah dia selesai menutup penyampaian materinya yang menggelegar. Ya, mulut Asyu tiba-tiba dikelilingi oleh kerumunan lalat rakus yang senang dengan bau busuk.

Luar biasa! Itulah Asyu, dengan kelunturan mulutnya yang mampu menyembunyikan baunya dari manusia, tapi tidak terhadap alam. Lihatlah! Asyu, selalu paling merasa bisa, tapi tidak bisa merasa.

Kendari, 28 Oktober 2024.

Penulis: Hajar86
Editor: Tim redaksi

Kenangan di Kampus Biru

Di sebuah kampus yang terletak di pinggiran kota, ada banyak gedung-gedung megah berwarna biru yang menjadi simbol kebanggaan para mahasiswanya. Kampus ini bukan hanya tempat untuk belajar, tetapi juga menjadi saksi bisu perjalanan hidup banyak orang. Di sinilah cerita tentang dimulai.

Siti adalah seorang mahasiswa baru yang penuh semangat. Di hari pertama kuliah, ia merasa malu dan sedikit takut. Saat memasuki aula besar untuk perkenalan, pandangannya tertuju pada seorang pemuda bernama Joan. Joan adalah seorang kakak senior yang terkenal ramah dan selalu membantu mahasiswa baru. Siti pun terpesona dengan senyumnya yang hangat.

Setelah acara perkenalan, Siti memberanikan diri untuk mendekati Joan dan bertanya tentang kegiatan di kampus. Joan pun dengan sabar menjelaskan berbagai organisasi dan acara yang ada. Dan dari situlah, mereka mulai sering bertemu dan berbagi cerita serta pengalaman.

Seiring berjalannya waktu, Siti dan Joan semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama di perpustakaan, belajar, hingga mengikuti berbagai kegiatan kampus. Siti merasa nyaman dengan Joan, seolah-olah mereka sudah berteman sejak lama.

Suatu saat di siang hari, mereka duduk di taman kampus sambil menikmati angin yang sepoi-sepoi, Joan mengungkapkan harapannya untuk mengikuti kompetisi debat tingkat nasional. Siti pun mendukungnya dan berjanji akan membantunya berlatih.

Namun, tidak semua berjalan mulus. Joan mengalami kesulitan dalam persiapan kompetisi karena tekanan dari berbagai pihak. Ia merasa putus asa dan hampir menyerah. Melihat sahabatnya dalam keadaan seperti itu, Siti pun berusaha memberikan semangat.

“Joan, ingatlah mengapa kamu memulai ini. Kamu memiliki bakat luar biasa! Ayo kita latih bersama,” kata Siti dengan penuh keyakinan. Dari situ, mereka mulai berlatih lebih intensif. Siti membantu Joan merumuskan argumen dan mengasah keterampilan berbicaranya. Dengan kerja keras dan dukungan satu sama lain, mereka berhasil melewati masa-masa sulit tersebut.

Hari kompetisi pun tiba. Siti mendampingi Joan ke lokasi dengan penuh harapan. Saat giliran Joan untuk tampil, jantung Siti berdegup kencang. Namun, saat Joan mulai berbicara, semua rasa cemas itu sirna. Ia tampil percaya diri dan berhasil memukau juri dengan penampilannya.

Ketika pengumuman pemenang diumumkan, Siti tidak bisa menahan air mata bahagia saat nama Joan disebut sebagai juara pertama. Mereka berpelukan di tengah sorakan teman-teman lainnya.

Setelah kompetisi itu, hubungan Siti dan Joan semakin erat. Mereka terus bersama dan saling mendukung, melewati suka duka kehidupan kampus hingga akhirnya lulus dengan prestasi gemilang. Momen-momen indah di kampus biru itu akan selalu dikenang sebagai bagian terpenting dalam hidup mereka.

Siti menyadari bahwa kampus bukan hanya tempat untuk belajar ilmu pengetahuan, tetapi juga tempat untuk membangun persahabatan sejati dan menghadapi tantangan hidup bersama orang-orang yang kita cintai.

Kampus biru itu kini menjadi lebih dari sekadar gedung-gedung megah, baginya itu adalah rumah dimana kenangan indah yang akan selalu tersimpan dalam hati Siti dan Joan selamanya. Setiap sudut kampus menyimpan cerita-cerita yang tak terlupakan tempat di mana mimpi dimulai dan persahabatan terjalin erat.

Penulis : ysna

Puisi: Perjalanan Menembus Waktu

Objektif.id –

Di perjalanan menembus waktu yang tak terhingga,
Berjalan melalui lorong-lorong kenangan yang sunyi.
Mengingat masa lalu yang kini jauh terpisah,
Di antara detik-detik yang terus berlalu tanpa henti.

Di sela-sela kabut waktu yang menyelimuti langit,
Merenung tentang kehidupan yang telah terlewati.
Bagaikan melintasi sungai-sungai yang mengalir deras,
Perjalanan ini mengajarkan arti sejati tentang kehidupan.

Di balik senyum yang terukir di wajah yang semakin pudar,
Tersembunyi cerita-cerita pilu yang tak terucapkan.
Hati yang rapuh terasa hampa oleh kekosongan waktu,
Menghadapi kenyataan akan perubahan yang tak terhindarkan.

Di bawah cahaya remang yang redup di senja yang meredup,
Merenung tentang arti keberadaan dan tujuan hidup.
Pada setiap helaian waktu yang terus berputar tanpa henti,
Kita mencari makna dari setiap detik yang kita jalani.

Di sudut-sudut hati yang terluka oleh kenangan yang menghantui,
Menemukan kekuatan untuk melangkah ke depan.
Meski waktu terus berubah dan mengikis jejak-jejak,
Namun keberanian untuk terus melangkah tetap menggelora.

Di tengah gemuruh waktu yang menggemparkan jiwa yang rapuh,
Mencari ketenangan dalam pelukan waktu yang tak terbatas.
Menggenggam erat harapan dan impian di tengah badai yang mendera,
Menyadari bahwa perjalanan ini adalah bagian dari takdir kita.

Di ujung perjalanan menembus waktu yang tak terduga,
Menemukan kebenaran tentang arti sejati dari kehidupan.
Meski air mata mengalir deras mengiringi langkah-langkah,
Namun, keberanian untuk terus berjalan tetap membakar semangat kita.

Di tengah hening malam yang sunyi dan penuh dengan kerinduan,
Kita merenung tentang keberanian untuk melangkah ke depan.
Meski waktu terus berputar tanpa henti, kita tetap tegar,
Menembus waktu dengan keyakinan bahwa setiap detik berharga.

 

Penulis: Rachma Alya Ramadhan
Editor: Andi Tendri

Puisi: Ketetapan Kenaikan UKT, Suara Mahasiswa Yang Terpinggirkan

Objektif.id

Di kampus yang sejuta harapan,
Mahasiswa terpinggirkan, suara terlupakan.
Tetapi, mereka berteriak suara terdengar jelas,
Menentang ketetapan kenaikan UKT yang tidak adil.

Mereka adalah pelajar yang gigih,
Bekerja keras untuk masa depan mereka sendiri.
Namun, biaya pendidikan terus meningkat,
Mereka merasa terpinggirkan, suara mereka ditekan.

Suara mahasiswa terpinggirkan berkata,
“Kita tidak mampu lagi, kita putus asa.”
Namun, mereka tetap berjuang, Suara mereka terdengar jelas,
Mereka tahu bahwa perubahan bisa terjadi.

Mereka menanyakan mengapa biaya harus meningkat,
Apakah ini benar-benar diperlukan atau hanya untuk keuntungan?
Suara mahasiswa terpinggirkan ingin tahu jawabannya,
Mereka tidak ingin disisihkan tanpa alasan yang jelas.

Mereka mencari solusi lain, mencari jalan keluar,
Tidak ingin biaya pendidikan menjadi beban yang berat.
Suara mahasiswa terpinggirkan ingin dianggap dan didengar,
Mereka berharap ada perubahan yang segera terjadi.

Mereka menunjukkan rasa cintanya pada pendidikan,
Namun, biaya tinggi membuat mereka kesulitan melanjutkan.
Suara mahasiswa terpinggirkan ingin dihargai dan didukung,
Mereka berharap pemerintah dan lembaga pendidikan mendengarkan suaranya.

Mereka tidak hanya individu, tetapi komunitas besar,
Dengan harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Suara mahasiswa terpinggirkan ingin diwakili dengan adil,
Mereka berjuang demi hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Biaya tinggi bukan hanya beban finansial saja,
Tapi juga beban emosional dan psikologis bagi banyak orang.
Suara mahasiswa terpinggirkan ingin dihargai dan didengar dengan empati.

Mereka adalah generasi yang penuh harapan,
Tetapi biaya pendidikan membuat mereka kesulitan bernafas,
Suara mahasiswa terpinggirkan ingin dianggap prioritas, Mereka berjuang demi masa depan yang lebih cerah.

Suara mahasiswa terpinggirkan tidak akan terlupakan, mereka akan terus berteriak, suara mereka tidak akan terhenti. Mereka berharap perubahan akan segera terjadi, agar mereka dapat melanjutkan pendidikan dengan bahagia.

 

Penulis: Rachma Alya Ramadhan
Editor: Melvi Widya

Puisi: Suara Mahasiswa Yang Kini Terdiam

Objektif.id

Di tengah hiruk pikuk kampus yang ramai,
Suara mahasiswa terdengar menggema,
Menyuarakan kebenaran dan keadilan,
Namun kini terdiam dalam keheningan.

Mereka yang dulu berani bersuara,
Kini terpaksa menahan langkahnya,
Dibungkam oleh ketakutan dan intimidasi,
Suara mahasiswa yang kini terdiam.

Mereka yang dulu berani menantang kebijakan,
Kini merajut kedamaian dalam diam,
Jejak langkah mereka menggema di lorong kampus,
Menyisakan cerita perjuangan yang abadi.

Namun, janganlah terlena dalam kesunyian.
Karena api perjuangan takkan pernah padam,
Suara mahasiswa akan kembali berkumandang
Menyuarakan kebenaran dan harapan.

Meski terdiam, namun semangat tak pernah padam.
Mereka tetap berjuang dalam diam,
Menyusun strategi dan rencana baru,
Suara mahasiswa yang tetap bersemangat.

Dalam keheningan, ada kekuatan yang tersimpan.
Suara mahasiswa yang terdiam bukanlah kekalahan,
Melainkan persiapan untuk bangkit kembali,
Menggelegar dengan semangat yang menggema.

Biarkan waktu menjadi saksi bisu,
Suara mahasiswa yang kini terdiam akan kembali bersuara.
Menggema di sudut-sudut kampus dan jalan raya,
Menjadi corong kebenaran dan perubahan.

Janganlah terpaku pada keheningan ini,
Suara mahasiswa akan terus mengalun,
Menyuarakan aspirasi dan cita-cita,
Menggetarkan hati dan menyadarkan jiwa.

Karena, suara mahasiswa adalah harapan.
Cahaya di tengah kegelapan,
Teruslah berjuang, jangan pernah berhenti,
Suara mahasiswa takkan pernah terdiam selamanya.

 

Penulis: Rachma Alya Ramadhan
Editor: Melvi Widya

Ikhlas

Objektif.id –

Bagaimana kau bisa ku raih
Sedang hatimu digenggam erat olehnya.

Bagaimana kau bisa memandangku
Sedang pandanganmu dituju padanya.

Bagaimana ku mau mendoakanmu
Sedang Tuhanku dan tuhanmu berbeda.

Lima tahun bukan waktu yang mudah.
Untuk Tumbuh bersama dalam satu lingkungan
melewati suka duka bersama,
Merajut cinta menepis kesedihan.

Tetapi aku tersadar…
Benteng kita teramat besar
Jarak kita terlalu jauh berbeda,
Aku sudah tak mampu menggapaimu.

Apalagi Mengangan-angankanmu,
Aku sudah tak sanggup.
Aku malu pada tuhanku dan tuhanmu.
Jika hanya karena cinta ini,
Aku harus merebutmu.

“You my first love”
Hingga kata-kata itu menjadi penutup pertemuanku denganmu,
Walau jejak yang terpisah masih menempel dibenakku.

Aku ikhlas,,,
Dan selalu mencintaimu..

Buton Utara, 11 April 2023

 

Penulis: Rani
Editor: Melvi Widya

Puisi: Misteri Malam Yang Sunyi

Objektif.id

Di malam yang sunyi, bintang-bintang bersembunyi.
Menyisakan ku berdiri, dalam gelap yang membuncah di hati.
Misteri malam merayap, seiring detak jantung yang lelap.
Menari dalam pikiran, seolah menjadi tarian tanpa iringan.

Dalam diam, aku merenung, mencari makna dalam sunyi.
Menyentuh luka yang mendalam, yang tersembunyi dalam gelap malam.
Angin malam berbisik, membawa pesan yang pahit,
Mengingatkan akan rasa sakit, yang terjaga dalam tidur yang singkat.

Bulan pucat menatap, merasakan getar hati yang lelap.
Menyinari ruang hati yang gelap, oleh bayang-bayang rasa sakit.
Misteri malam menggema, seolah menjadi nyanyian tanpa nada.
Menyayat hati yang terluka, dalam keheningan yang mencekam jiwa.

Di malam yang sunyi, aku mencoba untuk bertahan…
Menahan rasa yang menggulir, seiring waktu yang terus berjalan.
Misteri malam terungkap, dalam setiap detik yang terlelap.
Menghantarkan aku pada kenangan, yang terpendam dalam hati yang hancur.

Di malam yang sunyi,,, aku menangis dalam diam…
Menyirami hati yang gersang, dengan air mata yang jatuh tanpa henti.
Misteri malam berakhir, seiring fajar yang mulai bersinar.
Menyisakan hati yang terluka, dalam sunyi yang terasa begitu nyata.

 

Penulis: Rachma Alya Ramadhan
Editor: Melvi Widya

Pergi Atau Menetap?

Objektif.id

Pergi, bukanlah jalan satu-satunya.
Tetapi, menetap hanyalah luka.
Bukankah itu percuma?

Kau dan senja begitu identik,
Kemunculan Mu sangat indah mempesona.
Membuatku terlena, terhipnotis…
Bahkan, nyaris mati atas debar yang kau cipta.

Kini kau telah bersemayam didasar lembah yang kosong.
Menjadi lukisan, mutiara, emas…
Bahkan, kau telah ku nobatkan menjadi tropi.
Lantaran aku semakin jauh kedalam engkau…

Tetapi, kini senja seakan benci dirinya,
Ia terburu-buru meninggalkan Jingga.
Menuju bintang yang hanya sebuah fatamorgana.

Katanya,,,
Ia ingin mencari bulan.
Lewat keheningan jumantara.
Katanya,,
Ia lebih senang menjadi malam.
Dari pada senja yang hanya sementara.

Aku tahu!
Walau namamu selalu tersemat dalam doa,
Ragamu yang selalu ku sanjung.
Bahkan, semua perjuanganku
Bagimu, mungkin itu tak ada gunanya

Aku tahu!
Aku terlalu biasa di matamu,
Aku bagaikan benalu.

Dan aku tahu!
Aku tak pantas bersanding denganmu,
Yang selalu dipuja dan dikagumi.

Buton Utara, 4 February 2024

 

Penulis: Ran
Editor: Melvi Widya

Hujan

Objektif.id

Jikalau hanya soal basah,
mengapa harus ada kenangan?

Lima puluh lima hari setelah pertemuan itu
Dan kau, masih tergambar jelas.

Dibawah hujan lebat itu, kau dan aku menciptakan sebuah istana.
Sambil meramu kata dengan begitu indah,
Meletakan hati disebuah angan.

hingga,,,
tercipta sebuah gambaran nan indah.
Menjelma menjadi harap.

Sekali lagi, telah ku sematkan rasa ini.
Dengan sebuah janji yang telah ku ikrarkan.
Mungkin ini terlihat ambigu?

Aku tahu!
Kau datang padaku lewat rintik. sore yang tiba-tiba memberontak,
Rintik yang tiada lain, hanya mengantar senja dan malam dalam waktu bersamaan.

Aku tak pernah menyalahkan siapapun!
Juga menyesalinya…
Aku hanya menyayangkannya,
Saat tiba-tiba angin meliuk tajam ke rongga pori-pori
Memutus urat tangan, kaki dan bahkan nyaris hatiku.

Hah…
Baru juga rintik,
Tetapi guntur juga petir sudah datang saja.
Menyayat perih menegur jiwaku, untuk segera melangkah dan pergi.

Bau-bau, 3 February 2024

 

Penulis: Ran
Editor: Melvi Widya

Kapan Selesai?

Objektif.id 

Di sudut kampus yang ramai, duduk seorang mahasiswa akhir,
Mengais kenangan, merajut mimpi, dalam keheningan diri.
“Kapan selesai?” begitu pertanyaan yang sering terdengar.
Menyayat hati, meruntuhkan semangat, namun harus dihadapi dengan tegar.

Setiap hari menjadi perjuangan, tiap malam menjadi pertempuran,
Menaklukkan tugas dan deadline, dengan harapan dapat menyelesaikan.
“Kapan selesai?” suara itu kembali menggema.
Menyentak jantung, menggetarkan jiwa, namun harus tetap berjalan.

Dia berjalan di koridor waktu, menatap masa depan yang luas,
Membayangkan hari ketika dia bisa menjawab, “Akhirnya telah selesai.”
“Kapan selesai?” suara itu kembali memburu.
Menimbulkan keraguan, menumbuhkan ketakutan, namun dia tak boleh menyerah.

Dia menghadapi setiap tantangan dengan keberanian,
Menyambut setiap kesulitan dengan kegigihan, berharap suatu hari nanti bisa tersenyum.
“Kapan selesai?” suara itu kembali menyerang.
Namun dia berdiri teguh, dengan tekad yang kuat, menjawab, “Saya akan selesai.”

Dia adalah mahasiswa akhir, dengan pertanyaan yang ditakuti,
Namun dia tahu, setiap pertanyaan pasti ada jawabannya, dan dia akan menemukannya.
“Kapan selesai?” suara itu akan terus ada.
Namun, dia akan terus berjuang. Sampai suatu hari dia bisa menjawab, “Saya telah selesai, dan saya bangga dengan diri saya.”

 

Penulis: Rachma Alya Ramadhan
Editor: Melvi Widya

Pulang

Objektif.id

Aku kembali kepada Rabb-Ku,
Aku menemukan-Nya di satu jalan.
Di persimpangan panjang yang takku ketahui sebelumnya,
Aku akhirnya pulang kepada-Nya.

Jika kau tanya kenapa akhirnya aku bisa menemukan-Nya,
Aku pun juga tidak tahu.
Tapi hari demi hari, langkah demi langkah, tanpa aba-aba.
Jiwaku akhirnya kembali menemukan-Nya, Di satu jalan kegelapan.

Aku tersesat sudah lama, bahkan jauh hari sebelum kegelapan yang membuat lupa akan semua.
Aku sudah lebih dulu, pergi dan tak ingin kembali pada-Nya
Tiada hal yang dapat disesali. atas semua yang terjadi,
Kembali dan menemukan tujuanku bukanlah hal cuma-cuma.

Menemukan separuh dari diriku yang telah lama hilang,
Hingga akhirnya sesuatu hal yang besar menghampiriku.
Aku ingin pulang,
Aku ingin kembali,
Aku bahagia pada akhirnya, aku menemukan tujuanku yang lain, yang takkan pernah menjadi kesia-siaan.

 

Kendari, 4 Desember 2023

Penulis: Elfirawati
Editor: Melvi Widya

Pendapat Rasa 

Objektif.id

Siapa yang lebih angkuh dari pujangga yang menolak tunduk terhadap cinta?

Dirimu, yang belum sadar bahwa kesendirian adalah kesombongan yang nyata, karena beranggapan semua bisa diselesaikan tanpa melibatkan elemen lain.

Apakah benar semua asmara berawal dari hubungan yang tidak mesra?

Mengapa kita tidak berhenti dari huru-hara perasaan, kemudian menyusun batu bata rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah.

Ibarat lukisan, dirimu indah dipandang dari sudut manapun.

Aku selalu ingin memandang mu berulang kali.

Tapi sayang, aku berhenti sebab ada satu sudut dimana aku tak ada dalam pandanganmu.

Kita adalah dua orang yang baik, yang mungkin belum cocok.

Namun yang pasti, tujuan cinta harus bahagia bagaimanapun jalannya, termasuk menikah ataupun berpisah.

Rumit tapi aku mencintaimu.

Kisah kita itu seperti mawar, memiliki keindahan sekaligus bisa menimbulkan luka.

Diantara banyak hari untuk menjelajah, Kemana rindumu hari ini mengarah?

Bahkan jika rindumu tak menemukan arah pada diriku, maka izinkan hamba yang penuh dosa ini abadi menjelajah dalam kenanganmu.

Panjang umur ketulusan.

 

Penulis: Hajar

Editor: Melvi Widya

Lorong Sunyi Kampung Halaman  

Objektif.id -

Di lorong sunyi kampung halaman,
Berdiri sebuah rumah yang penuh dengan kenangan,
Tempat bermain, tempat tertawa,
Tempat menangis, tempat bercerita.

Di lorong sunyi kampung halaman,
Ada rumah yang selalu ramai dan hangat,
Dengan suara-suara riang dan tawa,
Dan aroma masakan yang selalu menggoda.

Di lorong sunyi kampung halaman,
Rumah dengan halaman yang luas,
Tempat bermain petak umpet dan galah asin,
Tempat berlari dan berkejaran hingga senja.

Di lorong sunyi kampung halaman,
Rumah dengan pohon mangga tua,
Tempat bermain, tempat berteduh,
Tempat bercerita, dan tempat bermimpi.

Di lorong sunyi kampung halaman,
Rumah dengan kamar yang selalu terbuka,
Tempat beristirahat, tempat bermimpi,
Tempat merindukan, dan tempat menanti.

Di lorong sunyi kampung halaman,
Rumah dengan dapur yang selalu hangat,
Dengan aroma masakan yang selalu menggoda,
Dan cerita-cerita yang selalu menarik.

Di lorong sunyi kampung halaman,
Rumah dengan serambi yang luas,
Tempat berkumpul, tempat bercerita,
Tempat tertawa, dan tempat berbagi.

Di lorong sunyi kampung halaman,
Rumah dengan jendela yang selalu terbuka,
Tempat memandang, tempat merenung,
Tempat bermimpi, dan tempat menanti.

Di lorong sunyi kampung halaman,
Rumah dengan pintu yang selalu terbuka,
Tempat masuk, tempat keluar,
Tempat datang, dan tempat pergi.

Di lorong sunyi kampung halaman,
Rumah dengan atap yang selalu melindungi,
Tempat berteduh, tempat berlindung,
Tempat merasa aman, dan tempat merasa nyaman.

Di lorong sunyi kampung halaman,
Rumah dengan dinding yang selalu berdiri tegak,
Tempat bersandar, tempat berpegangan,
Tempat merasa kuat, dan tempat merasa teguh.

Di lorong sunyi kampung halaman,
Rumah dengan lantai yang selalu bersih,
Tempat berjalan, tempat berlari,
Tempat bermain, dan tempat beristirahat. 

Di lorong sunyi kampung halaman,
Rumah dengan kenangan yang selalu abadi,
Tempat mengenang, tempat merindukan,
Tempat menanti, dan tempat kembali.

Penulis: Rachma Alya Ramadhan
Editor: Melvi Widya

Suara Hati di Kota besar

Objektif.id – Di sebuah kota besar yang penuh dengan gemerlap dan kehidupan yang serba cepat, ada seorang pria bernama Aman. Aman adalah seorang penulis dengan magnum opus tentang kritik sosial. Ketika dia masih muda, dia melihat banyak ketidakadilan dan kekurangan dalam sistem sosial yang ada di kota ini. Dia berusaha untuk menyampaikan pesan-pesannya melalui tulisan-tulisannya.

Namun, kebanyakan orang hanya melihat Aman sebagai tokoh kontroversial dan tidak ada yang menganggapnya serius. Mereka lebih suka memandang Aman sebagai sosok aneh yang hanya mencari sensasi semata. Meskipun orang-orang tahu ada kebenaran dalam kata-kata Aman, mereka lebih memilih mengabaikan daripada bertindak untuk mengubah keadaan.

Setiap hari, Aman berkeliaran di jalan-jalan kota besar ini. Dia melihat anak-anak jalanan yang kelaparan, pekerja bawah tanah yang lelah, dan keluarga miskin yang berjuang untuk bertahan hidup. Aman menghadapinya dengan perasaan yang campur aduk. Dia merasa kesedihan yang mendalam dan juga kemarahan yang tak terkendali.

Suatu hari, Aman melihat sebuah aksi pementasan teater di pusat kota. Aksi panggung ini menggambarkan sebuah keluarga miskin yang berjuang untuk mengatasi ancaman dari pihak industri besar yang ingin merebut tanah mereka. Aman terinspirasi oleh keberanian para pemain teater ini dan menyadari bahwa dia perlu menemukan cara baru untuk menyampaikan pesan kritisnya kepada masyarakat.

Aman kemudian memutuskan untuk memulai aksi protes yang dramatis. Dia menyewa megafon dan berdiri di tengah-tengah jalan utama di kota. Mengenakan kostum sepertinya adalah keberanian yang baru ia temukan. Dia mulai berteriak tentang ketidakadilan dan ketidaksetaraan sosial yang ada di kota ini. Banyak orang yang mengelilinginya, tapi sebagian besar hanya tertawa dan menganggapnya sebagai hiburan semata.

Namun, ada beberapa orang yang menyadari ketulusan dan kebenaran dari kata-kata Aman. Mereka mulai bergabung dengannya, dan kerumunan yang semakin besar mulai mengerubungi mereka. Mereka mulai menyuarakan tuntutan mereka untuk perubahan sosial.

Tak lama kemudian, media mulai meliput aksi protes Aman. Pesan yang ingin dia sampaikan akhirnya terdengar oleh masyarakat yang lebih luas. Orang-orang mulai mempertanyakan keadaan sosial yang ada, dan gerakan protes semakin meluas.

Aman menyadari bahwa ia telah mencapai tujuannya. Meskipun awalnya ia dianggap sebagai orang aneh, dia telah mampu mengubah pandangan dan menyadarkan banyak orang akan masalah sosial yang ada. Tidak hanya itu, ia mampu mendapatkan dukungan dan keterlibatan dari aktivis sosial lainnya, akhirnya terbentuklah gerakan yang bertujuan untuk membawa perubahan positif.

Cerita Aman mengingatkan kita bahwa untuk membuat perubahan dalam masyarakat, kita perlu berani menyuarakan kritik sosial. Meskipun awalnya kita mungkin diabaikan atau dianggap aneh, ketulusan dan kebenaran kita akan mencapai orang-orang yang benar-benar peduli dan bersedia berjuang bersama untuk mengatasi ketidakadilan sosial. Bersama-sama, kita dapat menciptakan perubahan dan membawa keadilan bagi semua orang.

Penulis: Kusmawati

Editor: Melvi Widya