Mahasiswa Apatis Berkedok Akademis?

“Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat, dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam.” Ucap Widji Thukul, yang sekali lagi menjadi refleksi kolektif kepada kita semua. Bahwa suatu keadaan yang buruk haram hukumnya untuk diabaikan, apalagi didiamkan oleh mereka yang mengklaim diri sebagai mahasiswa dengan segala bentuk embel-embel penamaan heroiknya dan berbagai macam aktivitas akademisnya, yang katanya mempunyai misi pengabdian kepada rakyat.
Sejak dulu, mahasiswa selalu dianggap sebagai motor penggerak perubahan. Mereka adalah kaum intelektual yang memiliki daya kritis tinggi dan sering kali menjadi garda terdepan dalam berbagai gerakan sosial dan politik. Namun, realitas hari ini menunjukkan bahwa banyak mahasiswa justru semakin apatis terhadap persoalan sosial yang terjadi di sekitar mereka.
Fenomena ini terlihat jelas dalam berbagai isu yang merebak di masyarakat. Demonstrasi semakin sepi, diskusi-diskusi kritis berkurang, tradisi menulis yang mulai rapuh, dan ruang-ruang intelektual di kampus tak lagi seramai dulu. Bukan karena tidak ada isu penting, tetapi karena banyak mahasiswa memilih untuk tidak peduli.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), apatis adalah sikap tidak peduli, acuh tak acuh, atau masa bodoh. Sikap ini bisa muncul karena berbagai alasan, mulai dari rasa tidak percaya terhadap sistem, kekecewaan yang berulang, hingga rasa nyaman dalam dunia sendiri.
Dalam lingkup kampus, mahasiswa yang apatis cenderung tidak mau tahu terhadap isu-isu sosial, politik, atau bahkan persoalan di lingkungan akademiknya sendiri. Mereka lebih fokus pada kehidupan pribadi, tugas kuliah, atau sekadar mencari hiburan tanpa memikirkan dampak sosial yang lebih luas.
Padahal, mahasiswa diharapkan menjadi agen perubahan. Mereka bukan hanya generasi penerus bangsa tetapi juga kelompok yang memiliki kapasitas berpikir kritis dan mampu membawa solusi bagi persoalan masyarakat. Namun, ketika apatisme berkembang, harapan ini menjadi semakin kabur.
Sehingga muncul pertanyaan mengapa mahasiswa menjadi apatis? Sepertinya banyak mahasiswa merasa bahwa perjuangan mereka tidak akan membawa perubahan signifikan. Janji-janji politik yang tidak ditepati, korupsi yang terus terjadi, dan ketidakadilan yang berulang membuat mereka kehilangan kepercayaan terhadap sistem.
Selain itu, era digital tidak memberikan kemudahan akses informasi, banyak mahasiswa tidak tahu bagaimana menyaring informasi yang benar dan penting. Akibatnya, mereka lebih banyak mengonsumsi konten hiburan dibandingkan berita atau kajian sosial yang membangun kesadaran.
Ditambah dengan perkembangan teknologi membuat banyak mahasiswa lebih nyaman dalam dunianya sendiri. Media sosial, game, dan hiburan digital lainnya sering kali membuat mereka larut dalam kehidupan virtual, mengabaikan realitas sosial yang ada di sekitar mereka.
Mahasiswa juga menganggap politik sebagai ajang perebutan kekuasaan, penuh dengan korupsi dan janji-janji palsu. Hal ini membuat mahasiswa enggan terlibat atau bahkan sekadar memahami dunia politik, padahal keputusan-keputusan politik sangat mempengaruhi kehidupan mereka.
Sikap apatis mahasiswa bukan sekadar masalah individu, tetapi juga berdampak luas pada masyarakat. Ketika kaum intelektual tidak peduli, siapa yang akan mengawal kebijakan publik? Ketika mahasiswa memilih diam, siapa yang akan bersuara untuk rakyat kecil?
Akibat dari sikap ini, berbagai permasalahan sosial bisa semakin parah. Korupsi semakin merajalela tanpa ada yang mengkritisi. Ketidakadilan semakin menjadi tanpa ada yang berani melawan. Dan akhirnya, masyarakat semakin kehilangan harapan terhadap perubahan.
Meskipun terdapat tantangan besar, bukan berarti tidak ada cara untuk mengembalikan peran mahasiswa sebagai agen perubahan. Seperti diskusi, seminar, dan kajian sosial harus lebih sering diadakan agar mahasiswa terbiasa berpikir kritis dan memahami isu-isu penting yang ada di sekitarnya. Sekaligus Kampus harus menyediakan lebih banyak wadah bagi mahasiswa untuk berkontribusi, baik dalam organisasi, kegiatan sosial, maupun penelitian yang berdampak pada masyarakat.
Selain itu, mengubah cara pandang terhadap politik juga penting, politik bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan dibuat dan dijalankan. Mahasiswa harus memahami bahwa keterlibatan mereka dalam politik bisa membawa perubahan yang lebih baik.
Kemudian bagaimana cara menggunakan teknologi dengan Bijak, bahwa media sosial dan teknologi digital seharusnya dimanfaatkan untuk menyebarkan kesadaran sosial, bukan hanya dijadikan sebagai hiburan semata, apalagi tempat sentimen dan ujaran kebencian diproduksi.
Dengan demikian mahasiswa adalah harapan bangsa yang Jika mereka memilih untuk diam dan tidak peduli, maka siapa lagi yang akan mengawal masa depan negeri ini? Apatisme bukanlah solusi, justru ia adalah ancaman bagi perubahan. Saatnya mahasiswa kembali pada perannya sebagai agen perubahan, menyuarakan kebenaran, dan berjuang untuk keadilan sosial. Sebab, seperti yang dikatakan Widji Thukul, “Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat.”
Pertanyaannya sekarang, Apakah kita akan terus diam, atau mulai bergerak?
Penulis: Anggun
Editor: Harpan Pajar
Eksplorasi konten lain dari Objektif.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.