Pasca Kompetisi, Saatnya Rekonsiliasi dan Berkolaborasi
Penulis: PH
Sepertinya kita paling gampang sekali melibatkan bawaan perasaan (baperan) untuk hal-hal yang mestinya bisa diselesaikan dengan bawaan candaan (bacaan).
Kira-kira 2900 tahun yang lalu atau sekitar abad ke 5 sebelum masehi demokrasi itu adanya di Pasar, tempat orang berdebat namanya Agora. Nah Agora itu tempatnya di IAIN sekarang, dimana kita mempersoalkan segala kebijakan kampus dan lembaga kemahasiswaan melalui pertengkaran pikiran tentang semua hal, konsep serta gagasan tiap-tiap pemangkuh jabatan. Dan itu hal yang biasa-biasa saja, tidak perlu lagi ada tendensi maupun sentimen politik, toh pesta demokrasi juga sudah selesai.
Disadari atau tidak, sejatinya kita tidak kekurangan para intelektual hanya saja kita kekurangan kesadaran kritis yang kemudian itu berimplikasi buruk terhadap konstruk tatanan sosial antar sesama kita yang telah diikat oleh akar persatuan para moyang.
Aku kira, perihal momentum pesta demokrasi itu sudah usai, dewasan ini seharusnya kita turut ambil bagian dengan berperan bukan baperan. Ihwal kontestasi kemarin itu hanya satu tahunan saja, tidak ada yang perlu kita ribet-ributkan dengan cara memecah belah ikatan persaudaraan yang telah lama terpatri dalam sanubari.
Kebanyakan kasus terkadang semesta akan selalu menuntun harapan untuk mendahului kenyataan. Demikian juga, dari berbagai tragedi yang dialami dalam setiap lembar kehidupan manusia harapan selalu diluluh lantakkan oleh kenyataan. Namun, apakah dengan demikian harapan itu akan berhenti sebab kegagalan ataupun kekalahan pada kontestasi tahun ini?
Aku atau siapapun yang mondar-mandir menguji jalan pikiran kekuasaan lembaga kemahasiswaan dengan cara bercakap-cakap sebagai kaum intelektual maka harus tetap menjaga eksistensi kejernihan pikirannya, agar supaya kita tidak terkontaminasi dengan sikap kekuasaan yang kadang kala cenderung terhadap pembusukkan moralitas.
Kekuasaan adalah suatu hal yang sangat berpotensi menimbulkan kedamaian di tengah keributan sekaligus kekacauan di tengah keheningan. Membumikan gagasan demi kemaslahatan khalayak ramai itu tidak mesti berada didalam kekuasaan teman. Kalau semua memiliki niat membangun lembaga kemahasiswaan mari sama-sama berkolaborasi dengan menanggalkan segala ego dan jiwa primitif kita pasca kompetisi. Kini, bukan lagi saatnya kita berkutat pada hal-hal yang pakem. Sebab ada tugas besar yang mestinya diselesaikan bersama, kita harus sungguh-sungguh menumbuhkan hasrat kesadaran, bahwa saat ini kita telah mengalami ketidakpercayaan yang luar biasa di antara kita. Seolah-olah kita tengah menguatkan tesis yang mengatakan salah satu Symptoom (gejala) paling menonjol hari-hari ini adalah meningkatnya prevalensi baru yang bersifat individualisme bukan lagi sosial-horizontal.
Mari percayakan kepada mereka yang terpilih mengemban amanah dari ribuan aspirasi mahasiswa. Kepercayaan adalah by-product yang sangat penting dari norma-norma sosial kooperatif yang memunculkan sosial justice.
Jika sesama mahasiswa diandalkan untuk tetap menjaga komitmen, norma-norma saling menolong, dan menghindari perilaku oportunistik, maka berbagai kelompok akan terbentuk secara lebih cepat, dan kelompok yang terbentuk itu akan mampu mencapai tujuan – tujuan bersama secara lebih efisien.
Kini dibutuhkan rasa saling percaya diantara kita. Meminjam apa yang dikatakan filsuf politik terkemuka abad ke-20, Hannah Arendt (The Human Condition, 1958) menyatakan, bahwa ada dua sifat utama dari tindakan manusia: unpredictabel dan irreversible. Artinya, setiap tindakan yang dilakukan manusia dalam ruang publik tidak bisa diramalkan dan tidak bisa diulangi dari nol. Untuk mengurangi yang unpredictable manusia memerlukan janji. Dan janji ini tentu bukan janji yang diucapkan oleh juru kampanye untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya. tetapi, janji yang keluar dari hati nurani kemanusiaan kita, dimana setelah berjanji seseorang harus berupaya secara sungguh-sungguh untuk menepatinya. Dan untuk menanggulangi yang irreversible adalah dengan pengampunan. Kita tahu bahwa tidak ada seorangpun yang tidak pernah melakukan kesalahan. Artinya, kita harus memberi kesempatan dan membantu mereka melalui jalan pikiran untuk memperbaiki kesalahannya. Bahkan Hannah Arendt sendiri yang keturunan Yahudi bersedia memaafkan Martin Heidegger yang menjadi salah satu tokoh propaganda Nazi atas tindakannya di masa kekuasaan Hitler.
Namun, dalam upaya memaafkan kita tidak boleh meninggalkan prinsip kesadaran kritis. Artinya, kritik harus selalu tiba mendahului pujian bukan malah sebaliknya. Sebab berkolaborasi tanpa ada kritik ibarat mencintai tapi tidak memiliki. Dua hal kolaborasi dan kritik itu tidak bersifat dikotomis, melainkan dialektis. Dengan demikian, kita bisa membangun kembali struktur sosial bermahasiswa yang hancur akibat rasa saling tidak percaya dan baperan dengan membina kembali rasa saling percaya, kejujuran, kearifan, kesediaan untuk saling memaafkan sebagai indikator dari national building persaudaraan kita.
Sesama mahasiswa, aku hanya ingin mengajak kawan semua untuk selalu merendahkan sentimen, meninggikan argumen. Mari menjadi pemimpin tanpa harus menjadi pimpinan yang selalu cenderung pada tabiat-tabiat demoralisasi. Silahkan implementasikan narasi-narasi kalian yang berkarakter untuk lembaga kemahasiswaan. Aku yakin, dengan argumen konstruktif kita akan memberikan kontribusi pikiran yang lebih konkret untuk lembaga kemahasiswaan. Tidak selalu harus kita tunggu hari-hari panjang kinerja para juru selamat ini (ketua-ketua terpilih). Bahkan satu hari pasca dilantik kita sudah bisa melakukan transaksi gagasan melalui kritikkan.
Berkolaborasi itu bukan perihal bersekongkol bersama pemangku jabatan, tetapi bagaimana kita menegur pikiran kebijakan mereka dengan selalu memberikan sumbangsi ide dan gagasan demi lembaga kemahasiswaan yang berkemajuan.
Apakah kalian hanya akan berkoar saja? Tanpa aksi yang nyata? Apa sampai disini saja kulminasi harapan kalian yang gagal? Apa kalian terima di cap sebagai pecundang? Jika tidak, bangkitlah untuk bergerak. Tapi ingat, “bergerak yang penting, bukan yang penting bergerak” artinya bumikan narasi hingga aksi yang di perhitungkan, tidak dengan gerak asal-asalan.
PH adalah mahasiswa aktif Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari. Pecinta Kopi.