Kepmen Kominfo 522 Beri Ruang Pembungkaman Terhadap Kebebasan Berekspresi

Jakarta, Objektif.Id – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar diskusi publik secara hybrid pada Senin, 30 Juni 2025, untuk membahas Peraturan Menteri Kominfo Nomor 522 Tahun 2024, yang mengatur kewajiban bagi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), khususnya yang termasuk dalam kategori Private User Generated Content (UGC), untuk melakukan moderasi konten. Aturan ini mewajibkan platform digital untuk menghapus atau memutus akses (takedown) terhadap konten yang dianggap melanggar hukum.

Pamflet diskusi AJI Indonesia

Regulasi ini disebut-sebut sebagai upaya untuk memperkuat tata kelola moderasi konten digital dan memberikan kepastian hukum bagi penyelenggara platform. Namun, di sisi lain, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan jurnalis, pegiat kebebasan berekspresi, dan masyarakat sipil. Dalam lanskap media digital yang terus berkembang, media massa kini tidak hanya bergantung pada saluran tradisional seperti televisi, radio, atau surat kabar. Mereka juga aktif memanfaatkan platform digital seperti YouTube, Instagram, Facebook, X (sebelumnya Twitter), hingga TikTok untuk menerbitkan, mendistribusikan, dan mempromosikan karya jurnalistik.

Media menggunakan kanal digital ini untuk menjangkau audiens yang lebih luas, memperkuat interaksi langsung dengan publik, serta memperluas ruang demokrasi dan partisipasi warga. Namun, keberadaan regulasi seperti kepmen Kominfo No. 522/2024 dinilai dapat menjadi ancaman terhadap ruang-ruang ekspresi tersebut, terutama jika penerapan moderasi konten dilakukan tanpa mekanisme yang transparan dan akuntabel.

Salah satu sorotan utama adalah bagaimana regulasi ini bisa memengaruhi kerja-kerja jurnalistik, terutama media yang mengandalkan platform digital untuk menerbitkan konten-konten investigatif atau opini kritis. Kekhawatiran muncul terkait kemungkinan adanya penyalahgunaan kewenangan atau interpretasi subjektif terhadap apa yang dianggap sebagai konten “melanggar hukum”, yang berisiko membungkam kritik publik.

Perwakilan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Mediodecci Lustarini sebagai Sekretaris Ditjen Pengawasan Ruang Digital Komdigi, menyatakan bahwa kepmen 522 bertujuan menciptakan ruang digital yang aman dan bersih dari aktivitas ilegal. Aturan ini juga merespons kebutuhan akan kepastian hukum, terutama dalam penerapan sanksi administratif terhadap pelanggaran konten digital, “moderasi konten harus dilakukan secara serius dan berkelanjutan. Tujuannya adalah untuk menciptakan ekosistem digital yang aman dan bersih dari aktivitas ilegal,” ujarnya.

Menurutnya kepmen 522 tidak menyasar individu atau konten pers. Konten jurnalistik yang diadukan akan diverifikasi terlebih dahulu dan bila berasal dari perusahaan pers, akan diteruskan ke Dewan Pers, “Konten yang diproduksi oleh pers kami teruskan ke Dewan Pers untuk ditangani sesuai Undang-Undang Pers. Ini menegaskan bahwa kepmen 522 tidak menyasar individu ataupun pers,” ucapnya.

Mediodecci juga menjelaskan bahwa sistem moderasi yang digunakan, yakni sistem Saman, bersifat transparan, berbasis bukti, dan memungkinkan tanggapan dari PSE. Bahkan proses takedown dimulai dari aduan resmi, verifikasi, komunikasi dengan PSE, hingga klarifikasi, “kami mewajibkan PSE menunjuk narahubung sebagai jalur komunikasi. Proses klarifikasi bisa memakan waktu 12 hingga 24 jam tergantung urgensinya,” katanya.

Sementara, Founder Perupadata Imam Safingi memaparkan jika pihaknya mendapat notifikasi dari platform media sosial X terkait dugaan pelanggaran hukum dalam unggahannya. Namun, secara tugas ia menyatakan bahwa konten yang dimaksud tidak mengandung unsur ilegal, “konten kami disebut melanggar hukum, tapi setelah kami cek ke internal termasuk tim legal, tidak ditemukan pelanggaran,” ujar Imam merespons penjelasan dari Mediodecci Lustarini.

Konten yang diunggah tersebut menyoroti kasus pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998. Ia menyebutkan bahwa angka yang dipakai dalam narasi sudah melalui proses verifikasi dari sumber primer, “angkanya memang sempat dibantah, tapi kami tidak serta-merta percaya. Kami telusuri sampai ke dokumennya, dan datanya cocok. Itu sebabnya kami putuskan untuk tayangkan karena bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.

Surat peringatan melalui X datang beberapa hari setelah unggahan tersebut menjadi viral. Namun, menurutnya, tidak ada unsur yang termasuk dalam kategori pelanggaran yang ditetapkan dalam kepmen Kominfo 522, seperti pornografi, terorisme, judi, promosi makanan atau obat ilegal, dan aktivitas keuangan ilegal, “ada opini, ada data, dan ada fakta. Tapi tidak ada terorisme, tidak ada judi, tidak ada yang ilegal,” tuturnya.

Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden S. Arum, turut menyoroti frasa-frasa multitafsir dalam aturan tersebut yang dianggap dapat mengancam kebebasan berekspresi di ruang digital, “kami melihat dan menganalisis keputusan Menteri 172 dan 522 karena itu berasal dari 172, di atasnya ada Permen Kominfo 5/2020 dan tentu saja Undang-Undang ITE. Nah, di pasal-pasal itu banyak frasa yang karet dan ambigu, seperti ‘konten meresahkan masyarakat’ atau ‘konten negatif’ yang tidak dijelaskan secara objektif,” ujarnya.

Ia mencontohkan bagaimana sejumlah konten, termasuk milik perupadata dan yang lainnya mendapat notifikasi dari platform X atas permintaan pemerintah untuk dilakukan takedown, “sayangnya, frasa-frasa karet itu bisa menimbulkan penyalahgunaan, seperti yang sudah sering terjadi pada pasal pencemaran nama baik atau ujaran kebencian di Undang-Undang ITE,” katanya.

Lebih lanjut, ia menyoroti ketimpangan transparansi antar-platform, “X masih mengirim notifikasi kalau ada permintaan pemerintah, tapi Meta, Google, atau TikTok tidak. Konten langsung hilang tanpa pemberitahuan. Ini jadi problem karena pengguna tidak diberi kesempatan untuk membela kontennya,” ujarnya.

Ia juga menekankan bahwa banyak pengguna, khususnya individu yang tidak memiliki tim legal, akhirnya memilih melakukan self-censorship karena takut terkena sanksi. Surat cinta dari Twitter itu membuat orang langsung takut sehingga langsung menurunkan konten, walau sebenarnya X sendiri bilang kalau tidak melanggar tidak akan ditindak. Tapi ketakutan itu nyata.

Putusan MK atas UU ITE Belum Seutuhnya Menjamin Kebebasan Pers

Jakarta, Objektif.Id. — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar diskusi publik secara hybrid yang dipandu oleh Abdus Somad selaku moderator, pada Kamis, 19 Juni 2025. Diskusi ini bertujuan untuk membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merubah pasal bermasalah dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang terbit pada 29 April 2025 itu dinilai membawa angin segar bagi kebebasan pers dan berekspresi, namun para narasumber berpendapat masih banyak persoalan yang menghambat implementasi perlindungan terhadap jurnalis dan masyarakat sipil

Flayer diskusi AJI Indonesia.

Para narasumber yang turut menyumbangkan pemikirannya adalah, Sadli Saleh (jurnalis korban kriminalisasi UU ITE), Muhammad Isnur (Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI), Asfinawati (Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera), dan Damian Agata Yuvens (kuasa hukum Daniel Frits Maurits Tangkilisan).

Dalam paparannya, Muhammad Isnur menyoroti fakta bahwa UU ITE kerap digunakan sebagai alat kriminalisasi terhadap aktivis, jurnalis, dan warga negara yang menyuarakan pendapatnya secara kritis. Instrumen hukum yang seharusnya melindungi publik justru kerap dimanfaatkan oleh pemodal, pemilik usaha, pemerintah, dan aparat penegak hukum untuk membungkam kritik. “UU ITE telah menjadi alat efektif untuk mengkriminalisasi berbagai ekspresi kebebasan. Dalam banyak kasus, pasal-pasal ini digabungkan dengan pasal lain seperti UU No. 1 Tahun 1946 atau KUHP Pasal 310,” ujarnya.

Kasus-kasus seperti Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menjadi contoh konkret bagaimana riset dan ekspresi yang terpublikasi di media sosial bisa berujung jeratan hukum. Ia menyatakan, proses hukum tersebut mencerminkan praktik yang berujung pada miscarriage of justice atau ketidakadilan hukum.

Persoalan utama bukan hanya terletak pada norma hukum dalam UU ITE itu sendiri, melainkan pada praktik penegakan hukum yang sarat dengan niat buruk. Ia menyebut aparat penegak hukum sering kali tidak memiliki itikad baik dan justru menggunakan hukum sebagai alat untuk mengkriminalisasi dan membungkam kritik, “Masalahnya bukan cuma norma. Norma bisa kita uji ke Mahkamah Konstitusi. Tapi yang lebih berbahaya adalah malicious investigation, penyelidikan yang dilakukan dengan niat jahat,” Katanya.

Isnur berpendapat, judicial review atau uji materi hanyalah salah satu bentuk perlawanan. Untuk benar-benar menjaga ruang demokrasi. Maka perubahan juga harus didorong dari institusi penegakan hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Menurutnya, reformasi dalam tubuh penyidik menjadi kunci agar penyidikan tidak lagi menjadi alat untuk menekan kelompok masyarakat sipil. Dia juga mengangkat kasus-kasus yang menurutnya menunjukkan pola kriminalisasi yang dipaksakan. Salah satunya adalah kasus Sawin dan Sukma di Indramayu, yang diproses hukum karena dianggap mengibarkan bendera dengan posisi terbalik saat perayaan Hari Kemerdekaan. Mereka kemudian dikenakan Undang-Undang tentang Lambang Negara.

Selain Isnur, tanggapan atas putusan MK ini datang juga dari Sadli Saleh, yang pernah menjadi korban dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap pasal-pasal kontroversial dalam regulasi tersebut, khususnya Pasal 27 dan 28. Ia menyebutkan bahwa pasal-pasal tersebut masih menjadi “alat paling ampuh” untuk membungkam kebebasan berekspresi, “pasal 27 dan 28 UU ITE ini memang jadi jalan paling efektif yang dipakai pemerintah, institusi swasta, maupun korporasi untuk membungkam jurnalis atau aktivis,” tuturnya.

Sadli menjelaskan bahwa para jurnalis sebenarnya tidak gentar melakukan peliputan, termasuk liputan investigatif yang berisiko tinggi. Namun, ketakutan muncul justru pada tahap publikasi. “Kami tidak takut saat meliput. Tapi ketika hendak mempublikasikan, ancaman datang. Meskipun tidak langsung dijerat pasal, ancamannya berupa teror. Teror verbal, kekerasan non-fisik. Ini lebih parah,” ucapnya.

Dampak psikologis dari ancaman-ancaman tersebut disebutnya sangat memengaruhi kehidupan jurnalis. Banyak dari mereka yang akhirnya takut beraktivitas, enggan keluar rumah, bahkan kehilangan semangat untuk bekerja. “Setelah bebas dari jeratan hukum, justru tekanan lebih besar datang. Banyak jurnalis jadi takut keluar rumah, enggan bekerja, takut melangkah,” katanya.

Sementara Agata, mengungkapkan alasan di balik keterlibatannya dalam pengujian undang-undang itu ke Mahkamah Konstitusi adalah bertujuan untuk pencegahan dan perbaikan terhadap UU ITE. “Judicial review ini didesain untuk mencegah munculnya Daniel-Daniel lain dan Sadli-Sadli yang lain, dan dari sisi perbaikan, untuk memperjelas rumusan pasal-pasal yang kabur agar tidak mudah disalahgunakan,” ujarnya.

Undang-undang ITE, khususnya Pasal 27 dan 28, telah menjadi sorotan karena sering digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik, termasuk terhadap jurnalis dan aktivis. Meski sudah beberapa kali diuji di Mahkamah Konstitusi sebelumnya, hasilnya selalu sama, MK menyatakan Indonesia masih membutuhkan ketentuan pidana tersebut.

Namun, menurut Agata, pendekatan mereka dalam pengujian kali ini berbeda. Jika dekriminalisasi total dianggap tidak memungkinkan saat ini, maka langkah alternatif yang diambil adalah memperjelas dan mempersempit ruang penerapannya. Salah satu tuntutan utama mereka adalah pembatasan siapa yang bisa menjadi korban pencemaran nama baik., “Kami mengusulkan bahwa lembaga pemerintah, korporasi, pejabat publik, dan bahkan figur publik tidak seharusnya bisa menjadi korban dalam perkara pencemaran nama baik. Karena figur publik adalah orang yang secara sadar menempatkan dirinya dalam sorotan, maka batas toleransinya terhadap kritik seharusnya lebih tinggi,” katanya.

Sayangnya, permohonan untuk memasukkan figur publik sebagai entitas yang dikecualikan dari korban pencemaran tidak dikabulkan MK. Kendati demikian, Agata menilai putusan MK tetap merupakan langkah progresif. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengakomodasi dua hal penting. Pertama, pengecualian pihak-pihak yang bisa dianggap korban dalam perkara pencemaran nama baik yaitu, lembaga pemerintah, kelompok masyarakat dengan identitas tertentu, institusi, korporasi, profesi, dan jabatan. Yang Kedua, MK memperjelas definisi pencemaran nama baik itu sendiri, serta merekonstruksi elemen-elemen dalam perkara hasutan kebencian.

Meski begitu, Agata masih menyimpan kekhawatiran bahwa putusan ini belum tentu berdampak jangka panjang. UU ITE 2024 dianggapnya sebagai undang-undang jembatan, yang hanya berlaku sementara hingga diberlakukannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 2023 pada awal Januari 2026.

“Maka pertanyaan pentingnya adalah, apakah pertimbangan dalam putusan ini, terkait pencemaran nama baik dan hasutan kebencian—juga akan berlaku untuk ketentuan serupa dalam KUHP 2023? Karena kalau tidak, maka putusan ini hanya akan berlaku beberapa bulan, dan itu sangat disayangkan,” katanya.

Senada dengan Agata, Asfinawati mengatakan bahwa keputusan MK mencerminkan adanya kemajuan dalam pemahaman hukum terkait kehormatan manusia dan demokrasi. Namun, dia tidak menihilkan jika keputusan tersebut masih belum sepenuhnya tuntas menyelesaikan persoalan mendasar dalam sistem hukum di Indonesia. Bahwa kebebasan merupakan hak yang melekat pada martabat manusia bukan sekadar sesuatu yang diberikan oleh undang-undang. “Martabat itu hanya dimiliki oleh manusia, bukan lembaga. Jika lembaga bicara soal martabat, itu bisa jadi bentuk kesombongan institusional.”

Menurutnya martabat manusia merupakan unsur fundamental dalam sistem demokrasi, bahkan dianggap sebagai landasan dari demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, kebebasan individu dan kebebasan pers dalam konteks ini merujuk pada jurnalis sebagai individu, bukan lembaga media yang menjadi bentuk aktualisasi dari hak-hak demokratis.

Asfinawati turut mengkritisi anggapan bahwa keberadaan hukum semata cukup untuk menjamin demokrasi. Sebab hukum juga bisa menjadi instrumen penindasan, seperti yang terjadi dalam penerapan UU ITE dan sejumlah regulasi lainnya di Indonesia. “Ukuran demokrasi bukan hanya ada atau tidaknya hukum, tetapi apakah hukum itu mengakui kebebasan individu. Dalam hal ini, putusan MK merupakan langkah maju karena menegaskan bahwa lembaga negara tidak bisa serta-merta merasa dirugikan oleh kritik publik,” ujarnya.

Namun demikian, Asfinawati menjelaskan bahwa makna hukum tidak hanya datang dari teks undang-undang, melainkan juga dari interpretasi masyarakat. Hukum bukan hanya norma, tetapi juga makna. Dan makna itu tidak dimonopoli oleh DPR atau lembaga hukum, tetapi juga bisa dibentuk oleh masyarakat, akademisi, dan terutama jurnalis melalui kritik dan tulisan mereka.

Gugatan undang-undang melalui MK merupakan mekanisme masyarakat untuk mengoreksi hukum dalam mengawal kepentingan publik, “judicial review di MK adalah bentuk masyarakat memberi makna pada hukum. Tapi yang lebih penting dari keputusan MK adalah bagaimana keputusan itu dimaknai oleh masyarakat dan aparat hukum,” ucap Asfinawati.