Sarkastis! Dari Mahasiswa untuk Mahasiswa
(Mahasiswa Sebagai Agent of Change dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Foto: Repro. google.com) |
Penulis : P H
Dengan berbagai ragam suara, dalam keadaan yang berbeda-beda, dan oleh berbagai golongan, tujuan perjuangan kita sudah dinyatakan yaitu tercapainya cita-cita luhur meratanya keadilan sosial. Sangat mengagumkan apa yang ditulis Tan Malaka ini dalam bukunya yang berjudul aksi massa. Sekali lagi, rasa kebanggaan dengan pikiran futuris para pendahulu bangsa ini selalu membuat kita tergegau, betapa dahsyatnya bertapak di jalan pikiran yang mereka buat. Namun kebanggaan itu menjadi kegalauan dengan keadaan mahasiswa sebagai generasi muda penerus bangsa yang mengalami degradasi moral dan intelektual saat ini.
Tak serau mahasiswa kita secara lahiriah tampak modern sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi cara berpikirnya masih baheula. Iya, seperti masih bercokol di zaman primitif yang belum mengenal baca tulis (buta huruf). Kekalahan dalam persaingan intelektual menyebabkan menyingsingnya pikiran tidak piawai dan anarkistis, tidak melihat sesuatu dalam sifat yang sebenarnya. Ini berlaku terutama dikalangan segelintir orang yang kekosongan kepalanya baru saja diisi dengan pengetahuan-pengetahuan dasar. Sehingga berlagak keren menganggap diri bagaikan sangat pandai dari orang lain. Seperti makna lirik lagu enau “banyak gaya kosong isinya”. Kasihan ya ! Mereka hanya tidak sadar saja bahwa mereka hanya pandai di dalam pikiran mereka sendiri.
Maksud penulis adalah berusahalah keluar dari zona nyaman dan sering-seringlah introspeksi diri. Agar arogansi, kesombongan, dan kebodohan, yang mereka anggap pandai dapat terurai melalui interaksi dari berbagai kalangan latar belakang yang berbeda-beda. Jalan seperti itulah untuk mengetahui kedangkalan Petahuan (kak petahuan atau pengetahuan?) aku, kamu, dan kita semua !
Jelas kita bisa komparasikan perbedaan kemajuan pikiran antara mahasiswa yang rutinitas waktunya hanya untuk santai, rebahan, main game, keluyuran tidak jelas dengan mahasiswa yang berkeras hati mencari ruang-ruang literasi sebagai upaya untuk mengembangkan potensi diri. Di zaman modern ini kita sedih dan heran melihat mahasiswa yang hanya sekedar kumpul omong kosong tanpa terjadi pertengkaran intelektual. Selayaknya perkembangan zaman saat ini itu paralel dengan perkembangan pengetahuan mahasiswa.
Kemajuan era digitalisasi hari ini tentu membuat segala sesuatu hal terasa mudah dilakukan. Namun ketergantungan berlebihan membuat mahasiswa selalu menganggap mudah segala sesuatu hal tanpa mau lagi berusaha dan bekerja keras untuk mendapatkannya. Sehingga, wajar saja kalau mahasiswa semakin culas, lemah, cengeng, dan banyak mengeluhnya. Tahunya bicara bodoh terus !
Tentu ketika kita bertanya, apa yang mereka ketahui tentang pemenuhan hak-hak rakyat ? Pasti secara spontan mereka bisa menjawab. Tetapi yang perlu kita cek adalah referensinya dari mana ? Apakah dari bung Karno melalui buku di bawah bendera revolusi jilid satu dan duanya? dari Tan Malaka melalui buku aksi masanya ? Sutan Syahrir dengan buku yang berjudul perjuangan kita ? Mungkin melalui puisi perlawanan Wiji Thukul ? Gerakan Munir dalam memperjuangkan Hak Asasi Manusia ? ataukah dari Marsinah dengan perjuangannya menuntut pemenuhan hak-hak buruh ? Pasti jawaban yang diberikan hanya nonsens dan apologi.
Dalam banyak kasus kelompok elit marjinal ini cuma sibuk bertengkar di lorong-lorong asrama putri sampai lupa bahwa ruang-ruang diskusi memerlukan pertarungan gagasan melalui adu argumentasi.
