Adinda Kesayangan

Semua mahkluk, yang hidup-mati, baru-lama, mereka memanggilnya Sonyior. Dia akan marah bila tidak dipanggil Sonyior. Tapi kadangkala orang berbicara sendiri dalam hatinya, “kalau dia marah dipanggil lain, sekalian saja kita panggil dia Tuhan.”

Diwaktu mudanya, Sonyior pernah tergabung dalam organisasi kemahasiswaan politik dan organisasi pemberitaan. Oh, tentu dimasa itu dia masuk dalam deretan tokoh-tokoh mahasiswa paling gacor di kampusnya.

Berbekal dengan pengalaman yang dia dapatkan, Sonyior menjadi piawai untuk mengakrabkan diri pada perempuan. Kelincahannya dalam menguasai lorong-lorong asrama putri, membuat dirinya dinobatkan sebagai bapak kos pemberdayaan perempuan.

Karena kehebatannya itu, Sonyior beruntung menikah dengan seorang janda muda, anak satu, usia anaknya berusia 5 Tahun.

“Lihat! Sonyior diberkati Tuhan, beli satu gratis satu,” ucap teman-teman Sonyior yang sedang seru menonton video meme, salah seorang kandidat kepala kampung yang mengatakan akan mempercepat kemiskinan ketika terpilih menjadi pemimpin.

Menjelang 21 Tahun umur pernikahan Sonyior, istrinya pulang terlebih dahulu menghadap sang Illahi. Waktu yang cukup panjang diantara mereka berdua dalam memadu kasih.

Tapi dalam benak Sonyior, berusaha menguatkan dirinya, “Tuhan lebih sayang istrinya. Kepergiannya tidak kemudian membuat harapan Sonyior hilang. Dia tahu bahwa hidup harus tetap dijalani ke depan.”

Kemudian dalam hatinya bergumam, “bahwa kehilangan istri dengan seluk beluk kisahnya selama 21 Tahun tidak terlalu sakit, ketika dibandingkan dengan usia 21 Tahun reformasi yang disabotase oleh pejabat publik, dengan cara melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baik dari dalam internal struktural maupun secara moralitas kelembagaan.”

Sejak kepergian istrinya, perhatiannya kini tertuju pada anak satu-satunya, yang secara gratis dia peroleh sewaktu meminang istrinya dahulu.

Saat anaknya itu berusia 5 Tahun, dia belum mempunyai nama. Sonyior waktu itu sempat berpikir ingin menamainya Binahong, nama seorang Raja pada dinasti Teataru, yang bertahta sejak 586-465 Masehi.

Namun dirinya khawatir nama itu akan disalahgunakan oleh anaknya. Sonyior sadar betul, bahwa di Negerinya, setiap orang yang memakai nama-nama Raja dan tidak berperilaku baik maka akan membuat kegaduhan, dengan tuduhan yang bersifat diskriminasi.

Katanya, di Negeri Sonyior, mereka yang melabeli dirinya dengan nama-nama Raja tidak boleh merusak marwah baik yang ada pada nama-nama itu. Jika pengguna nama-nama Raja berbuat tidak baik maka itu dia anggap sebagai penghinaan suku terhadap keturunan para Raja.

Dengan kerisauan itu, akhirnya Sonyior batal mengenakan nama Raja pada anaknya. Karena itu batal, digantinya nama anaknya menjadi Mulyono, yang dia dapati dalam mimpinya sewaktu berziarah ke kubur istrinya. Pikirnya, nama itu cocok untuk anaknya, sepertinya itu pemberian dari istrinya.

“Tapi, di masa yang silam nama itu bagaikan momok yang menakutkan. Pernah terjadi pada seorang anak, saat dinamai Mulyono, dia sering sakit-sakit. Apa kau tak takut jika anakmu menggunakan nama itu?” Ucap ketua perdukunan di kampung Sonyior.

“Karena sering sakit-sakit, anak itu diberi nama baru, yaitu kodowi. Ampuh! Selain sakitnya hilang nama itu juga yang akan menguasai Negerinya selama 1 dekade, dengan ragam dinamika sosialnya,” ungkap dukun itu, berusaha meyakinkan Sonyior untuk tidak memakai nama Mulyono pada anaknya.

Setelah merasa bahwa nama yang dia pikirkan nantinya akan berdampak buruk pada anaknya. Dia memutuskan untuk ke pasar bunga. Barang kali muncul inspirasi dalam kepalanya untuk memberikan nama yang tepat kepada anaknya.

Sesampainya di pasar bunga, dan memasuki salah satu toko bunga kembang. Di dalam toko itu, Sonyior memperhatikan semua karyawan yang ada. Yang masing-masing dibaju karyawan tertera nama mereka. Diantaranya, Nira, Makus, Marah, Vano, Memoy, Kenni, Hidawa, Haris, dan terakhir Adede. Dari sekian nama-nama itu, Sonyior hanya tertarik pada sosok Adede, yang sejak Sonyior memasuki toko bunga sampai bergegas meninggalkan toko itu hanya Adede yang begitu aktif merapikan bunga-bunga yang berserakan sekaligus menyiapkan semua orderan yang akan diantar kepada konsumen.

Akibat dari keseriusan serta tanggung jawabnya dalam bekerja, Sonyior merasa terpana dengan Sikap Adede. Sebelum meninggalkan toko bunga, Sonyior menghampiri Adede yang masih sibuk menyusun bunga, kemudian bertanya kepada Adede, “kamu kenapa semangat sekali bekerja? Semua dikerjakan oleh kamu, padahal disini karyawannya bukan cuma kamu,” kata Sonyior dengan tatapan mengagumkan pada Adede.

“Dari dulu, orang tua saya keras mengajarkan untuk tidak lupa diri terhadap tanggung jawab yang diberikan,” ujar Adede sambil senyum.

“Karyawan disini memang bukan cuma saya. Tapi, kalau mau tunggu rasa malas teman-teman hilang, dan sementara dilain sisi mereka tidak berusaha keras merubah diri, kalau seperti itu maka toko ini tidak akan berkembang. Olehnya itu saya bergerak sendiri. Selain dari orang tua, saya juga belajar pada literatur yang ada. Pengembaraan terhadap literatur, membawa saya pada kalimat Tan Malaka, yang mengatakan begini: Disiplin itu nyawanya gerakan, Hanya mengaku setuju pada program itu bukan disiplin. Apalagi hanya hapal program. Program itu dijalankan dengan aksi, aksi, dan aksi,” kata Adede sembari mengeraskan suara agar didengar oleh teman-temannya.

“Semuanya menawan, tapi buat apa kalau hanya sekadar tampan dan cantik diparas? Teman-teman Adede, Pemalas! Apa itu yang mau dibanggakan, yang katanya sebagai generasi emas? Dasar Tolol,” desis Sonyior saat melangkah keluar dari toko bunga.

Dengan hati yang mantap, Sonyior menjadikan sikap Adede sebagai sosok yang kelak bisa terpatri pada anaknya. Sebenarnya dia ingin menamai anaknya Adede, tapi Sonyior berpikir kalau nama Adede terlalu kampungan untuk anaknya yang nanti akan ke Kota melanjutkan Jenjang Pendidikannya di perguruan tinggi. Akhirnya Sonyior merevisi nama Adede menjadi Adinda. Ya, Adinda untuk nama anaknya.

Merawat Adinda dengan penuh kasih sayang, Sonyior menunggu dengan hati yang cukup sabar. Kelak angan-angannya pasti menjadi kenyataannya. Sonyior yakin dengan nama itu, semoga Adinda bisa mengadopsi sikap yang ada pada Adede, dan pada diri Sonyior, yang dulunya pernah aktif sebagai aktivis jurnalis mahasiswa yang tajam dan kritis.

Sonyior merasa sangat bahagia, dia mengambil selembar kertas menambahkan kata jurnalis dibelakang nama Adinda. Sonyior membayangkan nama anaknya menjadi Adinda Jurnalis.

Sonyior yakinkan cita-citanya pada semua tetangganya, bahwa itu akan tercapai.

“Aku turut berduka jika kabar kemiskinan kalian tidak terkabarkan kepada masyarakat luas, terkhusus kepada pemerintah. Andai Adinda telah jadi jurnalis, kehidupan miskin kalian pasti akan mendapat perhatian lewat tulisannya,” kata Sonyior bangga.

Dan kalau Sonyior mengetahui telah terjadi kekerasan seksual pada tetangganya kemudian tidak mendapat perhatian publik, dia akan berkata, “sungguh malang nasib mereka, coba kalau Adinda sudah jadi jurnalis, pasti kasus anak itu akan sampai kepada Presiden.”

Sejak Adinda berangkat ke Kota Kunduru, Sonyior bertambah yakin, bahwa dari hari ke hari, bulan ke bulan, hingga tahun ke tahun, Adinda akan meraih apa yang selama ini Sonyior cita-citakan.

Terbukti, bahwa Adinda setiap tahun mengirimkan Sonyior Kartu Hasil Studi (KHS) jurusan jurnalistiknya, dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang baik. Terlebih lagi adinda mengikuti jejak Sonyior memasuki organisasi sewaktu dia mahasiswa dulu.

Waktu Sonyior membaca pesan-pesan Adinda yang menceritakan perkembangannya, Sonyior terharu gembira. “Saya akan bangga padamu, cita-cita yang ku dambakan akan Adinda laksanakan. Memang, kau harus jadi jurnalis. Kau akan rasakan kerja-kerja kemanusiaan itu. Orang akan lebih butuh pertolonganmu. Dan kau akan disegani.”

Semenjak hari itu, Sonyior kurang punya kesabaran oleh waktu yang tak kunjung tiba menjadikan Adinda sebagai seorang jurnalis. Tapi semua orang tahu bahwa cita-cita sonyior hanya menjadi mimpi belaka.

Orang-orang bingung bagaimana harus mengatakan agar Sonyior percaya. Sonyior justru memusuhi orang yang menjelekkan Adinda. Sonyior beranggapan kalau orang-orang itu hanya iri saja dengan kemajuan yang dicapai anaknya.

Tanpa pikir panjang, Sonyior terus-menerus memanjakan Adinda. Segala macam bentuk dia upayakan demi proses belajar Adinda.

“Cepatlah pulang dan bawa pengalaman jurnalismu, biar kau tampar mereka lewat tulisan-tulisan yang kau buat,” tulisnya pada pesan yang akan dia kirimkan.

Dengan begitu, orang-orang kasihan pada Sonyior. Akhirnya semua orang tak berbicara yang sungguh-sungguh benar lagi. Mereka justru memuja-muji Adinda yang katanya serius ingin menjadi jurnalis.

“Anak Sonyior itu, persis seperti bapaknya dulu waktu jadi mahasiswa. Kalau tidak ada kuliah, dia ke kantor jurnalis mahasiswanya. Kata teman-temannya, Adinda masuk divisi Layout, Audiovisual, sekaligus Reporter. Diantara ke tiganya tidak ada yang dia geluti serius,” ungkap seorang warga yang anaknya berteman dengan Adinda.

Sonyior merasa tersinggung mendengar perkataan itu, “kalau kamu tidak liat langsung apa yang dilakukan Adinda, tidak perlu sok tahu.”

Pada warga yang lain terjadi percakapan pelan, “kalau Adinda hanya sekadar masuk organisasi, pasang nama. Itu namanya cuma numpang tenar. Kalau seperti itu, apa bedanya Adinda dengan tehel, debu, dan benda-benda mati yang ada dikantor jurnalistiknya,” ucap mereka menahan tawa, takut didengar Sonyior.

Setiap orang yang memuji Adinda, pasti diberi apresiasi yang tinggi oleh Sonyior.

“Anakmu anak yang baik, dia pasti berhasil. Kamu akan bangga Sonyior. Seluruh Kota Kunduru, mengenal dirinya, Semua laki-laki berharap diterima cintanya oleh Adinda,” kata warga yang baru pulang dari Kota.

Sonyior dengan bangga berkata, “bukan main, begitu hebat rupanya putriku. Dia berhasil lebih maju dariku. Haa haha ahee. Dia memang cantik seperti ibunya, siapa yang tidak inginkan dia. Datanglah kau ke rumah, kita potong ayam untuk mosonggi.”

Kemudian kalau Sonyior ketemu pria-pria pengangguran dikampungnya, dia akan mengatakan,”kau kenal Adinda? Nanti aku kenalkan kalian kepada dia, biar masalah pengangguran masuk dalam agenda-agenda peliputannya.”

Para pria itu mukanya merah, merasa marah. Namun bagi Sonyior muka merah itu karena tersipu malu, bangga, akan dikenalkan oleh anaknya.

Ketika Sonyior tahu kalau anak Ketua kampung ingin menikah. Sonyior merasa bahwa Adinda juga sudah harus dia pikirkan pada siapa akan dipasangkan. Tapi Sonyior akan membenci kepada setiap warga yang memiliki anak tampan yang tidak mempedulikan Adinda.

Namun kepada Adinda, Sonyior tak menunjukkan marah. Dia mengatakan manja, “banyak pria yang datang, semua tertolak. Saya yakin pada dirimu Adinda, kau tentu lebih mementingkan proses belajarmu dibanding persoalan laki-laki. Kau akan jadi orang hebat. Pilih saja laki-laki dari Kota. Laki-laki yang sesuai dengan kau,” tutup pesan Sonyior.

Jika dulu Adinda yang berbohong, Sonyior yang percaya. Masa kini, Sonyior yang menipu, Adinda yang percaya.

Untuk membuktikan kebenaran pesannya kepada Adinda, Sonyior kirimkan semua koleksi foto laki-laki yang ada padanya. Sonyior terus menerus mengirim foto, baik yang sudah menikah atau belum. Sonyior berharap semoga anaknya tidak tertarik terhadap foto-foto itu.

Sonyior merasa khawatir kepalsuan sandiwaranya berakhir pada suatu waktu. Adinda, lama-lama pasti tahu, dan tentu itu akan memunculkan masalah baru.

Berkenaan dengan foto terakhir yang Sonyior kirimkan pada Adinda, bertepatan pula kabar dari Adinda tak pernah datang lagi. Lesuh dan gelisah Sonyior menanti kabar anaknya. Tak langsung menyerah Sonyior masih terus mengirimi Adinda pesan. Dikirimnya, ditunggunya. Tak terbalas juga. Bulan datang dan pergi, Sonyior terus menunggu.

Suatu hari yang tidak berpihak pada Sonyior. Datang warga yang baru pulang dari kota dengan membawa kabar bahwa pesan-pesannya tak pernah tersampaikan. Betapa remuk dan hancur perasaan sonyior. Dia tak percaya dengan hal itu. Sonyior berusaha untuk tak menyakini apa yang dia dapati. Dipaksanya dirinya untuk menganggap semua itu hanya mimpi.

Segalanya menjadi tidak baik sejak saat itu. Hanya satu orang yang Sonyior inginkan, kabar dari Adinda. Seakan semuanya telah berakhir. Hidupnya tak bergairah lagi. Tiba-tiba Sonyior ingat asal-usul nama Adinda. Harapannya dulu, bahwa Adinda harus menjadi seperti Adede yang tekun dan bertanggung jawab, dan seperti dirinya yang jadi aktivis mahasiswa yang tajam dan kritis.

Sabar menunggu dari hari ke hari, tiba masa dimana kabar tentang adinda sampai pada Sonyior. Langkah pelan dari seorang warga yang nampak memasuki halaman rumah Sonyior dengan map kuning ditangan.

Sonyior yang lumpuh sejak tak pernah mendapat kabar dari Adinda. Tiba-tiba bangkit mendatangi warga itu. Dengan tubuhnya yang kusut tak berdaya, dia bersandar pada kursi dan menyuruh warga itu membacakan pesan yang dia bawa.

Hening sementara, warga itu kemudian membacakan pesan untuk Sonyior: “diawal memasuki kampus sampai bergabung pada organisasi jurnalis kemahasiswaan. Adinda begitu sangat disayangi oleh semua orang, bahkan semua panggung proses diberikan padanya. Semua itu dilakukan dengan maksud, agar Adinda lebih giat lagi menempa dirinya untuk mewujudkan cita-cita Sonyior. Tiba suatu masa, dimana Adinda……,” tak selesai pesan itu dibacakan warga, Sonyior memerintahkan untuk tidak meneruskan pesan itu.

“Tak akan sanggup saya mendengarnya. Saya akan mati lemas oleh kebahagiaan yang ada dalam pesan itu. Tunggu sampai tubuhku sehat, baru kau datang lagi untuk bacakan pesan itu,” ucap Sonyior yang suaranya kembali membara seperti waktu awal dia membangga-banggakan Adinda.

Sepanjang jalan, saat warga itu pulang. Dia tetap melanjutkan membaca isi pesan. Isi pesan itu sebagai berikut: “tiba suatu masa, dimana Adinda selalu merasa bisa, tapi sejatinya dia tidak pernah bisa merasa. Semua tanggung jawab yang diberikan tidak pernah serius dia kerjakan. Memang tetap ada yang menormalisasi sikapnya, muncul sebagai pahlawan. Tapi dengan sikap Adinda yang seperti itu, ternyata dia tidak ada bedanya dengan teman-teman Adede yang dulu pernah diberi umpatan buruk oleh Sonyior. Kalau Adinda merasa belajar seharusnya ada progres. Tapi itulah dia, selalu merasa bisa, tapi tidak bisa merasa. Meskipun demikian, secara otomatis seleksi alam akan berlaku, disetiap zaman, pada setiap orang. Adinda tidak cukup sabar menangkap maksud dari pesan belajar yang diberikan. Terlalu manja, apalagi ketika ada yang muncul sebagai pahlawannya. Dengan sadar, tidak akan ada penyesalan dengan kepergian. Waktu terlalu singkat untuk memikirkan itu. Jika Adinda hanya menginginkan kenyamanan saja, lebih baik Adinda tidak usah hidup. Untuk Sonyior yang terhormat, tolong jangan takut kehilang Adinda. Kalau kehilangan Adinda, kita masih dapat Adinda-Adinda yang lain. Justru takutlah kalau kehilangan ide, karena kalau itu yang hilang kita akan punah sebagai sebuah peradaban. Atau…..”

Tidak selesai pesan itu dibacakan, si warga menutupnya dan mengatakan, “nanti saja saya lanjutkan. Nanti kalau Sonyior sudah sehat. Padahal masih ada bagian cerita-cerita Adinda tentang kelupaannya pada suatu hal,” ucap warga sembari membuang ludah, Kemudian melanjutkan perjalanan pulangnya.

Kendari, Minggu 03 November 2024

Penulis: Hajar
Editor: Tim redaksi

Si Busuk Mulut

Terhitung 10 tahun, Arga Sanda Uyung, sapaan akrabnya Asyu, menjadi pengabdi di dalam perkumpulan pemuda yang bergerak dibidang distributor data publik. Sejak namanya tercatat secara resmi sebagai pengabdi, selama itu juga dia mulai atur sana-atur sini.

Awalnya, Asyu masih sering merasa bersalah. “Inalillahi, kenapa mesti saya atur mana data yang boleh keluar dan mana yang tidak boleh. Padahal semua itu sifatnya penyampaian kepada publik,” pikirnya waktu otaknya masih berfungsi dengan benar. Namun ditempat tongkrongannya yang lain, katanya kalau tidak pandai tekan sana-tekan sini itu dianggap aneh.

“Membatasinya harus lebih kuat lagi Syu,” ujar kawan-kawannya.

“Kamu harus bisa atur data yang akan keluar, apa lagi kalau itu data yang akan merusak citra anggota kita. Tidak apa-apa, kontrol saja narasi yang dibuat disitu. Kan proyek-proyek yang ada kamu kebagian juga. Jangan sok suci. Bahkan kerabatmu yang mau masuk ngajar kita bantu luluskan. Apalah artinya jika keberadaanmu didalam sana tidak bermanfaat buat geng. Apa kamu mau lupakan jasa yang diberikan kepada kamu?”

Karena pada dasarnya Asyu predator pragmatis, maka campur tangan makin lancar tanpa gentar. Asyu merasa sudah sepantasnya dia melakukan itu. Seperti tidak melakukan kesalahan apapun.

Kecanduan berbuat seperti itu, Asyu semakin lincah dan licin. Kemampuannya dalam mengendus informasi yang berpotensi merugikan kepentingan gengnya semakin meningkat. Penciuman Asyu, lebih tajam dari anjing.

Setiap agenda pengumpulan data dia bisa tahu, baik yang sementara didiskusikan ataupun yang sedang direncanakan. Dalam kerja-kerja inteligennya, sedalam apapun isu yang merugikan gengnya disembunyikan, dia pasti akan tahu. Ditambah koneksi mata-mata lain selain Asyu, yang dititipkan gengnya untuk membantu dirinya. Asyu cukup pandai berpura-pura, sekadar nimbrung di bengkel pengolahan data untuk mendapatkan informasi. Menunjukkan perhatian palsunya.

Dengan pengalamannya selama 5 tahun menjadi bagian dari distributor data publik, sekaligus penghambaannya pada geng begundalnya selama 15 tahun, Asyu jadi mahir betul menghentikan arus informasi yang akan merugikan gengnya.

Tentu saja Asyu mulai terkenal sebagai manusia dengan skil tingkat dewa melalui indera penciumannya yang begitu tajam melebihi seekor anjing. Selain itu, hartanya bertambah dari hasil bagi-bagi proyek.

Saban waktu, Asyu pernah ditanya oleh penjual buku keliling, “apakah harta bapak ini hasil dari usaha sampingan, selain dari gaji pekerjaan bapak? Dan bagaimana bapak menjamin bahwa tidak terjadi pembajakan data ketika itu akan dikeluarkan kepada publik?”

“Kalau harta ini hasil upaya-upaya mandiri, mas,” ungkapnya sambil mengorek upil. “Kemudian untuk distribusi datanya, saya selalu menyampaikan itu secara terbuka kepada publik karena itu hak mereka untuk mendapatkannya. Saya ini takut Tuhan mas, takut buat salah. Apakah mas masih ragu? Kalau dilihat dari penampilan, kurang religius apa lagi saya? Saya pakai peci pemberian Kiai, sarung yang saya pakai dibeli di Mekkah waktu berangkat Haji yang kesepuluh kali, bahkan baju saya bertulis besar, hamba Tuhan yang berani jujur itu hebat,” ujarnya sambil mengipas tubuhnya dengan Majalah Harian Tusuk yang bersampul siluet hidung panjang Presiden Jokrori.

Sejak saat itu, nafas mulutnya bertambah busuk. Walaupun Asyu belum merasakan apa-apa. Dia tidak merasakan sakit di mulutnya, lidahnya tidak gatal-gatal.

Dia baru tahu bau mulutnya dari perempuan yang sering dia kencani dan ajak telponan berjam-jam sebelum akhirnya malam membungkus mereka dalam gelap gulita yang menunggu fajar.

Bau mulut itu kemudian terungkap saat malam selanjutnya mereka bertemu untuk tidur di ranjang yang sama. Sebelum tidur, terjadi percakapan romantis. Sampai tiba pada pertemuan silahturahim dua bibir atas dan bawa diantara mereka berdua.

Tiba-tiba seperti ada bau dari alam lain yang menghantam hidung perempuan itu, lalu dia bertanya “Mulutmu kenapa busuk sekali, Asyu?”

Sambil menghembuskan nafasnya, Asyu bertanya.
“Mulutku? Ada apa dengan mulutku?”

“Baunya busuk, kamu habis ciuman dengan siapa Asyu?”

Sontak Asyu berdiri mengarah ke cermin. Sambil mengeluarkan uap mulutnya, dia membuka mulutnya untuk mengecek apakah ada sesuatu didalamnya. Memang seperti ada yang aneh tapi dia tidak tahu apa yang terjadi.

“Hubungi Dokter sekarang,” perintahnya.

Tanpa butuh waktu lama Dokter Sabluk datang dengan perlengkapan medisnya, secara serius dan sangat detail memperhatikan mulut pasiennya. Rupanya tidak terjadi apa-apa. “Dalamnya kelihatan normal Pak, paling bangun tidur nanti baunya sudah hilang. Mungkin Bapak terlalu banyak bicara. Nanti minum saja obat yang saya beri,” kata Sabluk sembari menutup hidungnya menahan bau mulut Asyu.

Selepas meminum obat, Asyu tertidur pulas. Sementara itu, saat Dokter Sabluk meninggalkan rumah, dengan nada menjengkelkan dia mengatakan “sumpah mulutnya busuk sekali,” geramnya.

Keesokan harinya begitu Asyu bangun dari tidurnya, dia merasa baunya semakin parah. Dia semakin panik. Dia cepat-cepat menuju ke kamar mandi untuk membasuh mulutnya, kemudian kembali menghembuskan nafasnya. Dia seakan tidak percaya. Tubuhnya gemetar. Gelisah dengan keadaan mulutnya yang baunya semakin busuk.

Begitu perempuan yang dia kencani juga terbangun, Asyu menutup rapat mulutnya. “Jangan dekati saya,” serunya, “Kamu yang buat mulutku bau, kamu yang sering mencium dan menggigit-gigit bibirku. Enyahlah perempuan jalang,” ucapnya sambil menjauhkan diri.

Dengan ratapan sedih, seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan Asyu. “Jangan berkata seperti itu Asyu, aku selalu menuruti semua permintaanmu.” pelan-pelan Asyu membuka mulutnya. Dan perempuan itu merasa bahwa mulut Asyu semakin parah.

Tunggu, nanti aku panggil lagi Dokter Sabluk,” kata perempuan itu. Tidak perlu! Dia hanya membohongiku. Omongan dan obat-obatnya hanya sekadar penenang belaka. Dasar pembohong. Panggil dokter yang lebih sakti!”

Di salah satu kampung yang agak jauh dari Kota, dijemputlah seorang Dokter sakti, ketika Dokter itu menemui Asyu di dalam kamar dia kaget mencium aroma tidak sedap yang menusuk tajam ke hidungnya.

“Tolong saya Pak, saya bingung dengan yang terjadi pada mulut saya. Padahal semua makanan yang masuk di dalamnya halal, saya selalu berkata jujur, melaksanakan pekerjaan dengan benar, apa yang terjadi dengan saya pak?” ucapnya dengan penuh belas kasih. Tidak lama setelah dia bicara seekor lalat telah mendarat di bibirnya.

“Lihat Pak! perhatikan mulut saya, sudah ada lalat yang hinggap di mulut saya, parah! jangan-jangan ada jin yang mengganggu saya,” teriaknya kalang kabut.

Setelah berteriak histeris, Dokter sakti itu kemudian mulai memeriksa dan memperlihatkan apa yang terjadi pada mulut Asyu.

“Bagaimana, Pak, apa yang terjadi?”

Dokter itu masih tajam memperhatikan

“Apakah bisa sembuh, Pak?

Diam sejenak, Dokter itu dengan dingin mulai menjawab.

“Pernah dengar tentang salah seorang warga PKM yang bau mulutnya?”

“Tidak, kenapa dengan itu Pak?”

“Masa biar cerita itu tidak tahu! Percuma banyak uang kalau miskin pengetahuan.”

“Apa hubungannya dengan pengetahuan? Kalau mau kaya harus sibuk bekerja cari uang, apa gunanya membaca atau mencari tahu sesuatu? Lebih baik saya cari uang Pak.”

“Kalau kamu pernah baca cerita rakyat itu, Pasti kamu akan mendapat pelajaran berharga dari cerita tersebut. Dalam cerita itu, sangat jelas diceritakan bahwa yang ucapannya tidak selaras dengan tindakannya, mulutnya akan memunculkan aroma busuk. Semakin munafik ucapannya, maka semakin busuk mulutnya.”

“Terus hubungannya dengan saya, sama cerita itu apa?”

“Coba dipikir ulang, kamu pernah bohong atau tidak?

Asyu terpaku membisu. Mukanya pucat. Dan masih asyik, seekor lalat tadi nimbrung di bibirnya.

“Itu cuma cerita rakyat, Pak.”

“Tapi itu justru terbukti terjadi kepada kamu, Asyu.”

“Padahal saya tidak pernah bohong, saya selalu turuti arahan yang diberikan. Bahkan…..” Tidak sempat selesai bicaranya, satu lalat datang lagi menempel. Ikonik! Dua lalat bercengkrama mesra di bibir Asyu.

Karena Dokter sakti itu tidak bisa menyembuhkan bau mulut Asyu. Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan perawatan dengan mengonsumsi ramuan dari alam, sebagaimana yang dia dapatkan melalui mimpinya.

Setelah perawatan yang panjang, Asyu kembali beraktivitas seperti biasa. Apa lagi dia akan menjadi narasumber pada kegiatan seminar penyampaian informasi publik secara jujur.

Saat dia memasuki ruangan tempat kegiatan diselenggarakan, para peserta seminar menatapnya tajam ketika dia mulai menyapa hadirin yang ada pada kegiatan itu.

“Nafasnya sudah tidak bau.” Salah seorang peserta berbicara pelan.

Asyu pun, mulai menyampaikan materinya dengan kata-kata yang begitu indah terangkai rapi. Semua bicaranya adalah kalimat panjang basa basi busuknya. Kata-kata mutiaranya berhamburan dimana-mana. Sampai-sampai yang mendengarnya mabuk dibuatnya.

“Sodara-sodari seperjuangan, upaya panjang dalam mengawal penyampaian informasi publik akan terus menggelora berpihak pada kebenaran. Tidak ada pembajakan informasi, bahwa jika salah tentu mesti lantang kita ucapkan kalau itu salah, dan jika itu sebuah kebenaran maka sampaikan sebagaimana mestinya.” Orasinya yang sangat membara.

Asyu mengepalkan tangan kemudian berteriak, “hidup Asyu, panjang umur untuk perjuangan kita semua.” Dia merasa apa yang dia lakukan semua adalah benar, orang hanya sentimen saja kepada dirinya. Ditengah teriakan pujian para peserta yang berhasil termakan racun rayuan Asyu, terlihat seorang jurnalis yang sedang mengambil dokumentasi, kaget melihat apa yang ada pada mulut Asyu.

Setelah dia selesai menutup penyampaian materinya yang menggelegar. Ya, mulut Asyu tiba-tiba dikelilingi oleh kerumunan lalat rakus yang senang dengan bau busuk.

Luar biasa! Itulah Asyu, dengan kelunturan mulutnya yang mampu menyembunyikan baunya dari manusia, tapi tidak terhadap alam. Lihatlah! Asyu, selalu paling merasa bisa, tapi tidak bisa merasa.

Kendari, 28 Oktober 2024.

Penulis: Hajar86
Editor: Tim redaksi

Politik Kekecewaan Racun Bagi Demokrasi 

Objektif.id – Tujuan dari politik bukan hanya sebagai cara untuk meraih kekuasaan, tetapi juga strategi dalam menyelaraskan perbedaan untuk hidup bersama. Namun, apa jadinya jika cita-cita keinginan hidup bersama tercederai atas kepentingan pihak tertentu yang mengklaim diri dengan bangga jika persoalan personal adalah representasi semua golongan. Tidak fair kalau ketidakpuasan beberapa individu kepada individu lainnya ingin dijadikan dasar terbentuknya kekecewaan secara kolektif, yang dalam anggapan mereka telah mewakili semua entitas.

Istilah fatsun politik sakit hati muncul atas keadaan peristiwa politik dramatis dengan membuat gerakan sebagai juru selamat dan seakan-akan itu adalah tindakan idealis yang tidak akan mengecewakan, tetapi siapa yang bisa menjamin? Jangan sampai lokomotif penggeraknya penuh gimik belaka melalui kemasan pencitraan baik yang palsu. Idealnya, sebelum mulut menceritakan keburukan orang lain, penting untuk mengecek hidung terlebih dahulu apakah bisa mencium kebusukan diri sendiri. Oleh karena itu, sopan santun politik yang berbasis sakit hati sejatinya hanya akan menghasilkan iklim politik disintegrasi yang mengandalkan perang narasi tidak objektif. Kalaupun menghasilkan persatuan, itu hanya bersifat sementara, melahirkan anak banci, tersesat dan merusak pergerakan.

Sebenarnya pandangan ketidakpuasan hanya sebagai alasan klise yang hadir pada setiap generasi, jika ditinjau dari indera penciuman seorang aktivis, gerakan insidental itu merupakan gangguan mental dari perasaan-perasaan menyedihkan yang timbul akibat kehilangan legitimasi dan superioritas terhadap diri mereka kepada orang lain atau pada perkumpulan tertentu. Kalaupun asumsi tersebut benar adanya maka secara eksplisit bisa kita simpulkan bahwa apa yang dilakukan hanya mementingkan ego sendiri. Haruskah sikap selalu merasa paling penting dan berpengaruh itu dilanggengkan?

Akan lebih beretika kalau kita saling introspeksi diri, bukan malah merasa paling bermoral. Jika hanya memandang pada satu sisi yakni sisi kekecewaan semata, orang akan kehilangan sudut pandang yang lain. Dari sisi kekecewaan saja, yang datang pada diri sendiri hanyalah sakit hati dan dendam. Ketidakpuasan diri sendiri terhadap seseorang memang sifatnya manusiawi, begitupun sebaliknya. Jangan sampai ketidakpuasan seolah-seolah menjadi kabut tebal sakit hati dalam menilai seseorang hingga memunculkan gerakan partisan yang mengorbankan banyak generasi nantinya.

Apakah hari ini kita tengah menguatkan tesis yang mengatakan salah satu symptoom paling menonjol adalah meningkatnya prevalensi baru yang bersifat individualism bukan lagi sosial-horizontal. Sesama manusia yang berkumpul di satu tempat yang sama kita perlu saling mengingatkan untuk menjaga komitmen tolong-menolong, merawat dan saling membesarkan agar menghindari perilaku oportunistik.

Dengan demikian, maka kelompok yang terbentuk itu akan mampu mencapai tujuan-tujuan bersama secara lebih efisien. Kita harus meneladani sikap legowo Hannah Arendt, filsuf politik terkemuka abad 20 keturunan yahudi yang bersedia memaafkan Martin Heidegger yang menjadi salah satu tokoh propaganda nazi atas tindakannya di masa kekuasaan Hitler. Tapi fenomena sekarang kita paling gampang sekali melibatkan bawaan perasaan (baperan) untuk hal-hal yang idealnya bisa diselesaikan dengan bawaan candaan (bacaan).

Hampir pada setiap momentum kontestasi politik kedengkian selalu menjalar. Yang sangat menonjol ada tensi politik intens dan terstruktur dalam menghunuskan perpecahan dan permusuhan terhadap manusia yang akan dituduh mengecewakan. Coba kita telisik kembali, apa yang membuat mereka kecewa? Bukankah kekecewaan itu muncul karena perbedaan, sebab keinginan mereka tidak sesuai dengan harapan pribadi. Seharusnya ketika ada perbedaan selayaknya hal tersebut dihormati dan dihargai antar sesama bukan memojokkan dan memusuhi yang dibungkus dalam bingkai kekecewaan.

Semestinya pencerdasan politik atau pendidikan politik harus hadir sebagai cita-cita tentang diskursus kritis untuk mengucapkan selamat tinggal pada politik kebencian. Di zaman modern lawan kita bukan lagi antar sesama manusia, praktik saling menjatuhkan berlaku di masa baheula oleh peradaban primitif yang alergi dengan eksistensi lain. Sangat jelas di era kolaborasi saat ini masih banyak sisa-sisa manusia yang mengalami kelainan jiwa terhadap kegilaan pengakuan yang digerakkan oleh hasrat kekuasaan semata sehingga menimbulkan konflik yang memenuhi ruang-ruang harmoni keberagaman.

Jika dinilai secara objektif yang sedang menggulirkan kekecewaan bukan malaikat dan nabi, melainkan orang-orang mengecewakan juga dengan mulut besarnya dalam kantong-kantong kemunafikan. Gerakan yang di dalamnya dilandasi dengan sakit hati hanya akan memberikan afirmasi eksklusi dan sekat-sekat yang beroperasi menghasilkan dukungan politik yang nanti mengorbankan kaderisasi.

Ironisnya, alih-alih terwujud suatu solidaritas dan kedamaian, dukungan ekslusif justru semakin menegaskan segregasi yang dikuatkan dinding tebal dikotomi. Sadar atau tidak resiprokal yang berujung pemencilan, orang akan cenderung kehilangan sikap ramah terhadap perbedaan karena terhasut dan terjebak pada politik kebencian yang diseret dalam ego permainan kekuasaan yang tidak membentuk nilai-nilai soliditas secara utuh.

Persatuan dalam keberagaman rupanya telah direnggut oleh kepicikan demagog politik yang berupaya merepresentasikan kebencian dirinya telah mewakili secara mayoritas perasaan orang lain. Upaya menggeneralisasi ini adalah ingin mengesankan diri mereka sebagai pahlawan. Tidak ada yang menjamin yang sekarang menodong orang lain mengecewakan, apakah di masa mendatang mereka tidak akan mengecewakan? Gaya-gaya populisme yang sedang ditunjukan bisa menjadi masalah dalam politik manakala populisme berafiliasi dengan politik kepentingan sektarian yang tidak merata mengakomodasi kepentingan semua golongan yang ada; populisme oleh karenanya dianggap membahayakan dan mengancam soliditas sebab menggiring orang pada perpecahan. Dalam hidup ada keseimbangan, ada mulia dan jahat, ada malaikat bermuka iblis ada iblis bermuka malaikat. Benar apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “barangsiapa hanya memandang pada keceriaan saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit. Kalau tidak ingin ada kekecewaan silahkan ke akhirat.”

Implementasi politik sakit hati hanya akan memperpanjang konflik horizontal. Sebagai orang waras seharusnya ruang politik diwarnai dengan corak pertengkaran pikiran yang sehat. Kedewasaan dalam menyikapi seluruh rangkaian politik yang dinamis adalah orientasi penting untuk mewujudkan satu kekuatan soliditas agar menghentikan dikotomi kepentingan sektarian yang terus melebar.

Kemarahan bukanlah solusi, tetapi untuk memaklumi kemarahan, kita mesti mengalah sebab percuma berhadapan dengan orang yang sedang tidak waras walau hanya sementara, karena bagi Seneca, orang yang marah sedang mengalami “gila sementara” (temporary madness). Hal yang wajib menjadi perhatian adalah rasa kekecewaan seseorang tidak boleh menjadi senjata propaganda yang menodong untuk menyebarkan ketakutan (appeal to fear) dengan menunjuk satu pihak tertentu sebagai penyebabnya. Menyebarkan ketakutan tanpa alasan logis untuk mempengaruhi orang lain itu adalah tindakan pengecut. Sehingga penting bagi siapapun tidak mengambil keputusan secara emosional yang didasarkan oleh pernyataan yang menakut-nakuti.

Harapannya jangan lagi ada orang-orang dionisia (dionysian) dalam istilah Nietzsche adalah mereka yang lebih mempedulikan kebesaran diri dan penegasan kehidupan lainnya daripada mengikuti norma-norma politik. Dengan menuruti moralitas “tuan” dan mentalitas “pahlawan”, tindakan mereka cenderung tidak berbudi, tidak rasional, bernafsu dan politiknya bersifat aristokratik.

 

Editor: Hajar

Pendapat Rasa 

Objektif.id

Siapa yang lebih angkuh dari pujangga yang menolak tunduk terhadap cinta?

Dirimu, yang belum sadar bahwa kesendirian adalah kesombongan yang nyata, karena beranggapan semua bisa diselesaikan tanpa melibatkan elemen lain.

Apakah benar semua asmara berawal dari hubungan yang tidak mesra?

Mengapa kita tidak berhenti dari huru-hara perasaan, kemudian menyusun batu bata rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah.

Ibarat lukisan, dirimu indah dipandang dari sudut manapun.

Aku selalu ingin memandang mu berulang kali.

Tapi sayang, aku berhenti sebab ada satu sudut dimana aku tak ada dalam pandanganmu.

Kita adalah dua orang yang baik, yang mungkin belum cocok.

Namun yang pasti, tujuan cinta harus bahagia bagaimanapun jalannya, termasuk menikah ataupun berpisah.

Rumit tapi aku mencintaimu.

Kisah kita itu seperti mawar, memiliki keindahan sekaligus bisa menimbulkan luka.

Diantara banyak hari untuk menjelajah, Kemana rindumu hari ini mengarah?

Bahkan jika rindumu tak menemukan arah pada diriku, maka izinkan hamba yang penuh dosa ini abadi menjelajah dalam kenanganmu.

Panjang umur ketulusan.

 

Penulis: Hajar

Editor: Melvi Widya

Anak Durhaka 

Objektif.id – Aku adalah anak kandung dari bapak dan ibu yang bernama Feodalisme dan Patriarki, bahagia telah dilahirkan sekaligus bangga karena terlahir sehat dengan akal yang tidak cacat, walaupun keluar dari hasil silahturahim kelamin yang busuk penuh pengekangan. Halo anak-anak durhaka lainnya, saatnya merayakan kebebasan.

Terdidik dalam keluarga yang pongah, membiasakan kita tumbuh dibesarkan oleh tekanan. Akan tetapi, hal itu menjadi anugerah dari Tuhan yang memberkati agar supaya tangguh menjadi anak durhaka yang terlatih membangkang pada kebengisan. Saatnya membiarkan yang sehat akal bertumbuh untuk sebarkan sabda-sabda perubahan.

Tidak seperti yang lain, yang rupanya penuh dengan pura-pura. Menjadi anak durhaka adalah kejujuran serta pilihan yang tepat untuk membongkar bias-bias kesucian, yang manipulatif diperankan juga dipertontonkan melalui kultur keluarga feodalisme dan patriarki kepada anak-anak yang tolol. Bayangkan saja, jika agama dan cinta dijadikan sebagai alat penjinak yang mencengkram pikiran-pikiran abstraksi dan imajinasi radikal manusia untuk berkembang. Kita bukan hewan ternak.

Berbeda dari anak durhaka, anak-anak yang tolol tanpa melakukan perlawanan mereka dibesarkan penuh tekanan serta pengekangan jiwa dan pikiran yang pilihan-pilihan kemerdekaannya dibunuh atas nama kebahagiaan, yang dimakamkan dalam kubur kematian akal dengan bernisan hina bertulis “anak pembebek”. Suka duka cita-cita anak tolol, yang terluka mati dibunuh oleh keluarga yang feodal dan patriarki. Jahat paling serius, meniadakan eksistensi manusia atas dasar cinta yang ramai dosa-dosa sepi doa-doa. Rasakan, Siapa suruh menjadi tolol.

Memilih durhaka di zaman yang angkuh dan dirawat oleh keluarga tak beradab, tentu itu adalah spirit untuk melakukan jihad menolak pembungkaman terhadap keadaan sekitar yang sesak dipenuhi dengan moral Hazard. Lebih mulia menjadi durhaka daripada merelakan diri kita terjajah oleh tradisi feodalisme dan patriarki masyarakat yang buruk. Watak-watak anak durhaka beda dengan anak tolol. Perlawanan terang-terangan anak durhaka itu tidak mungkin diasuransikan dengan sopan santun palsu pada mereka yang tolol.

Bahkan sebagai anak durhaka kita harus merayakan kematian orang tua itu dengan penuh kegembiraan, bahwa itu menandakan api perjuangan tidak boleh padam untuk membakar warisan-warisan amoral yang menjajah anak-anak tolol. Saksikanlah, anak durhaka tidak akan pernah berhenti untuk terus bergerak melakukan perlawanan terhadap kultur yang bukan memanusiakan manusia. Mundur sejengkal pun adalah bentuk penghianatan.

Problem terbesar pada banyak anak adalah ketidakmampuan berbicara terhadap suatu hal untuk melakukan penolakan, anak-anak tolol sendiri yang sejatinya memproduksi secara terus-menerus kebiasaan yang merugikan diri mereka. Lupa Kah kita, bahwa diberbagai tempat bagaimana feodalisme dan patriarki membodohi, memperbudak, serta membunuh generasi yang sedang bertumbuh. Sehingga buta hati dan pecundang kita jika tidak berani durhaka, melawan kokohnya kezaliman yang berseliweran dimana-mana.

Anak durhaka menjerumuskan diri dalam pergolakan perlawan adalah demi kepentingan peradabannya, bahwa ada keharusan melakukan upaya konstruktif menentang kesewenang-wenangan sebuah sistem sosial yang terkontruksi secara rapi sedang menghina akal sehat banyak manusia. Menderita dan terpuruk kata Fahrudin Fais, adalah sikap melecehkan tuhan sebab manusia diciptakan untuk bahagia. Stop menjadi tolol.

Jika mayoritas dari kita mengungkapkan bahwa tidak masalah menjadi tolol yang terpenting masih bisa hidup. kalau seperti demikian, apa bedanya kita dengan binatang? Tidak ingatkah kalian bahwa revolusi bangsa kita di perjuangkan diatas dasar prinsip-prinsip yang amat diwarnai patriotisme. Haruskah harga yang di bayar oleh banyak orang atas ketidakpedulian anak tolol pada urusan publik, adalah dipimpin oleh orang jahat? Prinsip harus tetap ada. Jika salah dan keluar dari jalur kemanusiaan, maka bentuk perlawanan mesti kita gaungkan.

Kita tidak ingin seperti masyarakat yang dimaksud Goerge Orwell melalui karya termasyhurnya 1984, yang merupakan satire tajam tentang luluhnya kehidupan, yang didalamnya setiap gerak warga dipelajari, setiap kata yang terucap disadap, dan setiap pemikiran dikendalikan. Dengan demikian, jika tidak ada yang menjadi anak durhaka untuk melawan maka kita hanya akan memperpanjang barisan kebodohan.

Bahwa dalam dunia yang penuh dusta, berbicara jujur dan bersikap menentang adalah langkah patriotik anak durhaka agar tidak menjadi tolol seperti anak-anak yang lain. Anak durhaka ikhlas dibenci tetapi menolak kebodohan memperbudak kehidupan. Apa jeleknya jadi durhaka? Daripada jadi anak tolol? Kalau kata Soe Hoek Gie, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Nilaimu tak lantas buruk, saat hidup orang tolol lebih baik. Feodalisme dan patriarki selalu nya berjanji membangun kebahagiaan, meski tidak ada cinta di sana.

Saatnya bekerja sama, yang tolol hanya perlu menggenggam tangan, memejamkan mata, dan percaya kalau anak durhaka bisa menyelamatkan dia dari peliknya dunia. Tanpa malu-malu, kita harus berani mengatakan bahwa mungkin feodalisme dan patriarki lolos dari siksaan sejarah. Akan tetapi yakinlah, dosa-dosa itu tidak lepas dari murka Tuhan. Seperti yang diungkapkan Muhammad Iqbal, Jika dunia tak selaras denganmu, bangkit dan tantang dia. Jangan canggung dihadapan dunia. Meskipun di dunia hari ini yang tua tak bisa menjadi bijak dan teladan, melainkan bersifat kekanak-kanakan, kalaupun tidak kekanak-kanakan pasti ingin di Tuhan Kan. Seperti itulah feodalisme dan patriarki bekerja. Bajingan.

Penulis: Hajar

Editor: Melvi Widya

Setelah Gagal “Dipalak” Kampus, Wisudawan IAIN Kendari Diusir Saat Hadiri Kegiatan Wisuda

Kendari, Objektif.id– Entah apa yang dipikirkan oleh pihak kampus IAIN Kendari sehingga mengusir salah satu wisudawan Fakultas Syariah Program Studi Hukum Tata Negara, Andi, saat hendak mengikuti acara wisuda ke-XII IAIN  di salah satu hotel yang berada di kota Kendari, Selasa (28/11/2023), sekira pukul 07.40 Wita.

Andi mengaku jika dirinya tidak diizinkan untuk masuk kedalam hotel karena dia belum melunasi uang wisuda sesuai dengan surat edaran nomor: 0012/In.23/FS.2/HM.00.11.2023 yang ditandatangani oleh Wakil Dekan II Fakultas Syariah, Mahruddin.

Dalam surat edaran tersebut, para calon wisudawan dibebankan membayar uang wisuda senilai Rp 450.000 yang dialokasikan untuk pembayaran baju wisuda dan toga senilai Rp 350.000, sumbangan alumni Rp 50.000, dan dokumentasi Rp 50.000.

Melihat jumlah yang ditetapkan pihak fakultas terlalu tinggi, Andi berinisiatif untuk meminjam baju wisuda dan toga kepada alumni dengan maksud mengurangi biaya pembayaran wisuda dan hanya membayar iuran alumni dan dokumentasi kepada pihak koperasi kampus.

“Kemarin siang saya ketemu dengan pihak koperasi, rencananya saya hanya mau bayar uang iuran alumni dan dokumentasi saja, senilai Rp 100.000. Tapi, pihak koperasi menolak dengan alasan bahwa itu sudah menjadi kebijakan kampus, jika S1 membayar Rp 450.000 dan untuk S2 senilai Rp 600.000,” ungkap Andi.

Setelah “diusir”, ia berusaha meminjam uang agar bisa melunasi uang wisuda untuk mendapatkan undangan dari pihak fakultas.

“Pas tadi di gedung ndak bisa masuk, saya langsung pinjam uang untuk ambil undangan di fakultas. Tapi, ruang Tata Usaha (TU) tutup sekitar jam 08.30 Wita,” bebernya.

Sebelumnya, Wakil DEKAN II Fakultas Syariah, Mahruddin mengatakan, pembayaran baju wisuda dan toga, sumbangan alumni, dan dokumentasi, itu merupakan kebijakan dari kantor pusat, bukan dari pihak Fakultas.

“Saya sempat tanyakan juga itu, bahwa di Fakultas Ushuluddin Aadab dan Dakwah (FUAD) bisa pinjam toga. Tapi, saya dijawabkan, tidak ada yang pinjam semuanya harus beli,” tutur Mahruddin kepada Objektif.id via WhatsApp pada Senin (27/11/2023).

Penulis: Hajar
Editor: Melvi Widya

Parpolma Tempat “Gembel-Gembel” Lembaga Kemahasiswaan Dikader

Objektif.id – Pengurus lembaga kemahasiswaan dewasa ini bukan menjadi role model kepemimpinan yang ideal. Banyaknya teman-teman mahasiswa yang bergabung kedalam lembaga kemahasiswaan hanya menumpang tenar dan menjadi aib buruk dari delegasi partai politik mahasiswa.

Minimnya wawasan berlembaga dan bobroknya dalam mengelola organisasi membuat lembaga kemahasiswaan hari ini menjadi prematur dan tidak terukur untuk mencapai kerja-kerja kelembagaan.

Banyak kasus yang secara fakta terjadi dalam kepengurusan bahwa nama-nama pengurus yang masuk dalam tingkat legislatif ataupun eksekutif hanya masuk menjadi anggota yang tidak tahu apa yang akan mereka perbuat dan mereka itu kita terminologikan sebagai “gembel-gembel lembaga kemahasiswaan,” orang-orang miskin. Ya, miskin ide.

Kasus-kasus semacam itu mestinya menjadi perhatian secara kolektif oleh semua pihak, terutama oleh para partai politik mahasiswa yang menjadi kendaraan dalam kontestasi pemilihan mahasiswa yang sekaligus juga sebagai organisasi perkaderan calon-calon pemimpin lembaga kemahasiswaan.

Mengapa ini menjadi penting, sebab dari tahun ke tahun anggota partai yang diusung masuk kedalam struktural kepengurusan hanya mengincar posisi ketua saja, bukan betul-betul untuk mewakafkan dirinya atas nama mahasiswa yang telah memberikan mereka mandat melaksanakan segala tugas dan tanggungjawabnya sebagai representasi mahasiswa yang terpilih melalui mekanisme pemilihan mahasiswa.

Parpolma tidak pernah melakukan pendidikan politik

Partai politik mahasiswa seharusnya lebih peka terhadap keadaan buruk yang terjadi dalam lembaga kemahasiswaan karena melalui partai nama yang menjadi pengurus masuk dalam lembaga kemahasiswaan baik dilegislatif maupun eksekutif. Banyak nama yang disorong partai dan secara fakta itu hanya memperlihatkan bagaimana lembaga kemahasiswaan meningkat secara kuantitatif padahal mereka dimaksudkan untuk menjadi pengurus yakni meningkatkan taraf kualitas lembaga dengan membawa masing-masing ideologi partainya. Namun, yang terjadi sangat berbanding terbalik dengan apa yang menjadi jualan narasi yang dibuat oleh partai.

Partai politik mahasiswa tidak pernah mengajarkan sejak dini kepada para kadernya bagaimana menjadi anggota lembaga kemahasiswaan yang secara moral tahu dia dikirim dalam kepengurusan lembaga ingin menjadi apa. Selain dari pada itu, partai lalai melakukan kaderisasi kepemimpinan yang baik dan benar, seharusnya partai memberikan edukasi politik bahwa seorang pemimpin tidak mesti harus menjadi pimpinan.

Legitimasi kepemimpinan kader partai seyogianya bukan diukur dalam perspektif ia menjadi ketua melainkan bagaimana semangat pembaharuan itu berlaku secara kontinyu saat pertama kali bergabung dalam lembaga sampai masa baktinya diberhentikan oleh aturan. Artinya meninggalkan _policy_ yang baik, ada gagasan yang relevan mengimbangi laju perkembangan zaman.

Masalah akut yang sering kita jumpai yaitu banyaknya kader partai masuk dalam kepengurusan hanya untuk ajang lomba memamerkan dirinya bahwa ia adalah pengurus lembaga kemahasiswaan dengan harapan mendapat baju pengurus, tindakan seperti inilah kemudian mempertegas adagium yang sedang populer yakni “biar bodoh yang penting bergaya.”

Parpolma tempat kebohongan diproduksi

Sikap kader partai dalam kepengurusan lembaga kemahasiswaan memberikan kita gambaran bagaimana mereka dikader melalui partainya. Karakter yang malas dan kebodohan yang diperlihatkan adalah bentuk nyata bagaimana partai melakukan kaderisasi politik. Partai sudah tidak punya rasa malu lagi terhadap ribuan mahasiswa yang mereka wakili, apa yang partai lakukan dari setiap masa menjelang pemilihan mahasiswa hanya berupaya melakukan pembohongan publik dan itu adalah bagian penghianatan moral sekaligus menghina nalar seluruh mahasiswa.

kita ketahui bersama tentang apa yang dijanjikan melalui narasi-narasi pencitraan saat menjelang hari-hari kampanye, semua partai berlomba memenangkan kebohongannya dengan cara memanipulasi seakan-akan mereka paling peduli terhadap lembaga kemahasiswaan tetapi ketika terpilih justru organisasi dibuat rusak.

Seharusnya partai yang berani mencelupkan dirinya dalam giat-giat politik maka dengan penuh kesadaran mesti mempertanggungjawabkan semua apa yang telah digagas, penyakit semua partai hanya siap menang namun tak siap kalah. Kalau semua kader yang didelegasikan kelembaga hanya mengejar posisi ketua terus kapan visi misi partainya dieksekusi? Karena kadernya hanya sibuk mengejar politik kuasa yang tidak mementingkan lagi kepentingan khalayak.

Padahal menurut Antonio Gramsci “politik tidak terbatas pada perjuangan mendapat kekuasaan, politik mencakup kehidupan manusia yang lebih luas. Ikut serta dalam politik berarti mengembangkan kemampuan berpikir dan bertindak yang berguna bagi diri sendiri, mengembangkan otonomi yang tidak didikte oleh kekuasaan semata.” Artinya bahwa apa yang kita yakini berguna bagi diri sendiri tentu itu harus menjadi kemaslahatan banyak orang, jangan nanti momen pemilihan baru semua partai muncul dengan gagah melakukan banyak kebohongan yang hanya menginginkan posisi ketua saja.

Mahasiswa rindu dengan lembaga kemahasiswaan yang didalamnya semua pengurus dari masing-masing delegasi partai itu saling bertengkar tentang banyak hal untuk kemajuan organisasi yang pastinya berorientasi menjaga amanah dan memperjuangkan seluruh aspirasi mahasiswa. Berhentilah partai mengirim delegasi yang bodoh, yang hanya mengandalkan kebesaran nama partainya saja.

Jangan hanya jago jualan jargon

Kini partai harus melakukan upaya transformasi pola perekrutan sampai pendistribusian kader yang betul-betul mengedepankan kepentingan dalam memperjuangkan visi misinya secara konkret. Partai jangan hanya hebat dalam melakukan promosi yang sifatnya klise, sangat miris keadaan partai-partai hari ini yang semuanya masih mengandalkan tipuan-tipuan melalui jargon dan tidak memperhatikan anggota partainya yang banyak melakukan kebobrokan saat menjadi pengurus lembaga kemahasiswaan.

Ada hal yang sangat menarik pernah dikatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa “manusia pada dasarnya bodoh, dan menjadi terpelajar melalui perolehan pengetahuan.” Dengan demikian, jika partai memang tempat untuk melakukan proses kaderisasi kepemimpinan maka didalam pasti terjadi transaksi ide. Tapi kalau yang dikirim partai adalah orang-orang yang tidak berkualitas artinya partai gagal menjadi organisasi pengorbit calon-calon pemimpin, yang ada partai menternak para gembel yang miskin akan gagasan.

Berapa banyak lagi jargon yang harus menjadi penunjang partai untuk membesarkan namanya? Sedang implementasi dari visi misi partai nonsens yang sekedar menjadi tumpukan kata-kata tidak bermakna. Semangat yang digaungkan juga tidak menunjukkan spirit pembaharuan dalam lembaga kemahasiswaan. Setiap tahunnya partai hanya menciptakan polarisasi dikalangan mahasiswa, pertarungan antar partai bukan pertarungan gagasan melainkan ide-ide manipulatif yang dijual gratis.

Slogan-slogan yang melekat pada semua partai hanya untuk membodohi mahasiswa, semakin kuat dipromosikan dan dibangga-banggakan maka semakin kuat partai mengingkari visi-misinya sendiri.

Semoga para parpolma lebih banyak lagi introspeksi agar mereka tahu kalau pendidikan terbaik adalah tindakan bukan kata-kata, kata Charlie Chaplin.

Selain dari pada itu, partai sepertinya tidak pernah membaca banyak literatur dan realitas yang terjadi dilingkup kampus sehingga mereka merasa sistem yang terbangun dalam partainya sudah sangat baik, padahal karena banyak mahasiswa yang mereka bisa tipu. Partai sudah saatnya berhenti membanggakan slogan ataupun jargon kedewaan yang busuk dan tolol itu. Mereka mesti melakukan kesiapan diri untuk melakukan keutamaan yang terbaik dalam segala hal, termasuk dalam hal politik, apapun konsekuensinya. Itulah arete, suatu hal yang diistilahkan oleh Plato.

Penulis: Harpan Pajar

Editor: Melvi Widya

Propam Polda Sultra Dinilai Lambat Proses Kasus Pemukulan Mahasiswa di RS Hermina

Kendari, Objektif.id – Sejumlah mahasiswa dan aktivis yang tergabung dalam Konsorsium Mahasiswa Bersatu kembali gelar demonstrasi di depan Markas Kepoolisian Daerah (Mapolda) Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Rabu (4/10/2023).

Gerakan aksi unjuk rasa ini disebabkan lambatnya pihak Propam memproses kasus dugaan pemukulan yang dilakukan oleh oknum polisi terhadap mahasiswa di depan Rumah Sakit Hermina Kendari pada Senin (18/9/2023), lalu.

Salah satu korban yang juga merupakan jendral lapangan dalam aksi tersebut, Rabil mengatakan bahwa tujuan aksi yang dilakukan adalah untuk mempertanyakan sudah sejauh mana proses penyidikan terkait laporan pemukulan yang masuk dari tanggal 18 September pekan lalu.

“Kedatangan kami disini hanya ingin menuntut hak sebagai korban, mempertanyakan sudah sampai di mana tahapan kasus ini”, tegasnya.

Rabil menyatakan jika dirinya sangat kecewa atas kinerja Propam Polda Sulawesi Tenggara yang diduga tidak berani menuntaskan kasus pemukulan ini. Dia menegaskan, bahwa pihaknya akan terus memperjuangkan hak-haknya sebagai korban agar mendapatkan keadilan.

Senada dengan Rabil, Irjal Ridwan yang juga merupakan salah satu korban pemukulan menyampaikan kekhawatirannya saat di temui awak media. Dirinya merasa kasus ini seperti sengaja untuk tidak dituntaskan karena sudah menjelang 2 minggu laporan mereka tidak ditangani secara serius.

Sementara pihak dari anggota Propam yang menerima kedatangan masa aksi di ruangannya mengatakan laporan pemukulan tersebut baru akan dilimpahkan ke Polresta Kendari.

Menanggapi kinerja propam yang dinilai buruk, Irjal Ridwan akan melakukan konsolidasi besar-besaran untuk bertandang ke Markas Besar (Mabes) Polisi Republik Indonesia (Polri) melaporkan Kadiv Propam Sultra atas dugaan melindungi anggota kepolisian yang diduga melakukan penganiayaan dan pemukulan terhadap mahasiswa.

“Akan kami pressure terus kasus ini sampai ke Mabes, tidak boleh lagi ada oknum polisi yang melanggar kode etik kepolisian sehingga tidak memakan banyak korban”, tutupnya.

Penulis: Harpan Pajar
Editor: Muh. Akmal Firdaus Ridwan