Objektif.id
Beranda INTERPRETASI Opini Pengetahuan 30 Detik (Singkat) Lahirnya Filsuf Karbitan

Pengetahuan 30 Detik (Singkat) Lahirnya Filsuf Karbitan

Foto ilustrasi

Objektif.id – 30 detik jangan salah kaprah, bukan persoalan bokep sebagai mana yang mewabah belakangan ini. ini fenomena urgent dan aneh dari kebengisan teknologi yang kita sebut era disrupsi, postmodern, Revolusi industri 4.0. Polemiknya adalah meledak nya jumlah informasi yang dikemas melalui konten video lalu disebarkan di berbagai macam platform media sosial (You Tube, facebook, Ig, twitter, tik tok) hampir sebagian informasi yang menjelaskan secara tidak detail, singkat (30 detik).

Konsekuensinya disinformasi yang terjadi, Hoaks mewabah, kegaduhan terjadi, budaya berkomentar di medsos yang sifatnya membuly, lebih tepatnya preman media sosial dan pemecah persatuan bangsa. Serta membuat narasi-narasi menyesatkan pada setiap kolom komentar diberbagai macam platform media sosial.

Platform media sosial yang mendominasi seluruh aspek kehidupan manusia di era ini dengan niat untuk mengembangkan kualitas manusia sebagai peradaban baru namun dimanfaatkan oleh orang yang mencari keuntungan, namun tak disangka menurunkan harkat dan martabat manusia dan lahirnya proses Dehumanisasi.

Dalam konteks hari ini, internet tak seperti ubahnya mesin cetak Johannes gutenburtg disekitar abad 15 yang mengambil alih otoritas keagamaan pada saat itu. Karena al kitab akhirnya bebas di cetak dan dimilki oleh siapa pun yang mampu membaca sehingga tafsiran kalam ilahiah tak lagi dimonopoli. Artinya ini menjadi titik awal para ahli yang dibidangnya kehilangan legitimasi kepakaran. Jika kita korelasikan dengan realitas hari ini para kaum terdidik yang ahli pada bidangnya kehilangan sebagian legitimasi pengaruh dan kepercayaan diakibatkan hadirnya berbagai sumber informasi dan pengetahuan yang baru yang berasal media sosial. Media sosial hari ini didominasi oleh masyrakat awam dan mengendalikan kebenaran berdasarkan jumlah like, share, dan followers

Merebaknya pengetahuan singkat hari ini melalui kontenisasi dalam bentuk video lalu diedit menjadi singkat dan hanya mengambil poin poin tertentu dianggap bukanlah satu keilmuan namun pengetahuan. Secara sederhana, pengetahuan adalah sesuatu yang di ketahui , pengetahuan belum tentu sebuah ilmu. Ilmulah yang menjelaskan secara rinci tentang pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah. Olehnya itu, konten-konten yang di edit dari platform media sosial bukanlah satu pengetahuan yang utuh. Contoh memposting di status wa, berdurasi singkat, penjelasan dalam video konten telah dipangkas.

Penulis menganggap dewasa ini, kita seolah di paksa untuk memahami pengetahuan sebatas durasi 30 detik . pengetahuan singkat kemudian dengan cepat mengambil kesimpulan lalu menjadi Sok Bijak (Filsuf Karbitan). Karbitan merupakan kata tidak baku yang memiliki arti dipaksakan tanpa melaui proses. Jadi fisuf karbitan adalah kondisi setiap orang mengalami kebijaksanaan dipaksakan dan merasa sok tahu serta terbentuk bukan dari proses berpikir yang kritis. Filsuf karbitan tercipta menjadikan platform media sosial sebagai media yang sempurna dalam pembelajaran.

Benang merah dari polemik diatas adalah masyarakat Indonesia daya baca yang kurang. Juga didukung oleh kecanduan bersenggama dengan gadget. Menurut data wearesocial pada tahun 2021 waktu yang dihabiskan oleh orang Indonesia untuk mengakses internet perhari rata-rata yaitu 8 jam 52 menit . Menurut hemat penulis, berawal dari setiap reels, tik-tok, shorts, selalu menjamin penggunanya dapat menyenangkan akibatnya tubuh kita akan memproduksi hormone dopamine. Kondisi ini menyebabkan perasaan eufhoria sementara. Walaupun singkat, umumnya durasi 30 detik setiap video. Namun Jangan anggap remeh 30 detik ini kita dapat terhipnotis sampai 3 jam dan berjam jam.

Kegelisahan penulis berawal dari melihat realitas sekeling kita dan teruntuk mahasiswa yang menjadi penikmat pengetahuan 30 detik ini. Menurunkan marwah bagi pelajar yang menyandang MAHA. Ironis, seolah mahasiswa kehilangan ke-Maha-anya.

Proses lahirnya Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia, kata berangkai dari kata philein yang berarti mencitai, dan sophia berarti kebijaksanaan. Philosophia berarti: Cinta atau kebijaksanaan (Inggeris: Love of wisdom, Belanda Wijsbegeerte. Arab: Muhibbu al- Hikmah). Orang yang berfilsafat atau orang yang melakukan filsafat disebut “filsuf” atau “filosof”, artinya pencinta kebijaksanaan Berfilsafat berarti berpikir. Namun, tidak semua orang yang berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh sungguh. Sebuah semboyang mengatakan bahwa: setiap manusia adalah filosuf.

Semboyang ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi, secara umum semboyang ini tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filosuf. Berdasarkan uraian di atas di pahami bahwa filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam sampai keakar-akarnya.

Pada aplikasi Whatsapp itu hanya 30 detik memberikan informasi, tik tok 5 menit, reels Instagram maksimal 90 detik, shorts YouTube 60 detik, praktik kontennisasi jadi hobi dan konsumsi kita.

Filsuf karbitan ini lahir adalah pengguna smartphone yang memahami secara praktis dan singkat setiap konten video yang berdurasi pendek lalu mengomentari kalimat bijak dengan konklusi baru. Seakan-akan mereka memahami baik konten makna dari ungkapan di video tersebut.Sebagian menikmati dengan khusyuk dominan pada durasi 30 detik.

Sulit di zaman ini menilai seseorang apakah bijak atau tidak, jika paramaternya adalah melihat aktivitas medsos di ig, wa, fb, twitter, tik-tok ,setiap harinya selalu memposting video bermanfaat ataupun rajin menshare setiap konten tersebut , lalu melegitimasi orang tersebut mempunyai moralitas yang baik. Bahkan ada beberapa teman-teman yang storynya di medsos jauh dari panggang api dengan perilaku dan perbuatan hari-harinya yang bejat. Story malaikat perbuatan iblis.

Seperti yang kita ketahui bersama algoritma di setiap smartphone akan menyesuaikan sesuai dengan keinginan kamu, mendeteksi kesukaan kamu, dan karakter kamu maka penampilan di beranda kamu adalah sesuai yang kamu lakukan pada laman pencarian, follow, like, share. Sebagian orang yang sedang menggeluti ilmu untuk menambah wawasan pengetahuan, seringkali terlena dan kecanduan dalam menscroll konten-konten yang berhubugan dengan ilmu pengetahuan walaupun singkat.

Padahal konten tersebut hanya bertujuan untuk memberikan kenyamanan. Menciptakan dopamine yang menyebabkan berjam-jam menscroll. Bukan memperkaya khazanah intelektual kita. Jika memang niat kita untuk mengetahui dalamya dan luasnya ilmu, maka habiskan waktu untuk memperkuat literasi (membaca, menulis, berbicara, menganalisi). Terasa elit bersama smarthphone selama 3 jam, namun sulit bersama buku selama 3 jam.

Belajar secara otodidak melalui konten di platform media sosial mengandung banyak pelajaran namun tak bisa di sebagai proses pembelajaran. Secara garis besar pembelajaran adalah terjadinya dialog dua arah (guru-murid) secara interaktif yang didalamnya terdapat edukasi. Walaupun konten video yang menjelaskan berupa pengetahuan, kata-kata bijak itu dibawakan secara menarik (disisipkan suara music biar nyaman) dengan statement padat dan berbobot tetaplah tidak memberikan efek rangsangan yang mengupgrade kecerdasan kita. Malah sebaliknya yang ada hanya memiliki cara berpikir skeptisme yaitu mempercayai segala sesuatu tanpa alasan. Dogma-dogma pengetahuan di setiap konten singkat itu membentuk gaya berfikir ejakulasi, serta miskin daya critical thingking. Juga, candu konten tersebut bukanlah semangat mencari esensi ilmu melainkan agar merasakan sensasi. Kita terhipnotis bahwa platform media sosial telah merangkum komposisi ilmu pengetahuan yang ada. Seolah referensi google menjadi kebenaran absolute, dan terlegitimasi kebenaranya. Namun kita tidak pernah mengira bahwa yang menulis tulisan kebenaran di google adalah mereka yang bukan akadamisi tulen hanya yang menulis di internet semata untuk mencari keuntungan atau uang. Banyak kekeliruan didalamnya. Kita selalu berdebat jika mengalami frustasi pikiran maka google menjadi pembantu, bahkan sering seringkali mendengar “tanya saja google”. Penulis sepakat jika mengakses referensi google untuk bahan bacaam dan diskusi itu buku jurnal atau blog, website yang menuliskan referensinya dengan jelas.

Sehinga sekali lagi untuk tidak menjadi seorang filsuf karbitan hindari dan kurangi platform medsos sebagai kiblat dari sumber keilmuan , maka belajarlah dengan secara sistematis dan rerefensi yang jelas serta bimbingan secara offline. sebab jika bimbingan online bukan proses pembelajaran, sebab pembelajaran itu interaksi dua arah yang bukan hanya transfer ilmu namun jauh dari lebih dari itu: mentransfer adab dan nilai. Tidak heran karakter peserta didik kurang ajar, miskin akhlak, sebab dengan masifnya kita belajar secara online di media sosial dalam proses interaksi tersebut kita kurang mendapatkan nilai nilai kesopanan. Di sisi lain jika berguru atau belajar pada media sosial ataupun Artifcial intelgence lainya, efek negatifnya adalah manusia kekeringan rasa kepekaan, kehalusan perasaan keindahan budi pekerti, kepekaan empati, dan solidarits sosial. Oleh sebab itu dalam mencari ilmu sumber ilmu haruslah jelas, istilah sanad keilmuan dalam dunia pesantren memang sangatlah penting disana mengjarkan memperhalus perasaan dengan mengormati guru, tabe-tabe dalam mengambil keilmuanya serta budaya saling menghormati dalam batas kewajaran. Sekarang dapat kita dapat membedakan filsuf orginal dan filsuf karbitan. Filsuf original terlahir dari proses tempaan yang keras, secara sistematis dan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan filsuf karbitan menjadi bijak dengan modal paket data.

kategori filsuf karbitan adalah mereka manusia yang tanpa berpikir panjang, aksiologi yamg tak jelas dan berkhutbah di medsos dan dipercaya setiap omomganya mengalahkan dari para pakar. Mereka terlegitimasi kepercayaan public disebabkan mempunya followers yang banyak di media sosial serta dekat dengan penguasa. Contoh kecil filsuf karbitan adalah para buzzer, para artis yang baru hijrah dan tampil di medsos memonopoli kebenaran. Maka dizaman ini dapat kita sebut era matinya kepakaran. Jika seorang pakar berdebat di ruang media sosial pada kolom komentar tak akan menyelesaikan pokok permasalahan, hilang nilai kepakaranya yang ada hanya saling berbantah-bantahan , mispersepsi contoh berdebat di group wa, walaupun dengan seribu argumentasi yang rasional tak akan mempan untuk bisa membuat satu kesimpulan yang terjadi hanyalah kegaduhan dalam grup

Meningkatkan Daya Baca.

Harus diakui masyarakat indonsia adalah bangsa suka membaca namun daya baya yang rendah . Kita gemar membaca berita sebatas judul, lalu menyimpulkan. gemar mengkonsumsi fakta subtansi pada koneten video tik, tok, reels ig, shorts YouTube yang 30 detik lalu menyimpulkan.
kita suka membaca status wa, info grup, baca status, suka membaca diskon pada satu tempat perbelanjaan. Doyan baca tinggi namun daya baca sangat lah rendah. Dengan budaya demikian maka tidak heran kita (warga +62) daya baca tumpul, budaya komentar tajam.

Membaca bukan hanya sekedar membunyikan kata dalam teks. Membaca adalah memahami dan memaknai setiap peristiwa yang terjadi dan setiap peristiwa itu terdapat pelajaran bagi orang orang yang berpikir. Dalam peristiwa itu ada hukum kausalitas (Sebab dan akibat). Karena adanya sebab dan akibat maka terdapat campur tangan yang sifatnya sulit untuk di jelaskan secara rasional, disinilah Tuhan berperan penting dalam peristiwa yang sulit dirasionalisasi. Maka membaca secara hakikat akan menghindari kita menjadi Filsuf Karbitan menuju Filsuf (orang yang bijaksana) sesungguhnya.

Lanjut, dalam konteks dunia pendidikan membaca adalah keharusan bagi seorang pelajar dengan mengandalkan berbagai macam sumber yang baik di buku maupun media platform.

Sekararang kita mengalami era disrupsi informasi dan pengetahuan, sehingga memudahkan kesamaan orang berpikir, berbicara, berpendapat. Pengetahuan ada di berbagai macam jendela media platform. Orang tidak mengunakanya dan memadukan menjadi satu ilmu pengetahuan, malah menjadi pengetahuan yang di dapatkan tidak secara sistematis, dan pengambilan kesimpulan dengan melompati, atau memperepat konten pengetahuan yang berasal dari platform media sosial.

Dan dengan menguatnya minat baca kita, kegaduhan, hoaks yang merajalela akan mulai berkurang, sehingga membaca akan membawa kita pada fase menjadi filsuf yang sesungguhnya. Serta ini tanggung jawab bersama perlu secara radikan dalam membumikan minat baca baik pemerintah, akademisi, mahasiswa, dan yang paling penting di mulai keluarga sehingga kita dapatkan mewujudkan manusia-manusia yang terdidik.
Serta penulis sarankan untuk menonton secara khatam Film The Social Dilemma disutradari oleh jeff Orlowski. Biar kamu paham ada yang lebih mengerikan dari kisah cintamu yaitu lahirnya platform media sosial, hehehe

Terakhir penulis berpandangan Jika filsuf Rene Descartes berteori cogitu ergo sum (aku berpikir maka aku ada) maka berbeda dengan zaman sekarang penulis berteori Je suis en ligne (aku online maka aku ada).

Penulis: IH
Editor: Redaksi

“Penulis adalah Demisoner pengurus AFK (Aliansi Filsuf Karbitan Dunia)”

 

Tim Redaksi

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *