Tangan Kiri Kampus
(Kiri simbol perlawanan. Foto: facebook.com) |
Penulis : P H
Sering kita melihat bahasa tubuh dosen yang terlalu kaku sebab tidak cukup siap dan kuat menghadapi tulisan ataupun ucapan bernada kritik pedas dari mahasiswa. Beberapa memang sudah sanggup mengatasi dan beradaptasi dengan baik, walaupun jumlahnya masih sedikit.
Baca juga: Sarkastis! Dari Mahasiswa untuk Mahasiswa
Masa! Pihak kampus tidak pernah salah? Apakah karena menganggap mereka sebagai dosen sehingga mahasiswa tidak boleh memberi kritikan? Tentu tidak kawan! Secara tandas dalam buku catatan seorang demonstran, Soe Hoek Gie telah mengatakan bahwa “guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan murid bukan kerbau”.
Baca juga: Dicari! Hilangnya Presma IAIN Kendari
Ingat mereka juga adalah manusia biasa, yang pada dasarnya memiliki kekurangan dan tidak menuntut kemungkinan akan berbuat salah. Olehnya itu, representasi mahasiswa sebagai tangan kiri kampus jangan takut untuk berdinamika dengan dosen ataupun pihak birokrasi kampus. Rasa penghormatan itu memang perlu, tetapi bukan keharusan yang mutlak. Artinya apa, bahwa prinsip harus tetap ada! Jika salah dan keluar dari jalur komitmen dan tidak konstitusional, maka bentuk perlawanan harus kita gaungkan, entah itu melalui kritikan gerakan demonstrasi ataupun dengan cara-cara konstruktif lainnya.
Sehingga akan sangat mudarat bagi mahasiswa untuk tidak melahap apa yang kemudian menjadi buah pemikiran Muhammad Sulhijah dalam tulisannya yang berjudul Surat Cinta Untuk Maba yakni “sebagai mahasiswa kita harus pandai-pandai memfilter setiap perkataan dosen kalau dia salah maka sampaikan bahwa itu salah, begitupun sebaliknya karena ruang akademik adalah arena pertarungan intelektual baik itu antara dosen dan mahasiswa maupun antara mahasiswa dan sesama mahasiswa”.
Baca juga: Surat Cinta Untuk MaBa
Tentu akan begitu kontras pemandangannya jika kita melihat suatu fenomena seorang mahasiswa yang mengklaim diri sebagai aktivis kritis atas kesewenangan-wenangan dosen tetapi dalam praktiknya ia takut ketika berhadapan dengan dosen-dosen yang bengis.
Mengapa harus takut kawan? Justru sebagai tangan kiri kampus maka konfrontatif yang kita lakukan sebagai mahasiswa harus lebih frontal lagi untuk membungkam kesewenang-wenangan dosen yang tidak normatif. Seharusnya kita sadar, jika mahasiswa menyuarakan kebenaran lalu ia diperangi maka kampus sedang dipimpin oleh penjahat yang ingin mengiring kita ke jalan yang sesat.
“Dalam hidup kita, cuman satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini”? Coba renungkan perkataan Pramoedya Ananta Toer tersebut. Bagaimana mungkin menolong yang tertindas jika dirimu sendiri tidak memiliki keberanian. Apakah kamu bangga tidak memiliki keberanian? Apakah tidak malu dengan hidupmu yang tak mempunyai harga sedikitpun?
Jangan jadi pengecut kawan!
Ijtihad perjuangan perlawanan mahasiswa akan terus digelorakan, kita tidak layak untuk takut saat hendak menyuarakan suatu kebenaran. Kalau kita dan Soek Hoek Gie sama-sama mahasiswa, lalu apa yang membatasi kita untuk menjadi teladan sepertinya?
Ingat kawan kita memiliki keberanian itu. Minimal, suara kebenaran yang kita serukan tidak mengingkari eksistensi kita sebagai mahasiswa, sebagai seorang pemuda, dan sebagai seorang manusia. Kita bukanlah mahasiswa yang hanya lulus membawa gelar dan ijazah tanpa esensi.
Kawan-kawan sekalian pasti bertanya-tanya mengapa saya memberikan label “Tangan Kiri Kampus” terhadap mahasiswa. Secara historis istilah kiri awalnya muncul dari kebiasaan anggota parlemen Prancis pasca revolusi saat bersidang. Mereka yang pro pemerintah duduk di sebelah kanan dan yang kontra duduk di sebelah kiri. Kebiasaan ini berlangsung sejak mereka bersumpah di lapangan tenis tanggal 20 Juni 1789, mereka sepakat untuk tidak terpisah sampai Prancis diberikan sebuah konstitusi. Kejadian tersebut yang kemudia dikenal dengan nama Tennis Court Oath.
Hingga sekarang, “kiri” identik dengan perlawanan (oposisi). Iya, mahasiswa adalah oposisi kampus sehingga kita tidak asing lagi dalam mengartikan celoteh “kiri” sebagai simbol perlawanan atas kebijakan kampus yang tidak berpihak pada mahasiswa.
Lantas bagaimana dengan tangan kanan ? Jika “kiri” cenderung progresif dan menghendaki perubahan untuk menjadi lebih baik, maka “kanan” cenderung konservatif yang menolak perubahan itu dan menghendaki berlangsung, atau Pro Status Quo. Kanan cenderung pragmatis, meskipun tidak seratus persen.
Dalam dunia pergerakan, mahasiswa harus mengerti makna filosofis tangan kanan dan kiri. Jadi, ketika kawan-kawan ditanya alasan mengangkat tangan kanan dan kiri. Jangan menjawab seperti “tangan kanan adalah tangan yang sopan, dan kiri adalah tangan yang kurangajar”. Ditertawaiko itu nanti.
Mahasiswa adalah kaum intelektual kawan, paham sebab-akibat bukan anak kecil yang hanya diajarkan tata krama.
Mestinya mahasiswa memberikan pemahaman kepada para dosen bahwa kritik harus dimaknai sebagai kepedulian dan dosen harus biasa-biasa saja ketika ia dikritik oleh mahasiswanya. Seorang dosen kalau dia bermutu tanpa meminta penghormatan mahasiswa pasti akan menghormatinya. Mengkritik dosen itu adalah kewajiban mahasiswa. Kalau sih dosen bertanya mengapa mahasiswa tidak memberi apresiasi terhadap dosen, ya tinggal kita jawab karena tidak ada yang mau diapresiasi. Seperti begitu. Penghormatan itu berasal dari hati nurani bukan karena paksaan. wajar saja kalau dosen banyak mendapat kritikan mahasiswa, karena sudah itu konsekuensi logis seorang dosen yang tidak mampu dan malas membaca pikiran mahasiswa.
Apakah seorang dosen harus diberi pujian oleh mahasiswa ketika ia telah melakukan tugas dan kewajibannya? Jawabannya tidak kawan! Karena itu memang kewajiban dia sebagai seorang tenaga pengajar untuk memberikan pengetahuan tanpa membatasi kebebasan berpendapat mahasiswa. Terkecuali ada progres kinerja di luar dari kewajiban dosen, itu baru kita kasih jempol. Dengan kata lain ia melakukan sesuatu yang melampaui tugas dia. Kalau bahasa Inggrisnya beyond the off duty.
Kan sama misalnya ketika mahasiswa mendapat Indeks Prestasi “A” kemudian kita bertemu dosen yang memberikan nilai tersebut, lalu kita meminta pujian apakah sih dosen akan memberikan pujian? Tentu tidak! Sih dosen pasti menjawab “pala lu goblok” kamu memang harus dapat nilai A karena itu adalah kewajiban kamu. Kalau kamu dapat IP A+ nah itu baru bapak atau ibu kasih pujian. Analogi sederhananya seperti itu kawan.
Perlu disadari, dewasa ini kita berada di dalam lingkungan orang-orang yang kosong ide minim prestasi. Jika mahasiswa masih memberikan pujian terhadap dosen yang tidak patut untuk mendapatkan keistimewaan itu, maka mahasiswa hanya sekedar konsumen, bukan sebagai agen of change. Jadi, sudahi pujian tololmu kawan. Sekali lagi kita harus ingat bahwa setiap kejadian yang terjadi orang akan memelihara harapan sekaligus kecemasan dan hari ini kecemasan lebih tinggi dari harapan. Olehnya itu, tidak ada keculasan untuk tidak melakukan perlawanan.
Berusahalah untuk selalu melakukan perlawanan sebab ada harapan yang harus mahasiswa perjuangkan !
Hidup mahasiswa!!!
Note :
P H adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari Progran Studi Tadris IPA