Disinilah kritisme mahasiswa mulai redup, apalagi kalau sudah hedon dan apatis. kata teman-teman Jakarta taik loh guys !
Bagaimana mungkin bicara tentang perjuangan keadilan sosial secara merata jika seorang terpelajar (katanya) masih terlalu goblok meramu setiap masalah dalam proses penyelesaiannya. Padahal sudah banyak infrastruktur ruang-ruang literasi yang difasilitasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman.
Apa sih urgensi kumpul-kumpul tanpa ada dialektika literasi yang terjadi ? Ada yang memberikan jawaban “kami lebih senang dengan hal-hal instan seperti ini, omong kosong, tertawa bahagia, karena tidak ada pembahasan serius untuk diperbincangkan. Dan itu kami anggap sebagai kreativitas”. Sangat bangga mengatakan bahwa itu adalah kreativitas, sungguh kolot pikiranmu kawan ! Mmmmm… beli rokok sama kopi saja masih minta-minta sama juniornya di kampus. Itu sih, namanya bukan kreativitas tapi KEREAKTIV.
Mahasiswa merupakan bagian integral dari perguruan tinggi yang dikenal sebagai simbol intelektualitas, Maka pengabdian kepada masyarakat sesuai kompetensi intelektualnya merupakan tanggung jawabnya secara moral dan secara intelektual. Mahasiswa juga pada hakikatnya adalah seorang intelek sebab intelektualitas merupakan ciri khas yang inheren dalam diri mahasiswa sebagai kelas menengah terdidik.
Tetapi ada realitas lain yang cukup menyedihkan, bahwa tradisi ilmiah dan literatur dikalangan mahasiswa belum begitu kuat. Interaksi gagasan secara kontinyu dan intensif belum menjadi menu utama dalam aktivitas keseharian sebagian besar mahasiswa juga belum terbiasa untuk melakukan pertarungan gagasan dan perkelahian wacana. Wajar kalau kemudian, pisau analisis yang mereka miliki untuk membedah berbagai permasalahan sosial masih tumpul karena jarang diasah. Justru tak sedikit mahasiswa yang terjebak berpikir pragmatis, oportunis, hedonis, apatis, subyektif, parsial, dan tampak hanya menjadi problem speaker an sich.
Sesungguhnya kamu mampu dengan pertengkaran intelektual kawan namun kemalasanlah dalam menempa diri yang menyebabkan pikiran kolot dan kebodohan tumbuh semakin mengakar. Kan percuma tiap ada agenda bersama adik-adik di kampus sering menyuarakan studi dengan baik untuk memperoleh kecerdasan, ilmu, kepandaian yang diperlukan, sambil membina dan mengembangkan diri mental dan fisik, demi kemampuan sebesar-besarnya untuk hari esok. Sedangkan diri sendiri saja tidak mampu untuk berpikir cerdas dan produktif. Sebenarnya kamu tidak tumpul kawan, tajam tapi berkarat !
Sesama mahasiswa saya ingin mengajak kawan-kawan sekalian untuk membangun kembali budaya-budaya literasi karena melihat dunia kampus yang semakin hari terasa kian pragmatis, materialistis, bahkan hedonis. Sebelum semua akar-akar jiwa intelektual akhirnya meranggas dan tercerabut dari jati diri kita sebagai mahasiswa.
Bukankah imam Syafi’i telah mengatakan “jika kamu tak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus menahan perihnya kebodohan”. Jadi Ingat kawan bahwa kemarau panjang perjuangan mahasiswa baru saja dimulai. Olehnya itu, tidak ada waktu untuk berleha-leha, bersantai, apalagi bermalas-malasan. Hargai dan manfaatkan waktumu!
Sejatinya mahasiswa tidak hanya menunggu datangnya sebuah momentum, justru mahasiswa harus menciptakan momentum itu sendiri. Semoga apa yang kita upayakan menjadi momentum kebangkitan dan kesadaran.
Mungkin jalan kita boleh sama, tapi nasib belum ada yang tahu. Belajarlah sampai kamu tak bisa berpikir lagi. Dan usahakanlah bahwa kamu akan terus berpikir untuk tidak akan pernah berhenti belajar.
Terus berjuang !
Note :
P H adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari Progran Studi Tadris IPA