Andalkan Kode Etik, IAIN Kendari Diduga Sengaja Tidak Bentuk Satgas Kekerasan Seksual
Kendari, Objektif.id — Aturan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 seharusnya menjadi titik terang bagi dunia pendidikan Indonesia, ditengah lonjakan kasus kekerasan seksual yang semakin meresahkan.
Berdasarkan hasil survei Kemendikbudristek pada tahun 2023, tercatat sebanyak 65 kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi, yang menjadikannya masuk dalam kategori tertinggi dilingkungan pendidikan, dibandingkan dengan sekolah menengah sebanyak 22 kasus dan sekolah dasar 29 kasus.
Seharusnya dengan data kekerasan itu, kampus mesti lebih serius lagi melihat persoalan kekerasan seksual yang terjadi bukan hanya sekadar sebuah permasalahan yang remeh temeh. Dengan demikian, hal ini bisa menjadi pemicu kepada kampus agar melakukan langkah-langkah preventif dalam mencegah kekerasan seksual dilingkungan pendidikan tidak terjadi.
Namun, nampaknya harapan itu belum tersentuh di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari. Alih-alih mengikuti jejak kampus lain yang sudah bergerak, IAIN Kendari lebih memilih bertahan mengandalkan “kode etik,” yang konon sudah cukup kuat untuk menjaga keamanan kampus terhadap kasus kekerasan seksual.
Hal ini disampaikan oleh pimpinan kampus melalui pernyataan Wakil Rektor III IAIN Kendari, Dr. Siti Fauziah, dalam wawancara eksklusifnya kepada objektif.id, dia mengungkapkan bahwa kampus telah menerapkan sanksi berat bagi pelanggar kode etik, termasuk pemecatan dosen, “Kode etik kita bahkan memiliki sanksi berat, yaitu pemecatan bagi dosen yang melakukan pelanggaran berat,” tegas Fauziah saat ditemui diruangan kerjanya pada Kamis, (31/10/2024)
Baginya, kampus tidak bisa membentuk satgas karena masih ada kode etik yang digunakan, “Bagaimana mungkin kita bisa merealisasikan Satgas, jika kita masih mengacu pada kode etik sebagai dasar kita,” tambahnya.
Sementara, diketahui bahwa dewan kehormatan kode etik penanggulan kekerasan seksual yang dibentuk berdasarkan aturan yang ada didalam kode etik, itu terbentuk ketika sudah terjadi kasus kekerasan seksual.
Kalau seperti itu, dimana fungsi pengawasan dan pencegahannya? Belum lagi tidak adanya upaya mitigasi seperti edukasi dan sosialisasi pencegahan secara berkala agar kekerasan seksual tidak terjadi didalam kampus. Dan pada kenyataannya, kode etik tidak memiliki struktur khusus yang memadai untuk menangani dan mencegah kasus seperti ini.
Bahkan dalam kode etik tidak dijabarkan terkait pendampingan khusus yang mengarah pada pencegahan traumatik korban pasca kejadian, yang bisa memicu gangguan psikologis secara serius sampai yang dikhawatirkan berimplikasi pada tingkat gangguan kejiwaan yang parah.
Selain itu, jika pihak kampus masih berpegang teguh pada pembentukan dewan kehormatan etik yang berpedoman dikode etik, pertanyaan skeptisnya adalah, Benarkah cukup hanya mengandalkan kode etik di tengah realitas kasus kekerasan seksual yang sudah pernah terjadi sebelumnya? Apakah kode etik kampus benar-benar efektif bagi para korban? atau hanya sekadar formalitas yang tak pernah cukup melindungi dan mengawal korban?
Karena berdasarkan kasus pencabulan yang pernah terjadi di IAIN Kendari, yakni salah satu kasus pencabulan yang terungkap saat dilaporkan di lembaga kemahasiswaan pada Senin (16/11/2020) lalu, yang juga pernah diliput oleh Objektif.id, Saat itu, puluhan mahasiswi melaporkan tindak pelecehan yang diduga dilakukan oleh seorang dosen. Dan Ironisnya kampus tidak memberikan pendampingan khusus kepada para korban.
Sehingga Ashabul Akram, Koordinator Pusat BEM se-Sultra periode 2024-2025 yang pada 2020 menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Fisika, sekaligus pendamping dan yang membantu mengawal kasus para korban, menyampaikan ketidakpuasannya terhadap respons kampus. “Saya tidak tahu, bahkan tidak melihat pihak kampus mengambil tindakan untuk mengawal atau memberikan pendampingan terhadap para korban,” ujarnya saat memberikan keterangan melalui Via WhatsApp pada Sabtu (02/11/2024).
Ashabul menambahkan bahwa meskipun kode etik kampus mencantumkan perlindungan bagi pelapor, tapi pada penerapannya sering kali tidak dirasakan oleh korban. “Para korban justru dikawal oleh teman-teman aktivis mahasiswa hingga mendapatkan keadilan,” ungkapnya.
Oleh karena itu, pentingnya aturan Permendikbud ini direalisasikan, sebab ada misi besar didalamnya untuk menciptakan kampus yang aman dari kekerasan seksual dengan membentuk Satgas. Yang dimana satgas ini dirancang untuk mengawasi, menangani, dan melaporkan setiap kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus setiap semester.
Permasalahan ini bukan hanya soal administratif belaka, tapi ini soal komitmen moralitas kemanusiaan. Di saat kampus lain mulai mengambil tindakan konkret, IAIN Kendari justru masih berkutat pada aturan yang tidak memberikan kepastian perlindungan dan pendampingan kepada para korban.
Penulis: Hajar86 & Fahda Masyriqi/anggota muda
Editor: Tim redaksi