Penulis : Tumming
Cerita ini terjadi pada pertengahan tahun 2021. Saat perkuliahan semester genap telah usai. Masa yang dinantikan oleh hampir semua mahasiswa, dimana mereka bisa bersantai sejenak refreshing atau bahkan sekedar meluangkan lebih banyak waktu untuk bersenda gurau dengan keluarga tanpa terganggu oleh notifikasi kuliah online yang memenuhi notifbar smathphone mereka setiap harinya.
Perkuliahan online telah berlangsung selama tiga semester, diberlakukan sejak masuknya COVID-19 ke Indonesia pada awal maret 2020 sampai dengan juni 2021, hingga pada pertengahan 2020, lahirlah sebuah generasi baru yang sering kita sebut dengan generasi online. Dan ya… aku salah satu di antara ribuan mahasiswa generasi online itu.
Sebelum aku bercerita lebih jauh, alangkah lebih baiknya jika terlebih dalulu aku menceritakan sedikit tentang diriku.
1. aku
Namaku Sharon kerap disapa Al. Teman sebayaku di kampung memanggilku Tullu. Aku tak tau artinya apa, tapi kata mereka, rasanya lebih akrab jika memanggilku dengan nama itu. Saat ini aku sedang melanjutkan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari. mengambil program studi Hukum Perdata Islam (HPI) Fakultas Syariah. Aku sering dicap berandalan oleh masyarakat sekitar karena rambut gondrongku. Tapi terlepas dari itu, setidaknya aku terbebas dari tagihan tukang parkir pasar karena melihatku berambut gondrong dan itu merupakan satu kebanggaan tersendiri bagiku.
Aku berasal dari salah satu kota yang jaraknya cukup jauh dari kota Kendari, tempatku kuliah saat ini. kira kira sekitar 18 jam jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor. cukup melelahkan dan menjadi alasan jika ditanya mengapa aku tak pulang kampung. Aku anak pertama dari tiga bersaudara dan yang paling cantik dirumahku adalah ibuku.
Ya… aku tak memiliki adik perempuan. Karena itu, aku sangat penasaran bagaimana rasanya memiliki adik perempuan. kerap kali, hal itu aku jadikan sebagai bahan candaan untuk sekedar mencairkan suasana saat berkumpul dengan keluarga. suatu hari, saat sedang menyaksikan acara Talk Shaw di salah satu stasiun televisi, aku berkata kepada ibuku bahwa aku ingin mepunyai adik perempuan.
“bu’ kita bikin mi lagi adik perempuan supaya ada yang saingi kecantikanta di rumah.”
“ha ha ha,” ibuku tertawa mendengar apa yang baru saja aku ucapkan.
“itu adami dita.” Lanjut ibuku.
Dita adalah anak perempun dari sahabat ibuku, yang memang sejak kecil sering tinggal bersama keluargaku. Karena itu Dita sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh ibuku.
“beda toh, maksudku saya adik kandungku begitu ee.”
“ko menikah mi pale supaya ada yang saingi kecantikanku, ha ha ha.”
“kalau sudah yang begini, kadang saja sa suka diam.” kataku.
Ayahku seorang manager di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang persediaan bahan makanan pokok, yaitu beras. Jadi, bisa dibilang ayahku adalah seorang petani dan ibuku seorang koki di rumahku he he he.
Mungkin lebih lengkapnya akan saya ceritakan pada kesempatan yang lain.
2. Generasi online
Aku memilih untuk tidak mudik pada libur kali ini, karena beberapa pertimbangan. Aku menghabiskan masa liburku dengan bekerja di salah satu bengkel motor yang berada di sekitar kampus untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. jika ada uang lebih, akan aku tabung untuk persiapan membeli kuota dan membayar UKT semester depan, yang harus dibayar full meskipun tak pernah menikmati fasilitas kampus sama sekali.
Malam itu, ditemani segelas kopi dan sebatang rokok surya, aku sedang berdiskusi dengan diriku sendiri. banyak pertanyaan yang terlintas di benakku. Tentang apakah aku adalah mahasiswa yang lahir secara online dan selesai secara online pula? Apakah pemberian nilai masih bergantung pada siapa yang mampu membeli paket data setiap bulannya? Apakah aku tidak bisa merasakan bagaimana menjadi mahasiswa yang mahasiswa? Tentang bagaimana kemudian aku bisa fight dimasa aku sebagai mahasiswa dan banyak pertanyaan yang bahkan tak bisa terjawab oleh diriku sendiri. Kuputuskan untuk memendam semua pertanyaan yang sempat terlintas dalam fikiranku dan beranjak untuk tidur.
3. Akhirnya kuliah offline
Hari ini adalah hari spesial untukku. Karena, untuk pertama kalinya sebagai mahasiswa generasi online, akhirnya dapat merasakan perkuliahan offline atau tatap muka, dan mungkin hal yang sama juga dirasakan oleh puluhan, ratusan, bahkan ribuan mahasiswa yang menyandang gelar “Mahasiswa Generasi Online” dari sabang Sabang sampai Merauke. Kabar kuliah offline diumumkan saat setelah pembayaran uang semester, yaitu sekitar bulan agustus 2021. Susana sekitar kampus pun mulai ramai dan disambut bahagia oleh mereka yang memiliki usaha rumah kost dan kontrakan.
Bilik Kamar Flamboyan, 07.00 wita.
“Tok….tok…tok…” Seperti biasa aku dibangunkan oleh merdunya nada dering alarm juga suara ketukan dan sedikit teriakan dari balik dinding pemisah kamar kost yang terbuat dari papan triplek.
“sharon…sharooon…,”
“ko bangun mi, sudah capek mi kasihan itu alarmmu da kasih bangun kau,” teriak Rahmi.
Rahmi adalah tetangga kost sekaligus ketua tingkatku di kelas. Si cewek berparas cantik peranakan Turki yang setiap awal bulan berubah menjadi nenek lampir untuk menagih uang listrik bulanan kepada setiap penghuni kost. aku sering memanggilnya ibu ami. karena, Bisa dibilang dia adalah tangan kanan dari ibu pemilik kosan. Meskipun begitu, dia masih tetap menjadi nenek lampir tercantik dengan kedua lesung pipinya yang tak begitu sering ia tunjukkan.
“astaga sa terlambat mi,” kataku panik.
“dari tadi pi itu alarmmu da bunyi hanya ko tidak dengar.”
“sa dengar ji, hanya barupi jam 04.30 tadi, jadi sa tidur kembali.”
“pembenaran lagi”. kata rahmi kemudian
Aku langsung beranjak dari tempat tidur dengan perasaan panik dan langsung menuju ke kamar mandi untuk melakukan ritual MACET (Mandi Cepat). Disamping karena aku harus berada di kelas pada pukul 07.30 pada mata kuliah Fiqh Mawaris, juga karena aku tidak ingin membuat kesan buruk pada awal kuliah offline ini. Setelah mandi dan berpakaian, tak lupa aku menyeduh segelas kopi hitam khas toraja dan menghisap sebatang rokok. kemudian aku langsung bergegas ke kampus setelahnya.
Saat aku keluar kamar, aku berpapasan dengan rahmi yang juga akan menuju ke kampus.
“pagi ibu ami,”
“sa kira ko sudah di kampus mi dari tadi”. sapaku
“hmmmm,”
“sudah lihat mi disini, berarti belum dikampus.” tegasnya.
Seperti biasa rahmi masih saja menyembunyikan senyumannya yang manis dibalik sikap judesnya itu. sebenarnya, rahmi itu orangnya care. Hanya saja, sikapnya yang judes itu terkadang membuat orang yang baru mengenalnya mempunyai penafsiran yang lain tentang dirinya.
“mau sa antar ke kampus kah.” Aku memberi tawaran dan terlihat rahmi sedikit menaikkan alisnya. pertanda bahwa dia mengiyakan ajakanku.
“eh tunggu dulu,” cegahnya yang terlihat kebingungan
“kita mo naik apa mi katanya ini,” lanjut rahmi sambil melihat sekeliling, mencari kendaraan yang akan aku gunakan untuk mengantarnya ke kampus. sebenarnya ajakanku untuk mengantar rahmi ke kampus hanya sekedar basa basi saja.
“naik sepatu mi sja dulu ibu, sa punya mobil pi baru kita naik mobil,” gurauku kepada rahmi yang membuat moodya sedikit berkurang pagi ini.
“sinimi pale!.. sudah mau terlambat mi juga”.
Kami berdua pun menuju ke kampus dengan berjalan kaki karena jarak kosan kami tidak jauh dari kampus, kurang lebih memakan waktu 10 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. sepanjang perjalanan rahmi hanya terfokus ke handphonnya dan terlihat sedang asik membalas chat dari seseorang sambil sedikit tersenyum.
“Ami, ko masih pacaran kah sama pacarmu yang itu hari.” tanyaku pada rahmi untuk mengalihkan perhatian.
pertanyaan ini sudah sering kali aku tanyakan kepadanya untuk sekedar menjadi bahan gurauan. Rahmi terlihat sedikit risih dengan pertanyaan yang sudah sering kali aku tanyakan kepadanya.
“iya,”
“kenapa ko tanyakan itu terus kah, sa tidak akan putus ji sama dia.” Jawab Rahmi
“sudah beberapa kali sa bertanya, barupi kali ini ko mau jawab. Berarti nda lama mi korang putus itu, hehehe.”
Rahmi hanya terdiam mendengar perkataanku dan melanjutkan perjalanan. Keadaan menjadi canggung, aku enggan mengeluarkan kata kata setelah pertanyaanku itu dan Rahmi kembali fokus ke handphone yang ia pegang. Mungkin ia ingin memberi tahu kepada pacarnya bahwa ada orang bodoh yang mengatakan bahwa mereka akan segera putus.
Tak terasa kami telah sampai di gerbang kampus. Rahmi langsung menuju ruangan perkuliahan tanpa menyadari bahwa aku tak mengikutinya dari belakang. Aku berjalan perlahan sambil memperhatikan pemandangan yang aku saksikan saat ini. suatu hal baru, yang mungkin akan menjadi jawaban dari semua pertanyaan pertanyaan yang sejak lama terlintas dalam fikiranku. Dimana, yang dipisahkan oleh kuliah online bisa kembali bertemu dan saling mengadu ibu jari dalam sebuah sentuhan kedua telapak tangan mereka seiring terucapnya kata “bagaimana kabar saudara.” kemudian seorang teman yang lain berkata “bagaimana mi tanganmu pas habis jatuh dari pohon mangga di belakang Syariah itu hari.” kemudian mereka pun tertawa lepas bak seorang yang tak memiliki beban dalam hidupnya, saat mereka menceritakan kejadian dimasa sebelum adanya kuliah online. Perhatianku pun tertuju kepada mereka yang terlahir secara online bisa saling bertemu dan saling mengenal satu sama lain. Namun, perhatianku teralihkan saat seorang perempuan menepuk pundakku dari belakang.
“kak,”
“Fakultas Syariah dimana.” Tanya wanita itu kepadaku.
“disana.” Kataku sambil menunjuk ke arah sudut kanan bagian timur gedung terpadu yang diatasnya terdapat tulisan Fakultas Syariah.
“kalau mau beli almamater dimana.” Lanjutnya.
“kita masuk di Rektorat kemudian belok kanan,”
“kamu semester berapa.” tanyaku.
“semester Tiga kak”. jawab wanita itu.
Singkatnya, ia adalah Sindi teman kelasku yang bahkan tak mengenaliku sama sekali setelah dia melewati dua semester kuliah online dengannku. yang mengagetkannya lagi bahwa, hari ini adalah kali pertama ia menginjakkan kakinya di kampus ini. hal itu membuatku terdiam dan berfikir “berarti sampai saat ini, mungkin masih ada mahasiswa yang belum pernah melihat kampusnya sama sekali”.
“Sharoon…” teriakan kecil dari seseorang yang memanggilku. ternyata itu Rahmi yang sedang berjalan kearahku. mungkin karena ia telah menyadari bahwa aku tak mengikutinya dari belakang.
“sa bicara sama kau dari tadi, ternyata ko tidak ada di belakangku,”
“sudah mulai mi kuliahnya.” Lanjut rahmi.
“begitu kah, masih diizinkan ji kah masuk ini.”
“kita tes mi saja dulu.”
“sinimi sindi,” kataku sambil melihat ke arah sindi.
“nanti selesai mata kuliah baru ko beli almamater, kita ke fakultas mi dulu.”
“ko temani pale saya sebentar nah.”
“oke mi.”
Kami bertiga pun berjalan menuju ruangan perkuliahan GT SYAR 303 yang berada di lantai tiga Fakultas Syariah. Ternyata betul kata Rahmi, bahwa seorang dosen telah berada di ruangan terlebih dahulu.
“tok tok tok”. Rahmi mengetuk pintu ruangan.
“assalamu’alaikum.” kata Rahmi mengucap salam dan berharap masih diizinkan untuk mengikuti perkuliahan.
“wa’alaikumsalam,”
“masuk.” jawab dosen yang membawakan mata kuliah pada saat itu.
Rahmi membuka pintu dan terlihat seorang dosen yang sedang berdiri memaparkan kontrak perkuliahannya. kami disambut oleh senyuman hangat dosen itu, senyum yang menyimpan banyak kerinduan untuk bisa mengajar secara offline dan berinteraksi secara langsung dengan para mahasiswa. Kami pun membalasnya dengan senyuman hangat pula.
“silahkan cari tempat duduk yang masih kosong nak”.
“terima kasih pak.” Kataku dengan desikit membungkukkan badan.
Rahmi dan semua mahasiswi yang berada di ruangan itu duduk di sisi kiri ruangan dan semua mahasiswa duduk di sisi kanan ruangan. Terlihat beberapa wajah baru yang belum pernah aku lihat sebelumnya, mungkin mereka itu yang selalu mematikan kamera pada saat perkuliahan via zoom dan ditinggal tidur. Mungkin, itu masih prediksi liar yang terlintas dalam fikiranku.
Aku berjalan menuju kursi yang berada di sudut kanan belakang. Itu adalah kebiasaanku dulu, pada saat aku masih duduk di bangku sekolah. Aku rasa itu adalah tempat duduk terbaik untuk bisa melihat semua apa yang sedang terjadi di dalam ruangan tersebut.
“baiklah untuk yang baru datang,”
“lihat baik baik kontrak perkuliahan yang telah saya tuliskan.” Kata bapak dosen sambil menunjuk ke papan tulis, kemudian ia menjelaskan poin poin yang dimaksud. mulai dari batasan waktu terlambat hingga ke masalah berpakaian.
Batas waktu terlambat bagi semua mahasiswa selama 15 menit. Bagi mahasiswa, dilarang menggunakan kaos oblong, celana sobek dilutut, memakai sendal jepit dan berambut gondrong. Untuk mahasiswi, dilarang menggunakan pakaian yang ketat, mengenakan perhiasan dan memakai make up berlebihan pada saat mengikuti perkuliahan sesuai dengan kode etik kampus. hal itu sangat berbanding terbalik dengan metode perkuliahan online, dimana yang rapih hanya bagian yang terlihat kamera saja. bahkan terkadang beberapa mahasiswa mematikan kameranya karena sedang mengerjakan pekerjaan yang lain, begitupun dengan mahasiswi yang seolah olah sedang berlomba untuk tampil cantik di depan kamera dengan berbagai macam make up yang mereka gunakan.
“paham semuanya”. Lanjut dosen itu.
“paham pak”. Jawab serentak semua mahasiswa.
Setelah memaparkan kontrak kuliah, dosen kemudian melanjutkan pembicaraannya dengan menjelaskan sub materi yang akan kami bahas pada semester ini. Aku mendengarkan dengan seksama apa yang dijelaskan oleh dosen itu. Tetapi, itu tak berlangsung lama. Saat air hujan mulai menetes di atap gedung, perkataan dosen terdengar seperti dongeng pengantar tidur yang membuatku tak tahan lagi menahan kantuk karena tak cukup tidur semalam dan aku pun tertidur didalam kelas.
4. kenyataan
Tiba tiba terdengar suara ketukan keras yang terdengar sangat jelas oleh telingaku.
“tok tok tok,”
“sharon bangun mi.”
Teriakan itu terulang beberapa kali dan terasa sangat mengganggu, spontan aku menjawab dengan suara yang agak keras.
“ huh…ributnya pa,” kataku
“sa lagi enak enaknya mimpi kuliah offline, ko kasih bangun.”
“jangan mi kebanyakan bermimpi, masih tetap ji kuliah online,”
“ko mengabsen mi cepat itu di WA sebelum da habis waktunya.”
“absenkan pi dulu,”
“sa belum beli paket data.”
Pagi ini, aku terbangun dengan rasa kecewa dan harus menerima kenyataan bahwa semester ini aku masih tetap melaksanakan perkuliah secara online.
“online lagi…online lagi”
Bersambung…
Note : Tumming adalah mahasiswa aktif IAIN Kendari, kader HMI Komisariat Ibnu Rusyd Fakultas Syariah dan Kader UKM-Pers IAIN Kendari