Mengikhlaskan
Penulis: Asrinawati Azizah
Malam itu, digelapnya malam yang membungkus bumi seorang gadis bernama Rizky Anandita hanya bisa terdiam kaku menatap wajah pucat pasi dan kaku sang Ibu. Dirasakannya tangan kekar yang memeluknya dari belakang beserta bisikan dengan suara bergetar dari sang ayah.
“kamu kuat nak, Allah lebih sayang Ibu. Ikhlaskan yah nak” bisik sang ayah.
Setelah mendengar bisikan sang ayah maka Luruh lah air mata yang sedari tadi ditahan gadis berumur 16 tahun itu, hancurlah tembok pertahanan yang ia bangun untuk tidak mempercayai Malaikat Tanpa Sayap nya telah tiada. Ibu yang selama ini merawat dan menyayanginya dengan sepenuh hati telah pergi ke pangkuan sang Ilahi. Rasanya dunia seperti runtuh seketika.Ia terduduk diatas dinginnya lantai, meraung dengan penuh rasa sakit yang menggerogoti hatinya.
Setelah sekian lama menangis Dita mencoba mendekati tubuh kaku sang Ibu mengelus wajahnya serta mengecup seluruh penjuru wajah sang malaikat tanpa sayap nya dengan menahan isakan dari mulut kecilnya. Ia berbisik di telinga sang Ibu.
“Do’akan Dita untuk ikhlas Bu, Dita sayang Ibu”
Setelah prosesi pemakaman Dita duduk terdiam menatap Nisan sang ibu, di dalam benaknya terus berpikir. Bagaimana ia dapat melanjutkan hidupnya tanpa sosok ibu di sampingnya? siapa yang akan menghibur ayahnya setelah lelah bekerja nantinya? siapa yang akan menguatkan nya ketika dirinya sedang ditimpa masalah?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya sampai dirasakannya tepukan pada pundaknya. Ternyata tepukan itu berasal dari sang ayah, ditatapnya sang ayah yang tidak kalah berantakan dengannya. Mata yang sembab serta bibir yang pucat pasi, Ayah tersenyum dan ikut bergabung bersama Dita mengamati batu nisan sang ibu.
Lama terdiam dalam kebisuan, ayah membuka suara
“Nak, kamu harus tetap kuat. Tetap kuat dan tegar untuk ayah karena kalau kamu juga menyerah alasan ayah untuk bertahan Apalagi.”
Dita tertegun dengan kata-kata yang diucapkan sang ayah hatinya Terasa dihimpit Batu yang sangat besar dan matanya terasa berkabut akibat Bendungan air mata yang siap bobol mengaliri pipi mulusnya. Sedetik kemudian Dita berhambur ke pelukan sang ayah menumpahkan Seluruh Rasa sesak di dada.
” In Syaa Allah Dita kuat Ayah. Jadi Ayah juga harus kuat.” tutur Dita dengan isakan.
“Iya sayang. Yang terpenting kamu harus ikhlas nak, ibu pasti sedih kalau kamu belum ikhlas menerima kepergiannya”
Dita hanya bisa menjawab perktaan ayah dengan anggukan dan makin mempererat pelukannya pada tubuh sang ayah.
Hari-hari terus berlalu, Jujur dalam melewati hari-harinya bukan hal mudah untuk Dita lewati apalagi ketika ia berada di rumah. Karena di setiap sudut rumah tersimpan begitu banyak memori indah yang di lewati bersama ibunya.
Ketika malam menyapa dan orang rumah telah terlelap di ruangan kecil bercahaya tamaram, Dita duduk terdiam di atas tempat tidur kecilnya. Hal ini terjadi lagi, saat-saat dimana ia merindukan sang malaikat tanpa sayap nya. Dita beranjak dari duduknya, diambilnya daster lusuh kesayangan sang Ibu dari dalam lemari. Dipeluknya daster itu erat-erat. Isakan-isakan kecil mulai mengalun keluar dari bibir mungilnya. Ia terisak ditengah gelap malam tanpa seorang pun yang tahu.
Lama-kelamaan Dita mulai dapat mengiklaskan kepergian sang Ibu. Ia menjalani hari-harinya dengan senyuman melanjutkan sekolahnya menghabiskan waktu Bersama sang ayah dan merajut cita-cita yang ingin Ia capai untuk membanggakan orang tuanya.
Suatu hari, setelah pulang sekolah Ayah mengajak Dita berziarah ke makam sang Ibu. Sesampainya disana ia menuangkan rasa rindunya lewat panjatan do’a untuk sang Ibu. Melihat putrinya yang mulai menitikkan airmata Ayah segera membawa tubuh mungil itu dalam pelukannya.
“Dita sudah ikhlas bukan?” tanya Ayah
“iya yah, Dita sudah ikhlas” Jawab Dita sambil tersenyum.
Dilepaskan pelukan sang Ayah, lalu ia menatap batu nisan Ibunya sembari berkata dalam hati “Bu, mengikhlaskan kepergian mu memang tidak mudah, tapi aku harus melakukan nya agar kaupun tenang di pangkuan sang ilahi. agar Ayah juga bisa tetap kuat dalam menjalani hari-hari tanpa ibu. Tunggu Dita dan Ayah di atas sana ya Bu. In Syaa Allah, jika Allah mengizinkan kita akan di persatukan di dalam surganya kelak. Dita pulang dulu Bu.”
Penulis adalah mahasiswa aktif Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, juga anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Pers (UKM-Pers).