Secerah Harapan Di Bawah Timbunan Penderitaan

 

(Harpan Pajar. Foto: Istimewa)

Sulawesi Tenggara, sebuah pulau bagian tenggara Sulawesi diantara 18.306 pulau dalam wilayah geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kaya akan adat istiadat budaya, potensi sumber manusia yang mumpuni, dan sumber daya alam yang begitu melimpah sehingga menjadi salah satu tempat strategis bahkan surganya para investor melakukan investasi. Beribu kota, Kendari terletak tak jauh dari kampung halamanku Desa Lalonggombu, Kecamatan Andoolo, Konawe Selatan.

Ada sesuatu yang kontras terlihat disana. Sebelum memasuki Kendari, kita akan disuguhi pemandangan pemukiman kumuh di sepanjang jalan. Kemudian pemandangan itu berubah menjadi rumah-rumah besar dan gedung setengah pencakar langit. Situasinya begitu senjang. Cara termudah melihat kesenjangan dari provinsi berkembang adalah dengan melihat ibu kotanya atau setidaknya daerah-daerah yang menjadi sentral industrial.

Sulawesi Tenggara tampak sebuah kota yang gelisah dalam bangunan yang rapuh. Rumah-rumah warganya begitu senjang. Ada yang hanya terbuat dari bambu dianyam sudah tak layak pakai, tapi ada yang tinggi menjulang membelah langit. Jika kita memasuki rongga-rongga perkampungan kumuhnya, Sulawesi Tenggara, serupa muara dari sungai yang baru saja dilanda banjir bandang. Kumuh dan tak terurus, tempat menumpuknya segala sisa-sisa barang dan manusia yang diseret banjir dari perkampungan-perkampungan pedesaan bumi anoaku.

Orang-orangnya hiper agresif mereka saling sikut demi sesuap nasi, itu adalah sebuah preferensi sebagai bentuk defensif untuk bertahan hidup melewati kemelaratan dan dan penderitaan oleh angkara murka penguasa. Jika suatu saat terjadi konfrontasi yang besar aku tidak tahu apakah tubuh kecilku ini bisa selamat dari sana. Haruskah konflik antar saudara sebangsa dibenarkan untuk tujuan tertentu, katakanlah itu keadilan ? Jika pun boleh, apakah ia harus berbentuk perang ?

Sementara itu, jika kita melihat kantung-kantung kemewahan ditengah-tengahnya, Sulawesi tenggara adalah sebuah ballroom untuk pesta bersama gadis-gadis seksi dengan kue-kue dan minuman mahal. Percakapan gelak tawa, dentingan suara gelas, dan jeritan suara gadis yang mencapai puncak klimaksnya di atas kasur empuk, menyembunyikan suara-suara tangisan kemiskinan di luar sana. Hamparan karpetnya pun menyembunyikan butiran debu yang terinjak-injak dan tak kasat mata di bawahnya. Debu itu adalah aku dan orang-orang yang bukan bagian dari pesta itu.

Memasuki ruangan tersebut, bekal rekaman kemiskinan desa telah mengasingkanku. Aku tahu karena kakakku yang mempunyai teman para investor asing kadang mengajakku ke acara-acara perusahaannya. Olehnya aku sering diajak mengikuti pesta orang-orang “beradab” itu. Akupun dikenalkan terhadap kolega teman kakakku, Mereka terbata-bata bicara dalam bahasa tanpa kebohongan, dan aku tak tahu satu kosa kata pun yang diucapkan, mereka gagal meyakinkanku untuk menyukai permainan mereka.

Aku bukan anti asing, karena banyak juga pahlawanku adalah orang asing seperti yang berada di buku 100 tokoh paling berpengaruh di dunia. Lagi-lagi bayangan sahabat-sahabat kecilku yang tak bisa sekolah di TK mengejar-ngejarku. Sebuah kutukan Cartesian masih melekat pada dunia pendidikan kami semua tanpa kami menyadarinya. Sialnya, pemerintah yang suka memberi perintah itupun tak kunjung berbuat apapun untuk menolong mereka. Mungkin menjadi sedikit saja seperti pahlawan-pahlawan dibuku 100 tokoh dunia itu, rasanya tidak terlalu buruk untuk anak – anak dipelosok pedesaan yang tanpa dosa menjadi korban dari keserakahan penguasa.

Mencampur-campur secuil terhadap Seokarno, sepotong Tan Malaka, Seutas Marx, maupun sepenggal Thomas Jefferson sudah cukuplah untuk bisa membagi-bagi “wikoro” (olahan makanan yang terbuat dari ubi hutan) untuk anak-anak desa agar tidak mati kelaparan karena kemiskinan. Mungkin aku juga perlu mencampurkan mereka semua adonan newton, Einstein, Marie currie dan Thomas Edison untuk memastikan sains fisika dan kimia bermanfaat bagi anak-anak dusun itu.

Entah bagaimana mimpi-mimpi itu akan terjadi. Penguasa tidak pernah menginginkan matahari kembar di atas langit kekuasaannya. Selama berkuasa, dia tidak akan pernah membiarkan para oposisi hidup. Orang-orang yang selalu mengkritik pemerintah (mengancam popularitasnya), penguasa cenderung akan menyingkirkan dengan cara-cara tidak demokratis bahkan berujung tragis.

Hei! penguasa yang dilegitimasi secara konstitusional oleh rakyat  Bumi anoa. Tegakkan hukum diatas sumpahmu, lihat itu banyak raut petani yang tak lagi tersenyum lega. Apa kau dengar? jangan tutup telingamu, jangan kau pejamkan matamu. Apa kabar tanah kelahiranku, yang penuh dengan intrik, banyak drama layaknya sinetron berepisode lama.

Lihat itu banyak parade penganggur yang tampak murung, suara yang kalian kantongi seolah mati tertimbun kubur. Ada sampah diatas sumpah, mereka bersantai sambil memegang lembaran, berseragam elegan dengan atribut pemerintah, memoles citra melemahkan kepekaan.

Pemangku jabatan, inikah hadiah dari kotak kardus bergembok baja? Bagaimana nasib jelata. Sudahlah anggarkan saja untuk bangun ibukota, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat. Jangan bicara perihal kemakmuran, lihat disana ada kerusuhan sebab nasi mereka telah dicuri. Kemana perikemanusiaan adil dan beradab, Kemana ? Ditengah bencana rela begadang demi agenda pengusaha. Entah mengapa kelakuan mereka tak lebih dari anak TK. Jago retorika dan pandai bersandiwara. Bangsa sudah merdeka mengapa larut dalam sistem berduka.

Pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara cenderung masih berkonotasi terhadap pengaturan yang bernuansa kekuasaan bukan pelayanan. Dalam buku teori dan analisis politik pemerintahan yang ditulis oleh inu kencana syafiie mengatakan bahwa Antara kekuasaan dan pelayanan harus diseimbangkan. Pelayanan yang tidak baik dan benar akan beresiko dekadensi moral sedangkan kekuasaan yang sewenang-wenang akan beresiko tirani. Sehingga bisa kita terjemahkan bahwa Pelayanan hendaknya memiliki unsur yaitu membuat masyarakat semakin puas, mutunya semakin membaik, lapangan kerja semakin terbuka lebar, dan estimasi pengerjaan administrasi publik yang efektif. Kekuasaan hendaknya ditujukan bagi pengaturan pemerintah, yang pada hakikatnya bertugas sebagai pengajak kebaikan dan mencegah terjadinya kebatilan. Untuk itulah ada berbagai departemen dan lembaga non departemen di bawah eksekutif. Seperti polisi, kejaksaan (untuk antisipasi keburukan) dan semacamnya. Sedangkan transmigrasi, sosial, agama, pendidikan (untuk mengarahkan rakyat kearah kebaikan), dan masih banyak lagi lembaga yang sangat berperan aktif dalam upaya menjaga stabilitas ketertiban masyarakat.

Seharusnya penguasa tanah lulo hari ini sadar diri dengan anomali dalam pemerintahannya.  penyebab utama sering terjadi konflik vertikal maupun horizontal adalah kesenjangan dan kecemburuan sosial antara si kaya dan si miskin, jadi bukan sama sekali pertentangan antar agama, ras, dan etnis. Ya, walaupun sering digiring menuju isu sara oleh para elit yang mempunyai kepentingan pribadi.

Mangkraknya roda pemerintahan yang sudah tidak sesuai lagi dengan amanat konstitusi dan harapan masyarakat Sulawesi tenggara karena ada indikasi perilaku birokrasi yang impersonal (membedakan orang/pilih kasih). Berdasarkan kekerabatan (koncoisme), sanak keluarga (nepotisme), sehingga memacetkan jalannya pelaksanaan birokrasi yang bersih, disiplin, sistematis, dan hirarkis. Karena muncul pihak yang memotong jalur menuju puncak pimpinan. Munculnya krisis kepercayaan karena eksekutif yang diberi mandat oleh rakyat mengurus pemerintahan tidak bisa mengurus dengan efektif, begitu juga legislatif yang seharusnya mengatur peraturan tidak bisa mengatur. Bahkan terjadi kolusi antara eksekutif dan legislatif dengan pedagang yang dilindungi perdagangannya, korupsi sebagai usaha penggelapan pelaksanaan  uang negara, dekadensi moral para pejabat serta tidak berjalannya hukum sebagaimana mestinya karena pihak yudikatif berada di bawah kontrol eksekutif. Monopoli perdagangan juga terjadi dari anak pejabat Sehingga terjadi penjajahan dari anak negeri terhadap negerinya sendiri, kendati bila pihak asing luar negeri ikut serta membenahi dituding sebagai imperialisme modern yang berdalih liberalisme. Hilangnya unsur pelayanan dan transparansi terhadap masyarakat dari pemerintah sebagai abdi masyarakat karena tingginya harga tiap pengurusan seperti SIM, KTP, dan lain-lain. Lamanya pengerjaan pelayanan publik bagi yang tidak mempunyai uang pelicin. Itulah hal kompleks terjadinya konflik masyarakat.

Aku menyerukan adanya dialog untuk menjamin rasa keadilan dan kesetaraan dalam merawat kebebasan berpendapat hak setiap masyarakat. Tanpa itu semua di Sulawesi tenggara akan terjadi genosida yang hanya akan menambah catatan buruk pemerintah. Kesejahteraan ekonomi rakyat pun harus dijamin dengan cara mengakhiri  monopoli kekuasaan yang berlindung dibalik layar tabir kepalsuan. Cabang-cabang produksi untuk kesejahteraan rakyat harus dikelola oleh pemerintah dengan benar dan bersih, dimana persaingan usaha juga harus dijamin keadilannya, sehingga tidak menimbulkan korupsi yang mengorbankan banyak umat.

Kenapa tidak pemerintah Sulawesi Tenggara bercermin kepada Provinsi tetangganya Sulawesi Tengah dalam menyelesaikan berbagai problem yang memberdayakan sumber manusianya. Pemerintah Sulawesi Tengah melakukan dialog yang sangat signifikan untuk menyadarkan berbagai golongan atau kelompok kemasyarakatan bahwa semua memiliki potensi yang sama besarnya untuk mengalami konflik sosial. Dengan adanya kesadaran tersebut, diharapkan satu dengan lainnya bahu membahu mencegah timbulnya konflik sejak dini yang disebabkan oleh kemiskinan dan keserakahan penguasa. Cara-cara yang terstruktur, konsisten, dan aktif merangkul berbagai kalangan baik masyarakat, aparat kepolisian dan militer, organisasi sosial masyarakat, organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan, serta organisasi keagamaan, guna mendapatkan masukkan-masukkan dalam setiap upaya pencegahan konflik.

 
Merekalah yang sangat fundamental berada pada ranah akar rumput (grass root) dan memahami akar konflik. Pencegahan konflik dan kesenjangan sosial yang tepat sasaran pada akhirnya akan lebih menjamin rasa keamanan, kenyamanan, juga kesetaraan masyarakat.

Penulis: Harpan Pajar

Misteri Perihal Kopi

(Ilustrasi secangkir kopi. Foto:Repro Google.com)

Awal aku berkenalan dengan minuman pahit yang hitam pekat itu, saat memasuki bangku perkuliahan. Lebih tepatnya saat di bukanya sebuah forum diskusi liar antara kanda dan dindanya. 

Sebelumnya maaf saja ya bagi pecinta kopi. Jujur saja saat itu, aku amat tidak suka dengan rasanya yang pahit. Apa lagi yang tak pakai gula, ampun beribu ampun itu amat tidak enak. Terkhusus bagi yang belum pernah coba dan tidak percaya dengan apa yang aku katakan, silahkan mencobanya. Aku yakin pasti akan merasakan hal yang sama. 

Tapi, anehnya kedai kopi semakin banyak hadir di mana-mana dan masih tetap ramai dengan pengunjung. Artinya masih banyak yang suka dengan kopi. 

Ada apa di balik kopi itu…?, dengan segala kepahitanya masih tetap disukai orang, baik dari berbagai kalangan tua maupun muda, pria maupun wanita, pelajar maupun non-pelajar, hampir semuanya suka dengan kopi. 

Ada apa dengan kopi….? Dengan segala kepahitan itu. Aku tak mengerti walaupun sudah cukup lama aku menikmatinya. 

Coba perhatikan dengan seksama, mereka semua ibarat orang yang terpengaruh oleh sugesti hingga secara tak sadar mereka tetap berada pada kebiasaan dengan tetap meminum kopi dengan segala kepahitanya. 

“Pahit sih pahit, tapi nikmat”. Jawabnya atas tanyaku terhadapnya perihal rasa kopi itu sendiri. 

Itulah misteri perihal kopi dengan segala kepahitanya. 

Masihkah ada hasrat untuk meminumnya…?. 

Semua itu terserah padamu. Tapi, yang aku pilih adalah masih tetap meminumnya karena perjuangan itu tentang bagaimana kita ber-revolusi dalam mengarungi lembah misterius tiada ujung. Sebab apa nikmatnya hidup di puncak  kemapanan pikiran hingga tak ada lagi yang akan kita tanyakan…?.  Revolusi itu takkan pernah ada jika tak ada yang dipertanyakan. Revolusi adalah siklus perubahan yang harus tetap misterius agar “revolusi” Bisa abadi dan tetap eksis di muka bumi ini. 

Maka tetaplah menikmati kopi dengan segala kepahitanya. 

Kopi berkata “aku disukai karena aku misteri, aku misteri agar revolusi tetap hadir atau eksis sebagaimana adanya dibumi Tuhan yang multi-ekspresif ini”.

Oleh: Madiarto

Keselamatan Rakyat atau Pilkada?

Karya : M. Iqbal L Nazim

Saya ingin buka kritik saya ini dengan kalimat “Jika kau ingin melihat bangsa itu berjalan secara transparan maka lihat kebijakan yang dikeluarkan apakah kebijakan tersebut saling bernegasi satu sama lain atau tidak”.

Banyak yang diperlakukan dan diberikan sanksi karena berkerumun, tidak memakai masker yang pada pokoknya tidak mematuhi protokol kesehatan. Tapi bukan itu poin yang ingin di tegaskan. Yang ingin ditegaskan adalah “please don’t confuse us with the uncertain policy”.

Kita ingin bebas dari covid-19 dan virus ini hilang untuk selama-lamanya di tanah pertiwi ini dan dunia, sehingga ketika pemerintah baik pusat maupun daerah mengeluarkan kebijakan tentang protokol kesehatan (PSBB, Physical distance, menggunakan masker dan lain sebagainya) kita begitu sangat mendukung. Meskipun ada beberapa yang belum melaksanakan entah mereka lupa atau apa, tapi yang jelas ketika mereka diberikan sanksi teguran mereka dengan suka rela mematuhi sanksi tersebut karena ada keinginan, karena ada kesadaran bahwa covid-19 harus dilawan dan hilang untuk selama-lamanya.

Di tengah pelaksanaan protokol kesehatan maka tentu efek yang dirasakan adalah tentang ekonomi, mungkin masyarakat menengah ke atas masih bilang “nggak apa” tetapi bagaimana dengan masyarakat menengah ke bawah? Dan ditemukan juga fakta bahwa masyarakat menengah ke atas banyak yang mengeluh akan pandemi ini.

Sekarang kita tengah harus benar-benar mempersiapkan diri menghadapi kondisi ekonomi yang apabila negara mengalami resesi. Bahkan negara pun kelabakan untuk membenahi ekonominya karena efek dari Pandemi.

Namun disisi lain di tahun 2020 ini akan diselenggarakan pilkada serentak. Maka kosekuensi yang harus dihadapi adalah dilanggarnya protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Maka akibat hal tersebut akan lahirlah cluster-cluster baru pasca pilkada. Lalu kapan akan selesai pandemi ini. Dengan begitu banyaknya korban baik tenaga medis maupun sipil yang telah meninggal dunia.

Sebenarnya negara saat ini ada dimana? Berada di pihak siapa dan berapa banyak lagi korban yang harus jatuh hanya karena akibat dari pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang.

Seberapa urgensi kah pilkada serentak tersebut dengan melawan covid-19 ini?

Apakah pelaksanaan pilkada serentak tersebut tidak dapat ditunda pelaksanaannya?

Cobalah jangan tunjukkan ego dan ambisi tersebut yang akibatnya berdampak pada masyarakat menengah kebawah dan para tenaga medis.

Sebenarnya kita, kamu dan negara ini serius atau tidak melawan covid-19 ini?