Objektif.id
Beranda BERITA Civitas Kongres PPMI Kediri—Harapan, Cinta, dan Perjuangan

Kongres PPMI Kediri—Harapan, Cinta, dan Perjuangan

delegasi UKM Pers Objektif IAIN Kendari pada Kongres PPMI ke 18 di IAIN Kediri. Foto dari kanan ke kiri, Harpan Pajar, Aulia Permata Ashar, Febrian, Asran.

Hai aku Aulia Permata Ashar, yang akrab disapa Aya. Saat itu, Sore mulai menua, langit meredup dalam kehangatan yang tak terburu-buru. Pukul empat, saat waktu berjalan perlahan, membiarkan kita menikmati detik-detik yang tak tergesa, aku menuju kantor UKM Pers Objektif untuk menyetorkan wajah. namun, saat aku baru saja duduk dikursi depan meja komputer tiba tiba Harpan, senior sekaligus pimpinan redaksi objektif menyapaku, “Aya, bagaimana persiapanmu”? Mendengar itu aku cukup paham dengan persiapan yang dia maksud, yakni keberangkatan kami ke Bumi Kerajaan Dhaha atau sekarang disebut Kota Kediri.

Pertanyaan itu ditujukan pada agenda kegiatan Kongres Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). “Belum,” aku menjawab tanpa harus bertele-tele. Karena saat itu aku baru saja tiba setelah meminjam koper temanku Husna namanya. Harpan kembali bertanya, “Bagaimana sudah beres?” Aku menjawab “Baju saja belum ada yang ku keluarkan dari lemari?” Mendengar jawaban itu Harpan melanjutkan , “Sebentar malam kita rapat prepare lagi untuk perjalanan besok.” Mendengar itu, aku memberi jawaban dengan isyarat mengangguk dan tersenyum sebab ini adalah perjalanan panjang, dan yang pasti Harpan selalu mengoptimalkan semua dari kami agar tak ada yang tertinggal atau kekurangan. Setelah rapat prepare, pada malam yang sama, rasanya aku tak tenang tidur memikirkan barang barang yang telah ku atur, bukan karena kurang tapi sepertinya ini berlebihan.

Keesokan harinya, Ayahku yang kebetulan sedang di Kendari mengantarku hingga ke terminal dan akupun bertemu dengan Harpan, Febri, Asran yang akrab disapa Ondang, dan beberapa senior yang mengantar kami saat itu. Diwaktu itu kami menunggu keberangkatan damri dengan sedikit pertukaran cerita antara Ayahku dan Andika, salah satu senior yang mengantar kami. Disitu aku hanya menyimak, karena pembahasan yang kurang ku ketahui apa yang mereka perbincangkan. Setelah itu kami memulai perjalanan dan ini adalah salah satu perjalanan bus terpanjang dan paling berkesan yang pernah kau alami. Akan tetapi kegembiraan awal perjalanan perlahan memudar saat mabuk perjalanan menyerang aku sebelum kami sampai di Bau-Bau. Tawa senior mengiringi penderitaanku, bahkan driver bus ikut mencetuskan bahwa aku dehidrasi. Disitu aku berfikir entah apa apa saja yang mereka katakan, sisanya aku hanya ingin tertidur pulas agar tidak merasakan mabuk perjalanan ini. Dalam perasaan mabuk itu aku bertanya pada diri sendiri, “masih kah lama kita bertemu Kediri?

Selang kurang lebih tiga jam di perjalanan, tibalah kami di Pelabuhan Amolengu untuk menyebrang menuju Kota Bau-bau dengan menggunakan Kapal Ferry yang tak menunggu waktu lama untuk mulai mengarungi lautan panjang nan indah. Saat itu adalah pertama kali aku melihat Bus diatas Kapal, aku pikir rute yang dijelaskan senior-senior sebelum berangkat adalah bohong, ternyata benar ada Bus diatas kapal yang mengantari kita hingga sampai kembali di pelabuhan besar Bau-bau. Setelah kurang lebih dua jam ombak menemani kami, tiba lah kami di pelabuhan Bau-bau, tak sedikit tukang ojek yang sampai singgah untuk menawarkan kepada kami jasanya. Disitu kami hanya menunggu kedatangan teman Harpan untuk menjemput, setelah sedikit berbincang dan mengambil gambar, tiba-tiba driver Bus yang tadi membawa kami mengajak untuk makan. Atas kejadian ini aku menganggap bahwa pengalaman yang hebat adalah bertemu dengan orang orang baik dan juga dermawan.

Di Bau-bau kami menunggu selama dua hari untuk kembali melewati jalur laut menggunakan Kapal Pelni. Di hari pertama di Bau-bau, kami berdiskusi beberapa hal di salah satu warung kopi (warkop), ditengah pembahasan tampaknya aku mulai menyadari bahwa sandal jepit yang rencana ingin aku beli belum kesampaian akupun meminta Febri untuk mengantarku mencari sandal. Lama kami melewati jalanan sepi di pukul 10:00, jelas banyak toko yang sudah tidak beroperasi, namun kami tetap mengitari kota berharap masih ada toko yang menjual sandal jepit. Sekitar tiga putaran kami di jalan Kota, hanya ada satu toko yang masih menjual sandal jepit tapi sayangnya tak ada ukuran besar dan warnanya sangat terang benderang. Kamipun kembali ke cafe dan melanjutkan menyeruput minuman matcah tanpa sandal jepit yang kami cari.

Waktu terasa singkat, keesokan harinya kami telah kembali berada di Pelabuhan Murhum untuk menunggu Pelni, orang orang mulai berdatangan, dan kak asran menambahkan “Dik jangan jauh jauh,” rasa tenangpun kembali menghampiriku, senior-seniorku betul betul seperti keluarga keduaku. Tampak Harpan memimpin kami dengan mencari ruang untuk kami jalan menuju Kapal dan Pebri yang saat itu tampak sabar membawa koper dan satu tasku. Hingga akhirnya kami sampai di dalam deck peristirahatan. Angin laut berdesir, menggoyangkan kapal yang tengah melaju di tengah samudra. Selama tiga hari ombak menjadi teman perjalanan kami. Dalam Kapal, cerita-cerita saling bersahutan. Tawa dan canda menemani waktu perjalanan kami. Untungnya selera humorku sama seperti Kak Pebri, yang membuat perjalanku tidak begitu monoton. Sesekali jika bosan, kami naik ke deck penumpang paling atas untuk menikmati ricuhnya ombak dan angin samudra dengan sedikit cerita cerita dari pribadi hingga lingkungan hidup. Saat itu banyak tawa kami tertinggal di udara dengan beberapa lelucon yang tidak masuk akal.

Tak terasa perjalanan selama satu hari mengantarkan kami tiba di Pelabuhan Makassar, lampu kota menyinari langit Makassar yang membuatnya begitu indah, namun tidak dengan menunggunya, kami harus menunggu selama tiga jam lagi untuk melanjutkan perjalanan ke surabaya. Belum sampai dijawa, kami sudah bertemu kenalan yang ternyata juga orang hebat, mereka saudara-saudara dari Indonesia bagian Timur Maluku, salah satunya pemain sepak bola indonesia yang mungkin namanya tidak terlalu booming, yaitu Jemi, sapaan akrabnya dengan marga di belakang namanya Latuconsina.

Mengarungi perjalanan panjang selama dua hari lamanya, tibalah kami digaris pantai Surabaya yang mulai terlihat. Kota itu menyambut kami dengan keramaian dan semangat. Kami tiba di Pelabuhan Tanjung Perak sekitar pukul 02:00 WIB, Minggu 4 Mei 2025. Perjalanan kami belum selesai. Bersama saudara-saudara dari Timur, kami menuju terminal bus. Mereka, dengan senyum dan kepedulian membantu kami menemukan jalan menuju Kediri. Rasa lelah dari perjalanan laut seakan terlupakan, digantikan oleh rasa syukur atas kebaikan yang tak terduga. Waktu Subuh merayap menjadi pagi saat kami tiba di Universitas Kediri. Jam menunjukkan pukul enam dini hari. Aku dipersilakan masuk ke asrama mahasiswa perempuan Universitas Islam Kadiri (Uniska) yang tampaknya hanya aku yang memilih untuk tinggal di lantai dua sendirian, tapi sudahlah, pasti nanti masih ada yang akan datang.

Prepare sudah selesai namun tidak dengan istirahat. Kami segera dibawa menuju kampus IAIN Kediri, tempat forum pembukaan kegiatan digelar. Aula yang penuh dengan semangat mahasiswa dari berbagai kampus menjadi saksi pertemuan para jurnalis mahasiswa. Belum sempat aku duduk, Fira, teman yang aku temui di depan asrama tadi menyapaku dan mengisyaratkanku agar duduk disampingnya. Kamipun bertukar senyum dan berharap ini adalah awal aku bertemu perempuan-perempuan sebagai pers mahasiswa. Untuk mencairkan suasana, aku mulai mengajak Fira mengobrol dengan beberapa pertanyaan dan menanyakan nama Lembaga Pers Mahasiswa  (LPM) nya, tanpa menjawab, ia menunjukan logo yang ada di baju PDH nya sambil tersenyum, LPM Maharaja tulisan yang melekat di bajunya.

Saat forum dimulai, aku duduk tenang, mencoba mengikuti setiap pemaparan. Awalnya cukup menarik, namun memasuki sesi-sesi akhir, rasa bosan mulai menyelinap. Pembahasan menjadi semakin berat dan jujur saja, aku mulai kehilangan arah. Kalimat-kalimat para pembicara seperti lewat begitu saja—bukan karena tidak penting, tapi karena mataku sudah berat menahan kantuk. Namun tiba-tiba, suasana berubah. Saat Harpan mengangkat tangan untuk menyampaikan keresahan. Dengan percaya diri, dia menyampaikan opini dan pertanyaan yang tajam. Seketika, mataku terbuka lebar. Rasa kantuk itu hilang tergantikan oleh semangat dan rasa bangga. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, dan saat narasumber menanggapi dengan antusias, aku tahu kami sedang didengar. Itu adalah momen yang membuat kami merasa dihargai. Perjalanan jauh yang kami tempuh, melewati rute panjang dengan kendaraan, terbayar oleh pengakuan bahwa keberadaan kami di forum ini bukan sekadar hadir, tapi juga berkontribusi dalam bertukar pendapat.

Tak sampai disana, kamipun di hadirkan kegiatan pelatihan Media and Information Literacy (MIL). Sejak pertama kali masuk ke dalam kelas, aku langsung mencari suasana yang nyaman. Mataku menyapu ruangan, mencari siapa yang bisa aku ajak ngobrol. Dan seperti yang sudah kuduga aku melihat Zulfa dari LPM Garda Pena, teman yang pernah aku temui saat menunggu jemputan di depan asrama. Dengan santai aku menyapanya dan dia langsung mengajakku duduk di sebelahnya. Bukan butuh waktu lama kami langsung terlibat obrolan ringan. Energiku terasa hidup. Bahkan sebelum kelas dimulai, aku sudah sempat ngobrol dengan beberapa orang dari berbagai daerah. Saat pemateri belum datang, suasana kelas jadi panggung kecil untuk bertukar cerita. Aku dan Fira, misalnya kami sering ngobrol banyak hal sambil menunggu sesi dimulai.

Setelah dua hari penuh mengikuti pelatihan MIL, kami beralih padan forum kongres yang lebih serius. Untuk membahas agenda yang paling penting dan berat yakni pembahasan Garis Besar Haluan Kerja atau Organisasi (GBHK/GBHO) dan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), serta pembahasan pemilihan Sekjend PPMI selanjutnya. Sebelum sidang dimulai, salah satu senior yang aku hormati, Harpan, terpilih sebagai pimpinan sidang tetap melalui proses voting. Rasanya bangga melihat perwakilan LPM dari Kendari mendapat kepercayaan untuk memimpin forum kongres nasional itu. Bagi kami, itu bukan hanya amanah, tapi juga simbol bahwa kerja keras dan dedikasi selalu terlihat, meski tanpa banyak bicara.

Selama dua hari berikutnya, forum dipenuhi dengan diskusi, pertanyaan, perdebatan dan pendapat yang beragam. Tidak semuanya mudah dipahami, tapi di situlah letak proses belajarnya. Kami tidak hanya sekadar menyusun kata-kata dalam AD/ART dan GBHK/GBHO, melainkan sedang merumuskan arah masa depan organisasi bersama. Setiap kalimat yang disepakati adalah hasil dari pemikiran banyak kepala yang berbeda, tapi punya tujuan yang sama. Memasuki hari ketiga, agenda bergeser ke pencarian Sekretaris Jenderal nasional. Inilah titik paling menantang. Beberapa nama sempat diajukan, tapi belum ada satu pun yang benar-benar memenuhi kriteria sepenuhnya. Waktu diskusi jadi panjang. Proses pemilihan Sekjend sendiri tidak semudah yang dibayangkan. Ada empat calon yang maju, namun tak satu pun memenuhi kriteria pada awalnya. Suasana jadi penuh skorsing, diskusi panjang, dan tarik ulur pandangan dari berbagai daerah. Hingga akhirnya, setelah perjuangan mental dan logika yang cukup melelahkan, Ach. Zainuddin, asal Sumenep terpilih menjadi Sekjend Nasional PPMI, tentu dengan beberapa persyaratan hasil kesepakatan bersama.

Jangan bosan dulu ya. Cerita ini masih panjang. Hehe.

Pasca kongres selesai di tanggal 8 Mei, kami mendapati tiket kapal menuju Kendari habis, yang jadwal awalnya kami akan kembali pada tanggal 12 akhirnya tanggal 14 menjadi pilihan selanjutnya, dan itu berarti kami harus menunggu enam hari di Tanah Jawa. Tapi kami bukan tipe yang diam dan menunggu tanpa makna. Di tengah masa tunggu itu, saya bersama tiga kawan perempuan lainnya, Ama dan Dila asal LPM Graffity Palopo serta Nisa dari UPPM UMI Makassar, memutuskan untuk mengunjungi beberapa teman LPM di Malang. Tidak perlu bertanya dimana ketiga seniorku, mereka mempunyai misi menjelajah sendiri, saat ini aku di tim yang hanya perempuan saja. Awalnya, tujuan kami adalah Jogja. Tapi rencana itu berubah ketika Nisa, dari LPM Makassar, mengutarakan keinginannya yang besar untuk pergi ke Bromo. Keinginan yang begitu tulus tak mungkin kami abaikan, apalagi membiarkannya pergi sendiri. Maka, dengan semangat kebersamaan, kami pun memutuskan untuk menuju Malang. Lalu dimana rute perjalanan seniorku? Mereka dari kediri menuju Tulungagung-Blitar-Malang-Jember-Surabaya. Tampaknya pengalaman mereka berkali lipat dari kami, mereka bahkan sampai di makam Tan Malaka, orang yang mencetuskan konsep republik untuk Indonesia termasuk berkunjung ke makam Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno.

Saat tiba di Malang, kami disambut hangat oleh teman-teman dari LPM Papyrus, yang dengan tangan terbuka menyediakan tempat tinggal. Malam setelah kedatangan kami, mereka bahkan mengajak kami berdiskusi di sebuah cafe, obrolan hangat dan pertukaran ide antar sesama pers mahasiswa. Saya sempat bertanya-tanya tentang perkembangan LPM Papyrus. Dari diskusi itu, saya mengetahui bahwa Papyrus termasuk LPM yang jarang, bahkan belum pernah, mengangkat isu negatif tentang kampusnya. Ini menarik sekaligus menggelitik rasa penasaran saya tentang dinamika internal, strategi penyampaian kritik, dan ruang kebebasan pers di kampus mereka. Saya bersama teman-teman dari LPM Graffity dan UPPM Makassar menyampaikan hal penting kepada LPM Papyrus. Kami menyampaikan masukan dengan niat membangun bahwa ke depannya, LPM Papyrus perlu lebih berani berdiri sebagai lembaga pers yang independen.

Kami tahu, menjadi pers mahasiswa bukan perkara mudah. Ada banyak tekanan, ekspektasi, dan kadang batasan yang membuat kita ragu untuk bersuara. Tapi justru di situlah peran kita diuji. Kita bukan humas kampus, dan memang tidak bisa apalagi tidak seharusnya disebut begitu. Tugas kita bukan menampilkan sisi baik-baik saja, tapi menyuarakan kebenaran, menyampaikan kritik, memberi ruang bagi suara yang sering terpinggirkan. Kami percaya, independensi adalah ruh dari sebuah lembaga pers mahasiswa. Dan keberanian untuk mengutarakan pendapat adalah bentuk tanggung jawab, bukan bentuk perlawanan. Karena dalam dunia jurnalistik, diam bukan pilihan ketika ada hal yang harus disampaikan. Masukan ini kami sampaikan bukan karena kami merasa lebih hebat, tapi karena kami percaya bahwa LPM Papyrus punya potensi besar untuk menjadi suara yang kuat dan berdampak. Dan di antara sesama pers mahasiswa, sudah seharusnya kita saling menguatkan, saling mengingatkan, dan tumbuh bersama.

Kebersamaan kami tidak berhenti di ruang diskusi. Keesokan harinya, kami diajak mengeksplorasi Bumi Perkemahan Bedengan, Malang, Jawa Timur. Di tempat ini alamnya asri, udaranya sejuk, dan suasananya sangat mendukung untuk beristirahat sejenak dari rutinitas padat. Di sana, kami benar-benar menikmati waktu bersama, khususnya dengan teman-teman dari LPM Papyrus. Kami makan bersama, bernyanyi, tertawa, dan saling mengenal lebih dekat. Suasananya hangat dan penuh canda. Namun, satu hal yang membuatku bertanya-tanya—tidak ada yang tertarik main air! Padahal, sungainya jernih, arusnya tenang, dan sangat menggoda untuk diselami, setidaknya diciprat-ciprat. Sementara yang lain asyik bernyanyi, aku mendekati Ama dan mengajaknya bermain air. Tapi dia hanya menjawab santai, “Pergi saja duluan bocil,” Jujur saja, aku sedikit tersinggung. Rasanya seperti sedang diperlakukan layaknya anak Sekolah Dasar Kelas lima, padahal aku lebih besar darinya. Tak lama setelah aku melangkah ke arah sungai, Ama langsung menyuruh Leon untuk menemaniku. Ama sangat amanah
Akhirnya, aku dan Leon pun menyusuri pinggir sungai. Aku langsung bermain air, membiarkan Sementara itu, Leon justru sibuk di tepi. Ia mulai menata batu-batu, menyusunnya dengan hati-hati, lalu melilitkan rumput liar yang menjalar di sekitar. Dari tumpukan itu, terbentuklah semacam bendungan mini yang memperindah arus air.

Aku menatap hasil karyanya, lalu bertanya sambil bercanda, “Proyek 5M kah ini?”
Leon tertawa dan menjawab, “Ya benar sekali, ini adalah proyek 5M.”

Meskipun tak semua teman ikut bermain air, mereka tetap seru dengan gitar dan lagu-lagu mereka. Hari itu, semua punya cara masing-masing untuk menikmati kebersamaan. Dan itu yang membuatnya berkesan. Setelah selesai menikmati keindahan alam itu, kami memutuskan untuk pulang karena langit terlihat sangat mendung. Sesampainya kami di penginapan, aku berencana membeli oleh-oleh. Awalnya Rio yang akan mengantar, tapi memberi alasan bahwa motor yang digunakan akan di pakai oleh abangnya, sehingga harus menunggu hingga urusan abangnya selesai dan dia tak kunjung datang hingga malam. Karena sudah cukup larut, akhirnya aku pergi bersama Adam, salah satu keluarga dari anggota Papyrus. Kami berkeliling mencari toko oleh-oleh, tapi hampir semua sudah tutup, termasuk yang direkomendasikan Google Maps. Karena terus mencari toko kami memutuskan menuju ke Alun-Alun Kota, dengan berbagai toko yang tertata rapi. Di sana, aku melihat banyak gantungan lucu, tapi rasanya terlalu umum dan kurang cocok dijadikan oleh-oleh khas. Sampai akhirnya kami masuk ke sebuah toko kuning, dan aku menemukan boneka yang sangat lucu dengan harga yang cukup terjangkau. Tanpa pikir panjang, aku membelinya. Itu jadi penutup hari yang cukup menyenangkan.
Waktu hampir menunjukkan pukul 11 malam. Namun, saat hendak menuju motor, hujan kembali turun membasahi bumi. Kami pun terpaksa berteduh, berharap hujan segera reda.

Sayangnya, hujan tak kunjung mereda. Karena menunggu terlalu lama, Adam mengajakku masuk ke sebuah cafe kecil di dekat situ. Kami duduk dan berbincang ringan, saling bertukar cerita, membunuh waktu sambil menunggu langit kembali cerah. Tepat pukul 12 malam, hujan akhirnya reda. Kami pun segera pulang ke penginapan. Tanpa kami sadari, itulah momen terakhir yang kami nikmati sebelum pukul tiga pagi, waktu di mana kami harus bersiap diantar menuju stasiun untuk kembali ke Surabaya. kami diantar menuju stasiun oleh teman-teman dari LPM Papyrus. Saat itu, perasaanku campur aduk. Ada rasa haru yang tak bisa disembunyikan. Rasanya belum lama kami tiba, dan kini sudah harus pulang. Tapi di tengah dinginnya pagi, aku merasa sangat bersyukur karena bisa dipertemukan dengan orang-orang sebaik mereka. Meski waktu terasa singkat, kenangan yang tercipta begitu dalam. Saat berpisah, Rio sempat berpesan, “Jangan pernah menganggap ini pertemuan terakhir. Kita pasti akan bertemu lagi.” Ucapan itu melekat di benakku, memberi harapan akan pertemuan-pertemuan berikutnya. Setelah melepas Malang, kami tiba di Surabaya sekitar pukul delapan pagi dan langsung menuju LPM Gema di Universitas Negeri Surabaya untuk beristirahat menunggu jadwal Kapal pukul sepuluh malam. Dalam waktu peristirahatan kami mengisi waktu dengan keluar mencari pakaian dan menyempatkan mampir ke bazar buku di salah satu mal. Sejujurnya, berat rasanya meninggalkan Jawa. Kami belum menemukan sisi negatif dari tempat ini. semuanya terasa menyenangkan. Orang-orang yang kami temui pun begitu positif dan menginspirasi. Kami merasa betah, seperti rumah kedua. Tapi itulah arti sebuah perjalanan yang selalu dibuntuti dengan kepulangan.

Akhirnya, malam pun tiba. Kami pulang dari masing-masing rombongan, UKM Pers Objektif Kendari empat orang, dan kelima dari selatan, yakni UPPM UMI dua orang, LPM Jelata Makassar satu orang, dan LPM Graffity Palopo dua orang, kami diantar oleh teman teman LPM Gema, LPM Forma, dan LPM Situs, pada perjalanan akhir ini. Sungguh pengalaman yang panjang, dan kami harap ini bukan yang terakhir kalinya, hingga kami kembali menghabiskan waktu panjang di atas laut, membawa pulang kenangan yang tak akan pernah kami lupakan.


Eksplorasi konten lain dari Objektif.id

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Eksplorasi konten lain dari Objektif.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca