Mimpi yang Besar Bukan Tanpa Sebab
Meminjam kata dari pepata, Izinkan saya mendongeng biarkan teman-teman menghayal.
Teringat saat dimana kau mengenalkanku pada banyak hal, tentang bagaimana merangkai kata menjelma narasi, tentang bagiamana membingkai kata hingga tak menyayat hati.
Tentang bagaimana mengambil kesempatan pada genggaman kesempitan, tentang bagaimana menyulam kecewa menjadi asik hingga tentang bagaimana negosiasi mencari sebungkus nasi.
Kini, Ia tak lagi muda, bahkan bukan gadis karena sudah memiliki suami dan empat orang anak.
Dahulu mereka mengajarkanku mengayung kaki, langkah demi langka hingga berlari.
Dahulu mereka yang pertama kali mengenalkan kata perkata hingga lancar mengucap kalimat.
Dahulu mereka yang mengajarkanku perjuangan hidup, dinamika hidup hingga paham arti kehidupan.
Berbekal pengalaman menempuh pendidikan di bangku pendidikan yang hanya sampai pada Sekolah Menengah Atas, yang punya niat besar ingin melanjutkan pendidikan di bangku kuliah namun terhalang karna keterbatasan ekonomi sehingga memutuskan mengurung niat.
Tidak mau hal serupa dirasakan sang anak, hingga memutuskan apapun peran akan ia jalani.
Dari dagang kue, jual sayur, buruh tani, sampai buru bangunan ia lalui, semua itu bukan tanpa sebab.
Mungkin misi suci yang sempat terhenti, mungkin derita hidup yang sudah dilalui tak mau dirasakan anak-anaknya ataukah ada misi lain, entahlah tapi yang pasti ia menginginkan yang terbaik.
Tangan yang kasar, kulit kaki yang tebal, pinggang yang sering sakit, raut wajah yang keriput, keringat yang melekat pada pakayannya adalah bukti perjuangan mereka.
Sebagai anak, aku harus memikirkan nasib keluarga kami, berpikir keras bagaimana cara mendapatkan uang, sedangkan sekolahku saja belum selesai.
Didalam kebingungan yang terus menghantuiku, seorang teman mengajakku untuk bergabung dengannya di satu perusahaan media.
Walaupun belum bisa mengirimkan uang untuk mereka, tapi dengan menggeluti profesi ini aku bisa meringankan beban ayah dan ibu sebagai tulang punggung keluarga.
Diruang bersegi empat berukuran dua kali tiga, beralaskan tikar di bawa sinar lampu, hanya bisa menahan tangis melihat perjuangannya.
Tetesan air mata para penyapa menaru harapan disetiap sapaan, tangan-tangan suci titipan tuhan selalu mengawal menaru harapan. Oh tuhan lindungi mereka.
Entahlah untuk saat ini hanya bisa menahan rindu, hanha bisa mengirim mantra-mantra suci disela-selah keheningan mengharapkan sapaan sang ILAHI.
Rizal Saputra, Kendari 21 April 2022.