Mahasiswa Sebagai Agen Hedonisme dan Matrealisme
Oleh: S.A.A
Mahasiswa merupakan salah satu elemen penting dalam setiap episode panjang perjalanan bangsa. Hal ini tentu saja sangat beralasan mengingat bagaimana pentingnya peran mahasiswa yang selalu menjadi aktor perubahan sebagaimana fungsi dan tugas Mahasiswa itu sendiri katanya Agrn Of Change, dan Agen Perubahan dalam setiap momen – momen bersejarah di Indonesia. Sejarah telah banyak mencatat, dari mulai munculnya Kebangkitan Nasional hingga Tragedi 1998, mahasiswa selalu menjadi garda terdepan.
Beberapa tahun belakangan ini telah banyak tercatat bahwa sudah beberapa kali mahasiswa menancapkan taji intelektualitasnya secara aplikatif dalam memajukan peradaban bangsa ini dari Masa penjajahan Belanda, Masa Penjajahan Jepang, Masa Pemberontakan PKI, Masa Orde Lama Hingga Masa Orde Baru, peran mahasiswa tidak pernah absen dalam catatan peristiwa penting tersebut.
Bila membahas mahasiswa, berarti kita sedang menjelaskan sekelompok kaum elit yang miskin namun berintelektual mengapa demikian dikatakan miskin..? Karena 99% masih bergantung pada orang tua, namun mahasiswa juga mempunyai daya saing, bermutu tinggi, pemberani, dan perantau.
Meyakini bahwa sebagian besar pembaca tidak setuju dengan pendapat penulis di atas, bahkan mungkin pembaca memiliki ragam ekspresi, ada yang terheran-heran, ada yang terkejut, ada yang sepakat atau tidak sepakat bahkan sampai ada yang tertawa-tawa terbahak-bahak atau bisa jadi ada yang bersedih.
Sedikit menelisik lebih dalam tentang mahasiswa, mengapa demikian apa yang menjadi persoalan mahasiswa mengapa tulisan ini seakan menerka-nerka, jawabnya adalah mahasiswa saat ini hampir-hampir tidak layak lagi disebut sebagai mahasiswa. Benarkah? Ada apa? Apa kata dunia bila mahasiswa tak layak dipanggil, disebut, dan disanjung sebagai mahasiswa?
Jika kita melihat situasi dan kondisi terkini kemahasiswaan, berteriak kencang meneriakan bahwasanya dialah mahasiswa yang paling hebat, dialah mahasiswa yang telah banyak menamatkan bacaan buku, berbagai macam judul buku, bahkan dialah mahasiwa yang selalu demo membela kebohongan yang diselimuti kebenaran.
Saat ini, mahasiswa yang dipahami ketika sudah mampu mengangkat megafon, membaca satu lembar buku bahkan mampu berbicara didepan banyak orang mereka sudah mengkalim diri merekalah mahasiwa yang sebenarnya merekalah aktivis yang sesuangguhnya. Sungguh ironis doktrin yang diterapkan kepada calon penerus bangsa.
Bisa kita simpulkan bahwa kemunduran tengah terjadi di tubuh mahasiswa saat ini. Kurang tajamnya aktivitas sosial mahasiswa yang dapat menyentuh problematika sosio-kultural rakyat serta kurang produktifnya mahasiswa dalam menyalurkan karya-karya yang menginspirasi dan mengharumkan nama institusi menjadikan mahasiswa kurang diperhitungkan ditengah-tengah masyarakat.
Mahasiswa yang seharusnya menjadi pembeda atau agent pelurus dan perubahan di tengah masyarakat, kini mahasiswa tengah menjadi pemecah belah atau agent penerus “tikus-tikus berdasi dan perubahan pola pikir dan pola gerakan ke arah pragmatis yang saat ini menjadi tontonan oleh rakyat-rakyat yang sedang tertindas, yang tengah berharap belas kasih serta perjuangan dari mahasiswa saat ini.
Jika berbicara tentang mahasiswa sudah tak manis lagi untuk disanjung, ketika penerus lahir semuanya sesuai apa yang menjadi kegarusan sebagai seorang mahasiswa, setiap orasi setiap seminar tentang kemahasiswaan setiap pengkaderan di organisaai selalu menriakan sumpah mahasiswa dan rata rata mahasiswa sekarang adalah pendusta bahkan sumpah mahasiswa itu sendiri dilanggar dan dijadikan bahan lelucon. Sungguh miris.
Di zaman Melenial ini kids zaman now katanya dalam bahasa asing yang saat ini meracuni fikiran manusia sering sekali kita mendengar istilah-istilah baru dan perilaku-perilaku baru yang sifatnya aneh tapi sangat digemari sampai-sampai menyita perhatian berbagai lapisan masyarakat tak terkecuali mahasiswa. Mahasiswa yang diharapkan mampu menetralisir keadaan atau bahkan membungkam segala hal yang diistilahkan dengan kekinian atau kids jaman now dan lain sebagainya, tapi malah tidak justru mahasiswa terjebak, bahkan mahasiswa menjadi pemeran dari kerusakan moral zaman ini.
Seharusnya mahasiswa sadar akan ini. Di tangan mahasiswalah estafet perjuangan bangsa ini diteruskan serta di tangan mahasiswa lah roda kepemimpinan bangsa kedepannya. Bila mahasiswa hari ini maju dan berdikari, maka maju dan berdikarilah bangsa dan negaranya. Namun sebaliknya, jika mahasiswa hari ini lemah dan mundur, maka bersiaplah bangsa dan negaranya dijajah kembali oleh orang-orang asing”.
Mahasiswa, Bagaimana Kabarmu?
Hai mahasiswa, bagaimana kabarmu? Apa yang sudah kau dapatkan diperaduan mengutip butir butir ilmu? Apa kado terindah untuk orangtuamu nanti ketika kembali dikampung halaman.? Berapa IPK mu? Sudah berapa banyak karya yang kau ditorehkan? Sudah berapa buku yang dibaca?
Jawabannya renungkanlah dan tepuk dada tanya selera.
Mahasiswa coba lakukan ini, tanamlah gagasan, petiklah tindakan. Tanamlah tindakan, petiklah kebiasaan. Tanamlah kebiasaan, petiklah watak. Tanamlah watak, petiklah nasib. Dimulai dari gagasan yang diwujudkan dalam tindakan, kemudian tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi suatu kebiasaan, Kebiasaan yang dilakukan berkali-kali akan menjelma menjadi watak, dan watak inilah yang akhirnya mengantarkan kita kepada nasib. Jadi nasib kita, kita sendirilah yang menentukan. Nasib kita ada di tangan kita, tentunya tidak lepas juga dari Sang Penentu.
Memang tak ada yang pasti dalam hidup, sebagai abdi dalam setiap pertempuran hidupnya, mahasiswa hanya bisa berupaya dan berusaha keras untuk mewujudkan segala cita dan asa. Tepat apa yang dikatakan Tan Malaka “Terbentur, Terbrntur, Terbrntuk” dan sebab semua keputusan ada ditangan Tuhan.
Sebagai abdi Tuhan, mahasiswa haruslah taat dan ingat mahasiswa sedang menyandang gelar ke maha-an, sudah jelas bahwa mahasiswa sangat diperhatikan oleh Tuhan sebab menyandang gelar kemaha-an adalah kemuliaan dan keagungan yang diamanahkan dan di alamatkan Tuhan untuk sekelompok kaum elit dan intelektual yakni mahasiswa.
Seharusnya, bagi mahasiswa yang sadar tentu ia akan amanah dan benar benar menjunjung tinggi sifat dan fungsi mahasiswa yang sebenarnya dan melakukan hal-hal pengembangan diri dengan rasa penuh tanggung jawab serta mampu mungkin menjalankan fungsi kekhalifahannya. Namun, bagi mahasiswa yang belum sadar yang masih tertidur pulas, perilaku seperti inilah yang akan mengundang kemurkaan Tuhan.
Menilai dari apa yang telah dilakukan mahasiswa sekarang, tentunya kita tahu, demonstrasi seperti yang dilakukan mahasiswa sekarang tidak menghasilkan apa-apa, gerakan yang dibangun rata-rata adalah gerakan yang didasari kepentingan kelompok bahkan individu, gerakan yang selalu dibangun adalah gerakan pembodohan.
Sekarang bukan lagi masyarakat biasa yang diadikan korban dalam permainan para elit politik maupun para pimpinan-pimpinan kampus namun mahasiswa yang seharusnya menjadi pembeda dari masyarakat justru telah dijadikan kelinci percobaan para penguasa, mahasiswa selalu melakukan aksi demonstrasi namun itu bukan hadir dari diri sendiri gagasan itu dipola oleh penguasa dan mahasiswa dijadikan kambing hitam.
Perdebatan-perdebatan maupun diskusi terbuka yang sering dilakukan oleh kaum intelektual bangsa ini juga hanya membawa dampak yang sangat kecil pada kemajuan bangsa dan negara kita. Yang menjadi pertanyaan, kalau apa yang telah dilakukan sekarang tidak dapat menyelesaikan permasalahan bangsa ini, apa yang dapat mahasiswa lakukan agar bangsa ini dapat terus berkembang?
Kenyataannya, disaat masyarakat mengalami penderitaan karena berbagai marginalisasi yang dilakukan penguasa. Kita justru melihat mahasiswa sibuk mengurusi proyek proyek mencari gerakan yang bisa di 86. Mengurusi hal hal yang seharusnya tidak diurus, seharusnya mahasiswa lebih berperan dalam memikirkan kemajuan bangsa mulai dari bagaimana mengembangkan setiap kampus masing masing, bahkan banyak pula korban media sosial yang sudah termakan oleh hasutan setan dan iblis, sekarang mahasiswa sudah menjadi agen hedonisme dan materialisme bahkan menjadi makelar politik penguasa yang korup. Jika demikian pantaskah gelar “maha” itu diletakkan dalam pundak mahasiswa?
Mahasiswa seharusnya mengerti akan tanggung jawab yang dipikulnya sangat berat, seperti kata pepatah asing mengatakan: “with great power comes great responsibilities”, mengemban nama “maha” tentunya membuat kita memiliki tanggung jawab yang “maha” juga. Tanggung jawab sebesar apa yang dipikul mahasiswa? Yaitu tanggung jawab untuk menentukan masa depan bangsa ini, tanggung jawab untuk menentukan nasib ratusan juta orang rakyat Indonesia.
Setidaknya ada tiga jenis mahasiswa yang ada di Indonesia sekarang, yaitu:
Pertama, mahasiswa yang menjadikan demonstrasi hanya sebagai ajang untuk unjuk gigi, agar dirinya dapat dikenal sebagai mahasiswa yang hebat mahasiswa yang berani, mahasiswa yang ikut-ikutan demonstrasi untuk bolos masuk kuliah. Mahasiswa seperti ini tidak benar-benar memperdulikan rakyat maupun negaranya. Mahasiswa seperti inilah yang biasanya melakukan aksi-aksi anarkis maupun terlibat dalam bentrok dengan aparat keamanan pada saat demonstrasi.
Kedua, mahasiswa yang tidak mempedulikan keadaan politik sekitarnya. Mereka hanya berusaha untuk belajar dengan baik, yang penting datang ke kampus, kuliah, mengikuti ujian, dan lulus dengan Indeks Prestasi (IP) yang bagus. Mereka tidak memperdulikan apakah Bahan Bakar Minyak (BBM) akan dinaikkan harganya, maupun siapa-siapa saja yang akan berpartisipasi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2023 mendatang.
Ketiga, mahasiswa yang benar-benar memperhatikan dan memperdulikan nasib bangsanya. Mahasiswa seperti ini adalah mahasiswa yang memikirkan apa yang dapat dilakukan olehnya untuk bangsa ini. Mereka biasanya menyuarakan keadilan, berdemonstrasi dengan tenang dan mengikuti aturan, mengikuti perdebatan-perdebatan maupun diskusi untuk memajukan bangsa. Ini yang menjadi masalah besar adalah sangat sedikit bahkan minoritas adalah mahasiswa golongan ketiga ini.
Melihat mahasiswa saat ini, mahasiswa sudah terdegradasi kemahaannya. Kampus sudah menjadi ajang fashion show dan perkumpulan keboh, apakah mahasiswa yang seperti ini layak untuk menjadi penerus bangsa kita? Apakah mereka layak menjadi penentu nasib ratusan juta jiwa rakyat Indonesia?
Mahasiswa yang benar-benar memikirkan nasib bangsanya tahu, jawaban dari inflasi dan segala kesulitan ekonomi bukanlah merengek-rengek dan berteriak minta tolong. Jawaban dari tekanan ekonomi ialah peningkatan produktivitas. Produktivitas di mana-mana, baik di kelas, di tempat kerja, maupun di masyarakat. Jadi, jawaban dari segala kesulitan rakyat yang ada bukan dengan hanya sibuk berdemonstrasi namun bagaimana kita bisa memberikan solusi melahirkan solusi, membantu dari setiap kesulitan maupun keterpurukan setiap lapisan masyarakat.
Note:
S.A.A adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari