Demi Pilkada Yang Demokratis, Ketua HMI Komisariat Ibnu Rusyd IAIN Kendari Himbau ASN Bersikap Netral

Kendari, Objektif.id – Kontestasi demokrasi saat ini tengah menghangat di seluruh pelosok negeri, termasuk di jazirah Sulawesi bagian Tenggara, yang tidak lama lagi akan memasuki musim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada tahun 2024, yang tentu sangat menarik antusiasme yang tinggi kepada setiap elemen masyarakat untuk mempersiapkan diri dalam menyukseskan pesta demokrasi yang akan datang.

Bahwa pada pilkada tahun 2024 ini, nantinya akan melibatkan berbagai jenjang kontestasi politik, mulai dari provinsi, kabupaten, dan kota, sehingga intensitas atmosfer demokrasi terasa semakin tinggi. Apa lagi dengan ragam perkembangan politik yang setiap waktu berubah dengan begitu dinamis.

Namun dalam menyambut pesta demokrasi yang akan diselenggarakan pada 27 November mendatang, tak terkecuali Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Ibnu Rusyd IAIN Kendari yang tidak hanya sekadar menyambut pesta demokrasi ini sebagai momen pemilihan pemimpin semata, akan tetapi masih senantiasa Istiqomah menyampaikan kesadaran kritisnya tentang pentingnya menjaga netralitas, terutama di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan kepala desa.

Sehingga sebagai organisasi mahasiswa, HMI Komisariat Ibnu Rusyd menegaskan komitmennya untuk mengawal jalannya Pilkada 2024 agar menjadi ruang demokrasi yang sehat dan adil.

Hal itu kemudian disampaikan oleh Ketua Umum HMI Komisariat Ibnu Rusyd, Al-Izar, dalam keterangannya kepada Objektif.id yang menekankan pentingnya netralitas ASN dan kepala desa dalam Pilkada mendatang.

“Sebagai organisasi kemahasiswaan, kami tidak hanya diam mengamati dari jauh. Kami akan melakukan pemantauan dan memastikan bahwa ASN tetap menjaga netralitasnya. Ini demi memastikan bahwa Pilkada tahun 2024 berjalan sesuai asas demokrasi yang benar,” ungkap Al-Izar.

Menurutnya, ASN memegang peran vital dalam menciptakan pemilu yang demokratis dan adil. “perlu diketahui, netralitas ASN merupakan salah satu landasan utama dalam mewujudkan pemilihan dengan tetap berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”, katanya.

Bagi Al-Izar, netralitas ASN menjadi bagian dari pilar utama dalam menciptakan suasana pemilihan yang damai. “ASN tidak boleh terlibat politik praktis, apalagi menjadi alat atau perpanjangan tangan pihak-pihak tertentu yang akan mencederai esensi dari demokrasi itu sendiri, yang nanti akan menimbulkan kegaduhan diruang publik”, ujarnya dengan tegas.

Sebagai mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) IAIN Kendari periode 2022-2023, Al-Izar menambahkan bahwa betapa pentingnya untuk memastikan proses pilkada yang adil tanpa ditunggangi kepentingan yang akan merusak prinsip-prinsip demokrasi.

Olehnya Itu, dia menginginkan agar ada keterlibatan aktif masyarakat secara kolektif, dalam memastikan Pilkada yang berintegritas. “Kami ingin ada partisipasi publik dalam mengawal pilkada ini menjadi pesta demokrasi yang sehat dan bersih dari praktik-praktik pembangkangan nilai-nilai demokrasi itu sendiri”, tambahnya.

Selain itu, Al-Izar juga menyampaikan harapannya agar semua pihak, termasuk para calon kepala daerah, tim sukses, dan simpatisan, untuk bisa saling menghormati.

Bahwa pertarungan politik bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah, tetapi bagaimana proses tersebut dapat menciptakan iklim politik yang sehat dan damai.

“Tantangan politik kita bukan soal siapa yang terpilih dan tidak , tetapi juga bagaimana kita memastikan bahwa proses demokrasi ini bisa berjalan dengan damai dengan memahami apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan”, pungkas Al-Izar.

Dengan pesan moral yang disampaikan Al-Izar tentang netralitas ASN seharusnya itu menjadi perhatian secara serius kepada seluruh masyarakat agar dapat berpartisipasi aktif dalam membangun iklim demokrasi yang bebas dari kepentingan kelompok tertentu.

Penulis: Hajar86 & Aulia Permata Ashar/anggota muda
Editor: Tim redaksi

Simposium Demokrasi dan Politik oleh SEMA Syariah IAIN Kendari: Membangun Nalar Kritis Mahasiswa

Kendari, Objektif.id – Suasana berbeda terasa di Aula Mini Perpustakaan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari pada Senin (28/10/2024). Pagi itu, lebih dari 150 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kendari tampak antusias menghadiri Simposium Hukum, Demokrasi, dan Politik yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa (Sema) Fakultas Syariah IAIN Kendari.

Para peserta yang hadir berasal dari beberapa kampus di Kendari, seperti Universitas Halu Oleo, Universitas Muhammadiyah, Universitas Sulawesi Tenggara, dan STIE 66.

Bahwa kehadiran mereka tidak hanya untuk mendengarkan, tetapi juga berpartisipasi dalam diskusi yang bertujuan menajamkan nalar kritis sebagai pemilih muda, yang nantinya akan menjadi generasi penting dalam dinamika politik yang terus berkembang.

Pada simposium kali ini Sema Syariah mengangkat tema “Restorasi Demokrasi: Eksistensi Kedaulatan Rakyat dalam Menentukan Arah Sulawesi Tenggara.” Tema ini dianggap sangat relevan dengan Pilkada serentak yang akan digelar pada 27 November mendatang, yang mana pemilih muda akan memainkan peran penting dalam menentukan pemimpin yang membawa aspirasi masyarakat luas.

Selain antusiasme dari mahasiswa, simposium ini juga dihadiri oleh Prof. Dr. Kamaruddin, Dekan Fakultas Syariah, yang menyampaikan pentingnya kegiatan semacam ini dalam situasi demokrasi yang kian dinamis.

Menurutnya, restorasi demokrasi adalah hal yang perlu untuk dipahami oleh mahasiswa agar mereka tidak hanya cerdas dalam teori tetapi juga bijak dalam praktik politik nyata.

“Mahasiswa diharapkan memahami demokrasi secara komprehensif, terutama dalam menghadapi pemilihan serentak yang akan datang,” tegas Prof. Kamaruddin, yang menekankan pentingnya peran mahasiswa sebagai generasi yang akan menjadi pemimpin masa depan.

Sementara itu, ditempat yang sama Muhammad Ikbal, sebagai Ketua Sema Fakultas Syariah, menjelaskan bahwa acara ini bukan sekadar kegiatan akademik biasa. Baginya, simposium ini adalah wadah untuk mengajak mahasiswa lebih kritis dalam melihat realitas politik, terutama ketika mereka akan menggunakan hak pilihnya.

“Sebagai masyarakat, kita harus bijak dalam memilih pemimpin yang bisa membawa Sultra ke arah yang lebih sejahtera. Menggunakan hak politik secara baik dan benar sangat penting,” kata Ikbal, penuh semangat.

Dalam kegiatan ini para peserta juga merasakan manfaat terutama dalam menambah pemahaman mereka tentang demokrasi menjelang pemilihan serentak pada November mendatang.

Hal itu disampaikan oleh Fiqih, sebagai mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Kendari, dia mengungkapkan bahwa simposium ini memberikan wawasan baru yang sangat relevan dengan konteks pilkada.

“Ilmu yang kami dapatkan sangat bermanfaat. Materi yang disampaikan membuat kami lebih jeli dalam memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan pada pilkada serentak nanti,” katanya dengan penuh semangat.

Harapannya, mahasiswa tidak hanya mampu menjadi pemilih yang cerdas, tetapi juga agen perubahan dalam kehidupan politik yang lebih sehat dan bertanggung jawab di masa depan.

Dengan adanya simposium ini semoga bukan hanya menjadi ruang diskusi, tetapi juga memantik kesadaran kritis di kalangan mahasiswa Kendari, tapi juga sebagai jembatan bagi mahasiswa untuk belajar memahami demokrasi yang sesungguhnya di tengah hiruk-pikuk politik yang kadang membingungkan.

Penulis: Aril Saputra & Indra Rajid (anggota muda)
Editor: Andi Tendri

Edukasi Pemilih Muda Lewat Layar Lebar: KPU Kendari Gelar Nobar “Tepati Janji” di IAIN Kendari

Kendari, Objektif.id – Pada Senin sore (28/10/2024), suasana di Aula Lab Multimedia Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari berbeda dari biasanya. Sebab puluhan mahasiswa dari berbagai program studi tampak antusias memadati kegiatan nonton bareng (nobar) yang diinisiasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Kendari.

Selain mahasiswa, kegiatan nobar film yang berjudul “Tepati Janji” ini dihadiri juga oleh tokoh-tokoh penting kampus, seperti Rektor IAIN Kendari, Prof. Dr. Husain Insawan, M.Ag., dan Wakil Rektor III Dr. Sitti Fauziah, M.S.Pd.I., M.Pd.

Film ini dipilih bukan tanpa alasan, Karena menurut Kahar Taba, salah satu anggota KPU Kota Kendari, bahwa film “Tepati Janji” menjadi penting sebagai bahan evaluasi kepemimpinan sebagaimana dengan tema yang diangkat pada film ini, yaitu komitmen seorang pemimpin dalam menunaikan janji kepada masyarakat.

Sehingga film tersebut menjadi sebuah refleksi kesadaran kritis kepada para pemimpin dan masyarakat tentang bagaimana mengawal dan mempertanggungjawabkan amanah yang telah diberikan kepada pemimpin agar terlaksana sesuai dengan apa yang dicita-citakan bersama.

“Melalui film ini, kami berharap mahasiswa bisa mengawal kepentingan publik sesuai dengan tujuan yang telah disepakati bersama, serta memahami nilai penting dari sebuah kepemimpinan yang berintegritas dan bertanggungjawab,” ujar Kahar.

Baginya, kegiatan nobar ini adalah bagian dari program sosialisasi yang ditujukan untuk memperluas wawasan pemilih muda mengenai esensi demokrasi agar supaya pandai memilah sebelum memilih setiap calon pemimpin yang akan berkontestasi nantinya.

“Tujuan kami, agar mereka bisa memahami apa itu Pilkada dan nilai-nilai demokrasi yang terkandung didalamnya, agar mereka mampu melihat visi serta misi pasangan calon yang akan bertarung nanti,” katanya dengan penuh optimisme.

Harapannya adalah, dengan kehadiran mahasiswa yang ditandai melalui estimasi masa yang tidak sedikit, semoga mereka datang bukan hanya sekadar untuk menonton film, tetapi diluar daripada itu diharapkan mereka memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang apa itu demokrasi.

Sementara itu, salah satu peserta nobar, Sherly Afriani, mahasiswa Program Pendidikan Ekonomi Syariah, merasakan manfaat dari kegiatan ini. Ia mengaku banyak belajar tentang cara memilih pemimpin yang tepat dari film tersebut.

“Film tadi sangat menarik, banyak pelajaran yang bisa diambil, terutama tentang bagaimana kita bisa memilih pemimpin yang benar-benar punya komitmen untuk memimpin ke arah yang lebih baik,” ungkapnya sambil tersenyum.

Sherly juga menyampaikan harapannya agar Pilkada mendatang dapat melahirkan sosok pemimpin yang memprioritaskan kepentingan rakyat, khususnya di Sulawesi Tenggara. “Semoga pemimpin yang terpilih nanti bisa bekerja lebih baik lagi dari pemimpin-pemimpin sebelumnya,” tambahnya dengan penuh harapan.

Kegiatan ini diharapkan tidak hanya menjadi hiburan bagi mahasiswa. Lebih dari itu, nobar film “Tepati Janji” harus menjadi medium efektif untuk merangkul dan mendidik pemilih muda tentang pentingnya kesadaran terhadap partisipasi politik.

Bahwa di tengah perkembangan politik yang semakin dinamis, langkah KPU Kota Kendari dalam memberikan edukasi nilai-nilai demokrasi melalui nobar film “Tepati Janji” semoga dapat menumbuhkan kesadaran politik yang lebih luas dikalangan generasi muda, yang kelak akan menjadi penentu masa depan demokrasi bangsa.

Penulis: Khaerunnisa

Editor: Tim redaksi

Politik Kekecewaan Racun Bagi Demokrasi 

Objektif.id – Tujuan dari politik bukan hanya sebagai cara untuk meraih kekuasaan, tetapi juga strategi dalam menyelaraskan perbedaan untuk hidup bersama. Namun, apa jadinya jika cita-cita keinginan hidup bersama tercederai atas kepentingan pihak tertentu yang mengklaim diri dengan bangga jika persoalan personal adalah representasi semua golongan. Tidak fair kalau ketidakpuasan beberapa individu kepada individu lainnya ingin dijadikan dasar terbentuknya kekecewaan secara kolektif, yang dalam anggapan mereka telah mewakili semua entitas.

Istilah fatsun politik sakit hati muncul atas keadaan peristiwa politik dramatis dengan membuat gerakan sebagai juru selamat dan seakan-akan itu adalah tindakan idealis yang tidak akan mengecewakan, tetapi siapa yang bisa menjamin? Jangan sampai lokomotif penggeraknya penuh gimik belaka melalui kemasan pencitraan baik yang palsu. Idealnya, sebelum mulut menceritakan keburukan orang lain, penting untuk mengecek hidung terlebih dahulu apakah bisa mencium kebusukan diri sendiri. Oleh karena itu, sopan santun politik yang berbasis sakit hati sejatinya hanya akan menghasilkan iklim politik disintegrasi yang mengandalkan perang narasi tidak objektif. Kalaupun menghasilkan persatuan, itu hanya bersifat sementara, melahirkan anak banci, tersesat dan merusak pergerakan.

Sebenarnya pandangan ketidakpuasan hanya sebagai alasan klise yang hadir pada setiap generasi, jika ditinjau dari indera penciuman seorang aktivis, gerakan insidental itu merupakan gangguan mental dari perasaan-perasaan menyedihkan yang timbul akibat kehilangan legitimasi dan superioritas terhadap diri mereka kepada orang lain atau pada perkumpulan tertentu. Kalaupun asumsi tersebut benar adanya maka secara eksplisit bisa kita simpulkan bahwa apa yang dilakukan hanya mementingkan ego sendiri. Haruskah sikap selalu merasa paling penting dan berpengaruh itu dilanggengkan?

Akan lebih beretika kalau kita saling introspeksi diri, bukan malah merasa paling bermoral. Jika hanya memandang pada satu sisi yakni sisi kekecewaan semata, orang akan kehilangan sudut pandang yang lain. Dari sisi kekecewaan saja, yang datang pada diri sendiri hanyalah sakit hati dan dendam. Ketidakpuasan diri sendiri terhadap seseorang memang sifatnya manusiawi, begitupun sebaliknya. Jangan sampai ketidakpuasan seolah-seolah menjadi kabut tebal sakit hati dalam menilai seseorang hingga memunculkan gerakan partisan yang mengorbankan banyak generasi nantinya.

Apakah hari ini kita tengah menguatkan tesis yang mengatakan salah satu symptoom paling menonjol adalah meningkatnya prevalensi baru yang bersifat individualism bukan lagi sosial-horizontal. Sesama manusia yang berkumpul di satu tempat yang sama kita perlu saling mengingatkan untuk menjaga komitmen tolong-menolong, merawat dan saling membesarkan agar menghindari perilaku oportunistik.

Dengan demikian, maka kelompok yang terbentuk itu akan mampu mencapai tujuan-tujuan bersama secara lebih efisien. Kita harus meneladani sikap legowo Hannah Arendt, filsuf politik terkemuka abad 20 keturunan yahudi yang bersedia memaafkan Martin Heidegger yang menjadi salah satu tokoh propaganda nazi atas tindakannya di masa kekuasaan Hitler. Tapi fenomena sekarang kita paling gampang sekali melibatkan bawaan perasaan (baperan) untuk hal-hal yang idealnya bisa diselesaikan dengan bawaan candaan (bacaan).

Hampir pada setiap momentum kontestasi politik kedengkian selalu menjalar. Yang sangat menonjol ada tensi politik intens dan terstruktur dalam menghunuskan perpecahan dan permusuhan terhadap manusia yang akan dituduh mengecewakan. Coba kita telisik kembali, apa yang membuat mereka kecewa? Bukankah kekecewaan itu muncul karena perbedaan, sebab keinginan mereka tidak sesuai dengan harapan pribadi. Seharusnya ketika ada perbedaan selayaknya hal tersebut dihormati dan dihargai antar sesama bukan memojokkan dan memusuhi yang dibungkus dalam bingkai kekecewaan.

Semestinya pencerdasan politik atau pendidikan politik harus hadir sebagai cita-cita tentang diskursus kritis untuk mengucapkan selamat tinggal pada politik kebencian. Di zaman modern lawan kita bukan lagi antar sesama manusia, praktik saling menjatuhkan berlaku di masa baheula oleh peradaban primitif yang alergi dengan eksistensi lain. Sangat jelas di era kolaborasi saat ini masih banyak sisa-sisa manusia yang mengalami kelainan jiwa terhadap kegilaan pengakuan yang digerakkan oleh hasrat kekuasaan semata sehingga menimbulkan konflik yang memenuhi ruang-ruang harmoni keberagaman.

Jika dinilai secara objektif yang sedang menggulirkan kekecewaan bukan malaikat dan nabi, melainkan orang-orang mengecewakan juga dengan mulut besarnya dalam kantong-kantong kemunafikan. Gerakan yang di dalamnya dilandasi dengan sakit hati hanya akan memberikan afirmasi eksklusi dan sekat-sekat yang beroperasi menghasilkan dukungan politik yang nanti mengorbankan kaderisasi.

Ironisnya, alih-alih terwujud suatu solidaritas dan kedamaian, dukungan ekslusif justru semakin menegaskan segregasi yang dikuatkan dinding tebal dikotomi. Sadar atau tidak resiprokal yang berujung pemencilan, orang akan cenderung kehilangan sikap ramah terhadap perbedaan karena terhasut dan terjebak pada politik kebencian yang diseret dalam ego permainan kekuasaan yang tidak membentuk nilai-nilai soliditas secara utuh.

Persatuan dalam keberagaman rupanya telah direnggut oleh kepicikan demagog politik yang berupaya merepresentasikan kebencian dirinya telah mewakili secara mayoritas perasaan orang lain. Upaya menggeneralisasi ini adalah ingin mengesankan diri mereka sebagai pahlawan. Tidak ada yang menjamin yang sekarang menodong orang lain mengecewakan, apakah di masa mendatang mereka tidak akan mengecewakan? Gaya-gaya populisme yang sedang ditunjukan bisa menjadi masalah dalam politik manakala populisme berafiliasi dengan politik kepentingan sektarian yang tidak merata mengakomodasi kepentingan semua golongan yang ada; populisme oleh karenanya dianggap membahayakan dan mengancam soliditas sebab menggiring orang pada perpecahan. Dalam hidup ada keseimbangan, ada mulia dan jahat, ada malaikat bermuka iblis ada iblis bermuka malaikat. Benar apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “barangsiapa hanya memandang pada keceriaan saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit. Kalau tidak ingin ada kekecewaan silahkan ke akhirat.”

Implementasi politik sakit hati hanya akan memperpanjang konflik horizontal. Sebagai orang waras seharusnya ruang politik diwarnai dengan corak pertengkaran pikiran yang sehat. Kedewasaan dalam menyikapi seluruh rangkaian politik yang dinamis adalah orientasi penting untuk mewujudkan satu kekuatan soliditas agar menghentikan dikotomi kepentingan sektarian yang terus melebar.

Kemarahan bukanlah solusi, tetapi untuk memaklumi kemarahan, kita mesti mengalah sebab percuma berhadapan dengan orang yang sedang tidak waras walau hanya sementara, karena bagi Seneca, orang yang marah sedang mengalami “gila sementara” (temporary madness). Hal yang wajib menjadi perhatian adalah rasa kekecewaan seseorang tidak boleh menjadi senjata propaganda yang menodong untuk menyebarkan ketakutan (appeal to fear) dengan menunjuk satu pihak tertentu sebagai penyebabnya. Menyebarkan ketakutan tanpa alasan logis untuk mempengaruhi orang lain itu adalah tindakan pengecut. Sehingga penting bagi siapapun tidak mengambil keputusan secara emosional yang didasarkan oleh pernyataan yang menakut-nakuti.

Harapannya jangan lagi ada orang-orang dionisia (dionysian) dalam istilah Nietzsche adalah mereka yang lebih mempedulikan kebesaran diri dan penegasan kehidupan lainnya daripada mengikuti norma-norma politik. Dengan menuruti moralitas “tuan” dan mentalitas “pahlawan”, tindakan mereka cenderung tidak berbudi, tidak rasional, bernafsu dan politiknya bersifat aristokratik.

 

Editor: Hajar

Dalam Rangka Pemilu Damai 2024, Sahabat Adhyaksa Kejati Sultra Gelar Koordinasi bersama Polda Sultra dan Sultrademo

Kendari, Objektif.id – Sahabat Adhyaksa Kejati Sultra berkolaborasi bersama Pokdar Kamtibmas Polda Sultra, dan Sultrademo Pemantau Pemilu menggelar koordinasi di Mapolda Sultra pada, Rabu (15/11/2023).

Kegiatan ini bertajuk kampanye semarak keadilan pemilihan umum dengan mengangkat tema “Mitigasi Tindak Pidana Pemilu 2024, Menuju Indonesia Emas 2045”.

Ketua Umum Sahabat Adhyaksa Kejati Sultra Laode Hidayat, mengatakan acara ini merupakan wadah pemberian edukasi kepada masyarakat dan pihak penyelenggara pemilu untuk menyukseskan jalannya pesta demokrasi berkualitas dan damai sesuai dengan agenda Indonesia Emas 2045.

“Mengapa demikian karena bangsa ini ada agenda terkait Indonesia Emas 2045 dan agenda tersebut bisa kita capai apabila bangsa ini mengalami status politik yang berkualitas apa lagi kita pesta demokrasinya sekarang adalah pemilu serentak,” ungkapnya.

Ia juga menambahkan bahwa fokus kegiatan ini berada pada masalah yang sering terjadi pada saat berlangsungnya pemilu maupun pasca pemilu.

“Biasanya dalam proses pemilu ataupun setelahnya terdapat banyak masalah yang timbul seperti ujaran kebencian dan money politik, nah untuk itulah kita sosialisasikan melalui edukasi agar bangsa kita cerdas secara politik,” sambungnya.

Hidayat berharap kampanye semarak keadilan ini dapat menyentuh hingga ke pelosok-pelosok desa.

“Supaya masyarakat daerah dengan masyarakat di kota itu punya pemahaman yang sama terkait materi yang kami kampanyekan,” harapnya.

Diketahui, Sahabat Adhyaksa Kejati Sultra ini akan kembali menggelar kampanye semarak keadilan di 17 kabupaten kota yang nantinya akan bekerjasama dengan Kejari dan Bawaslu masing-masing kabupaten.

Penulis: Tesa Ayu Sri Natari

Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan