Arti Keluarga
Objektif.id – Semilir angin, kicauan burung serta cahaya senja bersinar menerpa wajah sesosok gadis yang berada dalam sebuah rumah pohon sambil tersenyum dengan sorot mata teduhnya.
Tiba-tiba terdengar seruan pemuda dari bawah pohon meneriakkan nama gadis itu.
“Ayana, Ayana, Ayanaa!”, Teriak pemuda itu.
“iyaa!, Naiklah kak Al”, Jawab Ayana.
si pemuda tadi atau biasa dipanggil Al tersebut memutuskan untuk naik ke rumah pohon tempat Ayana menikmati sinaran senja.
Setelah Al naik ia pun duduk di samping Ayana. Tanpa banyak kata Ayana memberikan sebuah surat kepada Al. Meski agak ragu, Al akhirnya menerima dan membaca isi yang tertera dalam surat tersebut. Beragam macam ekspresi turut hadir di wajahnya.
“Apa ini Ayana, katakan padaku bahwa semua ini tidak betul… katakan!!!”, Seru Al mengguncang bahu Ayana.
“Kak Al sendiri telah melihatnya kan? apa perlu aku harus jelaskan lagi?” Tanya Ayana. Menatap langsung tepat di mata kakaknya.
Sambil menarik napas dalam-dalam Ayana menjelaskan maksud dari surat tersebut.
“Baiklah, seperti yang tertulis dalam surat bahwa aku sekarang divonis kanker otak dan sudah memasuki stadium akhir… Hahaha sungguh ironi bukan hidupku ini?” Jelasnya diselingi tawa. Yang jika didengar tawa tersebut penuh sarat akan ketidakberdayaan untuk hidup.
Al yang mendengar pengakuan langsung dari adiknya tanpa disadari wajah rupawan itu telah dibanjiri oleh air mata. Ia pun lantas menampar wajahnya sendiri berkali-kali dan mengucap berbagai kata penyesalan kepada adiknya.
Melihat respon yang ditunjukkan Al, sebaliknya Ayana semakin tertawa. Karena, ia tahu bahwa kakaknya ini adalah orang yang tidak pernah peduli sedikitpun kepadanya. Bahkan disaat kedua orangtua mereka memarahi dan memukulinya sekalipun dia hanya duduk bersantai di ruang keluarga sambil bermain dengan ponselnya.
—
Hujan yang mengguyur bumi secara terus-menerus kala itu tak membuat langkah kaki sesosok gadis berseragam SMA bernametagkan Ayana Putri untuk cepat sampai ke rumah kediamannya.
Tak lama kemudian, Ayana telah sampai ke rumahnya dengan pakaian yang basah kuyup di guyur hujan. Bukannya sambutan hangat yang diterima sebaliknya tamparan keras oleh Sang kepala keluarga mendarat mulus di wajah jelita Ayana hingga meninggalkan bekas.
“Kamu darimana saja Ha? mau jadi apa kamu diluaran sana Ha? jam segini baru pulang”, Teriaknya berapi-api tepat di depan wajah putrinya.
Baru saja Ayana akan menjelaskannya. Namun, ayahnya langsung mengangkat lima jarinya mengisyaratkan untuk diam. Setelah itu, ia pun berlalu pergi meninggalkan Ayana yang terduduk lemas di lantai yang dingin dengan wajah lebam kemerahan akibat tamparan yang bertubi-tubi ia terima.
Ayana melihat sekitar berharap ada yang membantunya. Namun, yang ia dapatkan sungguh membuat dadanya sesak tak tertahankan. Dimana, Sang kakak yang sebagai perisai pelindung malah asik tertawa dengan ponselnya, Sang ibu yang sejatinya adalah seseorang yang tidak pandang bulu dalam hal menyayangi anaknya malah sibuk membaca majalah. Di rumah ini ia tak ayalnya bagaikan setitik debu yang kehadirannya tidak diinginkan sama sekali.
Kejadian seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari Ayana dapatkan dari penghuni rumah tersebut. Bahkan tak jarang tindakan pengusiran Ayana dapatkan yang menyebabkan ia harus menahan lapar dan tidur didepan toko-toko yang telah tutup. Tiada seorangpun yang berniat mencari dirinya.
Berujung Ayana sendirilah berinisiatif pulang dan harus bersujud meminta maaf kepada ayahnya atas kesalahan yang bahkan ia sendiri tak tahu apa. Hal ini terjadi karena, ayahnya langsung pergi begitu saja setelah melampiaskan amarahnya.
Ayana kadang selalu berpikir dalam hati Mengapa orang-orang di rumah itu selalu menebarkan kebencian terhadap dirinya. Apa salah dirinya? hanya ada kata kenapa dan mengapa yang terus berkecamuk dalam benaknya.
—
Mengingat semua itu, Ayana semakin tertawa kencang. Al yang melihatnya merasa heran akan sikap adiknya. Bukannya merasa sedih mengidap penyakit yang mematikan malah menunjukan ekspresi seakan-akan bahagia akan hal itu.
“Ayana! Hey sadarlah, apa yang lucu dari semua ini kamu divonis penyakit yang mematikan apa kau menyadarinya itu, dan itu artinya hidupmu sudah tak lama lagi Ayana”, Ujar Al lirih.
“Hahaha, menurutku lucu saja melihat reaksi mu itu. Dan aku penasaran gimana reaksi orang tua kita, apakah reaksinya akan sama seperti mu? Aku tak sabar menantikannya”, Balas Ayana menyeringai sinis.
Ayana pun bangkit dari duduknya. Kemudian, berjalan menuju tasnya entah mengambil apa lalu berbalik lagi kepada Al.
“Sekarang, aku tanya mengapa kamu peduli? hm… bukannya kamu tak pernah peduli sedikit pun kepadaku ya, ohh apa perlu kuingatkan lagi segala perlakuanmu kepadaku dulu? dimana Al itu hanya melihat saja adiknya diperlakukan layaknya sampah oleh keluarganya sendiri, sosok Al itu dimana saat adiknya diusir malah memilih pergi bersenang-senang bersama teman-temannya… Sebenarnya apa sih arti diriku untuk kalian? kenapa kalian memperlakukan seperti itu? apakah jika aku mati akan membuat kalian puas? itukan yang sebenarnya kalian inginkan, maka baiklah aku akan mewujudkannya”, Tukasnya dingin.
Jika memang kematian adalah jalan memutus rantai derita ini maka Ayana akan dengan senang hati melakukannya. Ia pun memperlihatkan benda yang ia ambil dari dalam tasnya sebelumnya yang ternyata adalah pisau.
Tanpa babibu Ayana langsung menyayat lehernya sendiri dengan pisau itu. Sedang, Al yang melihatnya hanya bisa menatap kosong tubuh adiknya yang telah tergeletak di genangan darah yang dihasilkan oleh Sang adik. Kemudian, tak lama setelah itu, Al dengan rasa penyesalannya akhirnya memutuskan menjatuhkan dirinya dari pohon yang tingginya kurang lebih 20 meter. Menyusul Sang adik.
TAMAT
Penulis: Rose Nere
Editor: Redaksi