Kendari, Objektif.id – Gelombang kritik terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Nomor 34 Tahun 2004 masih terus bergulir. Kali ini, suara penolakan datang dari Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, Febrian, yang dengan lantang menegaskan bahwa regulasi tersebut merupakan pembajakan terhadap supremasi sipil yang berpotensi mengancam ruang demokrasi yang bukan bagian dari manifestasi kepentingan publik.
Dalam pernyataan resminya, Febrian menilai bahwa pengesahan RUU TNI menjadi Undang-undang oleh DPR RI bertentangan dengan aspirasi masyarakat. Dan itu dibuktikan dengan berbagai penolakan dari berbagai elemen masyarakat yang mengkritik pasal-pasal dalam regulasi tersebut yang dinilai membuka peluang bagi TNI untuk lebih leluasa berkiprah di ranah politik dengan cara memanfaatkan ruang sipil yang dilegitimasi melalui undang-undang.
“Kami menolak hasil rancangan UU TNI ini karena tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat serta berpotensi mengganggu supremasi sipil. TNI harus tetap fokus pada tugas utama mereka dalam menjaga pertahanan negara,” tegasnya, Sabtu, 22 Maret 2025.
Dengan demikian Ini tentu sangat bertentangan pada semangat reformasi yang jelas-jelas berupaya memisahkan peran militer dari urusan sipil dalam pemerintahan. Sementara kita tahu bahwa dalam demokrasi yang sehat, supremasi sipil adalah prinsip utama yang memastikan bahwa militer tetap berada di bawah kendali institusi demokratis yang fokus pada pertahanan dan tidak memiliki otonomi dalam menentukan kebijakan publik.
Sehingga berdasarkan anomali ini publik menilai bahwa pengesahan RUU itu bukan hanya bertentangan dengan aspirasi masyarakat, tetapi juga menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk menghidupkan kembali pola lama di mana militer memiliki peran dominan dalam kehidupan bernegara.
Oleh karena itu, kekhawatiran Febrian bukan tanpa alasan. Sebab sejarah mencatat bagaimana kelamnya pemerintahan Orde Baru (Orba) memanfaatkan kekuatan militer dalam pemerintahan untuk mengontrol hampir seluruh aspek kehidupan, menekan kebebasan sipil, dan membungkam oposisi.
Maka tak heran jika muncul ketakutan bahwa regulasi ini bisa menjadi pintu masuk bagi kembalinya praktik serupa. Padahal reformasi TNI yang dilakukan sejak 1998 sebenarnya bertujuan untuk menghapus keleluasaan militer yang kerap menjadi sumber penyalahgunaan wewenang kekuasaan dalam membungkam kemerdekaan berekspresi terhadap masyarakat sipil.
Lebih jauh, Febrian menggarisbawahi bahwa publik bukan hanya sekadar menolak, melainkan menyerukan agar dilakukan revisi komprehensif terhadap RUU TNI dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi dan aktivis. Karena menurutnya, regulasi ini harus dikaji ulang dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas agar tidak menjadi alat legitimasi bagi kepentingan kelompok tertentu.
“Mahasiswa dan masyarakat akan terus mengonsolidasikan gerakan penolakan secara kritis dalam mengawal kebijakan ini. Tak hanya itu kami juga meminta pemerintah dan DPR RI untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas guna menghasilkan revisi yang lebih komprehensif,” ujarnya.
Pernyataan tegas dari Ketua Dema FEBI ini juga menjadi cerminan dari semakin besarnya peran mahasiswa dalam mengawal kebijakan negara. Febrian juga menegaskan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam jika kebijakan ini tetap berjalan tanpa perbaikan. Bahkan, ia membuka kemungkinan untuk menggelar aksi sebagai bentuk protes jika aspirasi masyarakat diabaikan.
“Kami akan terus memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia dan memastikan bahwa kepentingan serta aspirasi mereka tidak diabaikan. Jika diperlukan, kami siap menggelar aksi untuk menuntut revisi atas rancangan UU TNI ini,” pungkasnya.
RUU TNI seharusnya menjadi langkah maju dalam menjaga profesionalisme militer, bukan justru menjadi alat untuk mengembalikan dominasi militer dalam kehidupan sipil. Jika demokrasi ingin tetap berdiri tegak di negeri ini, maka supremasi sipil harus dijaga, bukan dikorbankan demi kepentingan segelintir elite yang jauh dari representasi kepentingan publik.
Editor: Harpan Pajar