Momentum New Normal dan Hegemoni Global Pasca Reformasi
Penulis: S.A.A
Bulan Desember tahun 2019 merupakan bulan yang bersejarah bagi perjalanan bangsa Indonesia, pada bulan inilah dimulainya awal perubahan dan terjadinya masa masa kesulitan bagi bangsa indonesia tak terkecuali negara negara lain yang disebut dengan pandemik global yang mengharuskan pengorbanan nyawa harta, momentum ini pula menjadi momen dimana hak dan kebebasan direnggut oleh keadaan.
Segala sesuatu yang dulu tidak boleh atau dianggap haram sekalipun, kini diperbolehkan dan dibuka selebar lebarnya.
Namun dengan momentum ini pula menjadi ajang pencitraan bagi para penguasa, tidak dengan rakyat yang kebebasan berpendapat, berkumpul, berserikat dan seterusnya telah direnggut oleh tatanan baru yang didesain dengan baik.
Kita memasuki tatanan dunia baru yang disebut dengan new normal yang seolah-olah pandangan kita terhadap dunia luar terlihat samar, langkah dan pendapat serta keinginan kita terbatasi untuk melangkah mengharuskan kita untuk menyesuaikan dengan keadaan yang baru.
Keadaan teknologi dan informasi mengharuskan kita untuk saling melihat dan bertatap dari jarak jauh melihat dunia luar yang lebih kompleks.
Mungkin hal ini telah tergambarkan oleh para ahli sebelumnya dan telah diramal sebelum kita merasakannya, inilah masa globalisasi dimana pasar bebas semakin menggeliat, para pemilik modal akan lebih mudah menanamkan modalnya diseluruh bidang yang diinginkannya.
Dalam menghadapi tatanan baru yang disebut dengan new normal apakah yang harus kita lakukan apakah kita harus berdiam diri dirumah seperti himbauan pemerintah.? Atau kita harus membuat terobosan baru untuk menghadirkan tatanan baru juga seperti apa yg dilakukan pemerintah.? hal ini tidak perlu lagi kita pertanyakan kita hanya mampu mengikuti trend yang ada kita hanya mampu beronani lewat dunia maya, melakukan aksi demonstrasi yang mungkin itu adalah satu satunya solusi dalam menangkal yang katanya isu pembodohan.
Hal utama yang harus diperhatikan bahwa media pada masa modern ini benar-benar melihat sebuah fungsi media massa secara apa yang diinginkan publik, bukan apa yang dibutuhkan publik. Sebab apabila paradigma ini terus berkelanjutan dan masih lakukan maka para ahli sejarah akan menyaksikan bahwa kitalah yang menjadi faktor dan penyebab kemerosotan bangsa karena media media saat ini yang sering kita saksikan tidak satupun dan tidak pernah menayangkan program program yang mendidik untuk generasi dimasa yang akan datang.
Seharusnya, media massa mampu menunjukan yang baik. Namun sebaliknya sistem kapitalisme kerap kita menyaksikan dimana
sistem ekonomi yang memberikan kebebasan penuh pada semua orang untuk melakukan kegiatan ekonomi untuk memperoleh keuntungan. Dalam sistem ekonomi ini, setiap individu memiliki hak penuh untuk mengambil manfaat atas harta atau kekayaannya sebagai alat produksi dan berusaha.
Berbicara tentang kapitalisme, berarti kita berbicara tentang hegemoni, hegemoni tidak hanya menunjukan kontrol ekonomi dan politik melainkan juga menunjukkan kemampuan kelas dominan dalam menampilkan cara pandangannya terhadap dunia, sehingga dengan berbagai macam kelas subordinat (kelas yang dikuasai Marx) menerimanya sebagai kelas common sense atau cara pandang yang benar.
Hegemoni berdasarkan gagasan karl marx mengenai kesadaran yang salah (false consciousness) yaitu keadaan dimana individu menjadi tidak menyadari adanya dominasi dalam kehidupan mereka, maka dengan terjadinya hegemoni global merupakan langkah akselerasi dalam menghela dan menutup ruang dan era reformasi pun dikotomi.
Era reformasi atau era pasca reformasi yang telah diperjuangkan lewat kobaran semangat aktivis mahasiswa dan rakyat umum pada tahun 1998 itu bukanlah tanpa cacat seiring dinamika perjalanan bangsa, reformasi telah menciptakan lubang hitam, dimana persoalan-persoalan seperti politik, hukum, ekonomi dan seterusnya kerap mewarnai derap langkah bangsa hingga saat ini.
Dalam konteks politik, kita bisa melihat gamblang tontonan keganasan dunia politik baik ditingkat pusat maupun lokal, dilevel pusat, para politikus beramai ramai mencaplok APBN sebagai aksi pencolengan uang rakyat.
Beberapa perubahan pasca reformasi tahun 1998 pun masih sangat terasa seperti banyaknya aksi aksi massa korban PHK, banyaknya aksi unjuk rasa kaum buruh dan munculnya berbagai bentuk pergolakan di Indonesia pasca reformasi tahun 1998 belum terselesaikannya masalah-masalah perburuhan di Indonesia secara tuntas.
Ada dua kelompok yang kemudian ini sangat nampak menjadi penyebab terjadinya, masalah yang Pertama adalah faktor peningkatan kuantitas tenaga kerja yang terus-menerus tanpa peningkatan daya serap lapangan kerja yang cukup. Kedua, tidak mampunya institusi pemerintah. melalui kebijakan yang dikeluarkannya penanganan permasalahan yang terus berkembang tersebut.
Penulis adalah mahasiswa aktif Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari.