Seminar Perludem Upaya Memperkuat Demokrasi yang Inklusif di Indonesia

Depok, Objektif.id – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyelenggarakan seminar bertajuk “Menjamin Hak Politik Kelompok Minoritas: Kelompok Pemuda, Perempuan, Masyarakat Adat, dan Buruh Migran,” pada Jumat, 13 Juni 2025, di ruang Boedi Harsono Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Seminar ini digelar sebagai bagian dari upaya memperkuat demokrasi yang inklusif di Indonesia dengan fokus pada perlindungan dan pemenuhan hak politik bagi kelompok minoritas yang selama ini menghadapi berbagai hambatan dalam partisipasi politik.

Direktur Eksekutif Perludem Khorunnisa N Agustyati, membuka acara dengan memaparkan bahwa demokrasi yang sejati harus mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Kelompok pemuda, perempuan, masyarakat adat, dan buruh migran merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki hak politik yang sama namun belum sepenuhnya terakomodasi dalam praktik demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, seminar ini bertujuan membuka ruang dialog dan mencari solusi konkret agar hak politik kelompok-kelompok ini dapat dijamin dan diperkuat secara berkelanjutan.

“Kelompok pemuda, perempuan, masyarakat adat, dan buruh migran merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki hak politik yang sama namun belum sepenuhnya terakomodasi dalam praktik demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, Pendidikan politik yang disesuaikan dengan kebutuhan kelompok pemuda, perempuan, masyarakat adat, dan buruh migran dapat membantu mereka lebih percaya diri dan aktif dalam proses demokrasi,” ujarnya.

Dalam seminar ini diisi juga oleh perwakilan dari komunitas masyarakat adat yang berbagi pengalaman nyata terkait hambatan yang mereka hadapi dalam mengakses hak politik. Narasumber dari kalangan aktivis perempuan dan pemuda turut menyampaikan tantangan yang sering mereka alami, seperti diskriminasi dan stereotip yang membatasi peran mereka dalam dunia politik. Sementara itu, perwakilan buruh migran menyoroti perlunya perlindungan hukum yang lebih kuat agar mereka dapat berpartisipasi secara politik baik di negara asal maupun di negara tujuan.

Salah satu isu utama yang diangkat adalah hambatan struktural yang menghalangi kelompok minoritas dalam mengakses hak politiknya. Kelompok pemuda sering dianggap belum cukup matang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, sedangkan perempuan masih menghadapi diskriminasi yang membatasi peran mereka. Sementara asyarakat adat mengalami kesulitan mempertahankan hak atas tanah dan sumber daya yang berimbas pada keterbatasan akses politik. Buruh migran pun kerap tidak memiliki perlindungan hukum memadai untuk berpartisipasi dalam politik.

Salah satu narasumber yang hadir Titi Anggraini, pakar demokrasi dan hak politik, membahas pentingnya inklusivitas dalam demokrasi dan bagaimana kelompok minoritas dapat terakomodasi secara efektif dalam proses politik. “Hak politik kelompok minoritas bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga kebutuhan demokrasi yang sehat dan berkelanjutan. Ketika semua kelompok masyarakat dapat berpartisipasi secara setara, proses pengambilan keputusan politik akan lebih representatif dan mencerminkan keberagaman masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi fondasi penting untuk demokrasi yang inklusif dan berkeadilan”, ujarnya.

Harapannya ada pada peran kebijakan publik dan regulasi yang harus diperkuat agar menjamin hak politik kelompok minoritas. Regulasi inklusif dan pelaksanaan yang konsisten menjadi kunci agar tidak ada diskriminasi dalam proses pemilu maupun kehidupan politik sehari-hari. Perludem menekankan pentingnya pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut agar efektif mengatasi hambatan yang dialami kelompok minoritas.

Narasumber perwakilan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Iffa Rosita, menjelaskan komitmen KPU dalam menjaga inklusivitas kelompok rentan, termasuk kelompok minoritas, dalam pelaksanaan pemilu. ia mengatakan telah ada regulasi yang mengatur tentang hak politik setiap masyarakat seperti yang tetuang dalam dasar hukum PKPU nomor 9 tahun 2022 yang mengcover bagaimana KPU sangat inklusif terhadap masyarakat dari berbagai basis di pemilihan, baik pemilu maupun pilkada. Ada pasal 28 ayat 1 dan ayat 2 dimana disebutkan hak masyarakat dari penyelenggaraan pemilu adalah menerima informasi pemilu atau pemilihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“jadi, ada beberapa hak dari pemilih kita untuk meminta mendapat informasi konfirmasi atau klarifikasi atas informasi pemilu dan dalam hal ini KPU harus sangat inklusif memberikan penjelasan agar masyarakat kita tidak menerima secara anomali jadi mereka menerima secara utuh dan valid karena itu kewajiban KPU dan karena kita harus mampu meningkatkan literasi pemilih melalui peraturan KPU yang kami terbitkan dan peraturan KPU juga merupakan turunan dari undang-undang pemerintah”, katanya.

Selain itu, seminar menyoroti pemanfaatan teknologi dan media sebagai sarana meningkatkan partisipasi politik kelompok minoritas. Kemajuan teknologi informasi memungkinkan akses informasi politik yang lebih mudah dan cepat, sehingga kelompok minoritas dapat lebih aktif mengikuti perkembangan politik dan menyuarakan aspirasi mereka. Namun, literasi digital yang memadai juga diperlukan agar teknologi dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa menimbulkan kesenjangan baru.

Sementara, politisi partai Demokrat sekaligus anggota DPRD Dapil 1 Jakarta, Desie Cheristie, membagikan pengalaman legislatif sebagai politisi perempuan dan cara mengadvokasi kelompok minioritas. “Pengalaman saya sendiri dari tahun 2008 hingga 2024 dan pengalaman saya yang paling berkesan itu di tahun 2024. Masalah minioritas pemuda dan masalah minioritas perempuan kebetulan ketum saya Srikandi, telah datang ke HAM untuk komnas HAM perempuan minggu lalu untuk sepakat mengawali rancangan undang-undang masyarakat adat. Jadi, Bu Kirli, pastinya mendukung undang-undang RUU kelompok masyarakat.”

Seminar dihadiri oleh berbagai perwakilan komunitas minoritas yang berbagi pengalaman dan tantangan dalam berpolitik. Kesaksian mereka memberikan gambaran nyata bahwa hak politik kelompok minoritas masih sering diabaikan atau tidak dipenuhi secara optimal. Hal ini menjadi pengingat bagi seluruh pemangku kepentingan bahwa upaya menjamin hak politik kelompok minoritas harus terus diperkuat dan didukung oleh semua pihak.

Sesi tanya jawab yang interaktif memberikan kesempatan bagi peserta untuk menyampaikan pertanyaan dan masukan langsung kepada para narasumber. Interaksi ini memperdalam pemahaman dan memperkuat komitmen bersama untuk mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi kelompok minoritas dalam konteks politik. Diskusi yang berlangsung dinamis ini menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam memperjuangkan hak politik yang inklusif.

Perludem berkomitmen melakukan pemantauan, advokasi, dan edukasi agar hak politik kelompok minoritas benar-benar terwujud dalam praktik demokrasi di Indonesia. Kerja sama dengan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas minoritas menjadi kunci keberhasilan upaya ini.

Meski begitu, menurut politisi Partai Amanat Nasional, Farah Valensiyah Inggrid, mengatakan dari data yang dia peroleh sebanyak 30% para pemilih muda merasa suaranya kurang berpengaruh sehingga mereka tidak tertarik pada politik itu sendiri, “akhirnya mereka enggak suka ataupun menghindari politik itu sendiri, padahal kebijakan-kebijakan pemerintah itu asalnya bermuara dari pemerintah. hambatannya adalah, yang pertama kurangnya pengalaman dan pemahaman politik di kalangan anak muda dan yang kedua adalah persaingan dengan kandidat mapan ketika seorang pemuda mau menjadi calek kriterianya apa yang dipikirkan stereotyping”, katanya.

Pada penghujung acara terbentuk kesepakatan perihal demokrasi inklusif dan berkeadilan hanya dapat terwujud jika hak politik kelompok minoritas dihormati dan dijamin. Semua pihak diajak mengawal proses demokrasi agar lebih terbuka dan ramah terhadap keberagaman. Seminar ini menjadi momentum penting untuk mengingatkan bahwa demokrasi harus menjadi milik semua, tanpa terkecuali.

Dengan terselenggaranya seminar ini, diharapkan kesadaran dan komitmen untuk menjamin hak politik kelompok minoritas semakin meningkat, sehingga Indonesia dapat mewujudkan semangat demokrasi. Perludem akan terus menjadi salah elemen penting digarda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak politik kelompok minoritas demi masa depan demokrasi yang lebih baik di tanah air.

Belajar dari Ambang Kehancuran: Menakar Posisi Indonesia Melalui Lensa Collapse Karya Jared Diamond

Penulis: Rizal Saputra H. Sembaga (Mahasiswa Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo)

Dalam karyanya yang monumental Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed, Jared Diamond, menggugah kesadaran kita bahwa keruntuhan suatu peradaban tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari akumulasi keputusan sosial, kebijakan politik, dan respons terhadap tekanan lingkungan. Lewat pendekatan multidisipliner, Diamond membedah penyebab runtuhnya berbagai masyarakat — dari Pulau Paskah hingga Kekaisaran Khmer — dengan membandingkannya pada masyarakat modern yang menghadapi krisis yang sama. Dua studi kasus penting, yakni perbandingan Republik Dominika vs Haiti, serta Montana di Amerika Serikat, menjadi cermin reflektif yang sangat relevan bagi Indonesia saat ini.

Republik Dominika vs Haiti: Satu Pulau, Dua Takdir

Pulau Hispaniola di Karibia menjadi laboratorium sosial yang unik. Ia dihuni oleh dua negara: Haiti dan Republik Dominika. Meskipun berbagi ekosistem yang sama, kedua negara memiliki nasib yang sangat berbeda.

  • Haiti: Gambaran Keruntuhan Ekologis Haiti adalah contoh nyata dari masyarakat yang runtuh karena eksploitasi alam yang tak terkendali. Sekitar 98% hutan di Haiti telah hilang akibat penebangan untuk kayu bakar dan perluasan lahan pertanian. Negara ini juga menghadapi kemiskinan ekstrem, pemerintahan yang korup, dan lemahnya penegakan hukum. Tanpa sumber daya alam yang cukup, Haiti terperosok dalam siklus bencana ekologis dan kemanusiaan yang tiada akhir.
  • Republik Dominika: Jalan Menuju Pemulihan Sebaliknya, Republik Dominika, di bawah kepemimpinan Presiden Joaquín Balaguer pada 1960–1990, berhasil menghindari keruntuhan. Ia menerapkan kebijakan konservasi hutan yang agresif, melarang penebangan liar, dan memperkuat lembaga perlindungan lingkungan. Meski rezimnya otoriter, hasilnya nyata: tutupan hutan tetap terjaga, banjir dapat dikendalikan, dan ketahanan ekologis masyarakat meningkat.

Montana: Potret Dilema dalam Negara Maju

Montana, negara bagian di Amerika Serikat yang kaya akan sumber daya alam dan dikenal akan keindahan alamnya, justru menghadapi degradasi ekologis yang serius. Penebangan liar, tambang logam berat yang mencemari tanah dan air, serta peternakan yang merusak padang rumput telah memperlihatkan paradoks negara maju: modernitas dan teknologi tak menjamin keberlanjutan jika tidak ada kesadaran dan regulasi yang tepat. Ironisnya, banyak penduduk Montana menolak campur tangan pemerintah dalam masalah lingkungan, meskipun mereka sangat bergantung pada subsidi federal untuk bertahan. Ini menunjukkan bahwa ideologi politik bisa menjadi penghalang dalam upaya penyelamatan lingkungan.

Kontekstualisasi terhadap Indonesia: Menelusuri Benang Merahnya

Ketika kita mencermati tiga kasus di atas, kita menemukan bahwa Indonesia memiliki sumbu keterkaitan yang kuat dengan semua elemen permasalahan yang dibedah Diamond. Berikut ini telaahnya:

Kerusakan Lingkungan yang Kian Sistemik

Seperti Haiti, Indonesia menghadapi deforestasi dalam skala besar. Data KLHK menunjukkan bahwa sejak 2000, jutaan hektar hutan Indonesia hilang karena pembalakan liar, ekspansi sawit, dan tambang. Contoh paling nyata adalah degradasi hutan di Kalimantan dan Papua, serta ancaman terhadap Raja Ampat akibat rencana pertambangan nikel. Ini sangat mirip dengan Haiti: eksploitasi alam menjadi jalan keluar jangka pendek dari masalah ekonomi, namun menjadi bumerang dalam jangka panjang.

Ketimpangan Sosial dan Ketergantungan Ekonomi

Seperti masyarakat Haiti dan petani Montana, banyak kelompok masyarakat di Indonesia masih bergantung pada sumber daya alam dalam kondisi ketidakpastian ekonomi. Kemiskinan struktural dan ketimpangan distribusi kekayaan mendorong masyarakat untuk menebang hutan, membakar lahan, dan menambang secara ilegal. Hal ini diperparah oleh lemahnya alternatif ekonomi berkelanjutan yang ditawarkan pemerintah.

Kepemimpinan dan Visi Politik yang Lemah dalam Perlindungan Lingkungan

Jika Republik Dominika bisa selamat karena visi ekologis seorang pemimpin, maka Indonesia hari ini menghadapi tantangan besar dari lemahnya kehendak politik untuk menjaga lingkungan. Pembangunan yang berorientasi infrastruktur dan investasi asing seringkali dilakukan dengan mengorbankan kawasan ekosistem esensial. Kasus alih fungsi hutan di Kalimantan untuk IKN atau pembiaran terhadap tambang di wilayah adat menunjukkan bahwa keberpihakan negara masih condong ke ekonomi ekstraktif.

Penegakan Hukum dan Tata Kelola yang Rapuh

Sama seperti Haiti yang gagal menegakkan aturan konservasi, Indonesia juga menghadapi persoalan serius dalam penegakan hukum lingkungan. Banyak perusahaan yang melakukan perusakan hutan tetap lolos dari jerat hukum. Sementara itu, masyarakat adat dan aktivis lingkungan yang mempertahankan tanahnya justru dikriminalisasi. Ini menunjukkan lemahnya tata kelola yang berpihak pada keberlanjutan.

Potensi dan Harapan: Belajar dari Republik Dominika dan Kesadaran Rakyat Montana

Namun Indonesia belum terlambat. Seperti Dominika, Indonesia memiliki potensi besar dalam sumber daya manusia dan biodiversitas. Di banyak daerah, masyarakat adat masih menjaga hutan dengan kearifan lokal mereka. Gerakan masyarakat sipil dan kesadaran publik terhadap isu iklim juga meningkat. Indonesia bisa mengambil jalur pemulihan seperti Dominika-jika didukung oleh kebijakan politik yang berani, investasi dalam energi hijau, dan pendidikan lingkungan yang masif.

Kesimpulan: Jalan Menuju Kelestarian atau Kehancuran

Jared Diamond menunjukkan bahwa peradaban runtuh bukan karena takdir, tetapi karena pilihan. Republik Dominika memilih untuk bertahan. Haiti memilih untuk membiarkan dirinya runtuh. Montana berada di tengah dilema ideologi dan pragmatisme. Indonesia kini berada di titik kritis: apakah akan menjadi Haiti berikutnya-negara yang tersandera eksploitasi alam dan ketimpangan sosial-atau memilih menjadi seperti Republik Dominika-negara yang menyelamatkan masa depannya dengan menyelamatkan lingkungan hari ini? Pilihan itu ada di tangan kita. Dalam kebijakan. Dalam kesadaran kolektif. Dan dalam tindakan nyata.

Penutup : Catatan Pribadi dan Seruan Moral

Sebagai warga negara yang tumbuh ditanah yang subur dan kaya akan sumber daya alam, saya tudak bisa diam dan berpangku tangan melihat arah pembangunan yang kerap kali mengabaikan keberlanjutan. Kasus Haiti bukan hanya kisah negeri yang jauh di karibia tapi ini menjadi cerminan untuk indonesia sebagai refleksi atas pengambilan kebijakan dalam menangani permasalahan lingkungan. Itu adalah cermin yang bisa memantulkan bayangan masa depan Indonesia jika kita terus membiarkan tambang menggantikan hutan, sawit menggantikan rawa gambut, dan beton menggantikan sungai.

Kita tidak kekurangan data, tidak kekurangan hukum, tidak kekurangan sumber daya. Yang kurang pada kita adalah kemauan politik dan kesadaran moral kolektif. Kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya berpikir tentang lima tahun ke depan, tetapi tentang keberlangsungan hidup anak cucu kita. Kita juga membutuhkan rakyat yang berani bersuara ketika hutan ditebang, ketika air tercemar, ketika tanah leluhur dijual atas nama “pembangunan”. Belajar dari kisah Republik Dominika, kita tahu bahwa perubahan itu mungkin. Ia tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi diperjuangkan—oleh pemimpin yang berani, oleh masyarakat yang sadar, oleh hukum yang ditegakkan tanpa pandang bulu. Maka, ketika kita ditanya: “Apakah Indonesia akan selamat?”, jawabannya tergantung pada apa yang kita lakukan hari ini. Diam adalah pilihan. Melawan perusakan juga pilihan. Dan masa depan adalah akibat dari pilihan-pilihan itu.

Politik Dinasti Dari Rahim Kolusi Tiga Pilar Demokrasi

Objektif.Id-Indonesia merupakan negara hukum yang menganut sistem demokrasi dengan prinsip trias politica. Sebagai bentuknya, membagi lembaga atau memisahkan kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk memastikan adanya sistem pengawasan dan keseimbangan (chack and belens). Ketiga pilar ini harus saling mengawasi dan menyeimbangkan demi terwujudnya pemerintahan yang baik dan akuntabel.

Namun disisi lain, dalil demokrasi yang ideal itu bisa di robohkan dengan penyelenggaraan praktik-praktik politik dinasti. Hal ini, bukannya saling menyeimbangkan tapi melainkan adanya potensi saling mendukung dan bahkan memperkuat cengraman kekuasaan dalam satu keluarga atau kelompok.

Dalam fenomena politik dinasti, menjadikan jabatan publik sebagai instrumen strategis yang di dominasi oleh anggota-angota keluarga dengan tujuan untuk memperkokoh wilayah kekuasaan. Akar kekuasaan ini, biasanya bersumber dari kekuasaan finansial dan relasi yang kuat. Ketika pengaruh dinasti ini berkembang dan masuk di organ kekuasaan, maka akan menimbulkan problematika.

Misalnya dalam ranah eksekutif, anggota dinasti dapat menduduki kursi kepala daerah, Mentri, atau bahkan presiden. Sehingga dengan kekuatan ini, mereka memiliki kendali langsung atas kebijakan, anggaran, dan birokrasi. Kebijakan yang dibuat bukan semata-mata untuk kemaslahatan publik, akan tetapi bisa jadi diarahkan untuk kepentingan memperkuat
Posisi dinasti.

Kemudian cengraman ini bisa masuk dan meluas ke legislatif. Anggota kerabat dan keluarga dekat berhasil menduduki kursi di parlemen, baik itu di tingkat pusat maupun di daerah. Dengan skema ini mereka dapat memengaruhi proses legislasi, pengawasan, dan pengesahan anggaran. Coba di bayangkan, bagaimana pengawasan terhadap eksekutif akan efektif jikalau legislatifnya di isi oleh kerabat atau keluarga yang memiliki kepentingan yang sama?

Tak berhenti di situ, tantangan terbesar muncul ketika pengaruh dinasti mencoba menyentuh ranah yudikatif. Lembaga peradilan adalah benteng terakhir keadilan dan penegakan hukum. Intervensi atau tekanan politik dari kekuatan dinasti, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mengancam independensi hakim dan jaksa.

Keputusan hukum yang seharusnya didasarkan pada kebenaran dan keadilan bisa terdistorsi demi melindungi kepentingan dinasti, atau sebaliknya, menjatuhkan lawan politik dinasti tersebut. Jika peradilan tidak lagi independen, maka mekanisme checks and balances akan lumpuh, dan keadilan menjadi barang mahal bagi rakyat biasa.

Ketika ketiga pilar ini (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) saling terkoneksi dalam jejaring dinasti, yang terjadi adalah konsolidasi kekuasaan yang berlebihan. Batas-batas antara kekuasaan menjadi kabur, dan potensi penyalahgunaan wewenang meningkat drastis. Akibatnya, ruang bagi oposisi mengecil, partisipasi publik terbatas, dan praktik korupsi bisa tumbuh subur karena minimnya pengawasan eksternal dan internal yang efektif.

Maka dari itu, untuk menjaga demokrasi tetap sehat, kita perlu terus memperkuat independensi masing-masing pilar. Peran masyarakat sipil, media yang kritis, dan sistem hukum yang kuat menjadi krusial. Memastikan bahwa setiap pengisian jabatan didasarkan pada kompetensi dan integritas, bukan karena ikatan darah atau kedekatan, adalah prasyusrat mutlak. Sebab, checks and bales hanya akan berfungsi jika setiap pilar benar-benar independen dan berani menjalankan fungsinya, tanpa terjerat dalam lilitan kepentingan dinasti.

Penulis : Mr. Yonex

Editor: Redaksi

10 Hari Menuju Pemilma, KPUM Masih Pusing Tentukan Metode Pemilihan

Istimewa

Kendari, Objektif.id – Tersisa 10 hari menjelang pemilihan umum mahasiswa (Pemilma) 2024 di IAIN Kendari, namun KPUM masih diperhadapkan dengan kebimbangan menentukan pelaksanaan teknis pemilihan tahun ini.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM), Rahmat, mengakui bahwa hingga saat ini belum ada kepastian tentang metode pemilihan yang akan digunakan pada pemilihan Senat Mahasiswa (Sema) yang dijadwalkan berlangsung 12 Desember 2024, dan kemudian disusul dengan pemilihan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) pada 26 Desember 2024.

Kebingungan menentukan metode pemilihan ini terlihat memprihatinkan, mengingat Pemilma adalah agenda tahunan yang mestinya telah dirancang matang jauh hari. Akan tetapi, yang terjadi adalah KPUM tampak terombang-ambing untuk memilih metode apa yang akan digunakan nantinya.

“Kami masih berkomunikasi dengan TIPD dan pihak terkait lainnya untuk menentukan apakah pemilihan dilakukan secara online, semi-offline, atau offline,” ungkap Rahmat pada Senin, (2/12/2024). Sebuah jawaban yang terdengar seperti pengakuan bahwa persiapan dasar Pemilma masih jauh dari kata tuntas.

Bahwa berdasarkan hasil verifikasi berkas partai politik mahasiswa (parpolma) yang dilakukan oleh KPUM, dipastikan lima partai mahasiswa telah lolos untuk bertarung pada kontestasi pemilma tahun ini. Namun, hal itu justru terancam kehilangan atmosfer pertarungan demokratis jika ketidakpastian metode pemilihan menjadi tidak jelas.

Selain itu, Rahmat juga turut menyampaikan bahwa teknis pelaksanaan apapun yang digunakan, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan.

“Baik online maupun offline, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Tapi yang utama adalah memastikan keadilan dan transparansi tetap terjaga agar kecurangan dan hal-hal merugikan lainnya dapat diantisipasi. Data pun tidak akan kami bocorkan sembarangan,” ucap Rahmat penuh keyakinan.

Pernyataan itu mungkin terdengar menenangkan. Tapi, apakah jaminan ini cukup? Dalam situasi di mana belum ada kejelasan teknis pelaksanaan pemilihan yang ditentukan oleh KPUM.

Ketidakjelasan ini tentunya memicu keresahan. Bagaimana mahasiswa bisa percaya pada proses demokrasi pemilma jika teknis pelaksanaannya saja belum jelas, dengan waktu menuju pemilma yang sangat dekat.

Di sisi lain, Rahmat berpendapat jika antusiasme mahasiswa terhadap Pemilma tahun ini disebut meningkat daripada sebelumnya. “Pergerakan politik mahasiswa semakin berkembang, ini menunjukkan demokrasi di kampus makin baik,” klaim Rahmat.

Namun, bagaimana demokrasi bisa berjalan dengan baik jika transparansi, dan kejelasan teknis menjadi tanda tanya? Oleh karena itu, antusiasme mahasiswa yang meningkat sebagaimana diklaim oleh KPUM, bisa saja berubah menjadi kekecewaan jika KPUM gagal menunjukkan keseriusan dalam menjalankan tugasnya.

Di tengah kendala yang dihadapi KPUM, mahasiswa berharap pemilma 2024 menjadi ajang pembelajaran politik, bukan sekadar rutinitas tahunan. momen politik kampus adalah pembelajaran yang bisa menjadi bekal bagi mahasiswa dalam memahami dan menjalankan demokrasi.

Akan tetapi harapan itu hanya akan menjadi slogan kosong jika KPUM tidak segera menunjukkan kinerja yang jelas dalam waktu yang semakin sempit. Terutama pada hal-hal dasar pelaksanaan pemilma. KPUM harus komitmen membuktikan bahwa Pemilma adalah ajang demokrasi sejati, bukan formalitas yang hanya mengisi kalender tahunan.

Penulis: Khaerunnisa & Alisa (anggota muda)
Editor: Hajar

Demi Pilkada Yang Demokratis, Ketua HMI Komisariat Ibnu Rusyd IAIN Kendari Himbau ASN Bersikap Netral

Kendari, Objektif.id – Kontestasi demokrasi saat ini tengah menghangat di seluruh pelosok negeri, termasuk di jazirah Sulawesi bagian Tenggara, yang tidak lama lagi akan memasuki musim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada tahun 2024, yang tentu sangat menarik antusiasme yang tinggi kepada setiap elemen masyarakat untuk mempersiapkan diri dalam menyukseskan pesta demokrasi yang akan datang.

Bahwa pada pilkada tahun 2024 ini, nantinya akan melibatkan berbagai jenjang kontestasi politik, mulai dari provinsi, kabupaten, dan kota, sehingga intensitas atmosfer demokrasi terasa semakin tinggi. Apa lagi dengan ragam perkembangan politik yang setiap waktu berubah dengan begitu dinamis.

Namun dalam menyambut pesta demokrasi yang akan diselenggarakan pada 27 November mendatang, tak terkecuali Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Ibnu Rusyd IAIN Kendari yang tidak hanya sekadar menyambut pesta demokrasi ini sebagai momen pemilihan pemimpin semata, akan tetapi masih senantiasa Istiqomah menyampaikan kesadaran kritisnya tentang pentingnya menjaga netralitas, terutama di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan kepala desa.

Sehingga sebagai organisasi mahasiswa, HMI Komisariat Ibnu Rusyd menegaskan komitmennya untuk mengawal jalannya Pilkada 2024 agar menjadi ruang demokrasi yang sehat dan adil.

Hal itu kemudian disampaikan oleh Ketua Umum HMI Komisariat Ibnu Rusyd, Al-Izar, dalam keterangannya kepada Objektif.id yang menekankan pentingnya netralitas ASN dan kepala desa dalam Pilkada mendatang.

“Sebagai organisasi kemahasiswaan, kami tidak hanya diam mengamati dari jauh. Kami akan melakukan pemantauan dan memastikan bahwa ASN tetap menjaga netralitasnya. Ini demi memastikan bahwa Pilkada tahun 2024 berjalan sesuai asas demokrasi yang benar,” ungkap Al-Izar.

Menurutnya, ASN memegang peran vital dalam menciptakan pemilu yang demokratis dan adil. “perlu diketahui, netralitas ASN merupakan salah satu landasan utama dalam mewujudkan pemilihan dengan tetap berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”, katanya.

Bagi Al-Izar, netralitas ASN menjadi bagian dari pilar utama dalam menciptakan suasana pemilihan yang damai. “ASN tidak boleh terlibat politik praktis, apalagi menjadi alat atau perpanjangan tangan pihak-pihak tertentu yang akan mencederai esensi dari demokrasi itu sendiri, yang nanti akan menimbulkan kegaduhan diruang publik”, ujarnya dengan tegas.

Sebagai mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) IAIN Kendari periode 2022-2023, Al-Izar menambahkan bahwa betapa pentingnya untuk memastikan proses pilkada yang adil tanpa ditunggangi kepentingan yang akan merusak prinsip-prinsip demokrasi.

Olehnya Itu, dia menginginkan agar ada keterlibatan aktif masyarakat secara kolektif, dalam memastikan Pilkada yang berintegritas. “Kami ingin ada partisipasi publik dalam mengawal pilkada ini menjadi pesta demokrasi yang sehat dan bersih dari praktik-praktik pembangkangan nilai-nilai demokrasi itu sendiri”, tambahnya.

Selain itu, Al-Izar juga menyampaikan harapannya agar semua pihak, termasuk para calon kepala daerah, tim sukses, dan simpatisan, untuk bisa saling menghormati.

Bahwa pertarungan politik bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah, tetapi bagaimana proses tersebut dapat menciptakan iklim politik yang sehat dan damai.

“Tantangan politik kita bukan soal siapa yang terpilih dan tidak , tetapi juga bagaimana kita memastikan bahwa proses demokrasi ini bisa berjalan dengan damai dengan memahami apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan”, pungkas Al-Izar.

Dengan pesan moral yang disampaikan Al-Izar tentang netralitas ASN seharusnya itu menjadi perhatian secara serius kepada seluruh masyarakat agar dapat berpartisipasi aktif dalam membangun iklim demokrasi yang bebas dari kepentingan kelompok tertentu.

Penulis: Hajar86 & Aulia Permata Ashar/anggota muda
Editor: Tim redaksi

Simposium Demokrasi dan Politik oleh SEMA Syariah IAIN Kendari: Membangun Nalar Kritis Mahasiswa

Kendari, Objektif.id – Suasana berbeda terasa di Aula Mini Perpustakaan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari pada Senin (28/10/2024). Pagi itu, lebih dari 150 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kendari tampak antusias menghadiri Simposium Hukum, Demokrasi, dan Politik yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa (Sema) Fakultas Syariah IAIN Kendari.

Para peserta yang hadir berasal dari beberapa kampus di Kendari, seperti Universitas Halu Oleo, Universitas Muhammadiyah, Universitas Sulawesi Tenggara, dan STIE 66.

Bahwa kehadiran mereka tidak hanya untuk mendengarkan, tetapi juga berpartisipasi dalam diskusi yang bertujuan menajamkan nalar kritis sebagai pemilih muda, yang nantinya akan menjadi generasi penting dalam dinamika politik yang terus berkembang.

Pada simposium kali ini Sema Syariah mengangkat tema “Restorasi Demokrasi: Eksistensi Kedaulatan Rakyat dalam Menentukan Arah Sulawesi Tenggara.” Tema ini dianggap sangat relevan dengan Pilkada serentak yang akan digelar pada 27 November mendatang, yang mana pemilih muda akan memainkan peran penting dalam menentukan pemimpin yang membawa aspirasi masyarakat luas.

Selain antusiasme dari mahasiswa, simposium ini juga dihadiri oleh Prof. Dr. Kamaruddin, Dekan Fakultas Syariah, yang menyampaikan pentingnya kegiatan semacam ini dalam situasi demokrasi yang kian dinamis.

Menurutnya, restorasi demokrasi adalah hal yang perlu untuk dipahami oleh mahasiswa agar mereka tidak hanya cerdas dalam teori tetapi juga bijak dalam praktik politik nyata.

“Mahasiswa diharapkan memahami demokrasi secara komprehensif, terutama dalam menghadapi pemilihan serentak yang akan datang,” tegas Prof. Kamaruddin, yang menekankan pentingnya peran mahasiswa sebagai generasi yang akan menjadi pemimpin masa depan.

Sementara itu, ditempat yang sama Muhammad Ikbal, sebagai Ketua Sema Fakultas Syariah, menjelaskan bahwa acara ini bukan sekadar kegiatan akademik biasa. Baginya, simposium ini adalah wadah untuk mengajak mahasiswa lebih kritis dalam melihat realitas politik, terutama ketika mereka akan menggunakan hak pilihnya.

“Sebagai masyarakat, kita harus bijak dalam memilih pemimpin yang bisa membawa Sultra ke arah yang lebih sejahtera. Menggunakan hak politik secara baik dan benar sangat penting,” kata Ikbal, penuh semangat.

Dalam kegiatan ini para peserta juga merasakan manfaat terutama dalam menambah pemahaman mereka tentang demokrasi menjelang pemilihan serentak pada November mendatang.

Hal itu disampaikan oleh Fiqih, sebagai mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Kendari, dia mengungkapkan bahwa simposium ini memberikan wawasan baru yang sangat relevan dengan konteks pilkada.

“Ilmu yang kami dapatkan sangat bermanfaat. Materi yang disampaikan membuat kami lebih jeli dalam memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan pada pilkada serentak nanti,” katanya dengan penuh semangat.

Harapannya, mahasiswa tidak hanya mampu menjadi pemilih yang cerdas, tetapi juga agen perubahan dalam kehidupan politik yang lebih sehat dan bertanggung jawab di masa depan.

Dengan adanya simposium ini semoga bukan hanya menjadi ruang diskusi, tetapi juga memantik kesadaran kritis di kalangan mahasiswa Kendari, tapi juga sebagai jembatan bagi mahasiswa untuk belajar memahami demokrasi yang sesungguhnya di tengah hiruk-pikuk politik yang kadang membingungkan.

Penulis: Aril Saputra & Indra Rajid (anggota muda)
Editor: Andi Tendri

Edukasi Pemilih Muda Lewat Layar Lebar: KPU Kendari Gelar Nobar “Tepati Janji” di IAIN Kendari

Kendari, Objektif.id – Pada Senin sore (28/10/2024), suasana di Aula Lab Multimedia Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari berbeda dari biasanya. Sebab puluhan mahasiswa dari berbagai program studi tampak antusias memadati kegiatan nonton bareng (nobar) yang diinisiasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Kendari.

Selain mahasiswa, kegiatan nobar film yang berjudul “Tepati Janji” ini dihadiri juga oleh tokoh-tokoh penting kampus, seperti Rektor IAIN Kendari, Prof. Dr. Husain Insawan, M.Ag., dan Wakil Rektor III Dr. Sitti Fauziah, M.S.Pd.I., M.Pd.

Film ini dipilih bukan tanpa alasan, Karena menurut Kahar Taba, salah satu anggota KPU Kota Kendari, bahwa film “Tepati Janji” menjadi penting sebagai bahan evaluasi kepemimpinan sebagaimana dengan tema yang diangkat pada film ini, yaitu komitmen seorang pemimpin dalam menunaikan janji kepada masyarakat.

Sehingga film tersebut menjadi sebuah refleksi kesadaran kritis kepada para pemimpin dan masyarakat tentang bagaimana mengawal dan mempertanggungjawabkan amanah yang telah diberikan kepada pemimpin agar terlaksana sesuai dengan apa yang dicita-citakan bersama.

“Melalui film ini, kami berharap mahasiswa bisa mengawal kepentingan publik sesuai dengan tujuan yang telah disepakati bersama, serta memahami nilai penting dari sebuah kepemimpinan yang berintegritas dan bertanggungjawab,” ujar Kahar.

Baginya, kegiatan nobar ini adalah bagian dari program sosialisasi yang ditujukan untuk memperluas wawasan pemilih muda mengenai esensi demokrasi agar supaya pandai memilah sebelum memilih setiap calon pemimpin yang akan berkontestasi nantinya.

“Tujuan kami, agar mereka bisa memahami apa itu Pilkada dan nilai-nilai demokrasi yang terkandung didalamnya, agar mereka mampu melihat visi serta misi pasangan calon yang akan bertarung nanti,” katanya dengan penuh optimisme.

Harapannya adalah, dengan kehadiran mahasiswa yang ditandai melalui estimasi masa yang tidak sedikit, semoga mereka datang bukan hanya sekadar untuk menonton film, tetapi diluar daripada itu diharapkan mereka memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang apa itu demokrasi.

Sementara itu, salah satu peserta nobar, Sherly Afriani, mahasiswa Program Pendidikan Ekonomi Syariah, merasakan manfaat dari kegiatan ini. Ia mengaku banyak belajar tentang cara memilih pemimpin yang tepat dari film tersebut.

“Film tadi sangat menarik, banyak pelajaran yang bisa diambil, terutama tentang bagaimana kita bisa memilih pemimpin yang benar-benar punya komitmen untuk memimpin ke arah yang lebih baik,” ungkapnya sambil tersenyum.

Sherly juga menyampaikan harapannya agar Pilkada mendatang dapat melahirkan sosok pemimpin yang memprioritaskan kepentingan rakyat, khususnya di Sulawesi Tenggara. “Semoga pemimpin yang terpilih nanti bisa bekerja lebih baik lagi dari pemimpin-pemimpin sebelumnya,” tambahnya dengan penuh harapan.

Kegiatan ini diharapkan tidak hanya menjadi hiburan bagi mahasiswa. Lebih dari itu, nobar film “Tepati Janji” harus menjadi medium efektif untuk merangkul dan mendidik pemilih muda tentang pentingnya kesadaran terhadap partisipasi politik.

Bahwa di tengah perkembangan politik yang semakin dinamis, langkah KPU Kota Kendari dalam memberikan edukasi nilai-nilai demokrasi melalui nobar film “Tepati Janji” semoga dapat menumbuhkan kesadaran politik yang lebih luas dikalangan generasi muda, yang kelak akan menjadi penentu masa depan demokrasi bangsa.

Penulis: Khaerunnisa

Editor: Tim redaksi

Politik Kekecewaan Racun Bagi Demokrasi 

Objektif.id – Tujuan dari politik bukan hanya sebagai cara untuk meraih kekuasaan, tetapi juga strategi dalam menyelaraskan perbedaan untuk hidup bersama. Namun, apa jadinya jika cita-cita keinginan hidup bersama tercederai atas kepentingan pihak tertentu yang mengklaim diri dengan bangga jika persoalan personal adalah representasi semua golongan. Tidak fair kalau ketidakpuasan beberapa individu kepada individu lainnya ingin dijadikan dasar terbentuknya kekecewaan secara kolektif, yang dalam anggapan mereka telah mewakili semua entitas.

Istilah fatsun politik sakit hati muncul atas keadaan peristiwa politik dramatis dengan membuat gerakan sebagai juru selamat dan seakan-akan itu adalah tindakan idealis yang tidak akan mengecewakan, tetapi siapa yang bisa menjamin? Jangan sampai lokomotif penggeraknya penuh gimik belaka melalui kemasan pencitraan baik yang palsu. Idealnya, sebelum mulut menceritakan keburukan orang lain, penting untuk mengecek hidung terlebih dahulu apakah bisa mencium kebusukan diri sendiri. Oleh karena itu, sopan santun politik yang berbasis sakit hati sejatinya hanya akan menghasilkan iklim politik disintegrasi yang mengandalkan perang narasi tidak objektif. Kalaupun menghasilkan persatuan, itu hanya bersifat sementara, melahirkan anak banci, tersesat dan merusak pergerakan.

Sebenarnya pandangan ketidakpuasan hanya sebagai alasan klise yang hadir pada setiap generasi, jika ditinjau dari indera penciuman seorang aktivis, gerakan insidental itu merupakan gangguan mental dari perasaan-perasaan menyedihkan yang timbul akibat kehilangan legitimasi dan superioritas terhadap diri mereka kepada orang lain atau pada perkumpulan tertentu. Kalaupun asumsi tersebut benar adanya maka secara eksplisit bisa kita simpulkan bahwa apa yang dilakukan hanya mementingkan ego sendiri. Haruskah sikap selalu merasa paling penting dan berpengaruh itu dilanggengkan?

Akan lebih beretika kalau kita saling introspeksi diri, bukan malah merasa paling bermoral. Jika hanya memandang pada satu sisi yakni sisi kekecewaan semata, orang akan kehilangan sudut pandang yang lain. Dari sisi kekecewaan saja, yang datang pada diri sendiri hanyalah sakit hati dan dendam. Ketidakpuasan diri sendiri terhadap seseorang memang sifatnya manusiawi, begitupun sebaliknya. Jangan sampai ketidakpuasan seolah-seolah menjadi kabut tebal sakit hati dalam menilai seseorang hingga memunculkan gerakan partisan yang mengorbankan banyak generasi nantinya.

Apakah hari ini kita tengah menguatkan tesis yang mengatakan salah satu symptoom paling menonjol adalah meningkatnya prevalensi baru yang bersifat individualism bukan lagi sosial-horizontal. Sesama manusia yang berkumpul di satu tempat yang sama kita perlu saling mengingatkan untuk menjaga komitmen tolong-menolong, merawat dan saling membesarkan agar menghindari perilaku oportunistik.

Dengan demikian, maka kelompok yang terbentuk itu akan mampu mencapai tujuan-tujuan bersama secara lebih efisien. Kita harus meneladani sikap legowo Hannah Arendt, filsuf politik terkemuka abad 20 keturunan yahudi yang bersedia memaafkan Martin Heidegger yang menjadi salah satu tokoh propaganda nazi atas tindakannya di masa kekuasaan Hitler. Tapi fenomena sekarang kita paling gampang sekali melibatkan bawaan perasaan (baperan) untuk hal-hal yang idealnya bisa diselesaikan dengan bawaan candaan (bacaan).

Hampir pada setiap momentum kontestasi politik kedengkian selalu menjalar. Yang sangat menonjol ada tensi politik intens dan terstruktur dalam menghunuskan perpecahan dan permusuhan terhadap manusia yang akan dituduh mengecewakan. Coba kita telisik kembali, apa yang membuat mereka kecewa? Bukankah kekecewaan itu muncul karena perbedaan, sebab keinginan mereka tidak sesuai dengan harapan pribadi. Seharusnya ketika ada perbedaan selayaknya hal tersebut dihormati dan dihargai antar sesama bukan memojokkan dan memusuhi yang dibungkus dalam bingkai kekecewaan.

Semestinya pencerdasan politik atau pendidikan politik harus hadir sebagai cita-cita tentang diskursus kritis untuk mengucapkan selamat tinggal pada politik kebencian. Di zaman modern lawan kita bukan lagi antar sesama manusia, praktik saling menjatuhkan berlaku di masa baheula oleh peradaban primitif yang alergi dengan eksistensi lain. Sangat jelas di era kolaborasi saat ini masih banyak sisa-sisa manusia yang mengalami kelainan jiwa terhadap kegilaan pengakuan yang digerakkan oleh hasrat kekuasaan semata sehingga menimbulkan konflik yang memenuhi ruang-ruang harmoni keberagaman.

Jika dinilai secara objektif yang sedang menggulirkan kekecewaan bukan malaikat dan nabi, melainkan orang-orang mengecewakan juga dengan mulut besarnya dalam kantong-kantong kemunafikan. Gerakan yang di dalamnya dilandasi dengan sakit hati hanya akan memberikan afirmasi eksklusi dan sekat-sekat yang beroperasi menghasilkan dukungan politik yang nanti mengorbankan kaderisasi.

Ironisnya, alih-alih terwujud suatu solidaritas dan kedamaian, dukungan ekslusif justru semakin menegaskan segregasi yang dikuatkan dinding tebal dikotomi. Sadar atau tidak resiprokal yang berujung pemencilan, orang akan cenderung kehilangan sikap ramah terhadap perbedaan karena terhasut dan terjebak pada politik kebencian yang diseret dalam ego permainan kekuasaan yang tidak membentuk nilai-nilai soliditas secara utuh.

Persatuan dalam keberagaman rupanya telah direnggut oleh kepicikan demagog politik yang berupaya merepresentasikan kebencian dirinya telah mewakili secara mayoritas perasaan orang lain. Upaya menggeneralisasi ini adalah ingin mengesankan diri mereka sebagai pahlawan. Tidak ada yang menjamin yang sekarang menodong orang lain mengecewakan, apakah di masa mendatang mereka tidak akan mengecewakan? Gaya-gaya populisme yang sedang ditunjukan bisa menjadi masalah dalam politik manakala populisme berafiliasi dengan politik kepentingan sektarian yang tidak merata mengakomodasi kepentingan semua golongan yang ada; populisme oleh karenanya dianggap membahayakan dan mengancam soliditas sebab menggiring orang pada perpecahan. Dalam hidup ada keseimbangan, ada mulia dan jahat, ada malaikat bermuka iblis ada iblis bermuka malaikat. Benar apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “barangsiapa hanya memandang pada keceriaan saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit. Kalau tidak ingin ada kekecewaan silahkan ke akhirat.”

Implementasi politik sakit hati hanya akan memperpanjang konflik horizontal. Sebagai orang waras seharusnya ruang politik diwarnai dengan corak pertengkaran pikiran yang sehat. Kedewasaan dalam menyikapi seluruh rangkaian politik yang dinamis adalah orientasi penting untuk mewujudkan satu kekuatan soliditas agar menghentikan dikotomi kepentingan sektarian yang terus melebar.

Kemarahan bukanlah solusi, tetapi untuk memaklumi kemarahan, kita mesti mengalah sebab percuma berhadapan dengan orang yang sedang tidak waras walau hanya sementara, karena bagi Seneca, orang yang marah sedang mengalami “gila sementara” (temporary madness). Hal yang wajib menjadi perhatian adalah rasa kekecewaan seseorang tidak boleh menjadi senjata propaganda yang menodong untuk menyebarkan ketakutan (appeal to fear) dengan menunjuk satu pihak tertentu sebagai penyebabnya. Menyebarkan ketakutan tanpa alasan logis untuk mempengaruhi orang lain itu adalah tindakan pengecut. Sehingga penting bagi siapapun tidak mengambil keputusan secara emosional yang didasarkan oleh pernyataan yang menakut-nakuti.

Harapannya jangan lagi ada orang-orang dionisia (dionysian) dalam istilah Nietzsche adalah mereka yang lebih mempedulikan kebesaran diri dan penegasan kehidupan lainnya daripada mengikuti norma-norma politik. Dengan menuruti moralitas “tuan” dan mentalitas “pahlawan”, tindakan mereka cenderung tidak berbudi, tidak rasional, bernafsu dan politiknya bersifat aristokratik.

 

Editor: Hajar

Dalam Rangka Pemilu Damai 2024, Sahabat Adhyaksa Kejati Sultra Gelar Koordinasi bersama Polda Sultra dan Sultrademo

Kendari, Objektif.id – Sahabat Adhyaksa Kejati Sultra berkolaborasi bersama Pokdar Kamtibmas Polda Sultra, dan Sultrademo Pemantau Pemilu menggelar koordinasi di Mapolda Sultra pada, Rabu (15/11/2023).

Kegiatan ini bertajuk kampanye semarak keadilan pemilihan umum dengan mengangkat tema “Mitigasi Tindak Pidana Pemilu 2024, Menuju Indonesia Emas 2045”.

Ketua Umum Sahabat Adhyaksa Kejati Sultra Laode Hidayat, mengatakan acara ini merupakan wadah pemberian edukasi kepada masyarakat dan pihak penyelenggara pemilu untuk menyukseskan jalannya pesta demokrasi berkualitas dan damai sesuai dengan agenda Indonesia Emas 2045.

“Mengapa demikian karena bangsa ini ada agenda terkait Indonesia Emas 2045 dan agenda tersebut bisa kita capai apabila bangsa ini mengalami status politik yang berkualitas apa lagi kita pesta demokrasinya sekarang adalah pemilu serentak,” ungkapnya.

Ia juga menambahkan bahwa fokus kegiatan ini berada pada masalah yang sering terjadi pada saat berlangsungnya pemilu maupun pasca pemilu.

“Biasanya dalam proses pemilu ataupun setelahnya terdapat banyak masalah yang timbul seperti ujaran kebencian dan money politik, nah untuk itulah kita sosialisasikan melalui edukasi agar bangsa kita cerdas secara politik,” sambungnya.

Hidayat berharap kampanye semarak keadilan ini dapat menyentuh hingga ke pelosok-pelosok desa.

“Supaya masyarakat daerah dengan masyarakat di kota itu punya pemahaman yang sama terkait materi yang kami kampanyekan,” harapnya.

Diketahui, Sahabat Adhyaksa Kejati Sultra ini akan kembali menggelar kampanye semarak keadilan di 17 kabupaten kota yang nantinya akan bekerjasama dengan Kejari dan Bawaslu masing-masing kabupaten.

Penulis: Tesa Ayu Sri Natari

Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan