Sinopsis Film Dokumenter Semesta
(Flim dokumenter Semeta. Foto: Kompas.com) |
Penulis : Slamet Fadillah
Film Semesta (SEMES7A) adalah film dokumenter berdurasi 90 menit yang menceritakan kisah orang-orang pegiat lingkungan dengan berbagai latar belakang yang berbeda dari 7 daerah di Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Marauke.
Film ini adalah keluaran rumah produksi Tanakhir Film yang di sutradarai oleh Chairun Nissa,dengan produser Nicolas Saputra dan Mandy Marahimin. Film ini dirilis pada Desember 2018 di Festival Film Indonesia dan pada 30 Januari 2020 rilis di bioskop-bioskop seluruh Indonesia.
Baca Juga: Nggak Ada Manfaatnya, Apakah Kampus Masih Memaksankan Kuliah Online?
7 cerita di dalam film ini adalah tokoh dan juga orang-orang disekitarnya yang mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap keseimbangan dan pelestarian alam, tidak harus dalam skala yang besar tetapi mereka memulai dari hal-hal kecil disekitarnya. Yang menjadi menarik adalah cara yang mereka gunakan dalam melakukan hal itu berbeda-beda sesuai dengan asal daerah masing-masing, ada yang di latar belakangi oleh Agama, budaya turun temurun, ilmu pengetahuan, kesadaran diri dan hal-hal yang lainnya.
Bali
Tjokorda Raka Kerthyasa, tokoh dari Bali menceritakan tentang hari suci umat Hindu yang dirayakan setiap tahun, yaitu hari raya Nyepi. Dia mengatakan hari raya Nyepi sangat erat kaitannya dengan manusia dan alam secara universal.
Pada saat hari raya Nyepi, masyarakat di Bali tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas apapun dan bahkan tidak menyalakan listrik selama 24 jam dan dampaknya adalah alam bisa mengadakan pembenahan diri, walaupun hanya satu hari tapi dampak yang dirasakan itu sangat luar biasa terhadap lingkungan dengan menghemat 30.000 ton karbon bagi atmosfer bumi dan mengurangi emisi harian di Bali hingga sepertiga.
Sungai Utik, Kalimantan Barat
Jauh dari kota besar dan kehidupan yang modern menjadikan masyarakat di Sungai Utik sangat menggantungkan hidupnya pada alam, akan tetapi hal tersebut tidak lantas membuat mereka semena-mena mengeksploitasi alam di sekitarnya. Mereka sangat memiliki kesadaran dalam menjaga keseimbangan alam, karena itu merupakan tradisi atau warisan turun temurun dari leluhur yang masih di pertahankan.
Agustinus Pius Inam, tokoh di dalam film tersebut yang juga masyarakat asli Sungai Utik menceritakan, apapun yang ada di hutan itu adalah milik mereka mulai dari obat-obatan, makanan, air dan kebutuhan lainnya sudah disediakan oleh alam.
Pohon-pohon di daerah itu tidak diperbolehkan untuk ditebang sembarangan, dan masyarakan hanya di perbolehkan untuk menebang 3 pohon dalam setahun. Itulah bukti bahwa kepercayaan leluhur tetap mereka pertahankan, jika tidak maka semua budaya dan tradisi akan hilang, termasuk menjaga hutan. Karena itulah masyarakat adat seperti mereka adalah harapan terbesar sebagai pelindung hutan di Kalimantan.
Bea Muring, Nusa Tenggara Timur
Menuju ke NTB dengan tokoh di film ini yaitu Romo Marselus Hasan, dia menceritakan bahwa pada awalnya di daerah Bea Muring itu tidak memiliki listrik dan hanya mengandalkan mesin generator. Akan tetapi karena setiap malam itu kurang lebih terdapat 50 mesin generator, maka itu akan menimbulkan sebuah polusi.
Pada akhirnya mereka menemukan solusi yang ramah lingkungan, yaitu dengan memanfaatkan aliran arus sungai besar di daerah tersebut dan mereka membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).
Yang mengesankan dari sikap masyarakat di daerah ini adalah ketika terjadi kerusakan pada PLTMH itu karena banjir, merekas secara swadaya memperbaikinya tanpa menunggu atau mengharapkan bantuan dari pihak manapun, itu artinya mereka mau mengubah nasib mereka dengan usaha sendiri.
Dan alasan mengapa mereka sangat menfokuskan pada pengembangan PLTMH ini karena supaya masyarakat menjadi semakin memiliki kesadaran untuk terus menjaga lingkungan, khusunya menjaga mata air sebagai energi utama PLTMH itu.
Kapatcol, Papua Barat
Tokoh film di daerah ini adalah seorang perempuan bernama Almina Kacili, dia bersama kelompok perempuan di daerah Kapatcol berusaha melestarikan kembali sumber daya laut di daerah itu yang akhir-akhir ini semakin berkurang karena eksploitasi yang berlebihan bahkan dilakukan oleh masyarakat di luar Kapatcol yang juga mengakibatkan rusaknya terumbu karang dan hal negative lainnya.
Pada akhirnya Almina Kacili dan Kelompoknya memutuskan melakukan “Sasi” selama 6 bulan di wilayah laut yang memang menjadi hak mereka. Sasi sendiri adalah adat masyarakat bagian Indonesia timur yang melarang siapapun mengambil hasil laut di daerah tertentu dalam jangka waktu yang telah disepakati.
Manfaat dari Sasi ini juga adalah untuk menghindari eksploitasi berlebihan pada sumber daya laut dan memberikan kesempatan untuk biota laut beregenerasi sehingga mereka akan tetap lestari di wilayah itu.
Pameu, Aceh
Pada bagian ini menceritakan tentang sekelompok gajah Sumatra yang sering memasuki pemukiman masyarakat bahkan membuat masyarakat ketakutan, namun tidak membuat masyarakat di situ marah ataupun sampai berbuat anarkis terhadap gajah.
M. Yusuf sebagai tokoh didalam film ini menjelaskan bahwa manusia tidak harus menyalahkan seekor gajah karena merusak pemukiman, tetapi manusia harus berfikir bahwa pasti sedang ada yang salah dengan kondisi alam sebagai tempat habitat gajah dan rusaknya alam itu sendiri karena ulah manusia, karena baik prilaku manusia terhadap alam, maka akan baik juga alam membalasnya, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu betapa pentingnya kita sebagai manusia untuk tetap menjaga keseimbangan alam.
Imogiri, Yogyakarta
Tokoh film di daerah Imogiri ini adalah Iskandar Waworuntu, dia adalah seseorang yang sangat menekankan “Thayyib” di dalam hidupnya. Thayyib sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti baik dan mulia. Itu berarti Iskandar Waworuntu sangat berlandaskan ajaran agama Islam di dalam menjalani hidupnya,
Oleh jarena itu dia dan keluarganya menjalankan pelatihan permakultur, yaitu sebuah model pertanian uang meniru ekosistem alami, pelatihan ini menekankan hubungan antara manusia dengan alam. Dan artinya dalam prosesnya sangat ramah lingkungan tetapi juga bisa bermanfaat untuk manusia, dengan model bercocok tanam seperti ini yang ramah lingkungan dan berpihak kepada alam, maka akan lebih bermanfaat walaupun masih dalam skala yang kecil.
Jakarta
Yang terakhir adalah kota Jakarta, dan tokoh di dalam film ini adalah seorang wanita bernama Soraya Cassandra bersama suaminya yang membuat Kebun Kumara untuk mengarap sayuran organic.
Kendala membuat hal seperti ini di kota besar Jakarta adalah sulitnya mencari lahan yang ideal, namun dengan niat menjadikan lahan itu menjadi hijau, lestari dan tempat pendidikan maka itu bukan menjadi sebuah kendala bagi Soraya.
Pada akhirnya terciptalah sebuah Kebun Kumara ini, selain untuk menghasilkan sayur-sayuran organic, kehadiran kebun hijau di tengah tengah kota urban seperti Jakarta merupakan sebuah hal yang positif tentunya dan berharap semakin banyak yang melakukan itu untuk membuat perubahan iklim menjadi lebih baik.