Objektif.id
Beranda INTERPRETASI Opini Stop!!! Fobia Gondrong

Stop!!! Fobia Gondrong

(Istimewa)

Penulis : PH

Hari ini, kita bebas menyampaikan pendapat dan menentukan pilihan sendiri serta tidak boleh diintervensi sekenanya saja oleh orang lain. Selama itu kita tidak merugikan orang lain maka mereka tidak mempunyai hak untuk memaksa kita dalam merubah penampilan sesuai dengan keinginan mereka.

Menjadi mahasiswa merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi siapapun yang beruntung melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dan memiliki spesialisasi di bidang ilmu tertentu. Menjadi mahasiswa merupakan salah satu fase terpenting dalam hidup seseorang. Sebab, dunia kampus melatih mahasiswa bagaimana bertanggung jawab atas dirinya sendiri, dalam berproses, bagaimana orientasi belajarnya dan lain sebagainya. Tanpa harus didikte dengan gundukan tata tertib artifisial yang memaksa hidup mahasiswa layaknya kawanan ternak yang harus selalu digiring oleh gembala yang dinamai sebagai dosen.

Mahasiswa sudah patut bebas mengatur dirinya sendiri, mahasiswa harus otonom sebagai individu. Otonomi ini kemudian diartikan dalam banyak hal salah satunya dengan gaya rambut, sesuai dengan bagaimana mahasiswa itu ingin dilihat atau bagaimana eksistensi yang ingin ia citrakan terhadap khalayak ramai.

Kampus tidak mesti alergi kepada mahasiswa yang berambut gondrong dengan menggeneralisasi  segudang interpretasi historis yang buruk. Mahasiswa terkadang merasa lucu dan mengganggap kolot pikiran oknum dosen yang selalu membangun stigma negatif terhadap mahasiswa yang berambut gondrong dalam proses belajar – mengajar di ruang perkuliahan.

Jika dalam kasus seperti itu maka urgensitas pertanyaannya apakah rambut gondrong mengganggu proses perkuliahan? Apakah mahasiswa yang berambut gondrong tidak beretika? Sampaikan kepada dosenmu cika, bahwa persoalan etika itu persoalan sikap, perilaku, tindakan, bukan persoalan penampilan. Banyak kok, oknum yang berambut rapi tetapi perilakunya seperti binatang. coba tengok para pejabat korup, rapih – rapihkan rambut dan penampilannya, bahkan ada juga oknum dosen yang melegalkan perilaku biadabnya dengan menjadikan penampilan sebagai senjata untuk melancarkan aksi pikiran cabul seksualitas hinanya terhadap mahasiswi. Itukan kurangajar, bangsat, goblok, kotor, rusak!

Stop stereotip bahwa gondrong itu jahat! Mestinya orang – orang yang hidup di zaman generasi milenial hari ini tidak lagi berkutat dan pakem bersama pikiran Tempo Doeloe. Tetapi kita harus lebih terbuka serta selalu mau mencoba menerima perbedaan. Dalam buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer ia mengatakan bahwa “seorang pelajar harus juga berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Olehnya itu, hargai saja apa yang kemudian tidak menjadi integral pemikiran kita sendiri.

Rambut gondrong sendiri memiliki dinamika yang cukup panjang di Indonesia dalam kaitannya dengan aspek sosio – kultural dari masa pra kolonial, masa kolonial, orde lama, dan orde baru.

Pra Kolonial dan Masa Kolonial

Dimasa pra kolonial rambut gondrong dimaknai sebagai simbol kekuatan dan kewibawaan dalam banyak kerajaan Nusantara, sebelum akhirnya pengaruh Islam dan kebudayaan barat masuk di Indonesia membawa trend kultural baru yang berangkat dari konstruksi gender dengan memposisikan rambut sebagai penanda seksualitas seseorang. Bahwa laki – laki harus diasosiasikan dengan rambut pendek dan rapih sementara perempuan dengan rambut panjang, meskipun kenyataannya pada saat itu belum ditaati banyak orang. Selain peci dan penampilan rapih rambut gondrong pernah menjadi identitas pemuda dalam perjuangan revolusi Indonesia mulai dari zaman Jepang hinggga masa – masa revolusi fisik, para pejuang identik dengan rambut gondrong dan seragam militer. Orang – orang Belanda yang sudah terbiasa dengan rambut rapih dan dandanan parlente seperti kebanyakan orang Eropa saat itu, merasa gerah akan determinasi pejuang dengan kode fisik rambut gondrong, seragam militer dan pistol di pinggang. Kemudian melabeli pejuang berambut gondrong ini dengan label “ekstremis”.

Salah satu saksi hidup, Francisca C. Fanggidaej mempunyai deskripsi yang menarik akan hal itu. “Kota Yogya mendidih dari semangat dan tekad pemuda. Lantangan suara merdeka menggelegar di ruang udara kota. Sudut – sudut jalanan dikuasai pemuda, kebanyakan berambut gondrong. Mereka bersenjatakan pistol, senapan, brengun sampai Kelewang panjang Jepang dan sudah tentu bambu runcing. Kepala mereka diikat dengan kain merah. Yah, semangat juang, simbol perjuangan, perlawanan, rasa romantisme dan kecenderungan kaum pemuda untuk berlagak dengan tekad pantang mundur, merdeka atau mati yang terpancar melalui mata merah dan wajah yang memanas”. Demikian tulis Francisca C. Fanggidaej.

Walaupun rambut gondrong pernah menjadi simbol militansi pemuda revolusioner tapi pada akhirnya mereka di cap “kontra revolusioner” oleh Soekarno di masa orde lama.

Orde Lama dan Orde Baru

Saat romantisme zaman sedang berjuang melawan imperialisme barat. Gondrong menjadi mainstream gaya rambut yang di bawa oleh the Beatles dan budaya hippies. Budaya hippies pertama kali muncul di Amerika Serikat pertengahan 1960-an. Budaya hippies adalah gerakan counter – culture yang sebenarnya gerakan ini lahir sebagai antitesis dari manuver politik Amerika Serikat saat itu. Kaum hippies menilai bahwa generasi sebelumnya telah terlalu jauh dari alam mereka berasal. Menurut mereka (kaum hippies) manusia modern telah dibutakan dengan obsesi penaklukkan dan peperangan. Kemudian kaum hippies dianggap sebagai gerakan “kiri baru”. Olehnya itu, di zaman orde lama kaum hippies di cap kontra revolusioner oleh Soekarno karena dianggap sebagai gerakan kiri baru.

Ketika Orde Lama tumbang dan digantikan oleh kepemimpinan Soeharto, pro – kontra rambut gondrong masih terus berlanjut perdebatannya. Pada masa tahun 1960 – 1970 an muncul sebuah stigma yang mengatakan bahwa rambut gondrong merupakan cerminan para pelaku kriminalitas. Hal ini Bukan lagi persoalan remeh temeh bahkan, isu ini telah menjadi isu nasional. Lalu apa sebenarnya trigger dari ketakutan masa pemerintahan orde baru terhadap mereka yang berambut gondrong?

Dalam buku “Dilarang Gondrong” Karya Aria Wiratma Yudhistira. Praktik kekuasaan orde baru terhadap anak muda di awal 1970-an mengungkapkan, bahwa pemicu ketakutan orde baru berawal dari budaya hippies di Amerika Serikat. Di masa orde baru gondrong kemudian diasosiasikan sebagai aktivis bebal yang tidak bisa diatur. Pemerintahan orde baru memiliki kekhawatiran bahwa demam hippies mulai melanda Indonesia, kemudian berdalih bahwa rambut gondrong tidak sesuai dengan semangat pembangunan. Fobia terhadap gondrong kemudian terlihat sangat jelas ketika pemerintah membentuk Bakoperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong).

Membaca historis panjang terkait rambut gondrong, seharusnya menjadi bahan diskursus kita dalam menilai orang-orang ataupun mahasiswa yang berambut gondrong. Karena kultur gondrong sudah mengalami peralihan, yang awalnya adalah bentuk perlawanan terhadap budaya obsesi penaklukkan dan peperangan di Amerika Serikat. Kini, gondrong hanya dijadikan mode berpenampilan saja, tidak ada yang perlu di khawatirkan. Karena, ketika kita masih bercokol dengan doktrin negatif  di masa lalu terkait dengan rambut gondrong, artinya kita adalah orang – orang yang belum bisa menerima kreativitas pembaharuan kaum muda, menutup diri untuk menerima perbedaan penampilan orang lain.

Biarkan saja mahasiswa berekspresi sesuai dengan kemauan dalam menampilkan penampilannya Yang mereka anggap estetik. Dengan catatan tidak melakukan gerakan anarkisme dan kriminalitas. Dosen jangan terlalu kaku melihat penampilan mahasiswa yang gondrong, apalagi sampai memarjinalkan mahasiswa gondrong sebagai pelaku kriminal. Stop tipu-tipu! Stop diskriminasi mahasiswa gondrong!

Tidak peduli seberapa dekat kesewenangan-wenangan dosen dan kampus dalam membangun asumsi negatif terhadap mahasiswa gondrong. Itu tidak penting! Sebab mahasiswa tidak akan pernah selaluh patuh dan tunduk seperti budak. Walaupun yang kuat dengan kesewenang-wenangannya akan menelan yang lemah. Tapi sekali lagi itu tidak penting! Selama pikiran kritis dan daya analisa mahasiswa masih kuat tidak ada yang perlu di risauhkan. Perlawanan mahasiswa itu besar, bagaimana kalau sekaligus kuat? Bahaya kalian tuan-tuan dosen! Hati-hati! Perlakuan serta persepsi sesuka hati dosen sudah jadi kenyataan. Namun, pembantaian mahasiswa dalam menggulung tikar-tikar kelaliman dosen juga busa jadi kenyataan. Waspadalah tuan!

Note :
Penulis adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari dan salah satu kader HMI komisariat Al-Ghazali. 

admin

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *