Wanita Independen dan Wanita Karier dalam Pandangan Islam

Objektif.id – Fenomena diskusi mengenai wanita independen dan pria mapan kembali mencuat ke permukaan. Istilah ini, yang kerap dikaitkan dengan kemandirian dan tanggung jawab finansial yang menjadi titik temu perdebatan.
Independen sering dimaknai sebagai sosok yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri, termasuk dalam hal karier dan finansial. Sedangkan mapan dianggap sebagai figur yang stabil secara ekonomi dan memiliki tanggung jawab. Namun, makna keduanya sering kali menjadi relatif, tergantung pada perspektif masing-masing.
Sebagai seorang muslimah, saya diajarkan untuk memandang segala sesuatu melalui kacamata Islam. Dalam Islam, laki-laki ditetapkan sebagai _qawwam_ (pemimpin) yang diberi tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya, sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nisa ayat 34.
Sementara perempuan memiliki peran, hak, dan kewajiban yang khas sebagai hamba Allah, anak, istri, dan ibu. Pertanyaannya adalah, bagaimana Islam memandang konsep wanita independen dan wanita karier?
Sayangnya, stigma terhadap wanita yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga masih sering diartikan dalam konotasi negatif. Pendidikan tinggi yang ditempuh perempuan sering kali dianggap sia-sia jika akhirnya mereka “hanya” berakhir di dapur.
Padahal, seorang muslimah yang memahami perannya justru akan memandang pilihan menjadi ibu rumah tangga sebagai bentuk kemerdekaan prinsip. Mereka tidak goyah dengan pandangan duniawi karena menyadari bahwa karier tertinggi seorang wanita dalam Islam adalah menjadi istri dan ibu yang baik.
Islam tidak pernah membebani perempuan dengan kewajiban menafkahi. Seorang anak perempuan dinafkahi oleh ayahnya, seorang istri oleh suaminya, dan jika tidak memiliki keluarga, negara berkewajiban menanggung nafkahnya. Kemuliaan perempuan dalam Islam tidak ditentukan oleh kontribusi finansialnya, melainkan perannya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang telah ditetapkan Allah.
Namun, sistem kapitalisme yang mendominasi saat ini memaksakan paradigma bahwa kesuksesan hanya diukur melalui materi. Pendidikan pun diarahkan untuk mencetak tenaga kerja profesional, sehingga perempuan yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dianggap tidak produktif atau tidak independen. Ini adalah salah satu bentuk penjajahan pemikiran barat terhadap kaum muslimin, yang menjauhkan mereka dari ajaran Islam.
Bukan berarti Islam melarang perempuan untuk bekerja. Dalam sejarah, banyak _sahabiyah_ yang berkontribusi di ruang publik, baik sebagai pebisnis, tenaga medis, atau lainnya.
Akan tetapi, Islam menetapkan batasan yang jelas. Karier seorang muslimah tidak boleh bertentangan dengan syariat Allah. Perempuan harus menimbang prioritasnya berdasarkan hukum wajib, sunnah, halal, dan haram.
Realitasnya, banyak pekerjaan saat ini yang mengharuskan perempuan melanggar syariat, seperti dalam hal berpakaian atau interaksi dengan lawan jenis. Inilah salah satu bentuk tantangan yang harus dihadapi muslimah dalam menjalankan perannya. Sebagai hamba, kita harus memiliki mental _sami’na wa atho’na,_ taat pada apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, meskipun tidak selalu mudah.
Pandangan mengenai independen dan mapan sering kali menimbulkan akibat buruk ketika tidak didasarkan pada pemahaman yang benar. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi dalam sebuah ikatan yang penuh kasih. Keduanya memiliki hak untuk memilih pasangan yang sesuai, tanpa mengurangi nilai atau martabat masing-masing.
Apakah pandangan Islam menjamin kehidupan ideal? _Wallahu a’lam._ Yang pasti, tugas kita adalah berikhtiar dan memaksimalkan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Ujian akan selalu ada, tapi bagi seorang hamba, setiap langkah dalam menaati syariat adalah bagian dari pengabdian yang membawa keberkahan.
Penulis: Aisyah
Editor: Hajar
Eksplorasi konten lain dari Objektif.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.