Objektif.id
Beranda Sastra Cerpen Payung Teduh Dari Nenek

Payung Teduh Dari Nenek

Penulis : Elfirawati

Perkenalkan namaku Pelita, aku lahir pada bulan September. Kata orang-orang bulan September adalah bulan yang identik dengan keceriaan dan kebahagiaan. Bagaimana tidak hampir di seluruh penjuru dunia mengalami perubahan besar di bulan kelahiranku ini salah satu diantaranya merupakan awal musim gugur, awal musim semi, dan musim hujan. Sayangnya, aku bukan anak perempuan ceria seperti bulan kelahiranku.

Tepat hari ini umurku berinjak 10 tahun. Keluargaku tidak pernah merayakan ulang tahunku ataupun mengucapkannya aku tidak pernah berharap mereka akan mengatakan itu, tapi yang kutahu setiap bulan kelahiranku nenek selalu membelikanku payung. Aku punya banyak sekali koleksi payung. Aku tidak tahu apakah payung adalah hadiah hari ulang tahunku atau bukan karena nenek tidak pernah mengatakan itu.

Aku tidak begitu dekat dengan ayah dan ibuku, aku hanya dekat dengan nenek dan juga adik dari ibuku. Dari kecil aku selalu ditinggal oleh kedua orang tuaku, ibu selalu pergi menemani kakek ke kebun. Kata ibu, kebun kakek sangat jauh untuk sampai ke kebun mereka harus menyeberang menggunakan perahu. Sementara ayah, baru beberapa bulan terakhir ini aku merasakan sosok kehadirannya. Aku selalu bertanya-tanya kepada nenek, bagaimana wujud ayah, di mana ayah atau ayahku itu yang seperti apa.

Mengingat ayah membuatku mengingat tentang kejadian 4 tahun yang lalu, aku bersyukur memiliki daya ingat begitu tajam setidaknya untuk tidak pernah melupakan kenangan yang tak pernah ingin kami alami aku, ibu, dan adik laki-lakiku. Sosok ayah dan ibu sepertinya memang tidak begitu dekat denganku, bahkan saat aku menangis atau kesakitan aku tidak pernah memanggil ibu yang kutahu hanyalah mengadu pada nenek.

“Nenek, Ayahku di mana? Teman-temanku bilang jika ayahku tidak akan pernah kembali,” rengekku.

Kuhamburkan pelukanku pada tubuh nenek, selepas pulang bermain bersama Rara, Guntur dan ketiga temannya mengejekku karena semenjak TK sampai Sekolah Dasar Guntur tidak pernah melihat ayahku. Sebenarnya, tidak hanya teman-teman sekolahku saja yang selalu mengejekku beberapa ibu-ibu tetangga selalu menertawaiku dan menanyakan di mana ayahku atau mereka akan bilang jika aku tidak akan pernah bertemu ayah atau hal yang paling buruknya adalah jika aku sudah memiliki ibu tiri.

“Pelita mau mainan yang banyak kan? Ayah Pelita kan lagi cari uang yang banyak untuk membeli mainan dan buku untuk Pelita.” selalu saja seperti itu jawaban yang kudengar dari nenek.

“Tapi, aku tidak pernah mendapatkan mainan dan buku cerita dari Ayah, Nek.”

“Pelita mau Ayah kembali?”

“Iya, Nek. Aku ingin sekali bertemu Ayah dan mengajak Ayah bermain layang-layang seperti Ayah Guntur.”

“Kalau begitu Pelita harus sholat dan banyak berdoa agar Ayah pulang ke rumah,” titah nenek

“Sholat dan berdoa yang banyak bisa membuat Ayah pulang, Nek?”

Nenek mengangguk tersenyum. Ia mengelus puncak kepalaku

“Nek, kira-kira Ayahku sebesar apa? Apakah seperti Ayah Guntur, Nek?”

Lagi, nenek mengangguk. Kulihat ia mengusap kedua matanya.

“Nenek kenapa? Nenek menangis?”

“Berjanjilah Nak, untuk tidak pernah membenci Ayahmu.”

“Aku berjanji Nek, aku tidak akan pernah membenci Ayah karena aku ingin sekali bertemu Ayah, tidak apa Ayah tak membawakanku buku atau mainan aku hanya ingin membuktikan pada Guntur kalau aku punya Ayah.”

“Percayalah rasa cinta Ayahmu lebih besar daripada Nenek,” kata nenek lagi ia mengusap puncak kepalaku

“Cinta itu apa Nek?”

“Cinta itu kasih sayang, seperti Nenek yang selalu mengusap dan merawat Pelita ketika sakit.”

“Nek, cinta nenek padaku sebesar apa?”

“Sebesar kasih sayang Ayahmu, Pelita.”

“Tapi, aku tidak pernah melihat Ayah. ”

Kata nenek, kasih sayang Ayah melebihi rasa sayangnya padaku. Nenek selalu mengatakan itu padaku berulang kali, walaupun ayah sudah kembali tetap saja tidak ada yang melebihi rasa cinta nenek untukku. Cinta nenek padaku terlalu besar, sebesar langit, tapi kata nenek rasa cintanya sebesar payung yang selalu ia berikan padaku. Karena katanya, rasa cinta yang ia berikan itu cukup membuatku merasakan kehadiran sosok yang tak pernah hadir dalam hidupku. Padahal rasa cintanya padaku lebih dari cukup.

Hari ini tepat dua tahun kedatangan ayah. Aku selalu menghabiskan hari-hariku bermain bersama ayah, walaupun terdengar terlambat untuk bermain bahkan mengenal ayah, namun aku tetap bersyukur. Sekarang hari-hariku di warnai dengan banyak warna. Cinta yang kudapatkan bukan dari satu warna saja, tapi dari berbagai macam warna. Ada Guntur yang selalu datang mengajaku bermain layang-layang dan masih banyak lagi dan juga ayah dan ibu yang sudah banyak meluangkan waktunya padaku.

Teruntuk nenek dan payung teduhnya yang selalu ia berikan setiap hari dan juga payung pemberiannya setiap bulan kelahiranku adalah kenangan yang tak pernah ingin kulupa. Rasa cintanya akan tetap ada walaupun wujudnya telah tiada. Nenek meninggal setelah 5 bulan kedatangan Ayah. Walaupun begitu nenek bilang untuk tidak pernah merasa sedih jika telah tiba kepergiannya, karena katanya aku harus bahagia dan ceria sebagaimana bulan kelahiranku yang selalu identik dengan keceriaan.

Penulis : Elfirawati

Bukan penulis tapi suka menulis, tidak suka hujan tulisan-tulisan lainnya bisa dibaca di blog : https://elfirawati-ereke.blogspot.com

admin

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan