Oleh : Wahyudin Wahid
Sebelum kehadiran agama, fenomena tentang kepercayaan yang dianut oleh manusia sangat bervariatif, baik dianut secara individu maupun secara kelompok pada satu wilayah tertentu. Kepercayaan tersebut merupakan warisan leluhur yang kemudian dilakukan secara kontinu sehingga melahirkan tata nilai yang melembaga dalam tradisi masyarakat, salah satunya ialah sakralisasi terhadap pohon, gunung, ataupun benda-benda yang dianggap mempunyai satu kekuatan ghaib untuk mementukan nasib manusia.
Dalam konteks Nilai-Nilai Dasar Kepercayaan (NDP) HMI, Kepercayaan-kepercayaan itu akan menghambat kemajuan sebuah peradaban, sehingga dianggap bertentangan dengan fitrah manusia sebagai khalifah di bumi yang mempunyai value tertinggi diantara entitas makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Maka, sangat tidak logis ketika manusia yang cenderung kepada kebenaran dan kebaikan serta hasrat untuk mencari kebenaran dan keparipurnaan hidup itu menghamba kepada sesama ciptaan Tuhan yang memiliki nilai dibawah manusia itu sendiri.
Pada periode arab pra islam, dimasa jahiliah, penghambaan masyarakat kembali ditujukan kepada berhala-berhala. Berhala-berhala itu mereka anggap mampu untuk menentukan nasib, memberi rejeki, kekuatan, dan pengobatan kepada manusia. Jauh sebelum mereka melakukan itu, Nabi Ibrahim As dalam eksperimen theologisnya telah membantah akan adanya kuasa dari berhala berhala yang disembah oleh masyarakat pada saat itu.
Dalam eksperimen theologis itu, Nabi Ibrahim As telah membuat raja namrud mengakui bahwa berhala tidak mempunyai kuasa untuk menghancurkan berhala lain, apalagi untuk menentukan nasib manusia serta menunjukkan kekuasaan Allah SWT dengan fenomena keluarnya nabi ibrahim dari kobaran api saat hendak dibakar oleh raja namrud.
Melihat kebiasaan masyarakat itu, Rasulullah SAW, merasa gelisah kemudian berkhalwat di Gua Hira selama beberapa hari, kemudian diberikan wahyu hingga perintah menyebarluaskan agama islam.
Proses islamisasi ditandai dengan mengucapkan kalimat syahadat, yakni persaksian bahwa tiada tuhan selan Tuhan (syahadat tauhid) dan persaksian bahwa Rasulullah SAW adalah utusan Allah.
Syahadat tauhid, terbagi menjadi dua, yaitu kalimat pengecualian (negasi) dan kalimat penegasan (afirmasi). Kalimat negasi dalam hal ini ialah kata “tidak ada tuhan,” sedangkan kalimat afirmasi ialah kata “selain Allah SWT.
Dalam implementasinya, syahadat mengarahkan manusia untuk kemudian membunuh dan mengharamkan tuhan-tuhan lain dan mengecualikan satu Allah yang merupakan kebenaran mutlaq, asal dari segala asal, sebab dari segala sebab, dan tujuan dari segala kenyataan alam semesta yang luas ini.
Hal tersebut juga sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Al-An’am (6 : 19), Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ اَيُّ شَيْءٍ اَكْبَرُ شَهَا دَةً ۗ قُلِ اللّٰهُ ۗ شَهِيْدٌۢ بَيْنِيْ وَبَيْنَكُمْ ۗ وَاُ وْحِيَ اِلَيَّ هٰذَا الْـقُرْاٰ نُ لِاُ نْذِرَكُمْ بِهٖ وَمَنْۢ بَلَغَ ۗ اَئِنَّكُمْ لَـتَشْهَدُوْنَ اَنَّ مَعَ اللّٰهِ اٰلِهَةً اُخْرٰى ۗ قُلْ لَّاۤ اَشْهَدُ ۚ قُلْ اِنَّمَا هُوَ اِلٰـهٌ وَّا حِدٌ وَّاِنَّنِيْ بَرِيْٓءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ
“Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang lebih kuat kesaksiannya?” Katakanlah, “Allah, Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai (Al-Qur’an kepadanya). Dapatkah kamu benar-benar bersaksi bahwa ada tuhan-tuhan lain bersama Allah?” Katakanlah, “Aku tidak dapat bersaksi.” Katakanlah, “Sesungguhnya hanya Dialah Tuhan Yang Maha Esa dan aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).”
Penegasan selanjutnya, terkait mengapa kemudian Rasulullah begitu berani untuk bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT, dijelaskan dalam surah Al-Ikhlas (112 : 1-4):
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ
“Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa.”
اَللّٰهُ الصَّمَدُ
“Allah tempat meminta segala sesuatu.”
لَمْ يَلِدْ ۙ وَلَمْ يُوْلَدْ
“(Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.”
وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ
“Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”
Q.S Al-ikhlas (112 : 1-4) isi selanjutnya dijelaskan dalam Q.S Asy-Syura (42 : 11), bahwa mengapa kita sebagai manusia harus membunuh atau meniadakan tuhan-tuhan lain selain Allah SWT, karena secara sosio historis belum ada fakta yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang setara dengan Allah, dengan indikator kesetaraan sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Sehingga sebagai umat muslim, kita dituntut untuk kemudian melepaskan diri dari tuhan-tuhan lain selain Allah SWT. Secara umum, tuhan-tuhan kecil bukan hanya dalam bentuk berhala yang nampak oleh mata, akan tetapi segala bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berpotensi menurunkan kadar keimanan kita terhadap Allah SWT, Tetlebih kepada kepercayaan yang didasarkan kepada laqlid semata.
Sebagai penguatan dan penutup dari tulisan ini, kami kami sertakan Q.S Al-Isra’ (17 : 36), Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَـيْسَ لَـكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗ اِنَّ السَّمْعَ وَا لْبَصَرَ وَا لْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰٓئِكَ كَا نَ عَنْهُ مَسْئُوْلًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
(QS. Al-Isra’ 17: Ayat 36)
Sebagai kesimpulan, bahwa dalam setiap aktifitas yang kita lakukan sebagai umat muslim, baik itu yang berkaitan dengan theologi, humanitas, maupun kosmologi, hendaklah selalu kita sandarkan kepada Allah. Tidak ada pengharapan lain dari apa yang kita lakukan dalam perjalanan menciptakan sejarahinj, selain dari ridha Allah SWT.
Billahitaufiq Wal Hidayah,
Wassalamu’alaikum, Wr.Wb.