Objektif.id
Beranda INTERPRETASI Opini Anak, hadiah Terindah Tuhan

Anak, hadiah Terindah Tuhan

Syafira Damayanti, salah satu mahasiswa aktif Institut Agama Islam Negari (IAIN) Kendari, asal Wakatobi.

Penulis: Syafira Damayanti

Objektif.id, Kendari – Anak dikatakan sebagai anugerah karena anak adalah anugerah terindah, berupa amanah dan titipan dari Allah SWT. Yang diberikan kepada orang tua, Yang membuat setiap mata hati memandangnya menjadi aman dan damai.

Keberadaan anak sangat dinantikan oleh orang tua sebagai penyempurna kebahagiaan dalam keluarga.

Anak-anaklah yang membuat hati setiap orang tua untuk bisa tersenyum, tertawa bakhan marah hingga kecewa. semua itu terjadi silih berganti setiap hari setiap masa.

Ada yang harus dikorbankan untuk menantikan kehadiran seorang anak terutama bagi seorang ibu, Karena seorang  ibu ketika akan melahirkan anak kedunia mereka rela mengobarkan nyawanya demi bisa melihat  anaknya lahir  kedunia.

Namun, tidak sedikit orang tua yang kerepotan mengendalikan anak bahkan mereka menganggap bahwa kehadiran seorang anak berarti bertambah juga beban hidupnya. Katanya anak  adalah anugerah, tetapi mengapa sebagian ayah justru melemparkan tanggung jawab perilaku anak hanya kepada istrinya? Katanya  anak adalah anugerah, tetapi mengapa sebagian besar justru dijatuhkan harga dirinya dirumah?

Berat atau ringan mendidik anak tidak ditentukan oleh berapa jumlah anak, tetapi tergantung persepsi kita tentang anak. Segera ubah mindset dan persepsi kita tentang anak. bahwa anak-anak itu aset, bukan beban (biaya). Jika memposisikan anak sebagai aset, pasti terasa ringan dan akan dipentingkan. Sebaliknya jika anak kita anggap sebagai beban maka pastilah cenderung diabaikan atau bahkan disingkirkan, karena terasa melelahkan.

Seorang anak mampu beradaptasi sebagaimana sesuai dengan didikan dari kedua orangtuanya yang mengasuhnya. Buatlah anak untuk selalu merasa beruntung  ketika hidup bersamanya karena hakikatnya bukanlah anak yang minta dilahirkan didunia melainkan kitalah yang mendambakan kehadirannya, maka jagalah mereka dan selalu bersyukur  karena semua itu akan diminta pertanggungjawaban diakhirat kelak.

Setiap anak yang dilahirkan kedunia dalam keadaan fitah, bukan? “Kullu mauluudin yuladu alal fitrah. Faawabahu.” Setiap anak lahir dengan keadaan fitrah, tergantung orangtuanya bagaimana dia dibentuk. Karena anak lahir dengan fitrah, bukankah berarti tidak satupun  anak ketika lahir berniat untuk menghancurkan masa depannya? Mereka akan tumbuh dengan kebaikan-kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan diakhirat  tergantung bagaimana  dari orangtuanya.

Secara kongkrit diketahui bahwa  hati ayah dan ibu difitrahkan untuk sayang kepada anak, berakar dengan perasaan-perasaan psikologis, kasih sayang kebapaan untuk melindunginya, menyayanginya, belas kasih kdepadanya, dan memperhatikan kemashlahatannya. Sekiranya itu tidak ada, spesies manusia pasti lenyap dari muka bumi.

Sementara itu dalam Al-Qur’an yang mulia menggambarkan perasaan-perasaan  kebapaan yang tulus, Dengan penggambaran yang indah, terkadang ia menjadikan anak-anak laksana perhiasan hidup.

Sebaiamana yang tercantum dalam Q.S Al-Kahfi ayat 46 : Artinya “…harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.”

Terkadang  ia mengiktibarkan mereka sebagai karunia yang agung yang menadikannya berhak untuk bersyukur kepada yang maha pemberi yang member karunia : “ kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan kami jafikan kamu kelompok yang lebih besar” (Q.S Al-Isra: 6).

Mendidik anak itu persis seperti menanam pohon. Allah berfirman dalam QS Ali-Imran :35-37, besarkanlah anak dengan pertumbuhan yang baik. Allah juga berbicara (tanaman) ini ketika Rasul mendidik sahabat-sahabatnya. Dalam surat ini, belum panen saja Allah sudah memberikan kebahagiaan, apalagi ketika panen raya? Petani itu bahagia saat tanamannya tumbuh baik, padahal belum panen. Bahagia, saat hujan turun, padahal belum menanam. Jadi bahagia itu tidak harus menunggu panen, jangan menunggu sampai anak besar. Asal prosesnya baik, maka orangtua akan bahagia sepanjang pertumbuhan usia anaknya.

Anak salih yang bisa mendoakan orang tuanya, itu aset akhirat. Ketika kita meninggal, maka terputus semua amal dan kepemilikan. Yang masih tersambung hanyalah amal jariyah kita. Dan kepemilikan yang masih bisa dinikmati adalah anak kita, dialah yang paling berhak menshalatkan dan mendoakan kita, bukan lainnya. Itulah aset akhirat. Kalau anak adalah aset, maka pasti kita ingin memilikinya sedikit atau banyak.

Hilangkan anggapan bahwa anak-anak itu beban. Anak-anak kita tidak numpang hidup pada kita, karena bayi terlahir sudah lengkap membawa rezekinya, Allah sudah menjamin mencukupkan kehidupannya. Janganlah Anda sombong, seolah-olah menjadi orang yang paling berjasa menafkahi dan menghidupi anak-anak dan keluarga.

Penulis adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari, Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (Fatik), anggota aktif UKM-Pers IAIN Kendari dan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Ibnu Rusyd.

admin

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan